Mulai tersiksa dengan diberlakukannya social distancing? Hmm, meski aku termasuk orang yang terbiasa di rumah, social distancing pun terkadang bisa menjemukan. Khususnya karena kesempatan untuk jalan-jalan bareng keluarga menjadi sangat terbatas. Anak-anak pun sudah mulai mengeluh bosan di rumah dan kangen jalan-jalan. Namun kita harus bersabar, karena semua ini hanya sementara.
Jadi daripada terus mengeluh kebosanan, mending mengenang masa-masa sebelum negara api eh corona datang menyerang, hehe. Setelah kubuka-buka google photos, ternyata ada banyak catatan perjalanan yang belum kuceritakan di blog. Maklum bukan travel blogger, jadi kadang bingung kalau harus nulis tentang traveling, hehe.
Berpetualang Dadakan ke Air Terjun Semirang
Pada hari Minggu, 24 November 2019… hmm, sudah cukup lama ya. Sekitar 5 bulan yang lalu. Suamiku yang typical traveler dadakan, tanpa ada hujan dan angin, setelah dari pagi nggak ada rencana apapun, tiba-tiba ngajak cabut dari rumah. Doi mengajak aku dan anak-anak untuk jalan-jalan ke air terjun Semirang. Anak-anak sih iya iya aja, aku yang belum apa-apa udah ngos-ngosan dulu bayangin jauhnya perjalanan yang bakal kami lalui.
Namun suamiku meyakinkan nggak sejauh kalau naik gunung kok. Baiklah, bismillah… ayok deh berangkat. Nggak lupa siapin ganti baju dan bekal selama di perjalanan. Btw, suami memang sudah lama ingin mengajak kami berpetualang ke Semirang, namun belum dapat momen yang pas. Entahlah keluarga kami ini memang cocoknya dijuluki petualang dadakan kali ya. Setiap kali buat rencana wisata malah gagal, tapi begitu tanpa rencana malah tereksekusi dengan baik.
Sampai di lokasi sudah hampir jam 2 siang seingatku. Kami memarkir motor di kantong-kantong parkir yang telah disediakan. Lalu perjalanan pun dimulai. Affan yang tertidur selama di motor dari rumah ke lokasi, akhirnya terbangun. Awalnya doi nggak mau dong digendong. Bener-bener ikutan jalan. Kakaknya pun luar biasa semangatnya.
Menurut informasi yang kudapat sih, perjalanan dari gerbang menuju ke curug/ air terjunnya kurang lebih sepanjang 1 km. Namun entahlah, aku merasa itu juauh buanget. Atau karena trayeknya naik terus ya… jadi terasa sangat lama. 300an meter sebelum menuju air terjun, jalanan semakin curam. Kami harus semakin berhati-hati. Affan akhirnya mau digendong. Tentu saja ayahnya yang nggendong, aku bawa diri saja sudah ngos-ngosan, wkwk.
Sebenarnya aku dan suami sudah hampir menyerah, meski sebenarnya sayang masa sudah berlelah-lelah nggak sampai lihat air terjunnya. Tapi apa mau dikata, beneran cuapek bangeeet. Maklum udah lama nggak olahraga, langsung trekking sejauh itu. Wadidaw…
Saat kami mengajak turun di tengah perjalanan, kak Ifa langsung manyun. Pokoknya mau lihat air terjunnya. Begitulah anak pertamaku, kalau sudah diberi sebuah tujuan ya harus sampai ke tujuan itu, nggak boleh belok-belok. Kalau sampai batal, moodnya bakal buyar dan untuk mengembalikannya butuh ribuan purnama, wkwk.. lebay.
Akhirnya kami memutuskan meneruskan perjalanan. Di jalan, kami banyak bertemu dengan petualang-petualang lain, sebagian besar anak-anak muda. Ada pula satu keluarga, juga dari Semarang. Mereka takjub melihat semangat Ifa dan Affan sepanjang perjalanan. Hal itu semakin memompa semangat Ifa dan Affan menuju ujung perjalanan. Dan akhirnya dengan sisa-sisa nafas yang kami punya… alhamdulillah sampai juga ke lokasi air terjun.
