Jangan bosan ya kalau beberapa waktu ke depan aku bakal banyak sharing tentang bangkit dari luka inner child. Buat teman-teman yang sudah mengikuti perjalanan ngeblogku sejak awal, pasti nggak akan kaget lagi sih dengan tema ini. Yess, sampai hari ini aku masih belajar untuk terus pulih dan berkembang dari luka-luka traumatik di masa lalu.
Bersyukur sejak menjadi ibu, jejaringku meluas. Aku mulai berkenalan dengan beberapa komunitas yang sangat membantuku untuk bertumbuh lebih baik. Dari komunitas ngaji, parenting, menulis, hingga akhir-akhir ini aku dipertemukan dengan Ruang Pulih. Sebuah ruang belajar dan konsultasi psikologi yang didedikasikan untuk para wanita dan anak khususnya. Komunitas ini dibentuk oleh mbak Intan Maria Lie.
Aku pertama kali mendengar komunitas ini lewat bincang buku Pulih, salah satu proyek antologinya Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN). Ternyata aku cukup berjodoh dengan Ruang Pulih dan mbak Intan Maria. Tak lama setelah mengikuti Bincang Pulih, aku mendengar kabar bahwa IIDN membuka kelas Semeleh.
Bukan sekadar proyek antologi, Semeleh khusus dibuat sebagai wadah healing para pesertanya. Aku belajar banyak hal di kelas pemberdayaan diri tersebut, tentang penerimaan, journaling dan masih banyak lagi.
Lewat Semeleh, aku tahu bahwa mbak Intan sedang proses menerbitkan buku berjudul ‘Luka Performa Bahagia: Mengenali Inner Child, Menemukan Jati Diri’. Aku langsung memutuskan ikut pre order/ PO tanpa pikir panjang. Karena aku sadar masih butuh banget berproses dengan ‘si anak kecil di dalam diriku’.
Bersyukur banget aku ikut PO, karena ternyata dapat banyak bonus. Salah satunya bisa ikut Inner Child Healing Parade.
Bahwasanya ketika kita telah mampu bangkit dari luka inner child, kita akan menyongsong hari-hari yang lebih ringan, lebih ceria, lebih gembira, dan tentu saja performa diri pun meningkat lebih optimal.
Inner Child Healing Parade sengaja digelar bukan hanya dalam rangka launching buku mbak Intan Maria Lie bersama mas Adi Prayuda, tetapi juga bertujuan untuk merangkul lebih banyak masyarakat yang sadar akan kesehatan mental. Hingga hari ini, sudah ada 3 sesi yang telah diselenggarakan. Dan semuanya super ndagiing. Intip yuk jadwal, narasumber dan materinya:
Bersyukur banget aku ikut PO, karena ternyata dapat banyak bonus. Salah satunya bisa ikut Inner Child Healing Parade.
Apa Itu Inner Child Healing Parade?
Ketika kita mendengar kata parade, biasanya yang terlintas di otak adalah hal-hal yang fun, cheerful, musical, kostum penuh warna dan hal-hal menggembirakan lainnya bukan? Sepertinya itulah yang ingin mbak Intan Maria angkat dari event ini.Bahwasanya ketika kita telah mampu bangkit dari luka inner child, kita akan menyongsong hari-hari yang lebih ringan, lebih ceria, lebih gembira, dan tentu saja performa diri pun meningkat lebih optimal.
Inner Child Healing Parade sengaja digelar bukan hanya dalam rangka launching buku mbak Intan Maria Lie bersama mas Adi Prayuda, tetapi juga bertujuan untuk merangkul lebih banyak masyarakat yang sadar akan kesehatan mental. Hingga hari ini, sudah ada 3 sesi yang telah diselenggarakan. Dan semuanya super ndagiing. Intip yuk jadwal, narasumber dan materinya:
- Minggu, 15 Agustus 2021, jam 17:30 - selesai, bersama dr. I Gusti Rai Wiguna, Sp. Kj dan Adjie Santosoputro
- Minggu, 22 Agustus 2021, jam 18:00 WIB - selesai, bersama Prasetya M Brata dan Fena Wijaya
- Minggu, 29 Agustus 2021, jam 18:00 WIB - selesai, bersama Adi W. Gunawan dan Asep Haerul Gani
- Minggu, 05 September 2021, jam 18:00 WIB - selesai, bersama Anthony Dio Martin dan Naftalia Kusumawardhani
- Minggu, 12 September 2021, jam 18:00 WIB - selesai, bersama Anggun Pohan dan Seto Mulyadi
Kali ini aku akan membagikan catatanku terkait Inner Child Healing Parade Sesi #2 bersama dua narasumber yang super inspiring. Yuk cari tahu bagaimana sih agar bisa bangkit dari luka inner child?
