Menjelang Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober, sebuah berita duka menyeruak dari Sleman. Seorang pemuda berusia 18 tahun memilih mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan diri dari lantai 11 Hotel Porta Ambarukmo.
Adalah Tegar Sinar Ramadhan, sosok pemuda tersebut. Seorang mahasiswa baru di Fisipol Universitas Gajah Mada. Kejadian ini tentu saja sontak menggegerkan masyarakat.
Nggak hanya masyarakat yang dekat dengan lokasi kejadian, tetapi juga seluruh Indonesia. Lagi-lagi depresi merenggut nyawa. Masihkah kita terus abai pada kesehatan mental?
Namun dari olah TKP yang dilakukan oleh Polsek Bulaksumur terbukti bahwa kematian pemuda itu disebabkan oleh bunuh diri. Tegar meninggalkan surat yang menyentuh, juga ditemukan beberapa berkas pengobatan yang sedang dilakoninya bersama seorang psikiater.
Dipastikan bahwa keputusan Tegar mengakhiri hidup dipengaruhi oleh depresi dan bipolar yang dideritanya. Aah, nak… seberisik apa kepalamu sore itu, hingga akhirnya kau memilih melepaskan semua beban di ‘ranselmu’?
Tegar sendiri juga dikenal sering membagikan postingan mengenai kesehatan mental di laman media sosialnya. Sayang, ia pun harus mengibarkan bendera putih. Namun benarkah ia yang kalah?
Atau kita, orang-orang yang ada sekitarnya, yang terlalu abai pada sosok-sosok seperti Tegar? Sosok yang mungkin sedang meneriakkan kode bantuan, tapi kita terlampau asyik dengan kehidupan masing-masing.
Butuh keberanian luar biasa. Apalagi stigma yang terbangun di masyarakat bahwasanya orang yang mentalnya sakit berarti adalah orang gila.
Padahal sekarang nggak boleh lo menyebut GILA kepada mereka yang bergangguan mental. Sebut kami dengan ODGJ, Orang dengan Gangguan Jiwa.
Kok kami, mbak? Memang mbak Ririt ODGJ?
Yup, saat ini aku sedang dalam pengobatan psikiater karena adjustment & anxiety disorder. Nanti deh kapan-kapan aku ceritakan lebih lengkapnya ya, pals.
Aku cuma mau bilang mengumpulkan keberanian untuk menemui psikiater butuh waktu yang panjang. Sejak kuliah aku sudah merasa ada yang berbeda denganku. Emosi yang mudah meledak, khususnya kepada pacar yang saat ini sudah jadi sudah suami, menjadi sinyal ketidakberesanku.
Dari cerita ibu, waktu kecil aku memang baby yang mudah tantrum. Namun kondisi itu membaik dengan sendirinya pada saat usiaku lima tahun.
Setelah itu, aku nggak pernah menunjukkan emosi yang labil. Prestasi akademikku cukup baik. Aku anak yang cukup manis dan penurut.
Hingga kemudian badai menggoncang keluargaku. Tanpa sadar aku memendam bad feelings jauh ke alam bawah sadar. Yang kemudian meledak justru ketika aku memiliki seseorang yang kusebut kekasih.
Sayangnya saat kesadaran itu mulai muncul, aku sendiri masih nggak tahu di mana bisa berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater. Aku hanya terus merasa ada yang salah, tapi tidak menemukan jawabannya.
Waktu terus berjalan hingga akhirnya aku menikah dan punya anak. Anak pertamaku punya sifat yang mirip denganku. Dia pun mudah sekali tantrum.
Seharusnya saat anak tantrum, aku tenang agar bisa mengondisikan anakku. Sayangnya yang terjadi, aku justru ikut tantrum. Aku bener-bener frustasi setiap mendengarnya menangis. Aku sering memukulnya kalau dia tak kunjung berhenti tantrum.
Ada apa denganku, kenapa aku begitu mudah meledak seperti ini, aku semakin curiga. Aku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Aku kemudian bertemu dengan komunitas parenting. Belajar parenting sejatinya belajar mengasuh diri sendiri.