Masya Allah… indahnya… terbayar sudah semua perjuangan berlelah-lelah kurang lebih berjalan 1.5 jam dari gerbang menuju ke atas. Kaki yang tadi sudah lemas akhirnya punya kekuatan lagi. Melihat air yang turun dari atas bukit, Affan terbelalak. Ifa dan Affan asyik main air. Jernih, dingin dan begitu segar. Hampir saja mereka tak mau diajak turun. Namun berhubung sudah hampir jam 4, mau tak mau kami harus turun. Takutnya gelap di jalan kalau kesorean.
Sebelum turun, kami mampir dulu di sebuah warung yang berada di pinggiran jalan menuju air terjun. Ada beberapa warung dengan jualan yang hampir sama; indomie, minum dan gorengan. Kami memilih yang sepi dan nggak ada perokok karena sedang bawa anak-anak. Sambil makan, kami gali perasaaan anak-anak. “Seruuuuu bangeeet,” kata Kak Ifa. “Kapan-kapan mau lagi ya, Yah.” Affan pun ikut berceloteh. Si adik yang selalu mengekor kakaknya ini juga bilang kalau ia setuju dengan sang kakak. Tentu saja dengan bahasanya sendiri, hehe.
Setelah menghabiskan mie rebus dan teh hangat yang kami pesan, perjalanan turun pun dimulai. Sayangnya teh hangat yang tersisa dan kami minta bungkus tak terbawa, padahal bekal air minum kami sudah habis. Untungnya perjalanan turun jauh lebih mudah daripada perjalanan naik. Terasa lebih cepat juga. Karena ini perjalanan turun, Affan harus digendong agar lebih aman.
Pengalaman saat naik mengajarkan bahwa lebih nyaman menggendong Affan di punggung karena lebih mudah untuk ayah bergerak. Ternyata juga jauh lebih enteng daripada menggendong Affan di bagian depan. Awalnya meronta-ronta, namun akhirnya Affan anteng berada di punggung ayah. Setelah jalanan tak terlalu curam, barulah Affan diperbolehkan jalan sendiri.
Sampai di bawah, kami sempatkan untuk sholat ashar dan berjalan-jalan di area gerbang. Ada kolam renang yang jernih sekali airnya. Lalu Kak Ifa bilang, “besok lagi kalau ke sini nggak usah naik ke atas deh Yah, renang di sini aja ya.” Wkwkw, kirain ngajak naik lagi kak.
Selama masa social distancing, Semirang ditutup untuk sementara. Aku lalu jadi teringat dengan ibu-ibu pemilik warung, pasti mereka kehilangan mata pencaharian. Ya aku yakin berjualan di Semirang bukan satu-satunya pencaharian, namun pasti terasa juga dampak ekonomi berimbas kepada mereka. Juga para penduduk kampung yang biasa mendapat penghasilan dari parkir. Semoga mereka tetap bertahan hingga nanti Semirang dibuka lagi untuk umum.
Ternyata Semirang ini berhubungan dengan kisah romantis suami istri bernama Sraya dan Sari. Dua orang pemuda pemudi ini merupakan murid dari Resi Ajar. Di detik-detik Resi Ajar moksa, dia berpesan kepada dua murid yang dicintainya ini. Untuk menyempurnakan keilmuannya, Sraya dan Sari harus bersuci di Sendang Pitu. Sementara mereka bersuci, Resi Ajar akan bersemedi sebelum moksa. Keduanya pun segera berangkat mematuhi titah sang guru. Tak berapa lama kemudian mereka telah menyelesaikan misi tersebut dan kembali menemui sang guru.
Setelah mereka selesai bersuci, sang guru lalu berpesan kepada Sraya setelah kepergiannya Sraya harus melakukan perjalanan ke arah barat. Resi Ajar berpesan agar Sraya mencari bunga Kalakecika dan Lanceng Putih. Sang guru juga menyampaikan untuk menuju ke sana, Sraya harus memiliki tekad yang bulat karena harus menuruni lembah curam dan mendaki bukit-bukit terjal. Tak luput pula nantinya akan mengalami peristiwa-peristiwa pahit.
Sang Resi lalu menutup pesannya dengan sebuah amanat yang indah. Kalau nantinya semua kepahitan itu berhasil dilewati satu persatu, manisnya kehidupan akan didapatnya. Kalakecika dan Lanceng Putih adalah awal langkah untuk hidup bahagia. Sraya mengangguk-angguk mendengarkan petuah dari sang guru.
