Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Bersyukur sekarang ini masyarakat sudah semakin meningkat awareness-nya terhadap kesehatan mental. Informasi-informasi terkait kesehatan mental semakin banyak ditemukan dan bisa diakses dengan mudah. Apalagi ketika beberapa artis mulai banyak bersuara mengenai hal ini. Nggak bisa dipungkiri ketika orang yang punya nama bersuara, akan lebih banyak orang yang mau mendengar.
Sebut saja ada Marshanda yang semakin terbuka tentang perjalanannya menjadi seorang bipolar disorder, dan Ariel Tatum yang beberapa waktu lalu berbagi tentang kisahnya menjadi penyintas borderline personality disorder. Kalau di kalangan emak-emak, terutama pengguna setia Facebook, tentu nama Nur Yana Yirah juga sudah tidak asing lagi. Dari kisah mbak Yana, para emak semakin disadarkan pentingnya memelihara kesehatan jiwa, khususnya awareness terhadap baby blues dan post partum depression alias depresi pasca melahirkan.
Profil Mbak Yana |
Karena keseriusan mbak Yana dalam mengkampanyekan pencegahan dan penanganan baby blues dan depresi pasca melahirkan, beliau kemudian membuat support group di Facebook dengan nama Motherhope yang kini semakin membesar. Tujuannya mulia sekali; sebagai tempat curhat dan sharing bagi para ibu yang mengalami baby blues dan depresi pasca melahirkan. Bahkan kini Motherhope telah tumbuh menjadi sebuah komunitas besar yang tidak hanya aktif secara online, namun juga mulai mengadakan kegiatan-kegiatan offline untuk merangkul semakin banyak orang agar lebih sadar tentang mental health.
Aku mulai mengenal istilah baby blues syndrome dan post partum depression sekitar tahun 2015. Dimulai dengan membaca sebuah artikel milik sesama blogger hingga kemudian terdampar pada akun mbak Yana. Saat membaca ciri-ciri tentang post partum depression, ingatanku melayang pada masa-masa awal kelahiran Ifa. Apakah saat itu aku mengalaminya? Entahlah… karena aku tak pernah memeriksakannya secara khusus. La wong tahu tentang dua istilah itu saja sudah 4 tahun setelah kejadian.
Kalaupun memang aku pernah mengalaminya, bersyukur bahwasanya aku selamat dan tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Kenapa bersyukur? Post partum depression yang akut dan tak tak tertangani dengan baik bisa berujung pada kematian, entah itu kematian sang ibu atau sang anak! Mengerikan bukan? Nggak satu atau dua kasus yang bisa kita temukan, banyaaaak! Jadi, jangan anggap main-main ketika teman-teman mengalami ciri-ciri baby blues ataupun post partum depression.
Baby Blues atau Depresi Pasca Melahirkan Ya? Bedanya Apa?
Dari beberapa artikel yang kubaca, baby blues sebenarnya sebuah kondisi yang biasa dialami oleh para ibu pasca melahirkan. 80 % ibu yang melahirkan anak pertamanya pernah mengalami baby blues. Yang tidak wajar adalah ketika kondisi tersebut berkelanjutan dan tidak mendapat penanganan yang tepat. Maka sangat perlu sekali untuk para ibu dan calon ibu mengetahui ilmunya. Sehingga ketika setelah kelahiran, kita mengalami rasa sedih yang terus menerus, gelisah dan khawatir berlebihan, kelelahan yang memuncak, ada alarm dalam diri yang berbunyi…. “ahaaa, I need help!”
Selain para ibu yang wajib tahu tentang baby blues dan post partum depression, para suami dan keluarga di sekitar pun juga wajib tahu mengenai dua istilah ini. Jika hanya kita sebagai ibu dan perempuan saja yang tahu, sementara suami acuh mengenai hal ini… tentu saja akan sulit melaluinya. Saat kita bilang butuh bantuan, bisa saja suami akan menyepelekan dan hanya sekedar bilang sabar. Yang ada bukannya kondisi semakin membaik malah bisa jadi memburuk. Maka penting sekali memasukkan belajar mengenai mental health ke dalam daftar persiapan menjadi orang tua. Baik untuk istri, maupun suami.