2 Cara Bangkit dari Luka Inner Child
Pada dasarnya kunci dari inner child therapy adalah menerima. Karena ketika kita sudah berada dalam tahap acceptance, pendekatan-pendekatan berikutnya akan jauh lebih mudah. Nah, setiap terapis biasanya memiilki pendekatan atau teknik healing yang berbeda-beda, tapi tetap satu jua.Lah, emangnya Bhinneka Tunggal Ika, hehe. Maksudnya cara yang dipakai bisa jadi berbeda, namun tujuan yang ingin dicapai selalu sama; pulih dan bertumbuh.
Di sesi dua dari rangkaian Inner Child Healing Parade by Ruang Pulih ini, kita akan belajar tentang reparenting inner child dari Coach Prasetya M Brata dan Coach Fena Wijaya.
Cara Coach Prasetya M Brata: Memaknai Luka Menjadi Performa
Coach Prasetya memulai pemaparannya dengan kalimat yang agak menyentil. Peningkatan kesadaran diri dalam belajar parenting memang hal yang baik. Akan tetapi menurut beliau, ketika kita belajar parenting, jangan dulu fokus pada “thing”- nya. Justru hal utama dalam pengasuhan anak adalah fokus pada parentnya.Parent-nya dulu yang dibenahi. Kalau parent-nya sudah dibenahi, ngurusin ‘thing’ akan lebih mudah.Maksudnya begini, pernah nggak sih kita sudah keluar masuk seminar dan workshop parenting, bahkan mungkin sudah hafal di luar kepala teori parenting A - Z. Namun dalam prakteknya, kita masih saja mengulang-ulang kesalahan yang sama. Kesalahan yang kita sudah sadari tak seharusnya terjadi.
Lalu kita mulai malas belajar lebih, karena merasa “Aah, belajar nggak belajar toh aku tetap nggak becus jadi orang tua.”
Eits, jangan patah semangat dulu dong. Mungkin kesalahan yang terus kita lakukan berulang tersebut, bukan karena kita nggak becus jadi orang tua. Namun karena ada hal yang harus dibenahi dulu dalam jiwa kita. Mungkin ada luka-luka pengasuhan di masa lampau yang mengganggu proses kita saat mengasuh anak.
Menggali luka pengasuhan bukan berarti menyalahkan orang tua kita lo ya. Justru ini adalah cara untuk memahami dan menyadari bahwa orang tua sangat mengasihi kita, dengan teknik yang kurang tepat. Nah, agar kita bisa memutus mata rantai dari teknik pengasuhan yang kurang tepat itu, kita perlu untuk menggali adakah unfinished business yang terkubur jauh di kedalaman jiwa?
1. Menyadari Bahwa Kita Khalifah di Muka Bumi
Setelah menemukan unfinished business, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan urusan-urusan yang belum kelar tersebut. Menurut Coach Brata, cara yang pertama adalah dengan menyadari bahwa manusia diturunkan ke dunia oleh Allah sebagai khalifah. Tahu kan arti kata khalifah?Yup, pemimpin!
Pemimpin di sini bukan berarti kita harus jadi Presiden, Ketua MPR, atau mungkin ketua RT. Justru hal paling utama adalah bagaimana bisa menjadi pemimpin bagi diri sendiri.
Setelah kita tahu punya inner child, mungkin akan ada rasa sakit, kecewa, marah, jengkel dan emosi negatif lainnya. It’s okay, terima saja dulu. Namun menerima segala rasa itu bukan berarti kita boleh berlebihan dalam mengekspresikannya.
Sebagai pemimpin bagi diri sendiri, kita seharusnya mampu mengatur pikiran dan perasaan, bukan sebaliknya. Kemudian gali lebih dalam tentang diri kita. Kenalan lagi sama diri kita dengan sebenar-benarnya.Semakin kita mengenal diri sendiri, kita akan belajar referensi atau pandangan hidup apa yang kita dapat di masa lalu. Referensi inilah yang memberikan skill kepada kita dalam memaknai sesuatu. Ketika kita sadar bahwa inner child telah membuat makna yang kurang tepat terhadap suatu kejadian. PR kita adalah membangun referensi baru agar tumbuh kemampuan memberi makna baru. Apakah bisa?
Tentu saja, karena manusia itu punya kemampuan untuk mencipta tanpa maha. Ya dong, karena Sang Maha Pencipta, tentu saja hanya Allah satu-satunya.
2. Membangun Konsep Diri
Konsep diri biasanya terbentuk di awal-awal pengasuhan. Coba ingat-ingat, dulu waktu kecil pernahkah saat kita menangis karena tersandung, orang tua atau pengasuh kita bilang, “Ada kodok lewat ya? Nakal ya kodoknya.” Padahal nggak ada kodok sama sekali. Kasihan ya si kodok, bukan kambing tapi jadi kambing hitam, hehe.Rasa-rasanya sederhana ya? Tapi tahukah kalau kalimat tersebut dan sejenisnya, tanpa sengaja bisa membentuk konsep diri seorang anak bahwa selalu ada yang bisa disalahkan saat masalah datang di dalam hidup?