Pesan terakhir, Resi Ajar meminta Sraya menjaga Sari. Dia meminta kedua muridnya itu untuk menikah. Sraya dan Sari saling berpandangan karena sebenarnya mereka memang sudah saling jatuh cinta. Tentu saja bahagia sekali ketika perasaan tersebut direstui oleh gurunya. Resi Ajar pun kemudian menikahkan mereka. Saat itu barulah mereka tahu kalau ternyata Sari adalah putri kandung dari Resi Ajar.
Sepeninggal sang guru, Sari dan Sraya hidup berbahagia sebagai suami istri. Namun mereka tak lupa akan wasiat terakhir dari gurunda. Lalu pada suatu hari, Sraya akhirnya memutuskan untuk memulai perjalanan ke barat sesuai petuah sang guru. Sementara Sari, istrinya akan menunggu di pertapaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Resi Ajar, perjalanan itu tak mudah. Bukan hanya karena harus melewati terjal dan curamnya jalan-jalan berbukit-bukit. Namun karena sepanjang perjalanan, Sraya juga harus bertemu dengan banyak makhluk-makhluk ghaib beraneka rupa. Dengan tekad yang bulat, Sraya mengalahkan makhluk-makhluk tersebut satu per satu.
Berhari-hari bahkan berminggu-minggu Sraya berjalan menghadapi berbagai rintangan. Akhirnya pada suatu siang, Sraya sampai di suatu lembah yang cukup landai. Terdengar suara gemericik air. Ia pun menuju ke arah suara air itu. Tak lama kemudian, terlihatlah air terjun yang tinggi dari suatu tebing. Dengan hati-hati, dicapainya pertengahan tebing itu, sebagaimana petunjuk yang ia terima. Walau tebing itu licin, dicarinya kesana-kemari. Akhirnya, ia menemukan Lanceng Putih yang masih ada di sarangnya. Dengan membawa Lanceng Putih, Sraya melanjutkan perjalanan lewat bukit lain yang ke arah timur.
Sementara itu di pertapaan, Sari yang dengan setia menanti suaminya pulang didatangi jin bernama Barok yang berubah wujud menjadi manusia. Dia diutus oleh rajanya untuk memperistri Sari. Tentu saja Sari menolak. Barok memaksa untuk membawa serta Sari. Sari terus lari dan meronta, namun kekuatan tubuhnya tak sebanding dengan Barok. Tiba di ujung jalan, Sari terpentok tak bisa kemana-mana. Akhirnya ia mengulurkan kenditnya agar bisa menyebrang. Kenditnya ini konon kemudian menjadi jembatan.
Barok terus berupaya menangkap Sari, ujung kenditnya berhasil diambil Barok hingga akhirnya terlepas dari tubuh Sari hingga ia terus berlari dengan keadaan telanjang. Sari pun kemudian terperosok ke dalam air terjun. Barok merasa jengkel melihat Sari terjatuh ke air terjun. Ia kemudian bertemu Sraya. Karena kesal ia melimpahkan kejengkelannya pada Sraya. Namun Sraya bukan tandingan Barok, jin itu pun kalah.
Sraya meneruskan perjalanan untuk menemukan bunga kalakacika di dekat air terjun. Di situ ia melihat sesosok perempuan tanpa busana, setelah didekati ternyata Sari, istrinya sendiri. Sraya pun kaget dan memberikan pakaian yang dibawanya. Ia mendengar cerita sang istri dengan seksama. Ternyata inilah yang dimaksud kebahagiaan sejati sebagaimana pesan sang guru kepada mereka. Setelah segala aral merintang dilewati, pada akhirnya suami istri itu dipertemukan kembali dan cinta mereka semakin kuat adanya.
Air terjun tempat ditemukannya bunga Kalakacika dikenal dengan nama Semirang. Berasal dari kata wirang (malu) karena Sari sampai ke tempat tersebut dalam keadaan telanjang. Konon, jika kita mandi di air terjun Semirang, kita bisa awet muda lo. Coba saja kalau mau membuktikan!
Sedangkan jembatan yang berasal dari kendit milik Sari terkenal dengan nama Banjaran Simbar. Selain itu, lokasi pertemuan antara utusan jin dengan Sraya hingga sekarang disebut dengan nama Sentana Layu, yaitu dari kata sentana (utusan) dan mlayu (lari), artinya seorang utusan yang lari (mlayu).