Ada perasaan marah, takut, sedih dan kecewa yang terus menumpuk dari sejak aku balita. Perasaan yang tak pernah sama sekali ditanya dan dipahami oleh kedua orang tuaku.
It’s okay, aku paham dan sudah memaafkan bapak ibuku kok. Aku tahu banget zaman aku kecil mana ada belajar parenting kan?
Aku bersyukur karena dengan mengalami ini setidaknya aku tahu bahwa ada rantai yang harus diputus. Agar rantai ini tak terus memanjang hingga ke anak cucuku.
Meski ternyata prosesnya tak mudah. Ada kalanya aku juga merasa lelah, dan ingin menyerah. Namun melihat anak-anakku, mana bisa aku menyia-nyiakan amanah terindah dari Allah?
So far, aku melakukan pemulihan dan bersahabat dengan Inner Child hanya melalui self healing. Beberapa kelas sudah aku ikuti.
Namun Selasa, 4 Oktober 2022 lalu, sebuah pemicu meledakkan bom waktu di kepalaku. Bersamaan pula aku akan datang bulan di saat hormon mulai tak beraturan. Triple kill kalau kata salah seorang sahabat.
Aku benar-benar nggak bisa berpikir tenang. Aku kacau saat itu. Dan saat itulah aku putuskan untuk menemui psikiater karena selama tiga hari aku terus-terusan menangis, marah dan kecewa.
Dua obat diresepkan kepadaku. Seiringnya waktu, moodku kembali membaik dan aku mulai bisa melihat kondisi yang sebelumnya sangat menyesakkan dari berbagai sudut pandang. Aku perlahan mulai semeleh.
Saat aku memutuskan untuk pergi ke Klinik Jiwa di tempat suamiku bekerja. Sesungguhnya aku ragu. Aku takut aja nanti teman-temannya berpikir gimana gitu.
Namun semua kekhawatiranku tak terjadi. Justru teman suami berpikir itu pilihan yang bagus, karena aku berani mengakui bahwa sedang tidak baik-baik saja.
Sama halnya saat badan kita sedang teramat sakit, tentu kita menemui dokter untuk mendapatkan obat yang tepat bukan? Begitu juga saat jiwa kita sedang sakit, saat semua terasa gelap dan menyesakkan, saat bernafas saja rasanya sakit, saat kepala terasa bising dengan hal-hal yang mengganggu dan mengerikan, it’s okay kok bertemu dengan ahlinya.
Adalah Tegar Sinar Ramadhan, sosok pemuda tersebut. Seorang mahasiswa baru di Fisipol Universitas Gajah Mada. Kejadian ini tentu saja sontak menggegerkan masyarakat.
Nggak hanya masyarakat yang dekat dengan lokasi kejadian, tetapi juga seluruh Indonesia. Lagi-lagi depresi merenggut nyawa. Masihkah kita terus abai pada kesehatan mental?
Siapakah Tegar Sinar Ramadhan?
Diceritakan oleh orang-orang terdekat, Tegar Sinar Ramadhan adalah sosok yang periang dan tak terlihat memiliki masalah. Maka tak mengherankan jika kematiannya yang mendadak pada Sabtu, 8 Oktober 2022 mengagetkan semua orang.Namun dari olah TKP yang dilakukan oleh Polsek Bulaksumur terbukti bahwa kematian pemuda itu disebabkan oleh bunuh diri. Tegar meninggalkan surat yang menyentuh, juga ditemukan beberapa berkas pengobatan yang sedang dilakoninya bersama seorang psikiater.
Dipastikan bahwa keputusan Tegar mengakhiri hidup dipengaruhi oleh depresi dan bipolar yang dideritanya. Aah, nak… seberisik apa kepalamu sore itu, hingga akhirnya kau memilih melepaskan semua beban di ‘ranselmu’?
Tegar sendiri juga dikenal sering membagikan postingan mengenai kesehatan mental di laman media sosialnya. Sayang, ia pun harus mengibarkan bendera putih. Namun benarkah ia yang kalah?