Maka jangan kaget ketika ada orang yang sudah dewasa selalu menghindar dari masalah. Misal, ada miskomunikasi dengan rekan kerja. Alih-alih membicarakannya, ia memilih untuk keluar kerja. Begitu terus, berganti pekerjaan berulang kali. Kalau ditanya alasannya, “Nggak nyaman dengan rekan kerjanya.”
Jika konsep diri yang suka menghindari masalah dan melempar kesalahan pada orang lain ini tak diperbaiki, ya orang itu akan terus mengalami hal sama di kemudian hari. Oleh karenanya agar konsep diri yang baru bisa ditumbuhkembangkan, kita perlu memperbarui referensi hidup.
Referensi yang kita pelajari sepanjang hidup akan membentuk cara kita memandang dunia. Jika referensi kita buruk, maka dunia akan selalu terlihat buruk di mata kita. Makanya perlu banget buat kita untuk memperbaiki referensi, agar pengalaman buruk yang aada di masa lalu nggak perlu lagi dipakai di masa kini.Selain itu kita juga perlu belajar untuk mengenal adanya resiko dalam setiap keputusan yang kita buat. Manusia dibekali kemampuan dasar untuk meminimalkan resiko. Namun agar kemampuan ini bisa optimal, referensi kita kudu bener dulu.
3. Tahapan Reparenting Inner Child
Setelah kita sadar bahwa ada ‘anak kecil di dalam diri’ yang butuh perhatian lebih, nggak perlu takut dan terlalu cemas. Dia bagian diri kita kok. Sosok kecil yang hanya ingin didengarkan dan diperhatikan.Agar tahu apa sih kebutuhannya? Menurut Coach Brata, kita perlu melakukan disaosiasi. Caranya yaitu dengan menghadirkan sosok di masa lalu lewat teknik hipno atau meditasi, atau hanya dengan sekadar membayangkannya ada di depan kita.
Lalu ajak sosok itu berdialog lebih dalam. Eksplor apa sih makna lama yang selama ini menjadi referensi buatnya. Kemudian sadari dan tanyakan apakah saat ini referensi itu masih sama? Ajak ‘anak kecil dalam diri kita’ untuk menggali hikmah atas peristiwa yang memberikan pengalaman berkesan hingga meninggalkan luka tersebut.
Sampaikan padanya bahwa ‘Hal itu sudah terjadi dan sudah berlalu. Kini dia sudah tumbuh semakin kuat dan tak lagi perlu merasa takut. Bahwasanya ia telah berjalan sejauh ini dengan hebat dan kita bangga pada dirinya.”
Aku jadi teringat drama Korea yang baru saja kelar masa tayangnya, bertajuk “You Are My Spring.” Drama itu mengisahkan tentang hubungan seorang pria yang berprofesi psikiater dan seorang perempuan berprofesi sebagai karyawan hotel.
Di drama tersebut ada banyak scene-scene yang memperlihatkan gambaran inner child dari dua tokoh utama. Serta bagaimana dua tokoh ini saling menyembuhkan luka-luka mereka di masa lalu. Must watch deh buat kalian yang tertarik dengan isu kesehatan mental.
Seringkali kita nggak bisa move on dari masa lalu tersebut karena terlalu sering memutar “film-film lama”, yang kemudian membuat kita terjebak pada drama yang dibuat sendiri.
Ketika kita dibully, jangan hanya fokus untuk menyalahkan orang yang membully. Untuk bisa pulih, kita justru harus fokus kenapa kita dibully. Apa karena kita nampak lemah, atau karena tak berani melawan?
Jika sudah menemukan alasan kenapa kita sering menjadi sasaran empuk perisakan, saatnya untuk menunjukkan perubahan dalam diri, agar orang lain tak berani lagi membully. Untuk sampai di tahap ini, kita perlu lebih banyak belajar dan meningkatkan kemampuan.
Pak Brata memberikan analogi yang sederhana terkait hal ini. Anggap saja kita sedang belajar bela diri dan masih berada pada level terendah. Ada senior kita yang sudah berada di level lebih tinggi terus melakukan perisakan, karena menganggap diri kita lebih lemah.
Maka yang harus kita lakukan bukan menyalahkan keadaan, tetapi meningkatkan kemampuan agar setara atau malah lebih tinggi dari si perisak. Ketika level kita sudah sama atau lebih tinggi, si perisak tentu akan berpikir ulang untuk terus-terusan membully kita.