Menarik ya cerita legenda di balik Semirang? Benar atau tidaknya wallahu alam bisshowab. Namun pada akhirnya wejangan dari Resi Ajar memang ada benarnya. Menuju ke Semirang itu butuh tekad bulat. Jika tekad sudah bulat, mau selelah apapun, akan terlewati. Dan semua kelelahan itu akan terbayar begitu sampai di lokasi.
Setelah mengetahui tentang sejarah dari Air Terjun Semirang, kini saatnya aku akan ajak teman-teman mengetahui fasilitas yang terdapat di wana wisata ini. Objek wisata ini sedikit tersembunyi. Lokasinya terletak di lereng Gunug Ungaran, Dusun Gintungan, Desa Gogik, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Air terjun yang dikelola Perusahaan Umum (Perum) Perhutani ini memiliki ketinggian 45 meter.
Untuk mencapai salah satu surga alam di Gunung Ungaran ini, kalau dari arah Semarang setelah ketemu Hotel Ungaran Cantik, kita harus nyebrang dulu. Di seberang ada bangunan Kampus Stikes Ngudi Waluyo, ada gang di sebelahnya. Gang yang cukup besar. Ada penanda menuju ke lokasi. Aku baru ngeh ternyata lokasinya dekat dengan ponpes Gintungan yang pernah kusambangi bersama teman-teman Squad KLIK Ibu Profesional Semarang. Setelah sampai di lokasi, kita cukup membayar tiket Rp 5.000/ orang. Sedangkan untuk parkir motor Rp 2000,- dan parkir mobil Rp 5.000,-. Murah kan?
Di area gerbang ada sederetan kamar mandi yang cukup bersih dan airnya jernih. Ada juga musholla yang menyediakan sarung, sajadah dan mukena. Di dekat musholla ada tempat berwudhunya. Masih di sekitaran tempat tersebut, ada kolam renang untuk anak dan dewasa. Juga ada camping groundnya. Beberapa warung juga bisa kita temui di sini dengan aneka jajanan pilihan yang lebih modern dan beragam dibandingkan warung di dekat air terjun.
Di sepanjang perjalanan menuju air terjun juga disediakan beberapa titik kamar mandi, namun hampir kesemuanya tak layak digunakan. Jadi kalau nggak kebelet banget, sebaiknya sih nggak usah mampir ke kamar mandinya ya.
Dari pengalaman short escape bersama keluarga ke Air Terjun Semirang, aku mau berbagi tips buat teman-teman yang tertarik untuk berwisata alam ke sana.
Untuk mencapai air terjun, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1.5 - 2 jam. Kalau anaknya semangat sih bisa cepat, tapi kalau anaknya dikit-dikit minta berhenti karena lelah bisa lebih lama. Pastikan untuk membawa bekal yang cukup, khususnya air minum. Pengalaman kami kemarin, kami kekurangan air minum karena membawa hanya dua botol air mineral ukuran sedang. Setidaknya satu orang harusnya bawa satu botol air minum.
Begitu sampai di lokasi dijamin anak-anak pasti heboh pengen main air, jadi jangan lupa bawa baju ganti. Orangtuanya juga perlu sih kan juga pasti pengen nyemplung kan? Daripada masuk angin karena sepanjang jalan pakai baju basah, mending siap sedia bawa baju ganti.
Gunakan alas kaki yang nyaman untuk trekking. Karena jalannya terjal dan curam, apalagi di akhir-akhir menuju ke air terjun. Jangan sampai salah pakai alas kaki yang licin karena berbahaya buat diri sendiri. Gunakan juga pakaian yang nyaman untuk bergerak.
Waktu kami ke sana karena dadakan, jadi sudah cukup siang sampai ke lokasi. Rame banget pengunjungnya. Sebaiknya sih kalau ke sini semakin pagi semakin baru sedikit orang. Jadi nggak berdesak-desakan di air terjunnya.
Buat yang membawa balita, sediakan gendongan ergonomic yang bisa buat gendong anak di punggung. Jadi ketika anak mulai lelah atau jalanan mulai tak memungkinkan untuk mengawasi balita berjalan, gendong anak di punggung. Jauh lebih ringan untuk bergerak di jalan dibandingkan harus menggendong anak di bagian depan. Anak pun tetap bisa menikmati alam sepanjang perjalanan.
