Dari yang kulihat, belajar parenting online kini semakin diminati banyak orang. Bahkan yang dulunya alergi join dengan kegiatan parenting, mulai tertarik untuk ikut kelas-kelas online. Nggak bisa dipungkiri sih, selama masa pandemi covid-19, orangtua dihadapkan dengan tanggungjawab yang semakin besar.
Bukan berarti sebelum pandemi lalu bisa santai-santai juga sih. Hanya saja bisa dibilang pandemi ini menjadi semacam tamparan bagi sebagian besar orangtua yang kemudian tersadar, “Oooh ternyata tanggungjawab sebagai orangtua beneran gini banget yaks.”
Akhirnya yang sebelum pandemi kesadaran terhadap pentingnya parenting belum muncul, setelah pandemi baru terasa pentingnya ilmu tentang pengasuhan anak.
Membangun Keluarga Tangguh Butuh Ilmu
Disadari atau tidak salah satu hikmah dibalik hadirnya corona di tengah-tengah kita adalah menyadarkan arti pentingnya keluarga. Betapa untuk membangun sebuah keluarga yang tangguh tidak bisa asal. Asal ikut pola orangtua zaman dulu, atau asal mengikuti zaman.Selalu ada bedanya orang yang mau belajar dan tidak.Itulah kalimat dari Abah Ihsan yang selalu kupegang. Pengalaman memang bisa mengajarkan kita banyak hal. Namun pengalaman yang didukung dengan ilmu pastinya juga akan memberikan hikmah berbeda.
Nyemplung ke kolam renang tanpa persiapan ilmu berenang dan nyemplung ke kolam renang dengan sebelumnya sudah belajar berenang, pasti berbeda hasilnya kan? Apalagi mengasuh anak dan membangun keluarga.
Berapa banyak sih dari kita yang sebelum menikah sudah mempersiapkan tentang pengasuhan anak dan tentang membangun keluarga? Sepertinya bisa dihitung dengan jari yang menjawab sudah ya?
Pandemi covid-19 mau tak mau membuat kita, khususnya orang-orang yang sudah berkeluarga, harus kembali membuat tatanan ulang di dalam rumah. Work and school from home awalnya mungkin dirasa akan biasa saja, nyatanya tak sedikit yang oleng. Bahkan kasus-kasus orangtua membunuh anak beberapa kali terdengar.
Hantaman di bidang ekonomi, pasangan yang tak bisa diajak kerja sama, membangun ritme belajar anak selama di rumah hanyalah sebagian kecil dari dampak hadirnya corona. Namun dari hal-hal kecil itu ketika dibiarkan menumpuk lama-lama bisa menghadirkan kejenuhan dan stress berkepanjangan. Bersyukurlah buat teman-teman kongkow yang punya support system baik hingga bisa tetap waras selama pandemi.
Sekitar dua bulan lalu aku sempat diajak reuni kecil-kecilan oleh teman-teman liqo dari grup PAUDnya Kak Ifa dulu. Di situ tiga orang temanku bercerita bagaimana pandemi telah menguras emosi habis-habisan. Berikut ini beberapa keluh kesah yang mungkin senada dirasakan oleh teman-teman kongkow sekalian;
Lalu bagaimana denganku? Baik-baikkah diriku selama pandemi?
Alhamdulillah… sama saja kok. Sama aja stressnya kaya emak-emak lain, maksudnya… wkwk. Meski aku cukup beruntung karena punya support system yang cukup bagus, tak bisa dipungkiri pandemi melibasku habis-habisan. Untuk emak yang manajemen waktunya awut-awutan sepertiku, yang selama ini mengerjakan sesuatu menanti wangsit alias mood, pandemi mengajarkanku untuk tidak bisa seperti itu.
Jadwal yang tak terkondisi membuat ritme belajar kakak awut-awutan. Hafalan yang selama ini terjaga di sekolahan terkikis satu per satu. Jika dulu saat kakak belajar di sekolah, aku bisa fokus ke adiknya. Selama pandemi aku harus lebih sering mendengar teriakan demi teriakan karena adik mengusili kakak yang sedang belajar ataupun drama rebutan mainan.
Hantaman di bidang ekonomi, pasangan yang tak bisa diajak kerja sama, membangun ritme belajar anak selama di rumah hanyalah sebagian kecil dari dampak hadirnya corona. Namun dari hal-hal kecil itu ketika dibiarkan menumpuk lama-lama bisa menghadirkan kejenuhan dan stress berkepanjangan. Bersyukurlah buat teman-teman kongkow yang punya support system baik hingga bisa tetap waras selama pandemi.
