Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Hari ke-28 #ODOPBatch7 adalah hari terakhir di pekan keempat. Menjelang detik-detik penutupan tantangan pekan ke - 4, aku masih belum juga mendapatkan ide yang klik di hati. Benar-benar tantangan kalau harus menulis hal yang fiksi dan penuh imajinasi. Mungkin karena sudah jadi emak anak dua, kini aku tak lagi punya cukup waktu untuk berimajinasi. Memikirkan realita hidup saja sudah menguras tenaga, wkwk.
Btw, penasaran dengan tantangan #ODOPBatch7 pekan ini? Nih, aku kasih tahu...
Baiklah, mari kita coba menyelesaikannya. Bismillah… Selamat menikmati
***
Jaka Tarub dan 7 Bidadari Milenial
Jaka Tarub, seorang pemuda tampan yang baru saja menyelesaikan kuliah S1 di sebuah Universitas ternama itu, berjalan menyusuri gang sempit di tengah kota. Peluhnya menetes cukup deras. Beberapa kali ia menghentikan langkahnya dan meneguk air di dalam botol yang disimpan di kantong samping tasnya. Ia sedang mencari sebuah alamat. Dia pikir akan mudah menemukannya. Ternyata tak semudah itu. Namun Jaka tak menyerah, ia harus menemukannya.
Akhirnya perjalanan Jaka usai sudah. Sebuah bangunan berwarna kombinasi biru dan abu, dengan gapura besar yang gagah, berdiri di ujung jalan tersebut. “Jalan Kahyangan nomor 13.” Jaka Tarub membaca alamat yang tersimpan pada aplikasi notes smartphone jadulnya. Berkali-kali ia memastikan bahwa alamat yang tertera dengan yang terbaca di depan matanya saat ini sudah tepat.
“Sepertinya sudah benar,” ucapnya dalam hati. Jaka lalu mengangguk-angguk dan memasuki bangunan besar bergaya minimalis modern tersebut. Sebuah taman indah dengan bunga berbagai warna menyambut kehadirannya. Jaka Tarub tersenyum sumringah. Bersyukur di dalam hati karena aplikasi Go-Sonk tadi pagi mengirimkan notifikasi kalau dia memiliki bonus yang bisa digunakan untuk masuk ke tempat wisata baru di kotanya.
Taman Kahyangan namanya. Sebuah wahana rekreasi yang baru saja launching dua bulan ini. Kalau tidak karena mendapat bonus dari aplikasi yang sering dipakainya, Jaka pun belum tentu berniat untuk masuk ke tempat tersebut. Tiket masuknya cukup tinggi. Buat Jaka, uang sejumlah itu lebih baik digunakan untuk makan selama tiga hari. Maklum, sebagai fresh graduate yang baru diterima di sebuah perusahaan kecil, Jaka masih belajar meniti kehidupan. Harus bijak mengelola keuangan biar bisa menabung untuk masa depan.
Pekerjaannya di kantor sebagai seorang General Affair alias Pembantu Umum sungguh sangat menyita tenaga dan pikiran. Makanya ketika tahu ada bonus dari aplikasi Go-Sonk untuk menikmati rekreasi di Taman Kahyangan, dia tak mau menyia-nyiakannya. Kapan lagi bisa piknik gratis, pikirnya.
Jaka Tarub benar-benar terkesan dengan penataan eksterior Taman Kahyangan. Begitu moderen, tapi tidak meninggalkan sentuhan alam dan tradisional. Indah sekali. Dia terus berjalan menyusuri setiap bagian dari wahana rekreasi ini. Sesekali berhenti di beberapa titik yang menurutnya sangat menarik, lalu mengambil gambar dari gawai jadulnya. Terkadang ia juga menyanggupi beberapa pengunjung yang meminta bantuan padanya untuk memotret mereka dengan berbagai gaya. Jaka membalas setiap ucapan terima kasih yang didapatnya dengan senyuman yang hangat. Tak pernah ada ruginya berbuat baik.