Lantas apa bedanya baby blues dan depresi pasca melahirkan? Baby blues biasanya terjadi tidak lebih dari dua minggu. Baby blues yang tak tertangani dengan baik bisa berkelanjutan menjadi depresi pasca melahirkan. Depresi ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bisa jadi bertahun-tahun.
Penyebab Baby Blues dan Depresi Pasca Melahirkan
Must Watch Movie for Couple! |
Sudah nonton film Kim Ji Young Born 1982? Sebuah film baru dari Korea Selatan yang baru-baru ini rilis. Diperankan oleh Jung Yu Mi dan Gong Yoo, film ini menjadi pembicaraan hangat tidak hanya di negara asalnya, namun juga di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia. Kim Ji Young seakan menjadi corong bagi para perempuan sehingga suara-suara mereka bisa lebih didengar.
Sebenarnya di film ini tidak jelas disebutkan apakah Kim Ji Young, nama sang tokoh utama, mengalami baby blues ataupun post partum depression. Namun ada satu scene di mana sang suami yang sadar akan perubahan dalam diri istrinya mencari tahu informasi dengan keyword “depresi pada ibu” lewat mesin pencarian.
Dari film ini sedikit banyak terungkap bahwasanya penyebab terjadinya baby blues ataupun depresi pasca melahirkan dipicu karena budaya patriarki. Bukankah sudah umum bahwa perempuan selalu diminta untuk tetap tegar dan kuat, dilarang mengeluh apapun kondisinya, harus selalu rajin apalagi saat berada di rumah mertua, sementara suami selalu diistimewakan. Suami sudah kerja seharian di luar rumah, nggak ilok kalau kata orang Jawa alias nggak layak memegang sapu saat di rumah atau membantu istri mencuci piring. Kalau sampai ada istri yang merengek minta bantuan ke suami, sudah pasti kita harus siap menerima segala caci maki entah itu dari tetangga, mertua atau bahkan dari keluarga kita sendiri.
Jadi ingat kejadian belasan tahun lalu saat awal-awal menikah dengan suami, ada yang mengomentari keluarga kami gara-gara melihat suami membantuku menyapu dan menjemur pakaian. Rasanya saat itu pengen kuguyur air sisa cucian tuh orang yang berkomentar. Suami saja nggak keberatan membantu istrinya kok orang lain berani komentar. Tapi ya begitulah hidup… kita yang menjalani, orang lain yang bertugas memberi komentar kan?
Selain budaya patriarki, kondisi baby blues dan depresi pasca melahirkan juga bisa disebabkan dengan perubahan aktivitas dari sebelum menjadi ibu menjadi sesudah menjadi ibu. Jika sebelumnya bisa bebas tidur nyenyak setiap malam, ketika ada bayi mau nggak mau setiap malam harus terjaga. Sementara di pagi hari aktivitas domestik sudah menunggu untuk dikerjakan. Apalagi kalau suami susah diajak kerjasama, boro-boro paham bantuin istri mengerjakan urusan domestik, punya inisiatif mijitin badan istri yang remuk redam atau sekedar ngajak ngobrol untuk menuntaskan 20 ribu kata saja mereka nggak paham. Alhasil istri semakin uring-uringan, suami yang nggak paham semakin menjauh melihat istrinya yang berubah seperti monster.
Makanya penting buat setiap suami ikutan nonton Kim Ji Young, contohlah Gong Yoo di film ini yang benar-benar siaga dan siap jadi pelindung terbaik istrinya. Bahkan saat istrinya belum sadar akan depresi yang dialaminya, sang suami sudah lebih dulu aware dan cari pertolongan. Duh, kalau punya suami macam ini siapa yang nggak tambah cinta kan?
Alami Ciri-ciri Baby Blues? Lakukan 5 Hal Ini!
Jika teman-teman mengalami ciri-ciri baby blues seperti merasa sedih berkepanjangan, sensitif, uring-uringan, mendadak ingin menangis terus-menerus, maka langkah pertama adalah DON’T PANIC!