Kata suami itu adalah prinsip petualang alam. Artinya saat kita melakukan perjalanan jangan membuang sampah di jalanan, simpan sampah di plastik yang sudah kita sediakan dari rumah. Nanti setelah selesai perjalanan, bisa kita buang di tempat sampah. Begitu juga saat di perjalanan, jangan mengambil apapun, entah itu bunga, kayu atau batu yang mungkin menarik hati. Sayangi alam dan jangan memetik apapun.
Demikian catatan perjalanan keluargaku ke Semirang. Semoga bermanfaat untuk teman-teman. Wisata alam bersama keluarga bisa menjadi sarana rihlah yang menyenangkan. Sekaligus menambah kecintaan kita kepadaNya juga meningkatkan rasa syukur yang berlipat-lipat atas segala karunia dan ciptaanNya. Jadi, setelah corona selesai, mau jalan-jalan ke sini?
Namun suamiku meyakinkan nggak sejauh kalau naik gunung kok. Baiklah, bismillah… ayok deh berangkat. Nggak lupa siapin ganti baju dan bekal selama di perjalanan. Btw, suami memang sudah lama ingin mengajak kami berpetualang ke Semirang, namun belum dapat momen yang pas. Entahlah keluarga kami ini memang cocoknya dijuluki petualang dadakan kali ya. Setiap kali buat rencana wisata malah gagal, tapi begitu tanpa rencana malah tereksekusi dengan baik.
Sampai di lokasi sudah hampir jam 2 siang seingatku. Kami memarkir motor di kantong-kantong parkir yang telah disediakan. Lalu perjalanan pun dimulai. Affan yang tertidur selama di motor dari rumah ke lokasi, akhirnya terbangun. Awalnya doi nggak mau dong digendong. Bener-bener ikutan jalan. Kakaknya pun luar biasa semangatnya.
Menurut informasi yang kudapat sih, perjalanan dari gerbang menuju ke curug/ air terjunnya kurang lebih sepanjang 1 km. Namun entahlah, aku merasa itu juauh buanget. Atau karena trayeknya naik terus ya… jadi terasa sangat lama. 300an meter sebelum menuju air terjun, jalanan semakin curam. Kami harus semakin berhati-hati. Affan akhirnya mau digendong. Tentu saja ayahnya yang nggendong, aku bawa diri saja sudah ngos-ngosan, wkwk.
Sebenarnya aku dan suami sudah hampir menyerah, meski sebenarnya sayang masa sudah berlelah-lelah nggak sampai lihat air terjunnya. Tapi apa mau dikata, beneran cuapek bangeeet. Maklum udah lama nggak olahraga, langsung trekking sejauh itu. Wadidaw…
Saat kami mengajak turun di tengah perjalanan, kak Ifa langsung manyun. Pokoknya mau lihat air terjunnya. Begitulah anak pertamaku, kalau sudah diberi sebuah tujuan ya harus sampai ke tujuan itu, nggak boleh belok-belok. Kalau sampai batal, moodnya bakal buyar dan untuk mengembalikannya butuh ribuan purnama, wkwk.. lebay.
Akhirnya kami memutuskan meneruskan perjalanan. Di jalan, kami banyak bertemu dengan petualang-petualang lain, sebagian besar anak-anak muda. Ada pula satu keluarga, juga dari Semarang. Mereka takjub melihat semangat Ifa dan Affan sepanjang perjalanan. Hal itu semakin memompa semangat Ifa dan Affan menuju ujung perjalanan. Dan akhirnya dengan sisa-sisa nafas yang kami punya… alhamdulillah sampai juga ke lokasi air terjun.
Masya Allah… indahnya… terbayar sudah semua perjuangan berlelah-lelah kurang lebih berjalan 1.5 jam dari gerbang menuju ke atas. Kaki yang tadi sudah lemas akhirnya punya kekuatan lagi. Melihat air yang turun dari atas bukit, Affan terbelalak. Ifa dan Affan asyik main air. Jernih, dingin dan begitu segar. Hampir saja mereka tak mau diajak turun. Namun berhubung sudah hampir jam 4, mau tak mau kami harus turun. Takutnya gelap di jalan kalau kesorean.