Ternyata area yang nampak luas dari depan tersebut, tidak sebesar yang dibayangkan Jaka. Nyatanya kurang dari satu jam, ia merasa telah mengelilingi setiap sudut tempat wisata baru itu. Tinggal satu wahana terakhir yang belum dikunjunginya. Jaka bergegas menuju ke situs tersebut. “Kolam Renang Bidadari?” Jaka membaca perlahan papan nama di depan wahana. Setelah berpikir beberapa saat, Jaka memutuskan masuk ke dalamnya. Sudah lama ia tak berenang, sepertinya sangat menyegarkan bermain air di saat udara sedang panas seperti ini. Untung saja ia selalu menyimpan baju ganti di dalam tas ransel berwarna cokelat yang mulai memudar.
Petugas jaga menyambutnya dengan ramah. Laki-laki berbadan tegap itu menyodorkan kepada Jaka sebuah handuk dan kunci loker. Jaka mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju tempat ganti. Ternyata kolam renangnya sangat luas. Dan juga sangat ramai. Kalau dilihat-lihat, hampir tidak ada ruang untuk Jaka turun ke air. Namun Jaka tak menyerah, ia terus berjalan mencari-cari ruang yang tersisa. Ia sosok yang pemalu, jadi sedikit tidak percaya diri harus turun ke air di mana tak ada seorang pun yang dikenalnya.
Di dalam kolam renang tersebut, ternyata tidak hanya ada satu kolam saja. Namun terdiri dari beberapa kolam. Ada kolam anak, kolam untuk dewasa, serta ada kolam-kolam dengan wahana permainan air yang sedang kekinian. Dari permainan ombak sampai prosotan yang sedemikian panjangnya. Namun bukan kolam-kolam itu yang menarik hatinya. Ada sebuah kolam tersembunyi di belakang pepohonan yang rimbun.
Jaka heran sekaligus penasaran. Ia mengendap-endap menuju ke kolam tersebut. Tak dinyana di sebuah situs wisata yang sangat ramai ada sebuah kolam tersembunyi. Menurut penglihatan Jaka, tidak nampak ada gerombolan orang di sana. Padahal di kolam-kolam lainnya ada banyak kepala, seakan-akan seperti cendol di dalam sebuah baskom.
Jaka masih terus berjalan pelan-pelan. Takut jika rasa penasarannya ternyata membuahkan hal yang dilarang. Namun akhirnya ia nekat juga. Sampai akhirnya dia mendapat ruang berteduh sekaligus bersembunyi di balik pepohonan. Tertangkap di telinganya ada suara perempuan-perempuan cekikikan. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Namun tak juga menyurutkan rasa ingin tahunya. Kali ini kedua matanya yang terbelalak.
Satu, dua, tiga… ada tujuh perempuan cantik di dalam kolam tersebut. Terlihat gembira dan asyik saling menggoda. Jaka menelan ludah. Belum pernah ia melihat perempuan secantik mereka. Benar-benar sebuah anugerah dan berkah. Jaka terdiam saking takjubnya. Biarlah ia menikmati kemolekan wajah mereka dalam sunyi. Untungnya baju renang yang dipakai perempuan-perempuan itu cukup sopan, sehingga tak mengganggu pikiran Jaka hingga ke mana-mana.
Cukup lama Jaka bersembunyi di balik pepohonan, hingga matanya bersitatap dengan seonggok kotak berwarna emas. Lagi-lagi rasa ingin tahu menuntun langkah kakinya. Kembali ia mengendap-endap, ingin tahu ada apa di dalam kotak emas itu. “Handphone?” Tanya Jaka pada dirinya sendiri saat berhasil melihat apa yang ada di dalam kotak emas. Diambilnya satu benda berwarna kotak. Tiba-tiba ada sebuah cahaya memancar dari dalamnya. Pelangi.
