Perempuan adalah makhluk yang fitrahnya memiliki sisi femininitas lebih tinggi dibandingkan kaum pria. Maka tak heran jika perempuan terakhir lebih perasa, intuisinya lebih terasah dan kekuatan dirinya dibalut dengan kelembutan. Namun herannya semakin tahun, femininitas di diri perempuan semakin menipis.
Perempuan masih saja mengandalkan perasaan, namun lebih banyak yang tak bisa mengendalikannya menjadi kekuatan. Seringkali karena terlalu mengikuti perasaan, mereka justru saling curiga satu sama lain, iri dengan kebahagiaan perempuan lain, atau malah saling menjatuhkan satu sama lain. Perempuan semakin banyak yang tumbuh menjadi makhluk yang sangat kompetitif.
Saling bersaing memberikan ASI, saling bersaing bisa melahirkan pervaginam, saling bersaing memberikan homemade MPASI, saling bersaing cara parenting terbaik… mungkin itulah sebabnya momwar tak pernah ada habisnya. Selalu ada yang diperdebatkan dan dipersaingkan!
Ibu bekerja vs ibu rumah tangga, melahirkan pervaginam vs melahirkan sesar, anak di daycare vs anak diasuh sendiri, calistung dini vs calistung setelah 7 tahun, dan masih banyak lagi lainnya. Apakah hidup perempuan harus selalu dibandingkan? Dipertarungkan? Apakah Allah menganugerahkan perasaan sebagai salah satu bentuk kekuatan perempuan untuk disalahgunakan membuat orang lain terintimidasi?
Sosok yang setiap 21 April namanya selalu terdengar di seantero seluruh negeri ini, dipilih sebagai wajah emansipasi. Dipilih sebagai tokoh perempuan inspiratif yang semangatnya harus senantiasa dikenang. Meski terkadang aku pun tak habis pikir kenapa cara mengenangnya lebih sering hilang makna. Jujur, aku senang karena di masa karantina seperti ini, tak perlu melihat para ibu gedabrukan mempersiapkan anak-anaknya memakai pakaian adat untuk memperingati hari Kartini.
Ya, aku termasuk yang tak paham mengapa hari Kartini harus diperingati dengan lomba pakaian adat, lenggak-lenggok di atas panggung, lalu memilih kostum yang terbaik? Mana semangat Kartini yang ingin disampaikan ke generasi muda?
Belajar dari Kartini
Sosok yang setiap 21 April namanya selalu terdengar di seantero seluruh negeri ini, dipilih sebagai wajah emansipasi. Dipilih sebagai tokoh perempuan inspiratif yang semangatnya harus senantiasa dikenang. Meski terkadang aku pun tak habis pikir kenapa cara mengenangnya lebih sering hilang makna. Jujur, aku senang karena di masa karantina seperti ini, tak perlu melihat para ibu gedabrukan mempersiapkan anak-anaknya memakai pakaian adat untuk memperingati hari Kartini.
Ya, aku termasuk yang tak paham mengapa hari Kartini harus diperingati dengan lomba pakaian adat, lenggak-lenggok di atas panggung, lalu memilih kostum yang terbaik? Mana semangat Kartini yang ingin disampaikan ke generasi muda?
Kartini, sosok perempuan bangsawan Jawa yang memiliki perasaan begitu tinggi dan dalam. Dari sejarah yang aku baca, dan aku lihat lewat film-film yang menceritakan sosoknya, aku bisa menangkap bahwa Kartini adalah sosok yang sangat perasa. Karena perasaannya yang tinggi itulah, muncul empati pada sekelilingnya.
Kartini yang terlahir sebagai perempuan bangsawan tentu saja memiliki privilige berbeda dibandingkan perempuan kelas bawah di zamannya. Ia memiliki kesempatan untuk belajar menulis dan membaca. Sebuah hal mewah untuk perempuan kala itu. Kartini sadar bahwa perempuan harus memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik. Dengan sifat perasanya yang tinggi, Kartini mendobrak kelaziman. Ia mengajari perempuan-perempuan di sekitarnya membaca, menulis dan lifeskill yang bisa menambah value pada diri mereka.
