Pyaar.
Jam dinding jatuh berserakan. Gadis kecil itu menatap nanar kedua orangtuanya yang tak henti bertikai. Tangisannya bahkan tak mampu membuat keduanya berhenti saling menjerit, menuding dan bersumpah serapah. Lelah. Ia lalu beringsut ke kamarnya. Menarik selimut dan mencoba menutup mata.
Sayup-sayup suara orangtuanya perlahan menghilang. Berganti dengan sebuah dendang yang ia kenal. Gadis kecil itu mencoba mengingat di mana ia pernah mendengarnya. Liriknya tampak tak asing. Nadanya juga sangat hangat. Ia ikut bersenandung. Ajaib. Rasa takut, marah dan sedih yang tadi ia rasakan tiba-tiba ikut menghilang. Bersamaan dengan lagu itu terdengar.
Mungkin ini mimpi, pikirnya. Apapun itu, gadis kecil merasa bahagia. Di sini ia bisa bebas berlari ke sana ke mari. Menjejakkan kaki mengikuti irama lagu yang indah dan ceria. Tangannya ia ayunkan ke kanan dan ke kiri. Bebas. Bahkan jika ini hanya sementara, ia merasa rela untuk menggadaikan seluruh hidupnya, asal bisa tinggal di ruang ini.
Perlahan, ruang yang tadinya nampak samar kini mulai terlihat dengan jelas. “Cantiknyaaa…” jerit gadis kecil itu sambil berlari menuju sebuah taman bunga dengan air mancur di tengahnya. Seperti dalam lagu “Lihat Kebunku” yang dulu sering dinyanyikan ibu untuknya, ada bunga berwarna putih, dan ada pula bunga berwarna merah.
Seindah ini ternyata bunga-bunga. Ia sungguh sudah lupa kemolekan bunga beraneka warna. Hanya dua warna yang kini terekam erat dalam ingatan; hitam dan putih. Kadang keduanya bercampur menjadi abu. Kelabu. Seperti awan yang hampir menangis, tak kuat untuk menahan hujan yang terus berdesakan ingin diturunkan.
Dulu, saat ibunya masih rajin menyanyikan lagu “Lihat Kebunku”, gadis kecil itu ingat dunianya masih penuh warna lain selain hitam, putih dan abu. Namun sejak ayahnya sering pulang dalam keadaan setengah sadar, terkadang meracau tak jelas dan menjatuhkan tamparan di pipi sang ibu, ibu sepertinya juga lupa dengan lirik lagu kesukaan gadis kecil itu.
Gadis kecil itu pun tak lagi berani menanyakannya. Ataupun mengajak sang ibu bernyanyi. Pernah sekali ia merengek pada ibunya, tiba-tiba tubuh ibunya membesar dan menghitam. Ibunya berubah menjadi monster. Suaranya menggeram dan kuku-kuku tangannya tiba-tiba memanjang, seakan siap menerkam sang gadis kecil.
“Ampun, Bu.. ampun, Bu…” Berkali-kali ia mengucapkan maaf, namun monster jelmaan ibunya semakin meradang. Gadis kecil pun berlari dan sembunyi di belakang sofa yang sudah mulai lusuh dan bau. Takut.
Setiap mengingat kejadian itu, bulu kuduk gadis kecil tiba-tiba berdiri. Begitu juga di siang yang cerah itu. Ia pun segera berlari mengejar kupu-kupu yang hinggap di antara bunga-bunga. Melarikan rasa takut yang tiba-tiba datang menyergap. Lalu dalam sekejap, gadis kecil itu kembali tertawa dengan riangnya. Kembali berdendang sebuah nada yang hangat, sambil mengayunkan kaki-kaki kecilnya. Tangan-tangan mungilnya memetik bunga beraneka warna, lalu menggenggamnya dengan erat.