Apa ini. Pikir Jaka Tarub. Belum pernah ia melihat barang seperti itu sebelumnya. Seperti handphone tapi bukan. Nampaknya lebih canggih. Atau jangan-jangan ini smartphone model baru, Jaka melanjutkan pikirannya sendiri. Tiba-tiba ia mengingat kondisi gawai jadulnya, sudah retak di sana-sini. Performanya pun sudah tak lagi layak. Ngadat ketika terlalu banyak aplikasi dipasang di dalamnya.
“Ambil saja…,” bisik iblis di dalam diriinya. “
“Jangan, Jaka.. itu bukan milikmu…,” sahut hati nuraninya.
Jaka galau. Antara ingin dan tidak ingin. Tiba-tiba ada dering yang sangat kencang dan bergantian dari benda-benda kotak bercahaya pelangi di dalam kotak emas itu. Jaka Tarub hampir saja berteriak karena kaget. Untung ia segera sadar diri kalau sedang bersembunyi. Jaka kembali menyusup di balik pepohonan. Benda kotak yang tadi menarik hatinya belum sempat ia kembalikan, masih tergenggam di tangan. Sudah terlambat untuk mengembalikannya. Tujuh perempuan cantik itu sudah mengelilingi kotak emas. Masih di belakang pohon, Jaka perlahan menyimpan benda kotak yang ia genggam ke dalam tas lusuh miliknya.
Ternyata benda canggih itu semacam alat transportasi lintas dimensi. Setiap perempuan memegang satu benda kotak bercahaya pelangi. Hanya ada satu orang yang kebingungan mencari benda kotak miliknya. Berulangkali gadis itu membolak-balik kotak berwarna emas, namun benda yang dicarinya tak jua ditemukan.
“Bagaimana ini Kanda, transporter-ku kok nggak ketemu ya?” Gadis yang kebingungan itu mulai bertanya kepada saudari-saudarinya.
“Lo, la tadi ditaruh di mana Nawang Wulan?” Salah seorang saudarinya bertanya sambil bersiap untuk segera pulang ke dimensi asal.
“Ya seperti biasa, aku taruh di kotak ini sama kaya yang lainnya, Kanda.” Isakan tangis Nawang Wulan, nama gadis cantik yang sedang bingung itu, mulai terdengar.
Keenam saudarinya mencoba membantunya, namun benda yang ternyata bernama transporter itu tak juga nampak di depan mata mereka. Waktu semakin melaju, pintu menuju dimensi asal mereka akan segera tertutup. Mau tak mau saudari-saudarinya harus meninggalkan Nawang Wulan. Tangisan Nawang Wulan semakin kecang.
Saudari-saudarinya pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka harus segera kembali sebelum pintu antar dimensi tertutup. Jika pintu terlanjur tertutup, mereka baru bisa pulang ke dimensi asal bulan berikutnya. Terlalu lama dan lagi mereka tak tahu harus tinggal di mana dalam sebulan.
“Tenanglah adinda. Kami akan kembali menjemputmu bulan depan. Kamu cobalah mencari orang yang bisa membantumu di sini.” Kakak tertua Nawang Wulan mencoba menenangkan adik bungsunya. Akhirnya setelah dibujuk dan ditenangkan, Nawang Wulan merelakan keenam saudarinya untuk pulang ke dimensi asal. Gadis cantik itu pun lalu terduduk lemas. Tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa.
Kosong.
Bingung.
Semuanya campur aduk menjadi satu.
Dalam kekalutannya, tiba-tiba Jaka Tarub yang sedari tadi mengamati kejadian demi kejadian di belakang pepohonan datang menghampiri Nawang Wulan. “Maaf Mbak, ada yang bisa saya bantu?” Jaka Tarub menawarkan bantuan.
Wulan masih saja diam tanpa suara. Kini perasaannya bertambah satu lagi.
Takut.
Tak ada orang yang dikenalnya di bumi ini. Tidak pula ia tahu bagaimana karakter penduduk bumi yang sebenarnya. Menurut cerita para moyangnya, penduduk bumi adalah orang-orang yang culas dan licik. Makanya penduduk bumi tak pernah bisa sejaya penduduk Kahyangan, dimensi tempat Nawang Wulan tinggal.
