Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Beberapa hari ini cukup padat dengan kegiatan di dunia nyata, hingga sampai akhirlah aku bertemu dengan banyak ‘hantu’ dalam rangkaian #ODOPBatch7 ini. Namun aku tak menyerah, aku akan tetap mencoba yang terbaik hingga titik darah penghabisan.
Hari ini aku bernostalgia ke kota masa kecilku; Salatiga. Kali ini aku menuju ke kota ini bukan tanpa sebab. Namun karena menghadiri undangan dari sesosok perempuan yang cukup berarti bagiku dan keluarga. Beliau adalah Mbak Sum. Menceritakan beliau tak akan pernah cukup kata. Bisa dibilang Mbak Sum adalah saudara terbaik meski tanpa pertalian darah di antara kami.
Keluargaku mengenalnya sejak almarhumah adikku, Tyas, duduk di bangku taman kanak-kanak atau awal Sekolah Dasar. Mencari asisten rumah tangga (ART) memang hal menantang. Entah sudah berapa banyak ART yang pernah bekerja untuk keluargaku saat itu. Ada beberapa yang betah hingga bertahun-tahun, ada yang hanya sanggup bekerja beberapa bulan, bahkan hanya beberapa hari. Ada yang tak kerasan karena kenakalanku waktu kecil, ada pula yang akhirnya dikeluarkan karena perilakunya bermasalah.
Mbak Sum adalah salah satu ART yang paling lama bertahan. Saat itu ibu sudah jatuh sakit. Mbak Sum tidak hanya membantu kami mengurus rumah; menyapu, mengepel, mencuci baju dan memasak. Lebih dari itu! Saat ibu drop, mbak Sum juga ikut merawat ibu. Ketika aku kuliah di Semarang, bukan hanya Mbak Sum yang berkhidmat pada keluarga kami. Ada mbak Ras yang merupakan adik kandung mbak Sum, yang bertugas menemani ibu di malam hari. Sesekali kalau mbak Ras berhalangan, Novi - anak pertama mbak Sum - yang akan menemani ibu dari malam hingga pagi hari.
Ada masa-masa terpuruk keluarga kami hingga tak sanggup lagi membayar Mbak Sum secara layak, lalu kami dengan terpaksa memutuskan hubungan kerja bersamanya. Ibu tentu saja tak ingin mendholimi Mbak Sum bekerja tanpa digaji. Mbak Sum layak mendapat tuan yang bisa memberikan pendapatan yang lebih.
Meski sudah tak lagi bekerja dengan ibu, Mbak Sum tetap sering menengok ibu dan malah membantu-bantu meski tak lagi dibayar. Lalu entah aku lupa bagaimana tepatnya, Mbak Sum kembali membantu ibu. Tentu saja selain bekerja dengan ibu, mbak Sum juga bekerja pada keluarga lain. Pocokan istilahnya, tidak lagi full hanya bekerja di rumah ibu. Kondisi ekonomi saat itu semakin tidak bagus, pekerjaan bapak sebagai sopir tak sebagus di waktu aku kecil, sedangkan ibu hanya menerima separuh dari pensiunannya setiap bulan karena ada hutang yang harus dicicil. Mbak Sum berkhidmat tanpa memikirkan hal tersebut. Saat ibu ada uang, berapapun jumlahnya diterima mbak Sum dengan ikhlas.
berfoto dengan mbak Sum, Nita yang menjadi pengantin dan cucu-cucu Mbak Sum |
Yang mengharukan, setiap mbak Sum baru pulang dari desanya dan membawa hasil panen berupa beras, beliau akan membawakan pula untuk ibu. Sungguh pemandangan yang tak biasa bukan? ART membawakan beras untuk majikannya? Hanya ada dalam kisah hidup keluarga kami bersama mbak Sum. Itulah kenapa sebutan ART pun buatku tak layak disandingkan untuk Mbak Sum. Beliau lebih dari ART. Beliau adalah sahabat dan saudara terdekat bagi keluarga kami.
Pada 2010, ibu akhirnya menjual rumah di Salatiga dengan berbagai alasan. Hasil dari penjualan rumah tersebut digunakan untuk membeli rumah yang lebih kecil di Semarang, kota kelahiranku. Keluarga besar ibu, aku dan suami tinggal di kota ini. Ibu berpikir mendekati keluarga adalah hal terbaik dengan kondisi ekonomi yang tak lagi bagus.
Mbak Sum ikut mengantarkan kepindahan ibu ke kota Lunpia bersama rombongan dari perumahan tempat tinggal kami dulu. Haru biru. Meninggalkan lingkungan yang sangat hangat dan penuh kekeluargaan yang sudah 22 tahun bersama-sama jelas bukan hal mudah. Namun takdir telah ditetapkan.
Saat kini ibu, bapak dan adikku telah pergi ke haribaan mendahuluiku, bersilaturahmi dengan mbak Sum dan keluarganya bisa menjadi hiburan tersendiri untukku. Meski masih ada keluarga di Salatiga, ada juga beberapa teman dekat saat sekolah yang bisa dikunjungi, namun tak ada tempat yang lebih nyaman untuk disinggahi selain rumah Mbak Sum.
