Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Setelah perjalanan yang cukup terjal dan terengah-engah di 2-3 minggu terakhir, aku bersyukur bisa lulus ODOP Batch #7. Sebuah pengalaman yang cukup berharga. Betapa jika kita ingin menjadi penulis yang profesional, maka konsistensi adalah sebuah harga mati.
Namun kali ini aku tak sedang ingin bercerita tentang tips agar bisa berhasil lulus ODOP dan sejenisnya. Singkat cerita, para peserta ODOP Batch #7 yang telah berhasil lulus diberikan kesempatan untuk belajar dalam sebuah kelas lanjutan. Ada 2 kelas yang ditawarkan; fiksi dan non fiksi. Apa yang kupilih?
Setelah melalui beragam pertimbangan dan pemikiran, aku memilih kelas fiksi. Dari informasi yang dibagikan oleh para PJ, kelas non fiksi nantinya akan lebih fokus pada blogging dan penyusunan buku antologi. Bukan merasa sudah keren blogging-nya, namun karena tiga tahun ini sudah uplek dengan urusan optimasi blog dan sejak akhir tahun lalu terlibat dalam penyusunan beberapa buku antologi bergenre kisah inspiratif, sepertinya sudah saatnya keluar dari jalur nyaman untuk menemui tantangan lainnya.
Tak lama setelah klik join untuk masuk ke WAG kelas fiksi, tugas demi tugas telah menyambut. Kuakui setiap tugas yang diberikan sangat menantang adrenalinku. Inilah tugas pertama; mengulas sebuah cerpen pilihan yang diambil dari website official Komunitas ODOP.
Setelah membaca satu per satu cerpen yang tertaut dalam kategori Lakon, aku menjatuhkan pilihan pada Kamar Mandi Mertua.
Cerpen ini ditulis oleh Mabruroh Qosim. Di bagian akhir postingan cerpen ini aku mendapat sedikit informasi mengenai diri sang penulis;
Mabruroh Qosim tinggal di Malang dan dapat dihubungi di 085289441976. Email mabruroh80@gmail.com atau FB Mabruroh Qosim dan Instagram @mabrurohqosim. Karya Mabruroh Qosim yang telah dibukukan di antaranya adalah antologi cerpen "Menenun Harap", antologi non fiksi "Rahasiaku", kumcer antologi "Nostalgia Biru" dan kumpulan kisah inspiratif "Doa Ibu Membawaku Kembali", Bunga Rampai "Bahasa Alam", dll.
Sayang tidak tertulis di sana angkatan ODOP berapakah beliau. Pastinya cerpen yang ditulisnya sangat memikat hati sejak kumembaca judulnya. Judul biasanya membawa clue kepada pembaca arah cerita tersebut. Judul yang menarik akan membuat pembaca bertanya-tanya dan mereka-reka apa sih sebenarnya yang ingin disampaikan penulis. Kamar Mandi Mertua membuatku ingin tahu lebih lanjut cerita lengkapnya.
Sebuah cerita yang apik ditulis dengan alur maju dan POV orang pertama ini mampu menggugah rasa penasaran. Mengangkat kegelisahan kehidupan masyarakat moderen yang adab dan akhlaqnya mulai tergerus perkembangan zaman. Kamar mandi dijadikan sebuah simbol mengenai bobroknya mental manusia. Maka tak heran jika orangtua kita selalu menegur agar tak berlama-lama di dalam kamar mandi, “jangan lama-lama di kamar mandi, banyak setan di dalamnya.”
Bukan larangan yang mengada-ada karena dalam agama Islam sendiri ada hadits yang menyatakan bahwa kamar mandi yang identik dengan tempat pembuangan hajat, notabene sebuah tempat yang kotor, merupakan tempat tinggalnya para setan yang turun ke bumi dan bertugas menggoda manusia. Maka ketika kita masuk ke kamar mandi, hendaknya tidak melupakan untuk berdoa dan melangkah masuk dengan kaki kiri.
Unsur Intrinsik Kamar Mandi Mertua
A. Tema
Dari hasil pembacaanku terhadap cerpen yang ditulis Mabruroh Qosim ini, kusimpulkan jika tema yang ingin diangkat oleh penulis adalah permasalahan sosial yang jamak berkembang dalam kehidupan masyarakat moderen.
B. Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam cerpen ini digambarkan dalam pov pertama (aku) yaitu Maryani. Diceritakan dia adalah perempuan muda yang tinggal di rumah mertuanya. Aku mendapat gambaran dari apa yang diceritakan penulis, Maryani sesosok perempuan yang gemas dan jengkel dengan kehidupan rumah tangganya. Di mana suaminya hanya pulang tiga bulan sekali, sementara ia baru saja melahirkan bayinya dan butuh banyak dukungan. Sementara itu ibu mertuanya tak banyak membantu dan sibuk dengan urusannya sendiri.