Melihat Wulan yang kebingungan, Jaka lalu menawarkan jaketnya. “Pakai ini. Bajumu basah.” Wulan masih tak bersuara, namun ia mengambil jaket dari tangan Jaka. Ya, bajunya basah. Karena alat transporter-nya hilang, ia pun tak bisa berganti kostum. Sesungguhnya transporter itu segalanya untuk bidadari milenial sepertinya. Alat itu tak hanya bisa menjadi sarana transportasi antar dimensi, namun juga bisa menjadi alat berganti baju, tata rias dan bahkan penghasil makanan. Semacam sebuah sihir. Tapi bukan sihir, itu adalah teknologi buatan para ilmuwan Kahyangan. Wulan yakin semua hal canggih di bumi belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tempat asalnya.
“Ini nomor telepon saya. Barangkali mbak membutuhkan bantuan, bisa menghubungi saya di nomor itu. Saya pergi dulu ya, Mbak. Hati-hati di sini, ramai sekali.” Jaka Tarub berniat pamit meninggalkan Wulan. Tiba-tiba Wulan merasa takut. Meski ia tak kenal Jaka, tapi ia merasa laki-laki itu cukup baik. Nyatanya laki-laki itu mau menolong dirinya, padahal mereka belum saling kenal. Namun sisi hati Wulan lainnya membisikkan bahwa ia tak boleh gegabah. Bisa jadi Jaka hanya berpura-pura baik.
Melihat Wulan melamun dan tidak merespon kalimat pamitnya, Jaka perlahan meninggalkan Wulan. Wulan yang menyadari kepergian Jaka, lalu mengejarnya. “Tunggu… tunggu..” Jaka menghentikan langkah kakiknya dan menengok ke belakang. Dilihatnya Wulan sedang berlari kecil mengejarnya.
“Ada apa mbak? Mbak butuh bantuan saya?” Jaka bertanya sekali lagi dengan sangat sopan.
Wulan mengangguk, meski tak tahu harus bercerita apa. Belum juga kebingungannya usai, Jaka sudah menyodorkan pertanyaan baru. Kali ini sedikit berbisik.
“Apa mbak seorang bidadari?”
Nawang Wulan terkejut bukan main. Bagaimana laki-laki ini tahu jati dirinya. “Kamu kok tahu?”
Kali ini Jaka Tarub yang kebingungan. Sebenarnya ia hanya asal menebak, meski tak yakin dan merasa tak masuk akal. Namun apa yang dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri beberapa waktu lalu terasa sangat nyata.
Jaka menata nafasnya, lalu perlahan ia menceritakan semua hal yang dilihatnya kepada Nawang Wulan. Tak hanya itu, dikeluarkannya sebuah benda kotak bercahaya pelangi dari dalam tas lusuhnya, diserahkannya kepada gadis bermata indah yang berdiri terpaku di depannya. Wulan sangat terkejut dengan kejujuran Jaka. Namun sekaligus bingung harus merespon bagaimana. Toh sama saja, meski alat transporter itu kini di tangan, pintu antar dimensi sudah tertutup. Ia tetap saja tak bisa pulang sekarang.
“Terima kasih atas kejujuranmu. Aku sangat menghargainya. Tapi tetap saja aku tak bisa pulang ke tempat asalku sekarang. Bolehkah aku menginap di rumahmu?” Tanya Nawang Wulan setelah perasaannya cukup tenang kepada Jaka.
Jaka ragu-ragu menjawab. Sungguh tidak mungkin membawa Wulan pulang ke rumahnya. Bagaimanapun mereka bukan mahram, tidak boleh tinggal di satu tempat. Apalagi tempat tinggal Jaka sungguh tak layak. Benar-benar tak mungkin dan tak bisa membawa Wulan ke tempatnya. Jaka berpikir keras, bagaimana caranya membantu Wulan. Bagaimanapun semua kejadian ini adalah kesalahannya. Kalau saja ia tadi tak mengambil alat transporter Wulan, tentu gadis cantik itu sudah bisa kembali ke Kahyangan.