Jika karena perisakan tersebut, kita memilih berhenti belajar bela diri. Lalu saat kita dewasa kita diserang oleh pencopet, misalnya. Dan kita menyalahkan masa lalu gara-gara tidak tuntas belajar bela diri, itu artinya kita masih terjebak dalam drama yang kita buat sendiri.
Coach Brata kemudian menjawab, “Loh, itu bagus. Bisa mengatakan bahwa dirinya masih tidak bisa berfikir jernih dan cenderung reaktif, artinya punya kesadaran diri kan?”
Ketika seseorang sudah memiliki kesadaran diri untuk mengakui masalah yang dihadapinya, artinya kita sudah mampu menggunakan kemampuan sebagai manusia. Namun nggak bisa berhenti sampai di sini.
Di drama tersebut ada banyak scene-scene yang memperlihatkan gambaran inner child dari dua tokoh utama. Serta bagaimana dua tokoh ini saling menyembuhkan luka-luka mereka di masa lalu. Must watch deh buat kalian yang tertarik dengan isu kesehatan mental.
4. Bangkit dari Bullying dan Labeling
Terkait masa lalu yang terluka karena adanya penghakiman dan perisakan, pak Brata menyampaikan bahwa kita harus mampu meyakinkan diri sendiri bahwa harga diri kita tidak terletak pada pengalaman buruk masa lalu. Kita jauh lebih besar dari hal tersebut.Seringkali kita nggak bisa move on dari masa lalu tersebut karena terlalu sering memutar “film-film lama”, yang kemudian membuat kita terjebak pada drama yang dibuat sendiri.
Ketika kita dibully, jangan hanya fokus untuk menyalahkan orang yang membully. Untuk bisa pulih, kita justru harus fokus kenapa kita dibully. Apa karena kita nampak lemah, atau karena tak berani melawan?
Jika sudah menemukan alasan kenapa kita sering menjadi sasaran empuk perisakan, saatnya untuk menunjukkan perubahan dalam diri, agar orang lain tak berani lagi membully. Untuk sampai di tahap ini, kita perlu lebih banyak belajar dan meningkatkan kemampuan.
Pak Brata memberikan analogi yang sederhana terkait hal ini. Anggap saja kita sedang belajar bela diri dan masih berada pada level terendah. Ada senior kita yang sudah berada di level lebih tinggi terus melakukan perisakan, karena menganggap diri kita lebih lemah.
Maka yang harus kita lakukan bukan menyalahkan keadaan, tetapi meningkatkan kemampuan agar setara atau malah lebih tinggi dari si perisak. Ketika level kita sudah sama atau lebih tinggi, si perisak tentu akan berpikir ulang untuk terus-terusan membully kita.
Jika karena perisakan tersebut, kita memilih berhenti belajar bela diri. Lalu saat kita dewasa kita diserang oleh pencopet, misalnya. Dan kita menyalahkan masa lalu gara-gara tidak tuntas belajar bela diri, itu artinya kita masih terjebak dalam drama yang kita buat sendiri.
Kalau kita masih terjebak drama, dan terus-terusan menyalahkan masa lalu. Artinya kemampuan kita sebagai khalifah belum berjalan dengan optimal.
5. Deal With Our Emotion
Pada saat sesi tanya jawab, ada seorang peserta webinar bertanya “Kenapa ya saya masih sering tidak bisa berfikir jernih, dan cenderung reaktif?”Coach Brata kemudian menjawab, “Loh, itu bagus. Bisa mengatakan bahwa dirinya masih tidak bisa berfikir jernih dan cenderung reaktif, artinya punya kesadaran diri kan?”
Ketika seseorang sudah memiliki kesadaran diri untuk mengakui masalah yang dihadapinya, artinya kita sudah mampu menggunakan kemampuan sebagai manusia. Namun nggak bisa berhenti sampai di sini.
Setelahnya, kita perlu mencari tahu apa yang terjadi dan mengambil bagian tanggungjawab. Bukan untuk menyalahkan diri sendiri, tapi kita perlu tahu bahwa kita sesungguhnya selalu menjadi sebab, atau punya andil dari kemunculan perasaan tersebut.
Agar bisa mencapai tahap tersebut, kita perlu membangun kedekatan dengan diri sendiri. Sebagaimana saat kita ingin merayu Allah agar doa-doa kita dikabulkan, maka kita perlu menjalin kedekatan denganNya kan?
Begitu juga saat kita ingin membenahi diri sendiri, kita perlu tahu sudah seberapa dekat sih dengan diri sendiri?
Ketika logika kita dibajak perasaan, artinya kita sedang mengalami ‘kelumpuhan’. Perasaan hanya butuh dikenali, diakui, dan didengarkan. Setelah itu digali pesannya. Tak perlu diikuti hingga menghasilkan respon yang berlebihan. Emosi negatif muncul karena ada value yang tak didengar. Ambil alih dengan pikiran, dan cari tahu, apa yang harus dilakukan.Menutup sesi pertama pada webinar yang berlangsung pada Minggu, 22 Agustus 2021 itu, Coach Brata menyampaikan bahwa melakukan self parenting yaitu mengasuh diri kita di masa lalu, agar tidak terus-terusan terjebak drama.