Ah, terlalu panjang jika kutuliskan sejarah Kartini di sini. Teman-teman juga pasti sudah hafal di luar kepala tentang sejarah tokoh perempuan inspiratif tersebut? Dari kisahnya, menurutku kita harus belajar bagaimana mengelola perasaan yang Allah anugerahkan kepada kita menjadi empati kepada sesama. Empati ini yang nantinya akan menjadi bahan bakar bagi kita melakukan sebuah gerakan yang bisa memberikan manfaat kepada sesama.
Kartini yang terlahir sebagai perempuan bangsawan tentu saja memiliki privilige berbeda dibandingkan perempuan kelas bawah di zamannya. Ia memiliki kesempatan untuk belajar menulis dan membaca. Sebuah hal mewah untuk perempuan kala itu. Kartini sadar bahwa perempuan harus memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik. Dengan sifat perasanya yang tinggi, Kartini mendobrak kelaziman. Ia mengajari perempuan-perempuan di sekitarnya membaca, menulis dan lifeskill yang bisa menambah value pada diri mereka.
Ah, terlalu panjang jika kutuliskan sejarah Kartini di sini. Teman-teman juga pasti sudah hafal di luar kepala tentang sejarah tokoh perempuan inspiratif tersebut? Dari kisahnya, menurutku kita harus belajar bagaimana mengelola perasaan yang Allah anugerahkan kepada kita menjadi empati kepada sesama. Empati ini yang nantinya akan menjadi bahan bakar bagi kita melakukan sebuah gerakan yang bisa memberikan manfaat kepada sesama.
Kartini dengan empati yang dimilikinya berhasil membangun sekolah untuk perempuan, juga menulis pikiran-pikirannya yang kemudian dibukukan dalam sebuah buku fenomenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Pastilah Kartini akan sangat sedih jika melihat perempuan-perempuan modern menghabiskan perasaan yang mereka miliki hanya untuk sekedar berkompetisi, dan menjatuhkan satu sama lain. Apa yang akan Kartini katakan melihat adanya momwar dengan segala tema? Dan tidakkah kita malu sebagai penerus semangatnya, terlalu asyik dengan perasaan yang kita miliki tanpa membangunnya menjadi empati, apalagi gerakan yang bermanfaat?
Di masa pandemic ini, tak bisa dipungkiri, salah satu pilar negeri ini yang mulai terdampak adalah ekonomi. Tak semua orang dianugerahi kehidupan serba ada dan tetap bisa bertahan di masa sulit, seperti Nagita Slavina, Ashanty, Ria Ricis dan sederetan nama terkenal lainnya. Ada perempuan-perempuan yang harus berjibaku setiap pagi. Menghitung nafkah dari suami hari itu, cukupkah untuk diberikan beras dan lauk pauk untuk keluarganya. Mencari-cari barang apa saja di dalam rumah yang bisa dijual untuk bisa bertahan hidup sebulan atau sepekan ke depan. Sementara suaminya yang ojek online mulai kekurangan orderan. Ada pula suaminya yang kerja di hotel terpaksa dirumahkan karena pendapatan hotel turun drastis, tidak ada tamu yang datang menginap. Ada juga suaminya yang kerja di pabrik dan pabriknya harus tutup selama corona belum usai.
Pastilah Kartini akan sangat sedih jika melihat perempuan-perempuan modern menghabiskan perasaan yang mereka miliki hanya untuk sekedar berkompetisi, dan menjatuhkan satu sama lain. Apa yang akan Kartini katakan melihat adanya momwar dengan segala tema? Dan tidakkah kita malu sebagai penerus semangatnya, terlalu asyik dengan perasaan yang kita miliki tanpa membangunnya menjadi empati, apalagi gerakan yang bermanfaat?