Akhirnya setelah memutar otak cukup lama, Jaka punya solusi. “Aku tidak bisa membawamu pulang ke rumah. Tempat tinggalku sungguh tak layak. Lagipula kita bukan mahram, tidak mungkin tinggal satu atap tanpa ada orang lain. Tapi jangan khawatir, aku punya guru ngaji yang terpercaya. Insya Allah keluarganya bisa menampungmu selama sebulan ini. Rumahnya juga luas dan nyaman. Bu Nyai juga pasti senang kedatangan tamu perempuan secantik kamu, karena selama ini beliau pengen punya anak perempuan.”
Wulan merasa terharu dengan kalimat panjang Jaka Tarub. Tak menyangka di zaman seperti sekarang masih ada laki-laki yang menjaga marwah-nya seperti itu. Meski Wulan dari Kahyangan, namun ia tahu sedikit mengenai mahram dan batasan-batasan tentang laki-laki dan perempuan. Hanya saja di dimensinya memang belum mengenal agama dengan baik. Mungkin ini cara Allah untuk mengenalkan agama dan iman kepadanya.
Wulan pun menyetujui saran dari Jaka. Dengan transporter di tangannya, Wulan bisa berganti baju dan tak lagi membutuhkan jaket milik Jaka. Laki-laki muda itu takjub dengan kecanggihan alat yang dibawa oleh Wulan. Tidak terbayangkan ada alat semacam itu di dunia ini.
Rasa takjub Jaka mendadak lenyap ketika tangan mungil Wulan menepuk pundaknya. “Ayo kita berangkat. Aku sudah siap.”
“Oh ya, kita keluar dulu dari wahana ini lalu naik BRT di ujung jalan sana...” Jaka mencoba menjelaskan alur perjalanan yang akan mereka tempuh. Wulan terkekeh mendengarnya. Sepertinya Jaka lupa kalau Wulan punya transporter. Menembus antar dimensi saat ini memang tak mungkin karena gerbangnya telah ditutup, namun bukan hal yang susah untuk memindahkan mereka ke lokasi lain di bumi ini.
“Kamu ketikkan saja alamatnya di sini. Lalu tekan OK. Kita lihat apa yang terjadi setelahnya.” Wulan menyodorkan transporter kepada Jaka. Laki-laki itu bingung, namun diambilnya juga benda kotak bercahaya pelangi yang sungguh canggih. Segera ia lakukan panduan yang diberikan Wulan. Tak lama kemudian, mereka telah berdiri di sebuah rumah besar di perkampungan.
“Masya Allah. Canggih sekali alat ini.” Jaka Tarub terkaget-kaget. Nawang Wulan hanya tertawa melihat polahnya. Jaka yang tahu kalau Wulan menertawakannya tersipu malu, pipinya segera bersemu kemerahan. Untung saja laki-laki itu cepat mengatasi rasa malunya dan mengetuk pintu rumah.
“Assalammualaikum…” Salam Jaka sambil mengetuk pintu rumah. Belum sampai tiga kali ia mengetuk pintu tersebut, seorang laki-laki tua dengan jubah dan tongkat kayu membukakan pintu untuk mereka. Laki-laki tua yang disebut Pak Kyai oleh Jaka itu menyambut kedatangan Jaka dan Wulan dengan bahagia. Ia segera meminta keduanya masuk ke dalam rumah.
Setelah semua kejadian diceritakan oleh Jaka, Pak Kyai dan istrinya setuju dengan usulan Jaka bahwa Wulan sebaiknya tinggal di rumah mereka. Lebih aman dan tidak membuat fitnah. Singkat cerita, Nawang Wulan akhirnya tinggal sementara di rumah Pak Kyai. Di rumah tersebut, Nawang belajar banyak ilmu agama. Ia jadi tahu apa itu sholat dan berbagai ibadah wajib serta sunnah. Ia juga belajar mengaji dan mulai menutup auratnya.