Agar bisa mencapai tahap tersebut, kita perlu membangun kedekatan dengan diri sendiri. Sebagaimana saat kita ingin merayu Allah agar doa-doa kita dikabulkan, maka kita perlu menjalin kedekatan denganNya kan?
Begitu juga saat kita ingin membenahi diri sendiri, kita perlu tahu sudah seberapa dekat sih dengan diri sendiri?
Selaras dengan ucapan mas Adjie Santosoputro pada Inner Child Healing Parade sesi #1, kita bisa berlatih hanya setelah kita punya ilmunya. Jadi kenapa seringkali masalah inner child terus berlarut-larut? Karena kita menganggapnya remeh, dan ogah belajar lebih jauh. Padahal kalau mau belajar, kita bisa kok membangun performa diri lebih optimal.
Untuk teman-teman kongkow yang jiwanya masih diliputi dengan kebencian akan suatu hal atau benci pada seseorang. Saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa benci adalah makna dari yang kita berikan pada sebuah kejadian. Untuk berhenti membenci, maka kita perlu melakukan rekonstruksi makna baru terhadap kejadian tersebut.
Buat yang sedang menemani pasangan, kerabat atau sahabatnya yang sedang berproses pulih dari inner child, cuz highlight pesan pak Brata berikut ini;
Nah, satu kalimat pamungkas yang super dari Coach Brata ini sepertinya bisa menumbuhkan semangat untuk mampu membangun performa diri yang lebih baik:
Membuka sesi kedua, Coach Fena mengajak para peserta untuk membuka video dan memastikan kami untuk fokus dengan materi yang akan disampaikan. Saat itu beliau berkata bahwa sesi ini akan lebih banyak mengajak peserta untuk terlibat dan berdiskusi.
Secara eksplisit sebenarnya Coach Fena ingin mengingatkan kita arti penting dari fokus. Terasa remeh ya? Namun sebenarnya fokus adalah tahap pertama untuk bisa menyelesaikan segala permasalahan hidup.
Bukannya fokus agar kita tidak lagi main tangan, kita justru lebih sering terus-terusan menyalahkan ibu. “Coba kalau ibu dulu nggak suka main tangan, aku juga nggak akan melakukan hal yang sama ke anakku.”
Untuk teman-teman kongkow yang jiwanya masih diliputi dengan kebencian akan suatu hal atau benci pada seseorang. Saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa benci adalah makna dari yang kita berikan pada sebuah kejadian. Untuk berhenti membenci, maka kita perlu melakukan rekonstruksi makna baru terhadap kejadian tersebut.
Buat yang sedang menemani pasangan, kerabat atau sahabatnya yang sedang berproses pulih dari inner child, cuz highlight pesan pak Brata berikut ini;
Cintai orangnya, dampingi dan fasilitasi pikirannya, jaga agar perilakunya tidak menimbulkan gangguan/ membahayakan diri sendiri dan orang di sekitarnya.Pernahkah mendengar kalimat motivasi yang berbunyi, “Kita adalah pikiran kita”. Biasanya kalimat tersebut ditujukan agar orang yang membacanya bisa berpikir secara positif. Namun ada kalanya kalimat itu justru semakin membuat kita terpuruk. “Jadi kalau aku terus-terusan berpikir negatif, artinya aku orang yang buruk ya?”
Nah, satu kalimat pamungkas yang super dari Coach Brata ini sepertinya bisa menumbuhkan semangat untuk mampu membangun performa diri yang lebih baik:
We are not what we think, thinking is only a product of us. We are more than we think.
Cara Coach Fena Wijaya: Cut The Drama, Improve Your Positive Energy!
Setelah bercengkrama dengan pak Brata yang elegan dan berwibawa, sesi kedua tak kalah seru. Kali ini kedatangan Coach Fena Wijaya yang energinya super cheerful. Suasana webinar saat itu berubah jadi ceria.Membuka sesi kedua, Coach Fena mengajak para peserta untuk membuka video dan memastikan kami untuk fokus dengan materi yang akan disampaikan. Saat itu beliau berkata bahwa sesi ini akan lebih banyak mengajak peserta untuk terlibat dan berdiskusi.
Secara eksplisit sebenarnya Coach Fena ingin mengingatkan kita arti penting dari fokus. Terasa remeh ya? Namun sebenarnya fokus adalah tahap pertama untuk bisa menyelesaikan segala permasalahan hidup.
