Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Institut Ibu Profesional (IIP) adalah komunitas kedua selain IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis) yang aku kepoin semenjak resign dari kantor pada 2012. Awalnya yang membuatku tertarik adalah salah satu teman SMA-ku menjadi kontributor di buku Bunda Sayang. Aku lalu mulai mencari tahu dan sering nongkrong di website official-nya.
Dari web tersebut, aku jadi tahu kalau IIP adalah sebuah sekolah untuk para ibu. Saat itu pembelajarannya masih lewat webinar alias web seminar. Siapapun bisa mengikutinya asal sudah mendaftar terlebih dahulu. Link webinar akan dikirimkan lewat email. Sayangnya aku seringkali terlambat membuka email tersebut. Maklum dulu sambungan internet di rumah belum 24 jam seperti sekarang, hanya pakai saat butuh saja.
Kesibukanku mengurus Ifa dan menjadi content writer untuk web orang menjauhkanku dari IIP. Hingga kemudian sekitar tahun 2014 atau 2015, aku baru tahu kalau di Semarang sudah ada IIP regional. Saat itu member yang paling kuingat adalah Mbak Ade Hermawati, kebetulan dia juga teman di IIDN Semarang dan Komunitas Blogger Gandjel Rel. Dari Mbak Ade ini aku jadi tahu kalau ternyata IIP Semarang ada whatsapp group-nya, lalu aku minta dimasukkan ke dalamnya.
Beberapa kali mendapat info kuliah offline yang diselenggarakan di rumah Ibu Septi di Salatiga ataupun di Semarang saat Bu Septi sedang berada di kota ini, namun masih belum jodoh untuk belajar langsung dengan sang founder. Saat itu mikirnya masih jauh dan ribet karena harus bawa balita. Apalagi saat itu belum berani bawa motor sambil gendong anak, hehe.
Sampai akhirnya sekitar tahun 2016, IIP mulai ada perombakan besar-besaran. Yang awalnya siapapun bisa menjadi member IIP, mulai tahun itu member adalah mereka yang berhasil lulus matrikulasi. Whatsapp group yang sudah ada dibubarkan lalu semua orang diangkut dalam WAG yang dinamakan foundation. Aku excited sekali untuk ikut matrikulasi. Sejak matrikulasi batch #1 sebenarnya aku sudah mau ikutan, tapi menunda-nunda transfer biaya pendaftaran, sampai akhirnya pendaftaran sudah ditutup. Gagal deh ikut MIIP Batch #1.
Tiga bulan kemudian, satu per satu orang yang telah lulus matrikulasi pamitan dan left dari WAG foundation. Semakin tertantang untuk kembali mendaftar MIIP batch #2. Namun lagi-lagi belum berjodoh. Qodarullah di tahun 2016 aku juga sedang hamil Affan, akhirnya kuputuskan untuk menanti kelahiran baby dulu baru mau daftar MIIP.
Akhir 2016, berita gembira sekaligus berita duka datang silih berganti. Kelahiran Affan yang lebih cepat sebulan dari HPL cukup mengagetkan, disusul dengan kepulangan ibu ke Rahmatullah. Campur aduk rasanya. Sedih tapi nggak boleh sedih, down tapi nggak boleh down. Dan ternyata di saat kondisi jiwa sedang rapuh-rapuhnya, Allah menjodohkanku dengan IIP. Setelah perjalanan panjang mengenal komunitas ini, akhirnya kesampaian juga belajar di MIIP Batch #4.
Matrikulasi; Sebuah Awal Baru
Bulan Mei 2017, 6 bulan setelah kelahiran Affan dan kepergian ibunda tercinta menjadi babak baru dalam kehidupanku. Satu demi satu materi matrikulasi kukunyah dengan lahap, tapi perlahan. Menyesal! Ya, menyesal kenapa nggak dari dulu ikut webinar dan matrikulasinya. Namun Allah lebih tahu waktu yang tepat kan?
Matrikulasi layaknya obat untuk jiwaku yang saat itu sedang gersang. Aku yang mulai goyah, nggak lagi punya cita-cita, nggak lagi tahu mau jalan ke arah mana, akhirnya mulai menemukan titik terang. Dari mulai dijewer tentang menerima takdir hingga menemukan misi spesifik hidup. Sebagaimana yang kutuliskan pada aliran rasaku di akhir MIIP batch #4, matrikulasi… kau membuatku semakin berisi.