Jaka sampai terkaget-kaget melihat perubahan Wulan ketika dua minggu kemudian menyambanginya. Kalau tidak karena deheman pak Kyai, bisa-bisa Jaka lupa diri menatap kecantikan perempuan Kahyangan itu. Lalu perlahan Jaka pun menundukkan pandangan dari arah Wulan dan mengobrol bersama Pak Kyai. Wulan pun beringsut meninggalkan dua lelaki yang ia kagumi, bersiap untuk membuatkan dua cangkir kopi kesukaan mereka.
***
Tak terasa satu bulan sudah berlalu. Saatnya Wulan kembali ke Kahyangan. Wulan gusar. Entah kenapa ia nyaman berada di bumi ini. Transporter yang dimilikinya ternyata hanya bisa berfungsi secara normal selama tiga hari, selebihnya ia harus melakukan semua aktivitas secara manual. Namun ia bahagia, ia tak merasa terbebani. Meski tidak secanggih di Kahyangan, meski ia harus capek-capek memasak dulu saat ingin makan sesuatu, meski ia harus mencuci baju jika ingin menggunakan kembali bajunya, ia merasakan kehidupan yang sebenarnya.
Sepanjang perjalanan menuju Taman Kahyangan, Wulan hanya berdiam diri. Jaka merasakan kekalutan dalam diri Wulan, namun tak berani menanyakannya. Demi menghindari fitnah, Pak Kyai dan Bu Kyai ikut mengantarkan mereka. Bu Kyai yang sudah berperan sebagai ibu untuk Wulan selama sebulan ini mengerti kegalauan yang dirasakan anak angkatnya ini. Ia hanya memeluk Wulan berusaha menenangkannya.
“Kamu kan sudah shalat istikharah to? Kamu bilang sudah mendapat jawabannya, kalau begitu jangan bingung. Ikuti saja petunjuk dari Allah.” Nasehat Bu Kyai kepada gadis cantik bermata belo’ itu. Wulan menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk perlahan.
Tiba juga akhirnya mereka di Kolam Renang Bidadari. Dari jauh Wulan sudah melihat saudari-saudarinya berkumpul di kolam. Aaah, rindu sekali hati Wulan pada mereka. “Kanda… Kanda…” teriak Wulan memanggil para saudarinya. Enam perempuan cantik yang tadi nampak gusar di pinggir kolam mendadak sumringah melihat sosok yang dinantinya telah hadir di depan mata.
“Wulan… gimana kabarmu? Kamu nggak papa kan?” Tanya salah seorang perempuan cantik, saudari Wulan.
“Aku nggak apa-apa, Kanda. Semua baik-baik saja. Aku senang di sini.” Wulan menenangkan kerisauan para saudarinya. Tiba-tiba tatapan mata para saudarinya berubah melihat kain panjang yang terlilit di kepala Wulan.
“Itu apa Wulan? Kamu ngapain pakai begituan di kepala?” Tanya salah seorang saudarinya.
“Ini namanya kerudung, Kanda. Aku belajar Islam di sini. Ada banyak hal yang selama ini aku tak tahu dan aku cari tahu kini jadi terbuka.” Wulan menceritakan pengalamannya secara panjang lebar kepada enam saudarinya. Tak lupa pula ia perkenalkan Jaka, Pak Kyai dan Bu Kyai kepada mereka. Para bidadari milenial dari Kahyangan itu menyambut dengan hangat.
Meski adik bungsunya kini memiliki pilihan hidup yang tak lagi sama dengan mereka, bagaimanapun ia tetap adik mereka yang akan tetap disayangi dan dicintai. Apapun pilihan sang adik, mereka akan menghormatinya. Hanya saja mungkin akan cukup panjang untuk menjelaskan hal ini kepada kedua orangtua mereka.