Atau kita, orang-orang yang ada sekitarnya, yang terlalu abai pada sosok-sosok seperti Tegar? Sosok yang mungkin sedang meneriakkan kode bantuan, tapi kita terlampau asyik dengan kehidupan masing-masing.
Aah, Tegar… biarkan semesta kini memelukmu…
Kesehatan Mental dan Keberanian Mengakuinya
Kesehatan mental masih menjadi hal yang kurang dipedulikan oleh sebagian besar orang. Berobat karena sakit fisik adalah hal yang biasa. Namun berobat karena kesehatan mental?Butuh keberanian luar biasa. Apalagi stigma yang terbangun di masyarakat bahwasanya orang yang mentalnya sakit berarti adalah orang gila.
Padahal sekarang nggak boleh lo menyebut GILA kepada mereka yang bergangguan mental. Sebut kami dengan ODGJ, Orang dengan Gangguan Jiwa.
Kok kami, mbak? Memang mbak Ririt ODGJ?
Yup, saat ini aku sedang dalam pengobatan psikiater karena adjustment & anxiety disorder. Nanti deh kapan-kapan aku ceritakan lebih lengkapnya ya, pals.
Aku cuma mau bilang mengumpulkan keberanian untuk menemui psikiater butuh waktu yang panjang. Sejak kuliah aku sudah merasa ada yang berbeda denganku. Emosi yang mudah meledak, khususnya kepada pacar yang saat ini sudah jadi sudah suami, menjadi sinyal ketidakberesanku.
Dari cerita ibu, waktu kecil aku memang baby yang mudah tantrum. Namun kondisi itu membaik dengan sendirinya pada saat usiaku lima tahun.
Setelah itu, aku nggak pernah menunjukkan emosi yang labil. Prestasi akademikku cukup baik. Aku anak yang cukup manis dan penurut.
Hingga kemudian badai menggoncang keluargaku. Tanpa sadar aku memendam bad feelings jauh ke alam bawah sadar. Yang kemudian meledak justru ketika aku memiliki seseorang yang kusebut kekasih.
Sayangnya saat kesadaran itu mulai muncul, aku sendiri masih nggak tahu di mana bisa berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater. Aku hanya terus merasa ada yang salah, tapi tidak menemukan jawabannya.
Waktu terus berjalan hingga akhirnya aku menikah dan punya anak. Anak pertamaku punya sifat yang mirip denganku. Dia pun mudah sekali tantrum.
Seharusnya saat anak tantrum, aku tenang agar bisa mengondisikan anakku. Sayangnya yang terjadi, aku justru ikut tantrum. Aku bener-bener frustasi setiap mendengarnya menangis. Aku sering memukulnya kalau dia tak kunjung berhenti tantrum.
Ada apa denganku, kenapa aku begitu mudah meledak seperti ini, aku semakin curiga. Aku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Aku kemudian bertemu dengan komunitas parenting. Belajar parenting sejatinya belajar mengasuh diri sendiri.
Karena kita nggak akan bisa mengasuh anak dengan baik, saat kita belum selesai dengan segala permasalahan diri sendiri.Dari parenting, aku kemudian mengenal apa itu Inner Child. Aku mulai menggali apa kebutuhan seorang Ririt kecil yang tak terpenuhi oleh bapak dan ibu.
Ada perasaan marah, takut, sedih dan kecewa yang terus menumpuk dari sejak aku balita. Perasaan yang tak pernah sama sekali ditanya dan dipahami oleh kedua orang tuaku.
It’s okay, aku paham dan sudah memaafkan bapak ibuku kok. Aku tahu banget zaman aku kecil mana ada belajar parenting kan?
Aku bersyukur karena dengan mengalami ini setidaknya aku tahu bahwa ada rantai yang harus diputus. Agar rantai ini tak terus memanjang hingga ke anak cucuku.