Sekitar dua bulan lalu aku sempat diajak reuni kecil-kecilan oleh teman-teman liqo dari grup PAUDnya Kak Ifa dulu. Di situ tiga orang temanku bercerita bagaimana pandemi telah menguras emosi habis-habisan. Berikut ini beberapa keluh kesah yang mungkin senada dirasakan oleh teman-teman kongkow sekalian;
Mendampingi anak belajar itu ya Allah, susaaaah. Dijelaskan berkali-kali kok nggak paham-paham. Yang ada aku jadi teriak-teriak. Kalau udah sampai ubun-ubun, kucubit deh anaknya. Habis itu nyesel. Tapi besok terulang lagi.
Yang paling menjengkelkan ketika suami negur, “Sabar to Ma sama anaknya.” Tapi begitu diminta gantian menemani anak belajar. Suami sok sibuk, bilang lagi banyak kerjaan kantor.
Anak dan suami di rumah, aku blas nggak bisa selonjoran. Tiap hari anak dan suami minta dibuatin cemilan ini dan itu. Ya Allah kapan sih pandeminya kelar.
PR dan tugas dari sekolahan buanyaaaak banget. Belum lagi kalau dapat gurunya yang sudah sepuh, nggak paham teknologi. Semua mua mua diserahkan ke orangtua. Stress aku mah.Dan masih banyak lagi celoteh-celoteh bernada keluhan lainnya. Aku hanya tersenyum mendengar isi hati teman-teman. Memang benar adanya perempuan butuh 20ribu kata per hari untuk mengeluarkan apa yang ada di hatinya. Sejatinya perempuan yang masih doyan ngomel dan ngoceh itu berarti masih terjaga femininitasnya, hehehe.
Lalu bagaimana denganku? Baik-baikkah diriku selama pandemi?
Alhamdulillah… sama saja kok. Sama aja stressnya kaya emak-emak lain, maksudnya… wkwk. Meski aku cukup beruntung karena punya support system yang cukup bagus, tak bisa dipungkiri pandemi melibasku habis-habisan. Untuk emak yang manajemen waktunya awut-awutan sepertiku, yang selama ini mengerjakan sesuatu menanti wangsit alias mood, pandemi mengajarkanku untuk tidak bisa seperti itu.
Jadwal yang tak terkondisi membuat ritme belajar kakak awut-awutan. Hafalan yang selama ini terjaga di sekolahan terkikis satu per satu. Jika dulu saat kakak belajar di sekolah, aku bisa fokus ke adiknya. Selama pandemi aku harus lebih sering mendengar teriakan demi teriakan karena adik mengusili kakak yang sedang belajar ataupun drama rebutan mainan.
Dini hari yang sunyi biasanya jadi me time untuk menulis. Sejak pandemi aku seringnya kebablasan tidur karena siangnya sudah kecapekan meladeni energi anak-anak yang tiada habisnya. Mau santai? Bisa sih… kasih aja YouTube aja setelah kakak selesai belajar. Setelah itu aku bisa bebas ngapain saja.
Namun nyatanya hal itu melahirkan masalah baru. Gadget addicted. Ketika aku bilang ‘time is up’, maka adik akan tantrum karena kesenangannya dicabut. Sayangnya konsistensi masih terus menjadi PR untukku. Dan benar adanya sejatinya musuh terbesar adalah kemalasan diri sendiri.
Malas mendengar teriakan anak, malas mendengar bantahan anak, malas mendengar pertengkaran anak, malas rumah berantakan yang pada akhirnya berujung pada…. woles daah.
Syukurnya saat aku mulai keluar dari jalur, selalu saja ada ‘peluit yang berbunyi.’ Peluit itu bernama ilmu parenting. Kok bisa?
Di grup-grup whatsapp komunitas parenting, kami bisa saling curhat kendala-kendala yang dihadapi selama masa pandemi. Utamanya hal-hal terkait pendidikan dan pengasuhan anak. Di beberapa komunitas juga ada penggalangan dana untuk membantu teman-teman yang terkena dampak covid-19.
Namun nyatanya hal itu melahirkan masalah baru. Gadget addicted. Ketika aku bilang ‘time is up’, maka adik akan tantrum karena kesenangannya dicabut. Sayangnya konsistensi masih terus menjadi PR untukku. Dan benar adanya sejatinya musuh terbesar adalah kemalasan diri sendiri.
Malas mendengar teriakan anak, malas mendengar bantahan anak, malas mendengar pertengkaran anak, malas rumah berantakan yang pada akhirnya berujung pada…. woles daah.
Syukurnya saat aku mulai keluar dari jalur, selalu saja ada ‘peluit yang berbunyi.’ Peluit itu bernama ilmu parenting. Kok bisa?
1. Join Komunitas Parenting
Jauh sebelum pandemi, aku memang sudah bergabung dengan beberapa komunitas parenting. Selain suami dan sekolah kakak, komunitas-komunitas ini menjadi salah satu support system terbaikku. Berjamaah itu memang lebih menguatkan daripada berjalan sendirian, begitu juga dalam proses mengasuh anak.Di grup-grup whatsapp komunitas parenting, kami bisa saling curhat kendala-kendala yang dihadapi selama masa pandemi. Utamanya hal-hal terkait pendidikan dan pengasuhan anak. Di beberapa komunitas juga ada penggalangan dana untuk membantu teman-teman yang terkena dampak covid-19.