Selain jengkel dengan kehidupan rumah tangganya, digambarkan Maryani ini adalah sosok yang pendiam, tak terlalu banyak bicara dan selalu patuh pada apapun kata mertuanya. Meski sebenarnya ia memendam luka dan amarah. Pada akhirnya sikap ini runtuh di akhir cerita. Dalam diamnya, Maryani sebenarnya mengamati hal-hal yang tak banyak dilihat oleh orang lain di kampung tersebut.
Selain Maryani sebagai tokoh utama, ada tokoh-tokoh pendukung cerpen ini hingga menjadi semakin hidup;
ibu mertua Maryani yang digambarkan sangat rajin sebagaimana perempuan paruh baya pada umumnya namun tak terlalu perhatian dengan menantunya.
Marbun, suami Maryani digambarkan sebagai sosok laki-laki pada umumnya yang sibuk mencari nafkah dan tidak peduli pada istri dan anaknya. Asalkan tugas mencari nafkah sudah dijalankan, laki-laki semacam Marbun ini merasa sudah menunaikan tanggungjawabnya secara benar. Lupa bahwa ada tanggungjawab lain sebagai kepala rumah tangga. Lebih parahnya adalah berani bermain api dengan tetangga sendiri, sementara luka istrinya pasca melahirkan saja belum mengering.
Sari, anak orang kaya yang biasa dipenuhi semua fasilitas hidupnya, namun menolak untuk menikah dengan semua laki-laki pilihan orangtuanya. Sari lebih suka melawan kehendak orangtuanya dengan memacari pria-pria hidung belang yang mendekatinya hanya untuk menumpang hidup padanya. Sebagai gadis dari keluarga berada, sosoknya cantik dan terawat, tentu saja pria-pria tak akan menolak untuk bisa berdekatan dengannya. Salah satunya Marbun yang sering mengendap-endap setiap malam untuk melakukan hal tak sepantasnya bersama Sari di kamar mandi ibunya.
C. Alur
Menggunakan alur maju. Diawali dengan mengenalkan latar kejadian cerita; kamar mandi mertua dan mengapa Maryani tak menyukai tempat tersebut. Lalu kemudian mulai diperkenalkan dengan tokoh-tokoh dalam cerpen ini. Konflik mulai muncul sejak paragraf lima, ketika kardus berisi bayi ditemukan oleh ibu mertua Maryani. Cerpen mulai bergulir semakin seru. Diakhiri dengan sebuah ending yang cukup twist tentang kemungkinan siapa ayah dari bayi tersebut.
D. Latar
Mengambil setting tempat di sebuah perkampungan, nampak di mana kamar mandi dan rumah utama terpisah jarak dan kebun. Kamar mandi milik mertua Maryani dan kebun yang mengitarinya menjadi latar tempat utama cerpen ini.
Sementara latar waktu terjadi di pagi-pagi buta, ketika Maryani melihat Sari mengendap-endap dari kamar mandi menuju ke kebun hingga pada akhirnya ditemukan bayi di sebuah kardus.
Latar suasana cerpen ini sangat misterius. Bisa dibayangkan orang-orang kebingungan menemukan bayi di dalam kardus. Sekaligus juga ada sentuhan amarah karena Maryani mengetahui kebejatan Sari dan suaminya.
E. Sudut Pandang
Cerpen ini menggunakan POV pertama dengan sudut pandang dari Maryani, tokoh utamanya.
F. Gaya Bahasa
Cerpen ini ditulis dengan gaya bahasa yang lugas, tidak banyak diksi yang mendayu-dayu. Mudah dimengerti dan rapi sehingga pembaca mudah menangkap isi dan maksud cerita.
G. Amanat
Banyak amanat yang bisa diambil dari cerpen ini, di antaranya:
- Jagalah perilaku kita, jangan sampai mencoreng nama baik keluarga.
- Bertanggungjawablah dengan perbuatan yang telah kita lakukan. Membuang bayi adalah tindakan yang sangat tidak bertanggungjawab. Jika tak mau mendapat resiko dari perbuatan buruk, maka jangan lakukan hal-hal buruk tersebut.
- Didiklah anak-anak kita hingga menjadi pribadi yang berakhlak baik. Bahwasanya materi saja tidak cukup untuk membesarkan seorang anak. Anak butuh dibesarkan dan didampingi dengan hati serta diberikan pendidikan agama yang layak.
- Jangan lupa berdoa setiap kali masuk ke kamar mandi!
Unsur Ekstrinsik Kamar Mandi Mertua
Sebuah cerpen lahir atas keresahan penulisnya, termasuk juga cerpen Mabruroh Qosim ini. Maka selain unsur intrinsik yang kuat, cerpen ini juga memiliki unsur ekstrinsik yang membangun ceritanya semakin hidup.