Sebelum turun, kami mampir dulu di sebuah warung yang berada di pinggiran jalan menuju air terjun. Ada beberapa warung dengan jualan yang hampir sama; indomie, minum dan gorengan. Kami memilih yang sepi dan nggak ada perokok karena sedang bawa anak-anak. Sambil makan, kami gali perasaaan anak-anak. “Seruuuuu bangeeet,” kata Kak Ifa. “Kapan-kapan mau lagi ya, Yah.” Affan pun ikut berceloteh. Si adik yang selalu mengekor kakaknya ini juga bilang kalau ia setuju dengan sang kakak. Tentu saja dengan bahasanya sendiri, hehe.
Setelah menghabiskan mie rebus dan teh hangat yang kami pesan, perjalanan turun pun dimulai. Sayangnya teh hangat yang tersisa dan kami minta bungkus tak terbawa, padahal bekal air minum kami sudah habis. Untungnya perjalanan turun jauh lebih mudah daripada perjalanan naik. Terasa lebih cepat juga. Karena ini perjalanan turun, Affan harus digendong agar lebih aman.
Pengalaman saat naik mengajarkan bahwa lebih nyaman menggendong Affan di punggung karena lebih mudah untuk ayah bergerak. Ternyata juga jauh lebih enteng daripada menggendong Affan di bagian depan. Awalnya meronta-ronta, namun akhirnya Affan anteng berada di punggung ayah. Setelah jalanan tak terlalu curam, barulah Affan diperbolehkan jalan sendiri.
Sampai di bawah, kami sempatkan untuk sholat ashar dan berjalan-jalan di area gerbang. Ada kolam renang yang jernih sekali airnya. Lalu Kak Ifa bilang, “besok lagi kalau ke sini nggak usah naik ke atas deh Yah, renang di sini aja ya.” Wkwkw, kirain ngajak naik lagi kak.
Selama masa social distancing, Semirang ditutup untuk sementara. Aku lalu jadi teringat dengan ibu-ibu pemilik warung, pasti mereka kehilangan mata pencaharian. Ya aku yakin berjualan di Semirang bukan satu-satunya pencaharian, namun pasti terasa juga dampak ekonomi berimbas kepada mereka. Juga para penduduk kampung yang biasa mendapat penghasilan dari parkir. Semoga mereka tetap bertahan hingga nanti Semirang dibuka lagi untuk umum.
Sejarah Air Terjun Semirang
Hampir semua lokasi wisata alam di Indonesia pasti punya sejarahnya masing-masing. Entah itu dongeng turun temurun, mitos ataukah memang benar adanya. Aku pun mencari tahu mengenai legenda yang berkaitan dengan Semirang.Ternyata Semirang ini berhubungan dengan kisah romantis suami istri bernama Sraya dan Sari. Dua orang pemuda pemudi ini merupakan murid dari Resi Ajar. Di detik-detik Resi Ajar moksa, dia berpesan kepada dua murid yang dicintainya ini. Untuk menyempurnakan keilmuannya, Sraya dan Sari harus bersuci di Sendang Pitu. Sementara mereka bersuci, Resi Ajar akan bersemedi sebelum moksa. Keduanya pun segera berangkat mematuhi titah sang guru. Tak berapa lama kemudian mereka telah menyelesaikan misi tersebut dan kembali menemui sang guru.
Setelah mereka selesai bersuci, sang guru lalu berpesan kepada Sraya setelah kepergiannya Sraya harus melakukan perjalanan ke arah barat. Resi Ajar berpesan agar Sraya mencari bunga Kalakecika dan Lanceng Putih. Sang guru juga menyampaikan untuk menuju ke sana, Sraya harus memiliki tekad yang bulat karena harus menuruni lembah curam dan mendaki bukit-bukit terjal. Tak luput pula nantinya akan mengalami peristiwa-peristiwa pahit.
Sang Resi lalu menutup pesannya dengan sebuah amanat yang indah. Kalau nantinya semua kepahitan itu berhasil dilewati satu persatu, manisnya kehidupan akan didapatnya. Kalakecika dan Lanceng Putih adalah awal langkah untuk hidup bahagia. Sraya mengangguk-angguk mendengarkan petuah dari sang guru.