1. Terima Kondisi Tersebut
It’s okay to be not okay, moms! Sejak kecil mungkin kita terbiasa mendengar “gitu saja nangis, gitu saja sedih, gitu saja mengeluh…” sehingga terpatri dalam diri bahwa kita harus kuat, nggak boleh lemah, nggak boleh nangis. Maka saat kita merasa sedih, bukannya menerima perasan tersebut, kita cenderung menghindarinya dan memaksa perasaan tersebut untuk pergi secepat mungkin. Padahal itu justru akan membuat kondisi semakin parah.
Maka terimalah perasaan tersebut. Menangislah jika ingin menangis. Peluk diri kita sekuat mungkin, tuntaskan segala perasaan dalam kondisi yang terkontrol. Perasaan sedih dan marah yang tidak tuntas akan menyebabkan ledakan di kemudian hari, maka tuntaskan semua perasaan yang ada dengan tetap lakukan kontrol diri. Kita bisa melakukannya sambil bermeditasi, yoga, mendengarkan lagu-lagu yang menenangkan, atau mengguyur kepala di bawah shower.
2. Ceritakan pada Suami atau Sahabat
Setelah mampu menerima kondisi yang tidak okay, jangan pendam sendiri. Sampaikan pada suami bahwasanya kita nggak baik-baik saja nih, dan butuh bantuan. Suami nggak peduli? Apakah ini asumsi atau fakta? Jika sekedar asumsi, jangan biarkan asumsi tersebut menguasai. Seringkali perempuan merasa suaminya nggak peduli karena hanya mengirimkan sinyal dan kode, sementara suami nggak tanggap menangkap kode-kode tersebut. Maka ada baiknya jangan hanya mengirim kode, komunikasikan yang baik apa kebutuhan kita. “Aku lelah Mas, bisa bantu momong adik sebentar? Aku mau luluran,” atau “Boleh bantu cuci piring, adik nggak mau lepas dari gendongan nih.”
Namun jika sudah kita coba komunikasikan baik-baik, suami tetap nggak paham, kita bisa curhat kepada sahabat yang terpercaya. Ceritakan kondisi kita padanya. Pastikan sahabat itu jangan lawan jenis ya. Bahaya kalau sahabat kita lawan jenis dan ia lebih care dari suami, bisa-bisa timbul getar-getar yang tak diinginkan. Selain itu rawan fitnah, pals. Better pilih sahabat yang bisa menyediakan telinganya. Syukur-syukur jika kita punya mentor, entah itu ustazah atau konselor.
3. Gabung dengan Komunitas
Jangan menyendiri! Semakin kita sendirian, semakin kita terjebak dengan pikiran-pikiran yang bisa jadi merusak diri. Saat orang-orang di sekitar mungkin terlalu acuh dengan apa yang kita alami, kita bisa bergabung dengan supportive group yang bisa membantu kita melewati masa-masa membingungkan tersebut. Apalagi sekarang banyak sekali komunitas perempuan yang siap menjadi pelampung. Pilih yang cocok dan jadikan komuniitas itu rumah kedua.
Salah satu pelampungku saat mengalami masa-masa mengerikan itu adalah bergabung dengan grup liqo. Jiwaku yang kering dan galau merasa tersirami dengan wejangan-wejangan dari murrobiyahku. Selain itu bergabung dengan parenting group membuatku jadi lebih paham bagaimana menjadi orangtua yang baik sehingga kekhawatiranku yang tadinya berlebihan perlahan berkurang.
4. Sisihkan Waktu untuk Me Time
Nggak perlu lama-lama, tapi dalam sehari lakukan aktivitas yang benar-benar kita lakukan untuk diri sendiri. Entah itu sekedar makan cokelat sebatang atau baca buku seperempat lembar, sisihkan waktu untuk itu. Jangan lupa untuk mengapresiasi diri kita. Turunkan standar. Jika sebelumnya kita memasang target bahwa rumah harus selalu bersih, makanan harus kita buat sendiri, pakaian harus disetrika dengan rapi… ubah target tersebut. Sesekali rumah kotor nggak masalah, delegasikan aktivitas yang bisa didelegasikan; ada warung tegal berjejeran, ada laundry yang siap mewangikan pakaian.