Fokus artinya menghadirkan diri secara penuh dalam kehidupan. Masalahnya seberapa sering sih kita benar-benar fokus pada suatu masalah? Maksud hati ingin menyelesaikan permasalahan Z, tapi fokus kita masih ada di A.Begitulah analogi sederhana tentang inner child ala coach Fena. Kita pengen memperbaiki cara pengasuhan ke anak yang mungkin masih suka main tangan. Lalu kita menarik garis bahwa ternyata hal tersebut dipicu karena waktu kecil ibu kita sering melakukan hal yang sama.
Bukannya fokus agar kita tidak lagi main tangan, kita justru lebih sering terus-terusan menyalahkan ibu. “Coba kalau ibu dulu nggak suka main tangan, aku juga nggak akan melakukan hal yang sama ke anakku.”
Coach Fena masih dengan senyuman indahnya, mengajak para peserta untuk masuk lebih dalam pada materi. Apa yang kita sering dengar saat masih kecil? Label nakal?
Atau pernahkah saat kita sedang asyik bermain, tiba-tiba ayah kita memanggil dan tanpa diberi kesempatan untuk meminta waktu menyelesaikan permainan, kita harus segera menghampiri beliau? Mendadak kita dihentikan kreasinya. Rasanya gimana sih?
Secara sederhana, mungkin ini yang terjadi;
Pertanyaan tersebut mengingatkan diriku pada energi kemarahan yang kumiliki. Aku agaknya bisa menemukan benang merah kenapa sih aku selalu mudah marah. Bahkan pada hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu direspon secara reaktif dan besar-besaran.
Energi kemarahan itu sudah kudapatkan bahkan sejak aku masih janin. Ibu pernah bercerita, saat masih di dalam kandungan, beliau sering melihat debt collector yang menagih tetangga depan rumah dengan cara yang kasar berulangkali. Tanpa sadar energi kemarahan yang dilihat ibu itu bisa jadi masuk ke dalam diriku.
Belum lagi saat aku balita, tak sekali dua kali, aku melihat bapak dan ibu bertengkar. Diakui atau tidak, ada kemarahan ibu atas kondisi yang dihadapinya, tapi tak benar-benar diluapkan. Ibu memendam kemarahan itu karena tak ingin orang-orang di sekitarnya melihat. Namun aku yang selalu berada di dekatnya, bisa menyerap getaran kemarahan tersebut.
Hal itu cukup menjelaskan kenapa aku tumbuh jadi anak yang pemarah di waktu kecil. Kalau zaman now disebutnya tantrum. Bahkan aku sempat dibawa ke orang pinter untuk melakukan terapi anak tantrum. Kata orang pinter itu, “Nanti kalau udah 5 tahun kan hilang sendiri.”
Bener sih, setelah aku sekolah, aku tak lagi tantrum. Hanya saja aku kembali tantrum justru saat sudah punya pacar, lalu menikah dan punya anak. Energi kemarahan itu ternyata belum benar-benar hilang. Akhirnya meledak saat sudah benar-benar penuh, minta dikeluarkan. Sampai saat ini aku masih belajar untuk mengelola energi tersebut agar tersalurkan dengan tepat.
Secara sederhana, mungkin ini yang terjadi;
Awalnya kita sedang ENJOY bermain, tiba-tiba hilang JOY-nya.Seringkali anak dan orang tua tanpa sadar membangun love-hate relationship. Namun sebenarnya seberapa banyak sih limit antara benci dan cinta? Sampai kapan kita akan terus membangun hate dikarenakan JOY yang direnggut tanpa sadar oleh orang tua kita?
Sementara sebenarnya JOY itu bisa kok ditumbuhkan lagi dengan cinta. Tidak perlu cinta dari orang lain. Kita hanya perlu memanggil cinta dari dalam diri sendiri hingga JOY itu hadir kembali.Joy adalah salah satu bentuk getaran atau energi. Jika di masa kecil ada banyak JOY yang muncul, kita akan tumbuh dengan energi positif yang melimpah. Nah, seperti apakah getaran yang paling banyak memenuhi kita di waktu kecil?
Pertanyaan tersebut mengingatkan diriku pada energi kemarahan yang kumiliki. Aku agaknya bisa menemukan benang merah kenapa sih aku selalu mudah marah. Bahkan pada hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu direspon secara reaktif dan besar-besaran.
Energi kemarahan itu sudah kudapatkan bahkan sejak aku masih janin. Ibu pernah bercerita, saat masih di dalam kandungan, beliau sering melihat debt collector yang menagih tetangga depan rumah dengan cara yang kasar berulangkali. Tanpa sadar energi kemarahan yang dilihat ibu itu bisa jadi masuk ke dalam diriku.
Belum lagi saat aku balita, tak sekali dua kali, aku melihat bapak dan ibu bertengkar. Diakui atau tidak, ada kemarahan ibu atas kondisi yang dihadapinya, tapi tak benar-benar diluapkan. Ibu memendam kemarahan itu karena tak ingin orang-orang di sekitarnya melihat. Namun aku yang selalu berada di dekatnya, bisa menyerap getaran kemarahan tersebut.