A. Latar Belakang Masyarakat
Latar belakang masyarakat merupakan faktor lingkungan masyarakat sekitar yang mempengaruhi penulis dalam membuat cerpen tersebut. Aku kira banyaknya kejadian hamil di luar nikah, perselingkuhan dengan tetangga sendiri dan semakin seringnya ditemukan bayi yang dibuang di pinggir jalan menjadi dasar penulisan cerpen ini. Tentu saja aku tak bisa memastikan sepenuhnya karena belum pernah berbincang langsung dengan sang penulis.
B. Latar Belakang Penulis
Latar belakang penulis adalah sebuah faktor dari dalam diri penulis yang mendorong penulis dalam membuat cerpen.Biasanya ada sisi psikologis seorang penulis yang muncul ketika menyusun sebuah cerpen, entah amarah yang terpendam atau kegelisahan yang terus mengganggu. Bagaimana dengan Mabruroh Qosim?
Aku sendiri tak terlalu paham, karena baru kali ini membaca nama dan cerpennya. Namun kukira penulis pasti punya keresahan dengan segala permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dan menuangkannya dalam bentuk cerpen menjadi salah satu hal untuk meredakan keresahan tersebut.
C. Nilai yang Terkandung di dalam Cerpen
Ada beberapa nilai yang menjadi unsur ekstrinsik dalam sebuah cerpen. Dan nilai-nilai tersebut yang muncul dalam Kamar Mandi Mertua diantaranya adalah:
Nilai Agama: secara tersirat di dalam cerpennya, penulis mengangkat nilai bahwasanya kamar mandi adalah tempat kotor yang banyak dihuni oleh setan, sebaiknya jangan berlama-lama di dalamnya.
Nilai Sosial: penulis nampaknya ingin menyampaikan keresahan di dalam hati mengenai banyaknya anak-anak yang lahir dari keluarga berada justru bobrok mentalnya karena kemudahan fasilitas yang didapat. Kemudahan fasilitas yang diberikan tidak sejalan dengan bekal agama yang cukup sehingga banyak anak yang semakin merosot mentalnya. Apalagi zaman sekarang orangtua semakin mudah memanjakan anak-anaknya dengan materi sebagai bentuk kasih sayang, namun melupakan esensi kasih sayang itu sendiri; kehadiran dan keterlibatan orangtua secara utuh dan fokus.
Nilai Moral: cerpen ini menjadi gambaran betapa kemerosotan mental semakin parah terjadi di masyarakat moderen. Mereka dengan mudahnya menjalin hubungan dengan pria atau perempuan yang telah menikah, lalu ketika hubungan tersebut menghasilkan bayi, dengan mudahnya bayi tersebut dibuang dan ditelantarkan.
Nilai Budaya: ada yang menggelitikku saat membaca cerpen ini, betapa budaya patriarki masih bercokol dengan kuat. Suami sibuk mencari nafkah dan tak menghiraukan kebutuhan batiniah istrinya. Betapa istri yang setelah melahirkan butuh perhatian yang lebih banyak, namun suami malah asyik berduaan dengan perempuan lain. Selain itu juga budaya di mana mertua dari pihak laki-laki seringkali mendominasi sang istri. Adab terhadap mertua memang harus dijunjung tinggi namun tentu saja bukan berarti meniadakan dialog antara mertua dan menantu. Di cerpen ini digambarkan betapa Maryani perlahan mulai jengah selalu menuruti kemauan mertuanya. Bahwa ada beberapa hal di mana mertua pun harus paham dengan pilihan menantunya yang mungkin saja berbeda dengan dirinya.
Btw, aku senang sekali karena tugas di kelas fiksi ini telah membuatku kembali bisa merasakan masa-masa sekolah dan kuliah lagi. Jadi ingat zaman masih belajar di kelas 3 SMA jurusan bahasa dan kuliah sastra, di mana membedah karya sastra adalah makanan sehari-hari. Pada akhirnya hal-hal yang dulu pernah kupelajari berguna juga sekarang. Thanks ODOP!
Semoga ulasan cerpen ini bermanfaat buat teman-teman, jangan lupa kunjungi ngodop.com untuk membaca banyak cerita seru dari penulis-penulis muda bangsa ini!
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Konsisten ketika sedang menulis itu memang sangat penting ya Mbak, untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas kita.
ReplyDeleteTerimakasih banyak sudah berbagi cerita yang sangat bagus ini Mbak.
ReplyDeleteNilau budaya yang bisa diambil bagus banget ya Mbak.
ReplyDeleteMengajarkan nilai moral kepada anak sejak dini itu memang sangat penting ya Mbak.
ReplyDeleteTerimakasih banyak sudah berbagi informasi yang sangat bermanfaat ini Mbak.
ReplyDeleteWah sepertinya bagus banget ya Mbak, jadi ingin baca juga nih hehe.
ReplyDelete