#IbuBantuIbu, Caraku Mengikuti Jejak Kartini
Di masa pandemic ini, tak bisa dipungkiri, salah satu pilar negeri ini yang mulai terdampak adalah ekonomi. Tak semua orang dianugerahi kehidupan serba ada dan tetap bisa bertahan di masa sulit, seperti Nagita Slavina, Ashanty, Ria Ricis dan sederetan nama terkenal lainnya. Ada perempuan-perempuan yang harus berjibaku setiap pagi. Menghitung nafkah dari suami hari itu, cukupkah untuk diberikan beras dan lauk pauk untuk keluarganya. Mencari-cari barang apa saja di dalam rumah yang bisa dijual untuk bisa bertahan hidup sebulan atau sepekan ke depan. Sementara suaminya yang ojek online mulai kekurangan orderan. Ada pula suaminya yang kerja di hotel terpaksa dirumahkan karena pendapatan hotel turun drastis, tidak ada tamu yang datang menginap. Ada juga suaminya yang kerja di pabrik dan pabriknya harus tutup selama corona belum usai.
Perempuan-perempuan ini yang tadinya hanya fokus membesarkan anak-anak, mau tak mau ikut menyingsingkan lengan baju. Menjadi reseller produk tetangganya, menjahit masker dan menjualnya, beberapa ada pula yang menjual cemilan buatan sendiri. Namun ada pula perempuan-perempuan yang bahkan tak memiliki cukup modal sama sekali, hanya mengandalkan doa dan kekuatan mengencangkan ikat pinggang yang mereka bisa.
Saat kondisi sesulit ini tentu sudah saatnya kita gulung momwar. Sudah bukan saatnya lagi berdebat tentang hal-hal yang selama ini ramai di lini masa. Kini saatnya para perempuan saling bergandeng tangan, saling menguatkan dan mendukung satu sama lain, tanpa melihat apakah perempuan itu berhijab atau tidak, melahirkan anak-anaknya sesar atau pervaginam, berhasil ASIX atau sambung sufor, mengajari anaknya calistung dini atau tidak.
Sebagai perempuan yang memiliki kapasitas standar dan biasa saja, sesungguhnya aku sangat terusik dengan kondisi ini. Apalagi mendengar curhatan dari beberapa teman tentang kondisi ekonomi keluarganya. Aku ingin membantu. Secara ekonomi mungkin aku lebih baik, namun tidak juga berlebih. Rasanya aku ingin sekaya Nagita Slavina atau Ria Ricis hingga aku bisa membeli semua dagangan teman-teman yang terdampak atau membelikan sembako bagi mereka yang mulai kesusahan makan.
Namun sayangnya aku bukan Nagita Slavina dan Ria Ricis, kapasitasku pun terbatas. Apa yang bisa kulakukan di masa pandemic ini?
Saat kondisi sesulit ini tentu sudah saatnya kita gulung momwar. Sudah bukan saatnya lagi berdebat tentang hal-hal yang selama ini ramai di lini masa. Kini saatnya para perempuan saling bergandeng tangan, saling menguatkan dan mendukung satu sama lain, tanpa melihat apakah perempuan itu berhijab atau tidak, melahirkan anak-anaknya sesar atau pervaginam, berhasil ASIX atau sambung sufor, mengajari anaknya calistung dini atau tidak.
Situasi pandemic ini adalah cara Allah untuk mengembalikan fitrah perempuan pada tempatnya. Mengandalkan perasaan dan intuisi, lalu membangunnya menjadi empati. Kemudian menjadikan empati itu sebagai pendorong sebuah gerakan yang bermanfaat bagi sesama.