Hal itu cukup menjelaskan kenapa aku tumbuh jadi anak yang pemarah di waktu kecil. Kalau zaman now disebutnya tantrum. Bahkan aku sempat dibawa ke orang pinter untuk melakukan terapi anak tantrum. Kata orang pinter itu, “Nanti kalau udah 5 tahun kan hilang sendiri.”
Bener sih, setelah aku sekolah, aku tak lagi tantrum. Hanya saja aku kembali tantrum justru saat sudah punya pacar, lalu menikah dan punya anak. Energi kemarahan itu ternyata belum benar-benar hilang. Akhirnya meledak saat sudah benar-benar penuh, minta dikeluarkan. Sampai saat ini aku masih belajar untuk mengelola energi tersebut agar tersalurkan dengan tepat.
Energi yang merasuk lama-lama membangun diri kita, meski secara sadar kita menolak energi itu. Namun di alam bawah sadar kita justru mengikuti energi itu. Hal ini menjawab mengapa anak yang dibesarkan dengan KDRT, seringkali akan melakukan hal yang sama. Selama kita tidak memutus mata rantai tersebut, KDRT akan terus-terusan terjadi.Sama halnya ketika ada seseorang yang ketakutan untuk menjalin hubungan dan menikah, dikarenakan ia sering melihat di sekelilingnya banyak rumah tangga yang KDRT dan bercerai. Coach Fena menjelaskan bahwa sejatinya ketakutan yang terus dibiarkan bertumbuh akan menghadirkan kenyataan yang justru kita takutkan.
Rasa takut yang berulang akan menghasilkan getaran, semakin besar dan besar. Hingga akhirnya semesta menangkap getaran tersebut dan mengirimkan apa yang kita getarkan.Pernahkah kita merasa berdoa A, tapi kok malah yang terjadi B, sesuatu yang tidak kita harapkan. Sesungguhnya Allah akan kasih yang kita minta. Masalahnya seringkali di mulut kita minta A, namun yang kita pikirkan terus-terusan adalah B. Akhirnya pikiran tentang B itu justru membangun energi yang lebih besar. Energi tersebut memanggil hal-hal yang kita pikirkan justru datang ke sekeliling kita.
Lagi-lagi aku jadi ingat salah satu adegan di “You Are My Spring”, saat mas psikiater menebak karakter si mbak karyawan hotel. Bahwasanya si mbaknya selalu takut ditinggalkan, selalu ragu bahwa ada laki-laki yang baik dan benar-benar tulus. Pada akhirnya memang si mbak terus bertemu dengan laki-laki ‘sampah’.
Pemaparan menarik lainnya dari coach Fena yaitu ketika memfasilitasi salah satu peserta yang obesitas. “Semakin kita melabeli makanan yang kita makan akan menjadi sumber yang bikin kita semakin gemuk, maka itulah yang akan kita dapatkan.”
Judgement membentuk tubuh dan pikiran kita. Maka saat kita sering berkata, “Duh kemalaman nih makannya, tambah gemuk deh.” Ya jangan kaget kalau timbangan nganan terus, hehe.
Lalu apa dong yang harus dilakukan?
Benar-benar dua narasumber yang super banget. Aku banyak mendapat insight dari pemaparan materi keduanya. Semoga sih teman-teman kongkow juga bisa menemukan insight tersebut lewat catatan yang kubuat ini.
Pemaparan menarik lainnya dari coach Fena yaitu ketika memfasilitasi salah satu peserta yang obesitas. “Semakin kita melabeli makanan yang kita makan akan menjadi sumber yang bikin kita semakin gemuk, maka itulah yang akan kita dapatkan.”
Judgement membentuk tubuh dan pikiran kita. Maka saat kita sering berkata, “Duh kemalaman nih makannya, tambah gemuk deh.” Ya jangan kaget kalau timbangan nganan terus, hehe.
Lalu apa dong yang harus dilakukan?
We should create JOY and cut the drama!Jika kita memang ingin menurunkan berat badan agar lebih sehat, fokus saja pada tujuan tersebut. Tanpa harus ketakutan makan terlalu malam dan melabeli makanan ini itu bisa bikin gemuk. Semakin kita ketakutan berat badan akan naik, justru begitulah yang akan terjadi.
Ketika pikiran kita bilang sulit, ya kesulitan yang akan kita temui. Namun jika kita meminta pada Allah untuk memudahkan jalan, maka akan dimudahkan.
Cara Mencintai Orang Tua untuk Meningkatkan Performa Diri dalam Pengasuhan Anak
Terkait bagaimana caranya memutus mata rantai parenting style yang kita dapat dari orang tua, coach Fena memberikan tips berikut:- Tidak judging orangtua. Kita terima perilakunya, tapi jangan benci orangnya.