Pesan terakhir, Resi Ajar meminta Sraya menjaga Sari. Dia meminta kedua muridnya itu untuk menikah. Sraya dan Sari saling berpandangan karena sebenarnya mereka memang sudah saling jatuh cinta. Tentu saja bahagia sekali ketika perasaan tersebut direstui oleh gurunya. Resi Ajar pun kemudian menikahkan mereka. Saat itu barulah mereka tahu kalau ternyata Sari adalah putri kandung dari Resi Ajar.
Sepeninggal sang guru, Sari dan Sraya hidup berbahagia sebagai suami istri. Namun mereka tak lupa akan wasiat terakhir dari gurunda. Lalu pada suatu hari, Sraya akhirnya memutuskan untuk memulai perjalanan ke barat sesuai petuah sang guru. Sementara Sari, istrinya akan menunggu di pertapaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Resi Ajar, perjalanan itu tak mudah. Bukan hanya karena harus melewati terjal dan curamnya jalan-jalan berbukit-bukit. Namun karena sepanjang perjalanan, Sraya juga harus bertemu dengan banyak makhluk-makhluk ghaib beraneka rupa. Dengan tekad yang bulat, Sraya mengalahkan makhluk-makhluk tersebut satu per satu.
Berhari-hari bahkan berminggu-minggu Sraya berjalan menghadapi berbagai rintangan. Akhirnya pada suatu siang, Sraya sampai di suatu lembah yang cukup landai. Terdengar suara gemericik air. Ia pun menuju ke arah suara air itu. Tak lama kemudian, terlihatlah air terjun yang tinggi dari suatu tebing. Dengan hati-hati, dicapainya pertengahan tebing itu, sebagaimana petunjuk yang ia terima. Walau tebing itu licin, dicarinya kesana-kemari. Akhirnya, ia menemukan Lanceng Putih yang masih ada di sarangnya. Dengan membawa Lanceng Putih, Sraya melanjutkan perjalanan lewat bukit lain yang ke arah timur.
Sementara itu di pertapaan, Sari yang dengan setia menanti suaminya pulang didatangi jin bernama Barok yang berubah wujud menjadi manusia. Dia diutus oleh rajanya untuk memperistri Sari. Tentu saja Sari menolak. Barok memaksa untuk membawa serta Sari. Sari terus lari dan meronta, namun kekuatan tubuhnya tak sebanding dengan Barok. Tiba di ujung jalan, Sari terpentok tak bisa kemana-mana. Akhirnya ia mengulurkan kenditnya agar bisa menyebrang. Kenditnya ini konon kemudian menjadi jembatan.
Barok terus berupaya menangkap Sari, ujung kenditnya berhasil diambil Barok hingga akhirnya terlepas dari tubuh Sari hingga ia terus berlari dengan keadaan telanjang. Sari pun kemudian terperosok ke dalam air terjun. Barok merasa jengkel melihat Sari terjatuh ke air terjun. Ia kemudian bertemu Sraya. Karena kesal ia melimpahkan kejengkelannya pada Sraya. Namun Sraya bukan tandingan Barok, jin itu pun kalah.
Sraya meneruskan perjalanan untuk menemukan bunga kalakacika di dekat air terjun. Di situ ia melihat sesosok perempuan tanpa busana, setelah didekati ternyata Sari, istrinya sendiri. Sraya pun kaget dan memberikan pakaian yang dibawanya. Ia mendengar cerita sang istri dengan seksama. Ternyata inilah yang dimaksud kebahagiaan sejati sebagaimana pesan sang guru kepada mereka. Setelah segala aral merintang dilewati, pada akhirnya suami istri itu dipertemukan kembali dan cinta mereka semakin kuat adanya.
Air terjun tempat ditemukannya bunga Kalakacika dikenal dengan nama Semirang. Berasal dari kata wirang (malu) karena Sari sampai ke tempat tersebut dalam keadaan telanjang. Konon, jika kita mandi di air terjun Semirang, kita bisa awet muda lo. Coba saja kalau mau membuktikan!
Sedangkan jembatan yang berasal dari kendit milik Sari terkenal dengan nama Banjaran Simbar. Selain itu, lokasi pertemuan antara utusan jin dengan Sraya hingga sekarang disebut dengan nama Sentana Layu, yaitu dari kata sentana (utusan) dan mlayu (lari), artinya seorang utusan yang lari (mlayu).