Sebagai perempuan yang memiliki kapasitas standar dan biasa saja, sesungguhnya aku sangat terusik dengan kondisi ini. Apalagi mendengar curhatan dari beberapa teman tentang kondisi ekonomi keluarganya. Aku ingin membantu. Secara ekonomi mungkin aku lebih baik, namun tidak juga berlebih. Rasanya aku ingin sekaya Nagita Slavina atau Ria Ricis hingga aku bisa membeli semua dagangan teman-teman yang terdampak atau membelikan sembako bagi mereka yang mulai kesusahan makan.
Namun sayangnya aku bukan Nagita Slavina dan Ria Ricis, kapasitasku pun terbatas. Apa yang bisa kulakukan di masa pandemic ini?
Di tengah kegalauanku, Allah memberikanku jawaban lewat sebuah program yang diinisiasi oleh Ibu Profesional, salah satu komunitas perempuan yang aku ikuti. Nama programnya adalah Ibu Lawan Corona. Program ini meliputi dua gerakan sosial; Ibu Siaga Corona dan Ibu Bantu Ibu.
Ibu Siaga Corona fokus untuk membantu anggota Ibu Profesional yang menjadi ODP, PDP ataupun yang positif Covid. Yaitu dengan mendata siapa sajakah anggota komunitas ini yang keluarganya atau dirinya mengidap covid, dan kemudian memberikan dukungan bantuan hidup kepada mereka.
Sementara Ibu Bantu Ibu adalah gerakan untuk membantu sesama ibu, baik member atau non member, yang terdampak covid dalam segi ekonomi dan psikologis. Setiap komponen di Ibu Profesional memiliki perannya masing-masing. Misalnya komponen institut yang aku ikuti mengadakan kelas-kelas belajar online gratis untuk para ibu, perempuan, guru dan anak-anak. Kondisi boleh pandemic, tapi belajar, berkarya dan berdaya harus tetap diperjuangkan.
Saat teteh Rektor Institut Ibu Profesional menginformasikan mengenai program Ibu Bantu Ibu di whatsapp group, ternyata banyak yang merasakan kebingungan sama halnya denganku. Kebingungan tentang apa yang bia kami berikan, sementara kami pun memiliki kapasitas yang terbatas. Lalu teh Rektor bilang,
Ibu Siaga Corona fokus untuk membantu anggota Ibu Profesional yang menjadi ODP, PDP ataupun yang positif Covid. Yaitu dengan mendata siapa sajakah anggota komunitas ini yang keluarganya atau dirinya mengidap covid, dan kemudian memberikan dukungan bantuan hidup kepada mereka.
Sementara Ibu Bantu Ibu adalah gerakan untuk membantu sesama ibu, baik member atau non member, yang terdampak covid dalam segi ekonomi dan psikologis. Setiap komponen di Ibu Profesional memiliki perannya masing-masing. Misalnya komponen institut yang aku ikuti mengadakan kelas-kelas belajar online gratis untuk para ibu, perempuan, guru dan anak-anak. Kondisi boleh pandemic, tapi belajar, berkarya dan berdaya harus tetap diperjuangkan.
Saat teteh Rektor Institut Ibu Profesional menginformasikan mengenai program Ibu Bantu Ibu di whatsapp group, ternyata banyak yang merasakan kebingungan sama halnya denganku. Kebingungan tentang apa yang bia kami berikan, sementara kami pun memiliki kapasitas yang terbatas. Lalu teh Rektor bilang,
“Jangan memandang besar kecil bantuan yang bisa kita berikan. Yang terpenting adalah keinginan untuk tetap mau berbagi dan melayani. Meski kecil, meski hanya sekedar memberi satu barang dagangan teman sendiri, atau ikut mempromosikan jualan teman sendiri, itu jauh lebih baik. Daripada tidak melakukan gerakan apapun.”Kalimat teh Rektor menyuntikkan semangat di dalam diriku. Ya, berbagi dan melayani tidak harus selalu sebuah gerakan yang besar. Semua bisa melakukannya asal MAU. Lalu setelah berdiam diri beberapa waktu, aku memutuskan untuk melakukan 3 hal ini:
1. Aku sadar tak bisa selalu melarisi dagangan teman-teman, maka aku hanya bisa turut serta mempromosikan dagangan mereka lewat media sosial, blog dan whatsapp story-ku. Meski followers-ku belum sebanyak selebgram, tapi aku ingat wejangan dr. Tirta bahwasanya semua orang bisa menjadi influencer. Karena influencer bukan hanya soal jutaan followers, tapi tentang keinginannya untuk berbagi dan mengedukasi di laman yang mereka miliki. Wejangan inilah yang menguatkanku. Aku hanya mencoba berikhtiar, masalah apakah nanti dari promosi dagangan yang kubagikan, penjualan teman-temanku bisa meningkat, itu terserah Allah yang menggerakkan.