Curhat online ini menjadi salah satu cara untuk tetap waras selama pandemi. Saling menguatkan dan berbagi tips menghadapi segala macam problema terasa sangat melegakan. Apalagi di beberapa komunitas memang langsung didampingi oleh ahlinya, jadi ilmunya lebih pas, tidak hanya berdasarkan katanya.
Beberapa event parenting offline yang sedianya digelar pada 2020 memang mau tak mau harus ditunda. Bersyukur kemajuan teknologi memudahkan kita untuk bergabung pada event-event parenting online. Bahkan hampir sebagian besar event-event tersebut gratis.
Yang tadinya ogah-ogahan ikut kelas-kelas parenting karena bayarnya mahal, harus datang ke lokasi dan meninggalkan anak. Kini nggak bisa lagi menggunakan alasan tersebut. Belajar parenting online selama pandemi bisa didapat lewat banyak jalur:
Beberapa event parenting offline yang sedianya digelar pada 2020 memang mau tak mau harus ditunda. Bersyukur kemajuan teknologi memudahkan kita untuk bergabung pada event-event parenting online. Bahkan hampir sebagian besar event-event tersebut gratis.
Yang tadinya ogah-ogahan ikut kelas-kelas parenting karena bayarnya mahal, harus datang ke lokasi dan meninggalkan anak. Kini nggak bisa lagi menggunakan alasan tersebut. Belajar parenting online selama pandemi bisa didapat lewat banyak jalur:
- Kuliah Whatsapp: hampir setiap hari selalu ada kulwap dengan beragam tema. Kita tinggal pilih saja mana tema yang kita butuhkan. Aku sendiri merasa selama pandemi malah jadi banjir informasi kulwap parenting. Pada akhirnya aku harus menerapkan ajian pilih-pilih. Ya, aku nggak mau ikut sana-sini, yang justru berujung hanya masuk banyak grup, tapi ilmunya nggak benar-benar kuaplikasikan.
- Webinar: belajar parenting lewat web seminar kini menjadi opsi lain. Cocok untuk orang-orang bertipe visual dan malas membaca banyak tumpukan chat. Berdurasi 1-2 jam kita bisa mendengar paparan langsung dari ahlinya. Berasa seperti hadir langsung ke kelas offline. Webinar nggak hanya bisa diakses lewat Zoom atau Gmeet, banyak juga yang ditayangkan live lewat Youtube Channel.
- Instagram Live: beberapa komunitas parenting juga mulai menggagas talkshow-talkshow lewat IG live. Metode ini juga cukup seru diikuti. BIsa disambi masak dan mencuci piring, tapi tetap dapat ilmu yang bermanfaat.
- Podcast: Buat yang biasanya suka dengerin radio, belajar parenting lewat podcast juga menarik lho. Sama halnya dengan IG live, kita bisa mendengarkan materi-materi ndaging sambil nggoreng ikan atau menyapu rumah. Cocok buat yang gaya belajarnya audio.
2. Bedah Buku Parenting Online
Selain mengikuti kelas-kelas parenting online yang diadakan oleh beberapa komunitas, aku juga menambah asupan gizi pengasuhan anak dengan cara membaca buku. Ada beberapa buku parenting lama yang kubaca ulang, biar saat alarm los dol-ku berbunyi, aku bisa kembali ke jalur yang benar. Namun ada juga beberapa buku baru yang kubeli untuk menambah sudut pandangku terkait mengasuh anak. Sentuhan Parenting karya Ustaz Budi Ashari, Don’t Be Angry Mom besutan dr. Nurul Afifah dan Mendidik Anak Tanpa Bentakan dari Ayah Edy adalah beberapa judul buku parenting yang kubeli di masa pandemi.Jujur belum selesai kubaca semua sih, wkwkw. Tapi baca satu dua bab sudah bisa jadi penguat saat otak mulai oleng.
Selain membeli buku sendiri, aku juga terbantu dengan beberapa kali sesi bedah buku parenting secara online yang digelar di beberapa komunitas parenting. Aku jadi tahu isi bukunya tanpa harus membelinya terlebih dahulu. Kalau dirasa cocok dan ada budget, baru deh dibeli.
3. Belajar Parenting Online Lewat Drama Korea
Sebagai emak yang nggak cuma suka membaca, tapi juga demen nonton, belajar parenting pun tetap bisa kulakukan meski kelihatannya lagi rebahan. Jadi benar kalau ada yang bilang, “pilih tontonan yang juga menyuguhkan tuntunan.”Masalahnya kadang orang berpikir tontonan yang juga memberikan tuntunan harus berupa kajian dan semacamnya. Padahal lewat film dan drama, ada banyak nilai-nilai yang bisa diambil lo. Meski memang bisa jadi antara satu orang dan orang lainnya berbeda dalam proses mendapatkannya.