Ibu yang sempurna bukan mereka yang mengerjakan semuanya sendirian, tapi mereka yang berani berkata aku butuh bantuan.
5. Konsultasi dengan Ahlinya
Jika setelah dua minggu ciri-ciri baby blues tak juga menghilang dan justru semakin menguat, sebaiknya konsultasi pada ahlinya. Entah itu ke psikolog atau dokter spesialis jiwa. Jangan takut dengan stigma “gila” yang melekat pada masyarakat. Kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan tubuh, pals. Jika tubuh saja kita bergegas menemui dokter, mengapa harus malu berkonsultasi saat jiwa kita memang tak baik-baik saja.
Hidup kita jauh lebih berarti ketimbang takut akan cap dari orang-orang. Keputusan besar untuk berani mengakui kita butuh bantuan bisa menyelamatkan kehidupan kita di masa depan, termasuk kehidupan anak-anak yang kita lahirkan.
Nah, buat para suami yang saat ini istrinya mengalami ciri-ciri baby blues, sebaiknya lakukan hal-hal di bawah ini:
1. Stop Doing Toxic Positivity
Terkadang nasehat “sabar, yang kuat ya, bersyukur dong masih banyak yang kondisinya lebih buruk dari kita…" dan kata-kata positif lainnya tak diperlukan dalam kondisi seperti ini. Semakin diminta sabar, semakin sesaklah rasa di dada. Kami, para istri, bukannya tak tahu bahwa sabar dan bersyukur adalah kunci. Daripada capek-capek memberikan kultum, terima saja kondisi istri.
Berikan pelukan padanya dan yakinkan kalian tahu apa yang mereka rasakan. “Capek ya? Mau dipijit?” atau “Pulang kerja mau dibawain apa?” Jangan menyerah ketika istri menjawab terserah, suami harus tahu atau setidaknya cari tahu makanan favorit istrinya. Berikan kejutan dengan membawakan makanan atau buah tangan yang bisa membuat istri merasa berharga dan tak sendirian.
2. Jadilah Pendengar Terbaik
Hey, para suami… istri-istri kalian didesain sedemikian rupa oleh Allah untuk memiliki kemampuan mengeluarkan 20ribu kata setiap harinya. Maka jadilah sosok yang siap mendengarkan 20ribu kata tersebut. Dengarkan semua ceritanya di hari itu, bahkan saat sebenarnya cerita itu membosankan buat kalian, at least pasang wajah yang meyakinkan bahwa kalian benar-benar mendengarkan. Sehari dua hari mungkin terasa melelahkan dan membosankan, tapi semakin sering meluangkan waktu mendengarkan istri bercerita, kalian akan semakin mengenal perempuan yang telah menjadi sigaraning nyawa.
Siap menikahi perempuan, maka harus siap menjadi telinga bagi mereka!
3. Singsingkan Lengan Bajumu
Jangan menunggu istri berkata “bantuin cuci piring.” Jika melihat cucian piring menumpuk, popok-popok bayi belum tersentuh, lantai penuh debu halus, jangan berkomentar yang menyakiti hati. Apalagi menuding istri enak-enakan di rumah. Bayi menangis setiap saat dan tak mau lepas dari gendongan itu bukan kondisi yang enak-enakan. Kalau kalian nggak bisa menggantikan menyusui dan momong bayi, setidaknya cukup bantu urusan domestik. Nggak bisa melakukan pekerjaan domestik karena nggak pernah diajarin sama orangtua? Kalau gitu, sediakan asisten buat istri.
Kondisi keuangan belum mampu menyediakan asisten buat istri? At least, jangan pulang telat setiap hari, dan kasih pijitan lembut ke istri, temani dia saat harus begadang menyusui bayi atau menyelesaikan urusan domestik.
Jangan pula menuntut capekan siapa… yakinlah baik suami dan istri punya aktivitas yang sama-sama melelahkan. Bukan saatnya saling merasa paling capek, ini saatnya saling bekerjasama!