Aku mulai membuka open house untuk siapapun yang mau belajar ngeblog bareng, baik online maupun offline. Lalu diciduk oleh Mbak Endah, leader IIP saat itu, sebagai penanggungjawab Rumah Belajar Literasi Media. Senang rasanya bisa berbagi informasi yang kumiliki, meski sedikit. IIP menyemai semangatku untuk berbagi dan melayani. Dua hal sederhana yang jika tak biasa akan terasa sulit dilakukan.
Di IIP aku belajar bahwasanya semua manusia di bumi ini bisa menjadi guru sekaligus murid. Kita saling belajar dan melengkapi. Apa yang aku tahu kubagikan pada mereka yang belum tahu, dan aku pun jadi tahu dari apa yang mereka bagikan padaku. Senangnya berkumpul dengan komunitas perempuan terbesar di negeri ini. Bukan hanya senang, namun juga bangga!
Bagaimana tak bangga… jika biasanya perempuan terkenal dengan mulut nyinyirnya, rumpinya… di IIP kami belajar untuk rumpi yang berfaedah. Dari ngobrolin masakan, hingga pengasuhan anak. Selalu ada hal baik yang bisa diambil dari setiap obrolan WAG. Ya, meski tak bisa dipungkiri ada beberapa kali terjadi konflik. Kuanggap sebagai bumbu dalam sebuah komunitas. Sekaligus menjadi pembelajaran pendewasaan pola pikir.
Matrikulasi adalah titik terpenting buatku, makanya ketika ada lowongan untuk menjadi fasilitator matrikulasi aku sangat berminat. Aku ingin membagikan apa yang kurasakan; bagaimana matrikulasi bisa mengubahku, menyuntikkan semangat dan membuatku lebih hidup. Meski begitu, aku sempat dilanda tak percaya diri untuk maju menjadi fasil. Hingga akhirnya saat MIIP #6 aku baru merasakan dahsyatnya menjadi seorang fasil.
Menjadi fasil bukan berarti lebih hebat dan lebih tahu dari para mahasiswi. Aku justru seperti sedang melakukan remidial dengan cara teristimewa. Di MIIP #6 aku kembali bertemu guru-guru kehidupan terbaik. Apalagi ketika usai MIIP #6, aku kembali membeli jam terbang sebagai fasil Bunsay #5. Ternyata, di semester 1 aku dipertemukan lagi dengan sebagian besar mahasiswi MIIP #6. Senangnya bisa membersamai orang-orang yang sudah kukenal. Sudah tahu bagaimana karakternya dan bagaimana pola belajarnya.
Kini Bunsay #5 masuk semester 2, rotasi fasil dilakukan. Aku mendapat amanah baru membersamai teman-teman di regional Bandung. Cukup menantang. Setelah berturut-turut jadi fasil di kandang sendiri, kini harus keluar kandang. Deg-degan, tapi juga senang. Namun, kurasakan aku lebih menikmati menjadi fasil matrikulasi daripada fasil bunsay. Lebih ‘aku banget’ rasanya.
Makanya ketika Ibu Profesional menggeber New Chapter 2020, di mana salah satunya adalah akan dibentuknya Akademi Fasil, aku semangat sekali menyambutnya. Dari hasil obrolanku dengan mbak-mbak senior di tim institut pusat, Akademi Fasil nanti bisa jadi akan mengelompokkan mana saja orang-orang yang lebih pas di kelas matrikulasi, bunsay dan kelas-kelas lainnya. Sepertinya kalau ada kesempatan lagi, aku akan lebih memilih fokus untuk ngefasil di kelas matrikulasi.
Selain menjadi fasil, kemampuanku mengatur sebuah WAG juga semakin terlatih ketika aku memilih peran menjadi bagian dari tim online bareng mbak Hessa, sang manager dan mbak Dian Eka, sang admin WAG. Sebenarnya job desc-ku lebih fokus kepada urusan medsos dan blog, tapi tanganku gatel melihat WAG yang nongol cuma 4L alias lu lagi lu lagi. Ya, meski itu sudah menjadi hal lazim di semua WAG apapun, tapi dengan komunitas sekeren IIP, sepertinya sayang kalau WAG cuma dianggurin saja.
Buatku ketika masuk ke sebuah komunitas, ke sebuah WAG, maka harus ada manfaat di dalamnya. Bukan sekedar nongkrong cantik, duduk manis dan skip chat. Jangan sampai cuma menuntut ini itu tanpa mau berbagi sesuatu. Berkaca dari WAG Yukjos-nya Abah Ihsan, aku ambil hal-hal yang bisa diterapkan di WAG IP Semarang.