Dibandingkan sebelum pandemi, intensitasku menonton drama Korea semakin meningkat. Jika dulu masih pilih-pilih drama yang kutonton, selama pandemi hampir semua on going aku tonton, wkwk. Atau pas saja tema-tema drakor yang tayang memang menarik ya?
Berikut ini beberapa judul drakor yang kutonton sepanjang pandemi dan memiliki nilai parenting di dalamnya:
Lee Jun Ki yang berperan sebagai Do Hyun Su dibesarkan oleh ayahnya yang ternyata seorang pembunuh berantai. Hyun Su memiliki gangguan emosi sejak kecil. Ia tak bisa bersosialisasi dengan mudah. Bahkan harus mendapatkan terapi untuk mengatasi hal tersebut.
Ketika sang ayah akhirnya diketahui sebagai pembunuh bayaran, Hyun Su dianggap memiliki genetik yang sama dengan ayahnya. Para tetangga menyeretnya dan melakukan ‘rukyah’ untuk mengeluarkan jiwa jahat dari dalam diri Hyun Su. Saking seringnya dibully dan dilakukan ritual semacam itu, Hyun Su sempat berpikir bahwa ia benar-benar punya jiwa pembunuh. Untungnya ada sang kakak yang selalu melindunginya.
Hingga suatu hari kepala desa di tempat Hyun Su tinggal ditemukan tewas mengenaskan. Para tetangga berasumsi bahwa pembunuh si kepala desa adalah Hyun Su. Apalagi setelah kejadian tersebut, Hyun Su dan kakaknya menghilang. Hyun Su pun menjadi buronan. Namun ia tak pernah tertangkap.
Singkat cerita, Hyun Su kemudian lebih dikenal sebagai Baek Hee Song, pengrajin logam yang beristrikan seorang detektif. Mereka hidup dengan bahagia bersama putri kecilnya. Sosok Hee Song begitu lembut dan penyayang. Siapa yang sangka setiap pagi Hee Song selalu melatih senyum dan ekspresi agar bisa berinteraksi sesuai yang diharapkan oleh istri dan anak-anaknya.
Hee Song menyembunyikan identitas aslinya yang sebenarnya adalah Hyun Su dengan masalah gangguan emosi. Ia selalu melihat video-video tentang berlatih ekspresi. Ia belajar memahami keinginan dan kebutuhan istrinya. So far, hidupnya berjalan bahagia meski perlahan jati dirinya harus terkikis.
Berikut ini beberapa judul drakor yang kutonton sepanjang pandemi dan memiliki nilai parenting di dalamnya:
A. Flower of Evil
Diperankan oleh Lee Jun Ki dan Moon Chae Wong, film ini mengambil genre thriller. Meski banyak plot hole ditemukan pada drama yang tayang pada 29 Juli 2020 - 23 September 2020, drama bertemakan sisi gelap manusia ini membawa benang merah menarik terkait pengasuhan anak.Lee Jun Ki yang berperan sebagai Do Hyun Su dibesarkan oleh ayahnya yang ternyata seorang pembunuh berantai. Hyun Su memiliki gangguan emosi sejak kecil. Ia tak bisa bersosialisasi dengan mudah. Bahkan harus mendapatkan terapi untuk mengatasi hal tersebut.
Ketika sang ayah akhirnya diketahui sebagai pembunuh bayaran, Hyun Su dianggap memiliki genetik yang sama dengan ayahnya. Para tetangga menyeretnya dan melakukan ‘rukyah’ untuk mengeluarkan jiwa jahat dari dalam diri Hyun Su. Saking seringnya dibully dan dilakukan ritual semacam itu, Hyun Su sempat berpikir bahwa ia benar-benar punya jiwa pembunuh. Untungnya ada sang kakak yang selalu melindunginya.
Hingga suatu hari kepala desa di tempat Hyun Su tinggal ditemukan tewas mengenaskan. Para tetangga berasumsi bahwa pembunuh si kepala desa adalah Hyun Su. Apalagi setelah kejadian tersebut, Hyun Su dan kakaknya menghilang. Hyun Su pun menjadi buronan. Namun ia tak pernah tertangkap.
Singkat cerita, Hyun Su kemudian lebih dikenal sebagai Baek Hee Song, pengrajin logam yang beristrikan seorang detektif. Mereka hidup dengan bahagia bersama putri kecilnya. Sosok Hee Song begitu lembut dan penyayang. Siapa yang sangka setiap pagi Hee Song selalu melatih senyum dan ekspresi agar bisa berinteraksi sesuai yang diharapkan oleh istri dan anak-anaknya.
Hee Song menyembunyikan identitas aslinya yang sebenarnya adalah Hyun Su dengan masalah gangguan emosi. Ia selalu melihat video-video tentang berlatih ekspresi. Ia belajar memahami keinginan dan kebutuhan istrinya. So far, hidupnya berjalan bahagia meski perlahan jati dirinya harus terkikis.