Meski ternyata prosesnya tak mudah. Ada kalanya aku juga merasa lelah, dan ingin menyerah. Namun melihat anak-anakku, mana bisa aku menyia-nyiakan amanah terindah dari Allah?
So far, aku melakukan pemulihan dan bersahabat dengan Inner Child hanya melalui self healing. Beberapa kelas sudah aku ikuti.
Namun Selasa, 4 Oktober 2022 lalu, sebuah pemicu meledakkan bom waktu di kepalaku. Bersamaan pula aku akan datang bulan di saat hormon mulai tak beraturan. Triple kill kalau kata salah seorang sahabat.
Aku benar-benar nggak bisa berpikir tenang. Aku kacau saat itu. Dan saat itulah aku putuskan untuk menemui psikiater karena selama tiga hari aku terus-terusan menangis, marah dan kecewa.
Dua obat diresepkan kepadaku. Seiringnya waktu, moodku kembali membaik dan aku mulai bisa melihat kondisi yang sebelumnya sangat menyesakkan dari berbagai sudut pandang. Aku perlahan mulai semeleh.
Saat aku memutuskan untuk pergi ke Klinik Jiwa di tempat suamiku bekerja. Sesungguhnya aku ragu. Aku takut aja nanti teman-temannya berpikir gimana gitu.
Namun semua kekhawatiranku tak terjadi. Justru teman suami berpikir itu pilihan yang bagus, karena aku berani mengakui bahwa sedang tidak baik-baik saja.
Sama halnya saat badan kita sedang teramat sakit, tentu kita menemui dokter untuk mendapatkan obat yang tepat bukan? Begitu juga saat jiwa kita sedang sakit, saat semua terasa gelap dan menyesakkan, saat bernafas saja rasanya sakit, saat kepala terasa bising dengan hal-hal yang mengganggu dan mengerikan, it’s okay kok bertemu dengan ahlinya.
Terus intinya tulisan ini apa to mbak?
Sedih sih, tapi harus kuakui keviralan kasus Tegar Sinar Ramadhan membawa dampak positif. Kejadian mengerikan yang hanya berjarak dua hari dengan peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia itu membuat banyak orang membagikan bahwa sehat mental sama pentingnya dengan sehat badan di lini masa mereka.
Pernah mendengar kan kalimat terkenal dalam bahasa Latin “Mens sana in corpore sano”? Artinya yaitu “apabila jiwa seseorang sehat, maka tubuhnya akan sehat juga.”
Tapi kan banyak orang yang badannya sehat, tapi ternyata jiwanya nggak sehat? Trust me deh, sebenarnya badan kita tuh udah kasih sinyal.
Ada simptom-simptom yang sebenarnya muncul, saat jiwa kita sedang kasih pertanda. Sayangnya seringkali kita abai dengan sinyal-sinyal itu.
Semudah kita yang biasanya baik-baik saja, tetiba jadi mudah sakit kepala, migren, asam lambung naik, sebenarnya itu adalah tanda-tanda kalau we are not okay. Bukan sekadar kecapekan karena aktivitas yang hectic semata, tapi bisa jadi sedang butuh rehat, butuh teman bicara, butuh olah rasa.
Ada kalanya mental kita sedang tidak baik-baik saja, tapi bukan berarti pasti mental kita sakit dan butuh obat. Ada kalanya kita hanya butuh berkonntemplasi, berbicara pada sahabat, psikolog atau terapis kejiwaan.
Apabila dengan melakukan hal-hal tersebut kondisimu sudah membaik, bisa jadi kamu hanya sedang ‘lelah’. Lelah itu wajar kok, kita kan cuma manusia biasa, bukan superhero.
Jangan takut terlihat lemah. Karena masalah kecil buat orang lain bisa jadi hal besar buat kita, begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya ‘sepatunya’ masing-masing.
Pun jangan pula mudah menyerah. Allah menciptakan kita untuk menjadi pejuang dalam kehidupan ini, pals. Maka janganlah kau akhiri hidup dalam kesia-siaan.