“Jika ini mimpi, jangan biarkan aku bangun, Tuhan.” Sembari terus berputar-putar penuh kebahagiaan, gadis kecil itu memanjatkan sebuah harapan. Sungguh ia berharap tak akan pernah kembali terbangun dan harus tersekap melihat kenyataan pahit yang menghadangnya setiap detik. Ibunya yang telah berubah menjadi monster. Ayahnya yang pulang dengan bau alkohol. Juga perempuan muda yang datang sejak pagi itu, membawa bayi merah di gendongannya.
Gadis kecil itu sangat suka di sini. Di ruang tanpa nama. Di mana ia bebas menjadi dirinya sendiri. Tanpa rasa takut, marah dan gelisah. Tanpa ia sadari, dari sebuah jendela yang tak cukup besar ada tiga pasang mata yang menatapnya. Nanar. Sepasang mata teduh lalu menitikkan bulir-bulir air yang bening. Jatuh menyentuh pipi. Tangannya yang mulai berkerut menyeka buliran itu.
“Sampai kapan anak saya seperti itu, Dok?”
“Entahlah Bu. Anak ibu sepertinya sedang berada di dunianya sendiri. Kami sudah mencoba melakukan semaksimal yang kami bisa, namun sepertinya ia memilih untuk tidak mau keluar dari dunia tersebut.”
“Semuanya gara-gara kamu, ngurus anak satu saja nggak becus!” Suara besar dan berat meradang, meluapkan amarah yang tak pada tempatnya. Perempuan bermata teduh yang sedari tadi mencoba menahan kesedihannya tak terima dituduh tak becus mengurus anak. Lalu mereka kembali saling bersumpah serapah. Orang-orang berbaju putih mencoba melerai dan menenangkan mereka. Tapi mereka masih juga saling mengklaim kebenaran milik masing-masing.
Sementara itu, tiba-tiba bunga beraneka rupa dan warna yang tadi tergenggam di tangan sang gadis kecil terjatuh. Mata sang gadis menatap kosong ke balik jendela. Dunianya kembali hitam, putih dan abu. Rasa takut, cemas dan marah menggerogoti jiwanya menjadi satu.
“Lihat kebunku penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah, setiap hari kusiram semua, mawar melati semuanya indah…” Berkali-kali gadis kecil itu mencoba menyanyikan lirik lagu yang tiba-tiba dia ingat dengan sempurna, sekaligus dengan nadanya. Ia berharap lirik lagu itu berubah menjadi mantra yang bisa mengembalikannya pada dunia bunga penuh warna. Ia tak mau ada di sini mendengar lengkingan ibu dan ayahnya. Terlalu lelah dan memekakkan telinga.
Semakin takut. Semakin gelap. Semakin tak bernama.
Bruk.
“Bunga... Bunga… bangun, Nak…. ayo angkat, bawa ke ruang pemeriksaan…”
***
Siang itu RS Jiwa Daerah Amino Gondohutomo berduka. Seorang pasien berusia 17 tahun bernama Bunga meninggal. Depresi berkepanjangan yang membuatnya tak bisa membedakan halusinasi dan kenyataan telah membawanya pada akhir cerita hidupnya.
Sedih banget bacanya, bagus Mbak ceritanya. Semangat terus dalam berkarya.
ReplyDeleteKeren Mbak, semangat terus dalam berkarya dan pastinya ditunggu karya-karya selanjutnya.
ReplyDeleteSedih banget baca ceritanya. Suka banget deh pokoknya baca cerita yang bisa diambil pelajarannya kayak ini.
ReplyDeleteAduh jadi ikut kebawa sedih nih bacanya, keren deh pokoknya.
ReplyDeleteKasihan sekali gadis malang tersebut, semangat terus dalam berkarya Mbak.
ReplyDeleteMemang keharmonisan keluarga sangat penting untuk psikologi anak ya Mbak.
ReplyDeleteSedih banget membacanya. Orang dewasa seringkali egois. Tapi entah bagaimana bisa mereka nyuekin anak secuek-cueknya? Anak-anak yang bahagia lahir dari orangtua yang bahagia. Ketika si ibu tidak bahagia. Dia sendiri juga lelap dengan halusinasinya dan berubah menjadi monster ketika halusinasinya diganggu
ReplyDelete