Semua berubah ketika sebuah kasus pembunuhan terungkap. Istri Hee Song menjadi salah satu detektif yang bertanggungjawab atas kasus tersebut. Kasus itu menjadi awal terbukanya kedok Hee Song yang sebenarnya Hyun Su. Kebohongan demi kebohongan Hyun Su satu per satu terbuka. Ia kembali menjadi buronan.
Namun siapa sangka, ternyata bukan Hyun Su yang harusnya dikejar. Hyun Su memang punya gangguan emosi, tetapi kaki tangan ayah Hyun Su yang sebenarnya adalah Hee Song yang asli.
Ya, selama berpuluh-puluh tahun, Hyun Su memakai identitas Hee Song atas sepengetahuan orangtua Hee Song karena ada deal-deal tertentu. Dealnya apa saja? Tonton sendiri lah. Nggak seru kalau diceritakan semua dong, hehe.
Hee Song yang asli selama ini koma karena sebuah kecelakaan pada akhirnya sadar kembali. Begitu ia sadar, jiwa pembunuhnya pun ikutan menyala. Yang mengerikan adalah kedua orangtua Hee Song melindungi anaknya dengan cara salah. Bukannya menyerahkan anaknya pada pihak berwajib, malah menutupi segala tindak kejahatan yang dilakukan sang anak.
Sisi psikopat dalam diri Hee Song semakin membesar karena orangtuanya selalu menuruti keinginannya. Sang bapak yang seorang direktur sebuah rumah sakit besar juga tak mau namanya tercoreng jika ketahuan anaknya adalah seorang pembunuh berantai. Pada akhirnya sang ibu dan bapak harus hidup dalam penyesalan seumur hidup karena ulah mereka sendiri.
Pasti teman-teman kongkow bingung ya, apa hubungannya kisah thriller seorang psikopat dengan nilai parenting? Wkwkwk.
Dari Flower of Evil aku belajar bahwa ‘anak adalah cetakan orangtuanya.’ Film ini menyampaikan pesan bahwa setiap manusia itu punya sisi jahat. Hanya saja sisi jahat itu bisa ditekan kalau kita masih punya nurani dan kecerdasan emosi yang baik.
Sayangnya banyak anak tumbuh dengan kecerdasan emosi yang buruk karena pola pengasuhan yang tidak tepat. Setiap keinginan anak dituruti, orangtua keras tapi tak tegas, harga diri orangtua yang terlalu besar hingga melakukan segala cara untuk menutupi kesalahan anak adalah hal-hal yang bisa membahayakan jiwa anak.
Coba deh nonton, siapa tahu teman kongkow bisa mendapat insight berbeda dariku.
Buat yang nggak suka drama berepisode panjang, Birthcare Centre cocok dinikmati karena hadir dalam 8 episode saja. Bercerita entang Oh Hyun Jin, seorang wanita karier sukses yang baru saja melahirkan anaknya di usia yang tak lagi muda.
Namun siapa sangka, ternyata bukan Hyun Su yang harusnya dikejar. Hyun Su memang punya gangguan emosi, tetapi kaki tangan ayah Hyun Su yang sebenarnya adalah Hee Song yang asli.
Ya, selama berpuluh-puluh tahun, Hyun Su memakai identitas Hee Song atas sepengetahuan orangtua Hee Song karena ada deal-deal tertentu. Dealnya apa saja? Tonton sendiri lah. Nggak seru kalau diceritakan semua dong, hehe.
Hee Song yang asli selama ini koma karena sebuah kecelakaan pada akhirnya sadar kembali. Begitu ia sadar, jiwa pembunuhnya pun ikutan menyala. Yang mengerikan adalah kedua orangtua Hee Song melindungi anaknya dengan cara salah. Bukannya menyerahkan anaknya pada pihak berwajib, malah menutupi segala tindak kejahatan yang dilakukan sang anak.
Sisi psikopat dalam diri Hee Song semakin membesar karena orangtuanya selalu menuruti keinginannya. Sang bapak yang seorang direktur sebuah rumah sakit besar juga tak mau namanya tercoreng jika ketahuan anaknya adalah seorang pembunuh berantai. Pada akhirnya sang ibu dan bapak harus hidup dalam penyesalan seumur hidup karena ulah mereka sendiri.
Pasti teman-teman kongkow bingung ya, apa hubungannya kisah thriller seorang psikopat dengan nilai parenting? Wkwkwk.
Dari Flower of Evil aku belajar bahwa ‘anak adalah cetakan orangtuanya.’ Film ini menyampaikan pesan bahwa setiap manusia itu punya sisi jahat. Hanya saja sisi jahat itu bisa ditekan kalau kita masih punya nurani dan kecerdasan emosi yang baik.