2. Karena aku suka menulis dan sebagai salah satu anggota Ibu-ibu Doyan Menulis, maka aku menjadikan potensi ini sebagai salah satu cara untuk berbagi dan melayani. Melalui tetap update blog dengan artikel-artikel yang bermanfaat, aku berharap tulisan-tulisan di blogku bisa menjadi hiburan dan juga edukasi bagi para pembaca. Aku juga kembali mengaktifkan channel telegram yang kumiliki untuk berbagi tentang tips menulis, tips parenting dan tips mengisi waktu selama masa pandemic.
3. Sejak corona mewabah di Indonesia, berita-berita hoax pun semakin banyak beredar, aku sangat prihatin melihat hal ini. Ternyata masih banyak para perempuan dan masyarakat secara umum yang belum teredukasi dengan benar tentang cara berinternet sehat. Dari situ aku membuka kesempatan sebesar-besarnya apabila ada teman-teman yang sekolah atau komunitasnya membutuhkan narasumber mengenai “Internet Sehat”, aku siap untuk ambil bagian.
Aku tahu tiga hal di atas tidaklah besar. Namun semoga saja dengan sedikit yang bisa kulakukan ini, aku bisa turut serta membantu teman-teman yang kesulitan di masa pandemic. Semoga dengan cara ini, aku juga bisa menjadi generasi penerus Kartini yang membanggakan.
2. Karena aku suka menulis dan sebagai salah satu anggota Ibu-ibu Doyan Menulis, maka aku menjadikan potensi ini sebagai salah satu cara untuk berbagi dan melayani. Melalui tetap update blog dengan artikel-artikel yang bermanfaat, aku berharap tulisan-tulisan di blogku bisa menjadi hiburan dan juga edukasi bagi para pembaca. Aku juga kembali mengaktifkan channel telegram yang kumiliki untuk berbagi tentang tips menulis, tips parenting dan tips mengisi waktu selama masa pandemic.
3. Sejak corona mewabah di Indonesia, berita-berita hoax pun semakin banyak beredar, aku sangat prihatin melihat hal ini. Ternyata masih banyak para perempuan dan masyarakat secara umum yang belum teredukasi dengan benar tentang cara berinternet sehat. Dari situ aku membuka kesempatan sebesar-besarnya apabila ada teman-teman yang sekolah atau komunitasnya membutuhkan narasumber mengenai “Internet Sehat”, aku siap untuk ambil bagian.
Aku tahu tiga hal di atas tidaklah besar. Namun semoga saja dengan sedikit yang bisa kulakukan ini, aku bisa turut serta membantu teman-teman yang kesulitan di masa pandemic. Semoga dengan cara ini, aku juga bisa menjadi generasi penerus Kartini yang membanggakan.
Kalau kalian dalam masa pandemic ini punya cara apa dalam membantu sesama, pals? Apapun itu, mari berjuang bersama. Karena corona tak bisa dilawan sendirian, kita harus menjadi tim yang tangguh untuk membuatnya tumbang! Salam semangat untuk Indonesia bebas corona!
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com