Anak-anak Mbak Sum tumbuh dengan sangat baik. Memang benar adanya, anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi prihatin disertai dengan doa-doa tulus dari kedua orangtua, akan lebih menghargai kehidupan. Mbak Sum memiliki 4 orang anak; 2 orang putra dan 2 orang putri. Tidak ada yang aneh-aneh, semuanya begitu patuh dan menurut pada kedua orangtuanya. Sekolah sampai selesai dan menjadi orang-orang yang sangat baik, sebagaimana ibunya.
Urusan pendidikan anak-anaknya buat Mbak Sum adalah hal yang terpenting. Beliau ingin anak-anaknya sekolah, setidaknya tamat sekolah menengah atas. Terbukti keempat anaknya lulus SMK dengan nilai yang cukup baik. Setelah lulus sekolah, mereka pun tak lagi merepotkan kedua orangtuanya. Berusaha sekuat tenaga mencari pekerjaan yang halal, bukan sekedar untuk mencukupi dirinya sendiri, namun juga diberikan untuk ibunya.
Dua anak cowoknya; Arif dan Puji alhamdulillah mengenyam bangku kuliah. Arif, anak keduanya, sudah lulus kuliah dan kini bekerja di Depok. Sedangkan Puji, anak terakhir namun tubuhnya yang paling tinggi di antara saudara-saudaranya, baru masuk kuliah tahun ini setelah sebelumnya sempat bekerja dulu selama setahun pasca lulus SMK. Mengambil jurusan Teknologi Industri di Universitas Muhammadiyah Magelang. Masya Allah.
Tadi saat aku mengobrol dengan Mbak Sum dan menanyakan apakah Puji selalu pulang tiap bulan atau tiap minggu. Diceritakan oleh Mbak Sum kalau Puji selalu berusaha pulang setiap akhir pekan, sesuai dengan mandat dari masnya, Arif. Meski adik kakak ini berjauhan lokasi, namun hati mereka saling bertaut. Meski ketika bertemu mungkin saling udur-uduran, ngece-ngecean, namun sejatinya mereka saling menyayangi satu sama lain.
Menceritakan Puji, aku jadi ingat. Dulu Tyas, almarhumah adikku, pernah cemburu sama Puji. Sejak kecil, Puji memang sudah terlihat cerdas. Kalau nggak salah ingat, saat mbak Sum mulai bekerja dengan ibu, Puji seusia Affan. Sudah pintar bercerita dan bertanya. Ibu suka ngajak Puji cerita. Ternyata kedekatan ibu dengan Puji memicu rasa cemburu di hati Tyas. Tentu saja tak lama, karena setelah itu ibu memberikan pengertian pada Tyas. Saking dekatnya dengan ibu, Puji selalu tanya pada Mbak Sum, kapan ibu sembuh.
Maka tak heran saat ibu meninggal 3 tahun lalu, Puji yang menemani Mbak Sum layat ke rumah, terlihat sangat sedih. Puji juga menolak diajak melihat jenazah ibu. Aaah, jangankan Puji. Aku pun tak berani membuka kain kafan ibu. Takut bobol pertahananku saat itu.
Aku sendiri siang ini hadir ke rumah mbak Sum untuk menghadiri pernikahan Nita, anak ketiganya. Alhamdulillah berjodoh dengan teman kerjanya. Orang baik akan bertemu dengan orang baik. Barakallahulakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair.
Melihat mbak Sum dan keluarganya begitu sehat dan bahagia, aku ikut senang. Meski aku tak bisa sering mengunjungi, namun sebuah hiburan tersendiri melihat kabar bahagia mereka. Beruntung anak-anaknya pun tetap menyimpan kontakku, terutama Novi yang sekarang sering menjadi penghubung cerita antara keluarganya denganku. Saling berkirim kabar bisa menjadi obat rindu yang paling mujarab.
Banyak hal yang kupelajari dari Mbak Sum dan keluarganya;
menjaga ibadah, senantiasa bersyukur, keikhlasan dan ketulusan.
Modal-modal utama yang akan menjaga hidup kita tetap baik sesulit apapun kondisi yang sedang dihadapi. Dari Mbak Sum aku juga belajar bahwa mendidik anak tak hanya butuh ilmu. Mbak Sum manalah tahu soal parenting dan pendidikan anak, namun lihatlah kualitas anak-anaknya. Mungkin lebih hebat dari anak-anak pakar parenting. Ketulusan doa seorang ibu adalah kunci dari kesuksesan anak-anaknya.
Hukum tabur tuai sungguhlah nyata.
Jika yang kita tabur adalah kebaikan, maka insya Allah kebaikan pula yang akan kita tuai di masa-masa selanjutnya. Begitulah pula tangan Allah bekerja untuk kehidupan Mbak Sum dan keluarga. Kebaikan dan ketulusan beliau menjadi sahabat buatku dan keluarga melahirkan kebaikan-kebaikan untuk keluarganya. Terima kasih Mbak Sum, Pak Badrun, Novi dan keluarga kecilnya, Arif, Nita dan suami, juga Puji. Semoga Allah selalu merahmati Mbak Sum dan keluarga. Melindungi mereka dan senantiasa memberikan keberkahan dalam hidupnya. Aamiin.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com