Sayangnya banyak anak tumbuh dengan kecerdasan emosi yang buruk karena pola pengasuhan yang tidak tepat. Setiap keinginan anak dituruti, orangtua keras tapi tak tegas, harga diri orangtua yang terlalu besar hingga melakukan segala cara untuk menutupi kesalahan anak adalah hal-hal yang bisa membahayakan jiwa anak.
Rasa sayang berlebihan yang tak pada tempatnya justru seringkali merusak jiwa-jiwa anak. Bukannya mengisi asupan kasih dalam dirinya, anak justru tumbuh jadi bengis dan kejam.Selain pengasuhan orangtua, lingkungan yang penuh dengan perisakan juga bisa menghancurkan jiwa anak. Hyun Su yang aslinya bukan pembunuh karena dibully terus-terusan oleh tetangganya lama-lama jadi merasa ketakutan kalau ia benar-benar menjadi pembunuh seperti bapaknya. Ia juga jadi takut menggunakan nama aslinya dan mengungkap jati dirinya.
Coba deh nonton, siapa tahu teman kongkow bisa mendapat insight berbeda dariku.
B. Birthcare Centre
Drama korea ini mengangkat tema yang cukup berat. Terkait dengan kondisi pasca melahirkan yang dihadapi oleh para ibu. Tapi tenang, drama ini disajikan dengan kelucuan-kelucuan yang bakal bikin ngakak. Tema yang berat disajikan dengan sangat menarik. Hingga akhirnya pesannya pun sampai dengan lebih jleb.Buat yang nggak suka drama berepisode panjang, Birthcare Centre cocok dinikmati karena hadir dalam 8 episode saja. Bercerita entang Oh Hyun Jin, seorang wanita karier sukses yang baru saja melahirkan anaknya di usia yang tak lagi muda.
Hyun Jin yang selalu sibuk dengan pekerjaannya tak pernah tahu kalau menjadi ibu ternyata lebih puyeng dari menghadapi klien. Selama ini ia pikir punya anak tak lebih susah dari pekerjaannya. Namun ternyata…. uwow.
Proses melahirkan yang tak mudah, balada puting lecet saat menyusui, jumlah ASI yang tak sesuai harapan, memahami tangisan bayi dengan beragam makna, sampai menghadapi mom war yang tiada habisnya.
Drama ini benar-benar relate dengan kehidupan para ibu. Aku pun jadi tahu ternyata baik di Korea dan di Indonesia, mom war does exist!
Buat yang butuh hiburan, cuzz lah nonton drama ini, kita akan tersenyum kecil, tertawa terbahak lalu diam-diam meneteskan air mata. Komplit lah ceritanya.
Kita akan dibawa pada cerita para ibu dengan segala problematikanya. Ada sosok ibu yang merasa gagal karena kurang informasi tentang pengasuhan tapi punya suami yang selalu support dirinya, ada sosok ibu yang nampak sempurna tapi ternyata kesepian karena suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, ada sosok ibu yang depresi karena kehilangan anak setelah berkali-kali program hamil, ada sosok ibu muda yang selalu ceria dan terlihat bebas.
Cerita-cerita dalam Birthcare Centre sungguh mewakili hati para perempuan. Pada ujungnya kita akan dibawa mengangguk-mengangguk bahwasanya every moms have their own battle. Kita nggak bisa memaksakan sepatu yang kita pakai pada orang lain. Kita nggak bisa bilang pilihan kita adalah yang terbaik.
Semua alumni Birthcare Centre akhirnya saling bersahabat dan menghargai pilihannya masing-masing. Mereka saling curcol dan berbagi informasi terkait pengasuhan anak. Begitulah seharusnya para ibu kan? Bukan saling menghakimi tapi saling mendukung satu sama lain.
Pengorbanan seorang ayah seringkali tak terlihat oleh keluarganya. Ibu seringkali dianggap lebih banyak berkorban dan lebih banyak jasanya. Ayah lebih sering terlihat sibuk bekerja, dan ketika di rumah tak banyak membantu pekerjaan rumah tangga, dan ujung-ujungnya nggak kalah bawel pula dari sang ibu.
Itulah beberapa poin yang bisa kuambil dari 18 Again. Coba deh nonton, siap-siap tisu yang banyak yaks!
Proses melahirkan yang tak mudah, balada puting lecet saat menyusui, jumlah ASI yang tak sesuai harapan, memahami tangisan bayi dengan beragam makna, sampai menghadapi mom war yang tiada habisnya.
Drama ini benar-benar relate dengan kehidupan para ibu. Aku pun jadi tahu ternyata baik di Korea dan di Indonesia, mom war does exist!
Buat yang butuh hiburan, cuzz lah nonton drama ini, kita akan tersenyum kecil, tertawa terbahak lalu diam-diam meneteskan air mata. Komplit lah ceritanya.