Sabarlah sejenak, teruslah berjuang hingga nanti Allah benar-benar memanggil kita untuk pulang. Yakinlah Allah nggak akan pernah menguji hambaNya di luar batas kemampuan kita.
Btw, Hari Kesehatan Mental tahun ini mengambil tema "Make Mental Health and Wellbeing for All a Global Priority". Artinya yaitu menjadikan kesehatan mental dan kesejahteraan untuk semua sebagai prioritas global.
Sedih sih, tapi harus kuakui keviralan kasus Tegar Sinar Ramadhan membawa dampak positif. Kejadian mengerikan yang hanya berjarak dua hari dengan peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia itu membuat banyak orang membagikan bahwa sehat mental sama pentingnya dengan sehat badan di lini masa mereka.
Pernah mendengar kan kalimat terkenal dalam bahasa Latin “Mens sana in corpore sano”? Artinya yaitu “apabila jiwa seseorang sehat, maka tubuhnya akan sehat juga.”
Tapi kan banyak orang yang badannya sehat, tapi ternyata jiwanya nggak sehat? Trust me deh, sebenarnya badan kita tuh udah kasih sinyal.
Ada simptom-simptom yang sebenarnya muncul, saat jiwa kita sedang kasih pertanda. Sayangnya seringkali kita abai dengan sinyal-sinyal itu.
Semudah kita yang biasanya baik-baik saja, tetiba jadi mudah sakit kepala, migren, asam lambung naik, sebenarnya itu adalah tanda-tanda kalau we are not okay. Bukan sekadar kecapekan karena aktivitas yang hectic semata, tapi bisa jadi sedang butuh rehat, butuh teman bicara, butuh olah rasa.
Seberapa sering kita bertanya “apa yang kamu rasakan hari ini” pada diri sendiri? Seberapa sering kita memupuk self awareness tentang apa yang kita rasa, sangat membantu kita untuk mengolah rasa dengan tepat.Meski begitu jangan juga langsung self diagnosis ya, pals. Saat kita suka moody, suka meledak-ledak, suka overthinking, langsung deh berpikir kalau begini begitu. Ingat, yang bisa menegakkan diagnosa mental kita sehat atau nggak adalah dokter jiwa.
Ada kalanya mental kita sedang tidak baik-baik saja, tapi bukan berarti pasti mental kita sakit dan butuh obat. Ada kalanya kita hanya butuh berkonntemplasi, berbicara pada sahabat, psikolog atau terapis kejiwaan.
Apabila dengan melakukan hal-hal tersebut kondisimu sudah membaik, bisa jadi kamu hanya sedang ‘lelah’. Lelah itu wajar kok, kita kan cuma manusia biasa, bukan superhero.
Jangan takut terlihat lemah. Karena masalah kecil buat orang lain bisa jadi hal besar buat kita, begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya ‘sepatunya’ masing-masing.
Pun jangan pula mudah menyerah. Allah menciptakan kita untuk menjadi pejuang dalam kehidupan ini, pals. Maka janganlah kau akhiri hidup dalam kesia-siaan.
Sabarlah sejenak, teruslah berjuang hingga nanti Allah benar-benar memanggil kita untuk pulang. Yakinlah Allah nggak akan pernah menguji hambaNya di luar batas kemampuan kita.
Btw, Hari Kesehatan Mental tahun ini mengambil tema "Make Mental Health and Wellbeing for All a Global Priority". Artinya yaitu menjadikan kesehatan mental dan kesejahteraan untuk semua sebagai prioritas global.
So, mari kita mulai dari diri sendiri. Jujurlah pada diri sendiri. It’s okay to not be okay. Mari kita pulih bersama, mari kita menguat bareng-bareng.Semoga tidak ada lagi Tegar-tegar lainnya. Doa yang terbaik untuk Tegar… al fatiah.
Soal kesehatan mental memang penting sekarang apalagi di zaman ini anak muda banyak yang mengalami ini. Jadi, pemahaman tentang mental health pun diperlukan dan ada baiknya ini dicegah sebelum parah. Terima kasih sharingnya!
ReplyDelete