- Ingat-ingat seberapa banyaknya kontribusi mereka terhadap kehidupan kita hingga saat ini. Seburuk-buruknya orang tua, mereka telah berusaha memberikan yang terbaik untuk kita.
- Semakin kita berusaha memahami orangtua, saat itu tanpa sadar kita ‘mengunduh program’ yang mereka miliki secara keseluruhan. Maka tak heran jika parenting style kita sama seperti mereka. Namun jangan sampai kita stuck pada kesalahan yang sama. Jadikan hal itu sebagai pengalaman hidup dan berikan makna yang baru.
- Agar bisa mencintai orang tua lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya, jadikan luka yang ada sebagai warna.
- Ketika kita memunculkan energi “I’m victim”, kita akan jadi lebih sering terjebak drama. Namun saat kita menghilangkan energi itu dari dalam diri, akan muncul kekuatan baru yang tak disangka-sangka.
- Stop self judgement! Kuncinya adalah mengubah mindset.
- Bagaimana kita bisa mencintai anak, kalau kita saja masih belum berhasil mencintai diri sendiri. Saatnya untuk membuat program baru di dalam diri; kita adalah cinta itu sendiri.
Benar-benar dua narasumber yang super banget. Aku banyak mendapat insight dari pemaparan materi keduanya. Semoga sih teman-teman kongkow juga bisa menemukan insight tersebut lewat catatan yang kubuat ini.
Btw, ngobrolin energi aku jadi ingat sebuah peristiwa yang baru saja terjadi pekan lalu. Aku mengirimkan paket buku ke 3 orang customer. Kebetulan yang melayaniku saat itu adalah karyawan baru. Masih belum bisa pakai aplikasinya dengan lancar, dikit-dikit tanya sama seniornya. Beberapa kali typo.
Bayangkan aja, untuk memroses 3 paket tersebut, ia memerlukan waktu sampai satu jam! Bikin aku capek dan lelah jiwa, untungnya saat itu bisa agak nahan emosi. Berusaha memahami karena doi orang baru. Tapi jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, ada feeling yang enak. Duh kalau ada yang salah kirim gimana. Kok nggak meyakinkan gini sih mbaknya.
Pelan-pelan perasaan nggak enak itu menghilang ketika dua customer kirim kabar kalau bukunya sudah sampai. Ada rasa lega yang muncul. Hingga hari Sabtu lalu, aku belum dapat kabar dari customer ketiga, customer paling jauh.
Aku chat ke doi lah untuk menanyakan apakah paketnya sudah diterima. Eh ternyata belum sampai. Barulah aku cek resi yang dikasih, ternyata lembar bukti pengiriman yang dikasih ke aku tidak tercantum no resinya. Nggak tahu deh gimana nyobeknnya, kok bisa-bisanya nomor resinya nggak disertakan.
Panik nggak panik nggak? Ya panik lah. Aku kan jadi nggak bisa memantau dong paketnya sampai mana. Apalagi setelah aku fotoin bukti pengiriman itu, si customer bilang, ooh itu salah nomornya, harusnya 22 bukan 2. Doeng. Makin puyeng deh kepala.
Habis maghrib aku langsung ke ekspedisi tempat aku kirim barang. Aku minta untuk mengecek paketnya sampai mana. Untung yang melayaniku saat itu adalah karyawan lama. Aku dapat nomor resi, sekaligus kabar bahwa paketnya udah diterima. Waduh, padahal customerku bilang doi belum terima paketnya. Makin panik dah aku.
Aku akhirnya cari alamat agen ekspedisi yang dekat dengan tempat tinggal customer. Alhamdulillah ketemu. Besok pagi katanya customer mau coba tanya ke agen tersebut. Doakan aja semoga paket itu bisa sampai ke tangan customer dengan selamat ya, pals.
Waktu coach Fena menjelaskan tentang energi, aku jadi ingat kejadian ini. Bener-bener ya energi kalau udah negatif, efeknya bener-bener toxic banget. Jadi reminder buatku untuk nggak gampang menghadirkan energi negatif, biar hidupku selalu indah dan ceria seperti senyuman coach Fena, hehe.
Well, aku akhiri catatanku tentang bangkit dari luka inner child ini. Semoga bermanfaat buat teman-teman kongkow. Soon aku akan bagikan catatan dari inner child healing parade sesi #3 bersama Pak Adi W Gunawan dan Pak Asep Haerul Gani yang makin nampol! Tungguin yaaa…. Salam sehat mental!
Belakangan ini innerchild menjadi pembahasan yang penting karena memang ini harus diperhatikan. Sejak kecil anak trauma dengan hal kecil yang terjadi, bentakan dan teriakan membuatnya trauma. Wah keren nih acaranya
ReplyDelete