Kita akan dibawa pada cerita para ibu dengan segala problematikanya. Ada sosok ibu yang merasa gagal karena kurang informasi tentang pengasuhan tapi punya suami yang selalu support dirinya, ada sosok ibu yang nampak sempurna tapi ternyata kesepian karena suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, ada sosok ibu yang depresi karena kehilangan anak setelah berkali-kali program hamil, ada sosok ibu muda yang selalu ceria dan terlihat bebas.
Cerita-cerita dalam Birthcare Centre sungguh mewakili hati para perempuan. Pada ujungnya kita akan dibawa mengangguk-mengangguk bahwasanya every moms have their own battle. Kita nggak bisa memaksakan sepatu yang kita pakai pada orang lain. Kita nggak bisa bilang pilihan kita adalah yang terbaik.
Semua alumni Birthcare Centre akhirnya saling bersahabat dan menghargai pilihannya masing-masing. Mereka saling curcol dan berbagi informasi terkait pengasuhan anak. Begitulah seharusnya para ibu kan? Bukan saling menghakimi tapi saling mendukung satu sama lain.
Kita semua tampak seperti ibu yang berbeda, tapi kita semua sama mencintai bayi-bayi kita. - Oh Hyun Jin.
C. 18 Again
Drama korea yang semua soundtracknya bikin meleleh ini tayang pada 21 September - 10 November 2020. Bergenre romance comedy, 18 Again merupakan adaptasi dari film Hollywood berjudul mirip; 17 Again.
Pengorbanan seorang ayah seringkali tak terlihat oleh keluarganya. Ibu seringkali dianggap lebih banyak berkorban dan lebih banyak jasanya. Ayah lebih sering terlihat sibuk bekerja, dan ketika di rumah tak banyak membantu pekerjaan rumah tangga, dan ujung-ujungnya nggak kalah bawel pula dari sang ibu.
Hal-hal kecil yang dilakukan para ayah seringkali terlupakan oleh istri dan anak-anaknya. Namun ketika ayah tak hadir di dekat mereka, barulah tersadar hal-hal kecil tersebut justru bikin kangen. Hal-hal tersebut ternyata begitu berharga.Sang ayah sendiri pun kemudian juga tersadar bahwa mencintai keluarga itu harus diungkapkan dengan aksi yang tepat. Kalau aksinya nggak tepat gimana istri dan anaknya tahu. Selain aksi yang tepat, komunikasi efektif juga diperlukan dalam membangun keluarga. Bagaimana pasangan dan anak-anak kita tahu kalau kita tak menyampaikan dengan benar, yang ada akhirnya hanyalah kesalahpahaman.
Itulah beberapa poin yang bisa kuambil dari 18 Again. Coba deh nonton, siap-siap tisu yang banyak yaks!
D. StartUp
Bukannya ini drama korea tentang membangun bisnis? Emang ada hubungannya sama parenting? Hohoho, kalau kita jeli… ada banget!Salah satu nilai parenting yang bisa diambil dari drama ini adalah tentang memberikan panggilan yang baik kepada anak alias labeling. Tanpa sadar seringkali kita memberikan julukan anak dengan asal, lupa kalau ucapan adalah doa. Lupa kalau julukan yang kita berikan bisa jadi menyakiti hati anak dan membangun konsep diri yang salah pada dirinya. Lupa kalau kata-kata itu akan terekam dan bisa memberikan efek jangka panjang.
Dulu saat ibu masih ada, setiap kali aku kelepasan bilang ‘nakal’ ke kakak. Ibu selalu menegurku, “Kalau 30x kamu bilang nakal terus ke anakmu, nanti lama-lama nakal beneran lo.”
Lalu apa hubungannya sama StartUp? Ingat nggak apa julukan nenek Dal Mi pada Ji Pyeong? Yup, anak baik!
Ji Pyeong sampai jengkel karena selalu disebut dengan panggilan anak baik oleh nenek Dal Mi. Meski jengkel, ucapan yang terus-menerus masuk ke telinganya itu perlahan menjadi doa. Ji Pyeong beneran jadi sosok laki-laki yang super baik. Saking baiknya, kita yang nonton dibikin gemes sambil bilang, “Hmm, dasar anak baik.”
Baru tayang 6 episode tapi ada satu nilai parenting yang kuhighlight dari drakor ini:
Dulu saat ibu masih ada, setiap kali aku kelepasan bilang ‘nakal’ ke kakak. Ibu selalu menegurku, “Kalau 30x kamu bilang nakal terus ke anakmu, nanti lama-lama nakal beneran lo.”
Lalu apa hubungannya sama StartUp? Ingat nggak apa julukan nenek Dal Mi pada Ji Pyeong? Yup, anak baik!
Ji Pyeong sampai jengkel karena selalu disebut dengan panggilan anak baik oleh nenek Dal Mi. Meski jengkel, ucapan yang terus-menerus masuk ke telinganya itu perlahan menjadi doa. Ji Pyeong beneran jadi sosok laki-laki yang super baik. Saking baiknya, kita yang nonton dibikin gemes sambil bilang, “Hmm, dasar anak baik.”