4. Buatlah Rumah Senyaman Mungkin
Beruntunglah jika setelah menikah, pasangan suami istri bisa tinggal di rumahnya sendiri, meski hanya kontrakan atau kamar kos yang sempit. Tinggal di rumah sendiri akan membuat kita jauh lebih mudah mengatur hal-hal sesuai keinginan. Misal, tidak ingin dijenguk oleh siapapun sampai siap menerima tamu, dan bisa sedikit bersantai meski rumah berantakan. Saat tinggal di rumah salah satu orangtua, bisa jadi ada ketidaknyamanan. Pengennya tidur sebentar, tapi nggak enak sama orangtua. Pengennya selonjoran sebentar tapi ingat popok menumpuk. Kalaupun orangtua nggak masalah dan mau membantu, bisa jadi ada perasaan nggak enak di hati karena merepotkan.
Kalaupun kondisinya masih seatap dengan orangtua, suami harus membantu istri untuk nyaman tinggal di rumah tersebut. Bisa dilihat di film Kim Ji Young bagaimana sang suami selalu mendukung istrinya, bahkan ia tak canggung membantu istrinya mencuci piring di rumah ibunya, meski sang ibu berkomentar panjang kali lebar. Jadilah sayap terbaik untuk istri-istri kalian ya suamik!
5. Gabung dengan Supportive Group
Bukan cuma istri yang perlu dijaga kewarasannya, suami pun juga perlu tetap bahagia untuk bisa membahagiakan istrinya. Jadi kalau bapak-bapak mulai oleng, carilah teman yang memahami kondisi kalian. Jangan sesekali curhat sama teman wanita di kantor, yang ada bikin istri makin bertanduk. Lakukan hobi di sela-sela waktu yang sempit, dan ngobrol dengan teman yang mengalami kondisi sama. Gabung dengan komunitas-komunitas yang akan menambah wawasan bukan malah gabung sama grup-grup reuni nggak jelas yang suka bahasa mantan. Ups!
Anyway, baby blues dan depresi pasca melahirkan ternyata nggak cuma menyerang para istri lo. Suami pun bisa mengalaminya. Jika baby blues dan depresi pada ibu dipicu karena kelelahan, merasa sendirian, budaya patriarki, depresi pasca melahirkan pada suami biasanya dipicu karena masalah keuangan, kesehatan mental di masa lalu, ketidaksiapan suami menghadapi perubahan emosi sang istri pasca melahirkan dan juga kaget atas statusnya sebagai seorang ayah.
Info ini semakin menguatkan bahwasanya baby blues dan depresi pasca melahirkan ini kondisi yang nggak main-main dan memang harus dipersiapkan secara seksama ya? So, sebelum menikah dan mempersiapkan kehamilan, pastikan cari tahu juga ilmu tentang hal ini ya! Karena akan selalu ada bedanya orang yang sudah berilmu dan belum. At least, kalau kita sudah punya ilmunya dan mengalami hal tersebut, kita tahu apa yang harus dilakukan dan kondisi tersebut tidak semakin parah.
Akhir kata untuk semua orang di dunia, khususnya para perempuan… bahagialah! Bahagia adalah kunci dari kewarasan dalam menjalani kehidupan. Bahagia tidak harus dengan punya kehidupan yang menyenangkan. Bahagia diawali dari penerimaan terhadap seluruh jalan hidup yang sudah ditetapkan. Bahagia bisa sesederhana mengecap kopi di malam hari yang sepi atau menikmati mie instan saat semua orang sudah terlelap. Bahagia juga bisa jadi sesederhana menikmati lawakan Lee Dong Wook dan Gong Yoo dalam talkshow I Want To Talk, atau menikmati akting kece Hyun Bin dalam Crash Landing On You.
Sesibuk apapun kita setiap hari, setidaknya sisipkan waktu untuk melakukan hal-hal yang kita sukai meski hanya lima menit. Karena melakukan aktivitas yang membuat mata kita berbinar-binar akan membantu kita lebih mudah memaknai hidup!
Selamat berbahagia, pals!
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Tulisan ini diikutsertakan dalam blog challenge Indscript Writing 'Perempuan Menulis Bahagia'
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com