Menarik ya cerita legenda di balik Semirang? Benar atau tidaknya wallahu alam bisshowab. Namun pada akhirnya wejangan dari Resi Ajar memang ada benarnya. Menuju ke Semirang itu butuh tekad bulat. Jika tekad sudah bulat, mau selelah apapun, akan terlewati. Dan semua kelelahan itu akan terbayar begitu sampai di lokasi.
Fasilitas di Air Terjun Semirang
Untuk mencapai salah satu surga alam di Gunung Ungaran ini, kalau dari arah Semarang setelah ketemu Hotel Ungaran Cantik, kita harus nyebrang dulu. Di seberang ada bangunan Kampus Stikes Ngudi Waluyo, ada gang di sebelahnya. Gang yang cukup besar. Ada penanda menuju ke lokasi. Aku baru ngeh ternyata lokasinya dekat dengan ponpes Gintungan yang pernah kusambangi bersama teman-teman Squad KLIK Ibu Profesional Semarang. Setelah sampai di lokasi, kita cukup membayar tiket Rp 5.000/ orang. Sedangkan untuk parkir motor Rp 2000,- dan parkir mobil Rp 5.000,-. Murah kan?
Di area gerbang ada sederetan kamar mandi yang cukup bersih dan airnya jernih. Ada juga musholla yang menyediakan sarung, sajadah dan mukena. Di dekat musholla ada tempat berwudhunya. Masih di sekitaran tempat tersebut, ada kolam renang untuk anak dan dewasa. Juga ada camping groundnya. Beberapa warung juga bisa kita temui di sini dengan aneka jajanan pilihan yang lebih modern dan beragam dibandingkan warung di dekat air terjun.
Di sepanjang perjalanan menuju air terjun juga disediakan beberapa titik kamar mandi, namun hampir kesemuanya tak layak digunakan. Jadi kalau nggak kebelet banget, sebaiknya sih nggak usah mampir ke kamar mandinya ya.
Tips Berwisata ke Air Terjun Semirang bersama Keluarga
Dari pengalaman short escape bersama keluarga ke Air Terjun Semirang, aku mau berbagi tips buat teman-teman yang tertarik untuk berwisata alam ke sana.
1. Sedia Perbekalan yang Cukup
2. Sedia Baju Ganti
Gunakan alas kaki yang nyaman untuk trekking. Karena jalannya terjal dan curam, apalagi di akhir-akhir menuju ke air terjun. Jangan sampai salah pakai alas kaki yang licin karena berbahaya buat diri sendiri. Gunakan juga pakaian yang nyaman untuk bergerak.
3. Semakin Pagi Semakin Sip
Waktu kami ke sana karena dadakan, jadi sudah cukup siang sampai ke lokasi. Rame banget pengunjungnya. Sebaiknya sih kalau ke sini semakin pagi semakin baru sedikit orang. Jadi nggak berdesak-desakan di air terjunnya.
4. Sedia Gendongan Ergonomic
5. Jangan Lupa Berdoa
Jangan lupa sebelum melakukan trekking, berdoa dulu menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing pals. Jalanan yang curam butuh kehati-hatian. Dan tidak ada pelindung terbaik selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Btw, suami selalu berpesan setiap kami berwisata alam.Jangan pernah meninggalkan apapun selain jejak. Jangan pernah membawa apapun selain kenangan.
Kata suami itu adalah prinsip petualang alam. Artinya saat kita melakukan perjalanan jangan membuang sampah di jalanan, simpan sampah di plastik yang sudah kita sediakan dari rumah. Nanti setelah selesai perjalanan, bisa kita buang di tempat sampah. Begitu juga saat di perjalanan, jangan mengambil apapun, entah itu bunga, kayu atau batu yang mungkin menarik hati. Sayangi alam dan jangan memetik apapun.
Demikian catatan perjalanan keluargaku ke Semirang. Semoga bermanfaat untuk teman-teman. Wisata alam bersama keluarga bisa menjadi sarana rihlah yang menyenangkan. Sekaligus menambah kecintaan kita kepadaNya juga meningkatkan rasa syukur yang berlipat-lipat atas segala karunia dan ciptaanNya. Jadi, setelah corona selesai, mau jalan-jalan ke sini?
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com