Selain belajar tentang labeling pada anak, StartUp juga menampilkan tentang the power of father. Sentuhan ayah pada anak-anaknya selalu memberikan efek penguatan. Ibu adalah kasih, dan ayah adalah sumber kekuatan.Bisa dilihat bagaimana Dal Mi yang tumbuh menjadi sosok tangguh karena kenangan-kenangan manisnya bersama sang ayah. In Jae yang memilih hidup bersama ibunya juga sebenarnya sangat mengagumi sang ayah. Lalu ada ayah Do San yang seringkali geleng-geleng dengan kelakuan anaknya, tapi ujung-ujungnya selalu memberikan support terbaik untuk sang anak.
E. True Beauty
Kalau yang ini masih on going, siapa yang ngikutin juga? Tossss. Tim Soo Ho atau tim Seo Joon nih? Aku tim mana aja deh kalau buat drakor ini, habis gemesin dua-duanya, wkwk.Baru tayang 6 episode tapi ada satu nilai parenting yang kuhighlight dari drakor ini:
Orangtua yang kerap kali gagal menjadi telinga bagi anaknya. Sibuk mengkritisi kelakuan anak yang nilainya hancur, tanpa bertanya apa yang terjadi di sekolah dan bagaimana perasaannya. Di drama ini kita bisa lihat selalu ada gap antara orangtua dan anak. Betapa selalu ada jurang komunikasi yang lebar. Padahal kalau bukan sama orangtua sendiri, mau ke mana lagi si anak curhat? Iya kalau temannya bisa kasih pengaruh yang baik, kalau nggak?Hal ini terlihat dari karakter Im Ju-Gyeong yang tak pernah bercerita pada ibunya bahwa di sekolah ia mengalami perisakan sampai kepercayaan dirinya habis. Di rumah ibunya hanya selalu sibuk mengomentari nilai anaknya yang jelek dan tahunya hanya bisa berdandan. Padahal Ju-Gyeong belajar dandan agar tidak dibully terus-terusan.
Selain pada karakter Ju-Gyeong, jurang komunikasi antara orangtua dan anak juga terlihat pada Soo Ho. Ia memilih tinggal terpisah dari ayahnya yang merupakan aktor ternama, bahkan tak ingin orang tahu kalau ia anak dari sang aktor. Semua itu karena Soo Ho melihat perselingkuhan ayahnya saat sang ibu jatuh sakit.
Selain masalah komunikasi orangtua dan anak, dari drama ini aku juga belajar tentang pentingnya membekali anak tentang berani berkata tidak pada bullying. Efek bullying itu sungguh menyeramkan, bahkan banyak yang berujung pada kematian. Nggak mau dong anak-anak kita jadi pelaku ataupun korbannya.
Apakah akan ada nilai-nilai parenting lainnya dari True Beauty? Bisa jadi. Kuy nonton bareng mumpung masih tersisa 10 episode lagi.
Senang rasanya ketika sembari rebahan, aku juga bisa mendapat ‘sentilan’ terkait pengasuhan anak. Apalagi ‘sentilan’ itu disampaikan dengan cara yang manis oleh aktor-aktor favorit. Tak terasa sedang diceramahi, tapi nancep jleb.
Meskipun belajar parenting online bisa mengasyikkan, jujur aku tetap rindu hadir pada event-event parenting offline. Aku berharap pandemi segera usai dan event parenting offline yang sedianya bisa kuhadiri segera digelar di tahun ini. Aaamiin.
Nah, itulah 3 caraku belajar parenting online selama pandemi. Kalau teman-teman kongkow, gimana nih? Ada yang sama denganku atau punya cara asyik lainnya, pals?
Selain masalah komunikasi orangtua dan anak, dari drama ini aku juga belajar tentang pentingnya membekali anak tentang berani berkata tidak pada bullying. Efek bullying itu sungguh menyeramkan, bahkan banyak yang berujung pada kematian. Nggak mau dong anak-anak kita jadi pelaku ataupun korbannya.
Apakah akan ada nilai-nilai parenting lainnya dari True Beauty? Bisa jadi. Kuy nonton bareng mumpung masih tersisa 10 episode lagi.
Senang rasanya ketika sembari rebahan, aku juga bisa mendapat ‘sentilan’ terkait pengasuhan anak. Apalagi ‘sentilan’ itu disampaikan dengan cara yang manis oleh aktor-aktor favorit. Tak terasa sedang diceramahi, tapi nancep jleb.
Meskipun belajar parenting online bisa mengasyikkan, jujur aku tetap rindu hadir pada event-event parenting offline. Aku berharap pandemi segera usai dan event parenting offline yang sedianya bisa kuhadiri segera digelar di tahun ini. Aaamiin.
Nah, itulah 3 caraku belajar parenting online selama pandemi. Kalau teman-teman kongkow, gimana nih? Ada yang sama denganku atau punya cara asyik lainnya, pals?
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com