“Tenang, kak. Nanti aku yang akan menjelaskan sendiri kepada Aba dan Ama.” Wulan berkata dengan tenang dan senyuman yang meneduhkan.
Saat kepulangan tiba juga. Gerbang antar dimensi sudah terbuka. Wulan beserta enam bidadari Kahyangan lainnya harus segera pulang ke tempat asal. Wulan berpamitan kepada Pak Kyai dan Bu Kyai. Bu Kyai memeluk Wulan dengan erat. Meski baru sebulan mengenal gadis cantik itu, namun bu Kyai sudah merasa sangat menyayanginya.
Sebelum alat transporter membawa tujuh bidadari kembali, Wulan berpamitan kepada Jaka. Wulan menitipkan sebuah pesan kepadanya, “Aku tak tahu apa kamu merasakan hal yang sama kepadaku. Namun aku suka kesalehanmu. Jika kau memiliki niat yang baik atasku, maukah kau datang ke tempat ini sebulan lagi. Bersama kedua orangtuamu? Insya Allah aku akan membawa serta kedua orangtuaku.”
Wulan mengakhiri kalimatnya dengan senyuman terindah. Jaka belum sempat menjawab saat alat transporter membawa tujuh bidadari itu ke dimensi asalnya.
Hilang.
Pak Kyai menepuk pundak Jaka Tarub. “Pikirkan baik-baik, jangan gegabah.”
***
“Nawangsih.. Nawangsih.. kamu di mana Nak? Ibu sudah menyiapkan macaroni schotel kesukaanmu lo.” Nawang Wulan memanggil-manggil anak gadisnya berulangkali. Namun batang hidung anak perempuannya itu tak juga terlihat. Rasa khawatir mulai muncul di hatinya. Ia bergegas keluar rumah, bersiap mencari Nawangsih ke rumah sebelah. Siapa tahu sedang bermain di sana. Baru saja Wulan mau membuka pintu, tiba-tiba…
“Ciluk…baaa…” Putri kecil tersayang bersama ayahnya ternyata sudah berencana mengagetkannya. Nawang Wulan tertawa bahagia lalu memeluk keduanya. Wulan merasa bahagia meski kini ia bukan lagi bidadari dari Kahyangan. Namun ia kini menjadi bidadari di rumahnya. Wulan juga merasa bahagia karena memiliki Jaka Tarub, seorang pemuda saleh sebagai imamnya. Dari buah cintanya bersama Jaka, telah lahir Nawangsih, putri kecil yang menjadi qurrota'ayun bagi keduanya.
Maka, nikmat mana lagi yang akan engkau dustakan.
***
Alhamdulillah, selesai sudah tantangan pekan ini dikerjakan. 3009 kata dalam waktu kurang lebih 90 menit. Tak menyangka bisa selesai juga. Sedikit melenceng dari alur yang telah direncanakan. Namun cukup puas, meski pastinya banyak kekurangan.
Semoga bisa dinikmati ya ceritanya, pals. Sangat terbuka untuk berbagai kritik dan saran yang membangun biar bisa lebih baik lagi menulis cerita fiktif ke depannya. Semoga dari cerita ini juga tetap ada hikmah yang bisa diambil. Terima kasih sudah menyempatkan baca cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari Milenial. Sampai jumpa di tantangan berikutnya.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Lihat gambarnya jadi pingin ketawa tp takut dosa ... Imajinasi yg membumbung tinggi. Hampir saja aku memilih untuk "Jaka yang nyantri", tp tidak jadi. Salam dr Lilis Tokyo mb Mar 😊🙏👍
ReplyDeleteLuarr biasa imajinatif 👍 dari kemaren aku tunggu tunggu tulisan barunya hehehe
ReplyDeleteHuwow, jaka tarub versi syariah hiihihi...lucu mba, sukak 😍🌹
ReplyDeleteIdenya keren banget mbak.. bisa aja kepikiran gitu..
ReplyDeleteKisah Jaka Tarub yang syari, menarik Mbak.
ReplyDelete