Berdiskusilah aku, mbak Hessa dan mbak Dian memikirkan bagaimana menghidupkan WAG komunitas tercinta ini. Akhirnya terbentuklah sistem GruJa yang merupakan singkatan dari Grup Kerja. Memang terkadang perlu dipaksa terlibat agar rasa memiliki pada komunitas semakin tumbuh subur. Tiga minggu pertama… beraaaaat! Banyak yang mangkir dari tugas dengan berbagai alasan. Namun pelan-pelan akhirnya GruJa sudah on the track. Bahkan sebulan ini tim online hanya mengawasi saja, karena GruJa-nya sudah jalan sendiri.
Aku tahu ada beberapa anggota yang nggak cocok dengan sistem ini. Yang jadi dipaksa punya tugas lah, jadi dipaksa nongol, WAG-nya juga jadi riuh, dsb. Namun di satu sisi, aku pun terharu dengan kolaborasi dari teman-teman yang akhirnya dengan kesadaran sendiri mau berbagi dan melayani. Yang tadinya nggak nampak potensinya jadi kelihatan.. ooh ternyata si A jago ini, ternyata si B punya kelebihan di bidang ini. Kami jadi bisa mengenal sesama member lebih baik lagi.
Member-member yang tadinya merasa tidak percaya diri pun ketika akhirnya diberi tugas, entah menjadi moderator, notulen ataupun narasumber, kemudian malah banyak yang ketagihan. Ya begitulah, terkadang kita perlu dipaksa untuk menjalani sebuah amanah yang akhirnya membantu kita menemukan potensi diri.
Di tahun keduaku resmi menjadi anggota IIP ini, hal yang paling tak terlupakan adalah ketika bisa menghadiri Konferensi Ibu Profesional (KIP). Bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru nusantara yang tadinya hanya kenal dari WAG, rasanya luarrrr biasa. Berada di IIP, aku merasa sangat kecil. Belum memiliki pergerakan apa-apa. Sementara mbak-mbak seniorku sudah demikian luar biasa menjadi pembaharu, tidak hanya di dalam keluarga kecilnya, namun sudah merambah ke lingkungan terdekat mereka.
KIP benar-benar ajang yang telah menyulutkan bara api di dalam dada. Tidak boleh cuek, tidak boleh diam saja, tidak boleh hanya sekedar menuntut, namun harus doing something! Sekecil apapun yang kita bisa, lakukanlah. Karena tidak akan pernah ada hal besar tanpa hal-hal kecil. Menjadi changemaker adalah keharusan! Mulai saja dari berubah lebih baik setiap harinya. Yang sebelumnya ke pasar masih pakai plastik, mulai dirubah membawa kantong kain. Yang sebelumnya cuek sama anak-anak tetangga, mulai dirubah untuk ikut serta menjadi pengaruh baik bagi mereka.
Then, What’s Next?
Waktu di KIP, Bu Septi mengumumkan perubahan formasi tim pusat. Salah satunya Mbak Chika yang tadinya Leader Fasil Bunda Sayang terpilih menjadi Rektor IIP, Mbak Yani yang tadinya berperan sebagai Manajer Matrikulasi terpilih menjadi Wakil Rektor bidang SDM & Aset. Di ruang Fasilnas Bunsay, beberapa saat setelah KIP usai, mbak Chika membagikan pengumuman tentang lowongan manajer matrikulasi, bunda sayang, bunda cekatan, bunda produktif dan bunda saleha.
Entah kenapa aku bergetar membaca lowongan tersebut. Tapi kok sepertinya terlalu nekat kalau mau kirim lamaran. Sementara ada banyak mbak-mbak di ruang Fasilnas Bunsay yang jauh lebih berpengalaman. Kutimbang dan kupikirkan berhari-hari, hingga akhirnya aku memberanikan diri melamar menjadi Manajer Matrikulasi on the last minutes. Memilih melamar posisi tersebut karena seperti yang kusampaikan sebelumnya, buatku matrikulasi itu gue bangeeet. Meski belum punya bayangan juga kalau jadi manajer lalu bakal ngapain aja. Pokoknya bonek alias bandha nekat.
Diterima?
Tentu tidak, wkwk. Namanya saja nekat, ngeri deh kalau keterima. Diumumkan oleh Mbak Chika beberapa saat kemudian, mbak Ika Pratidina - yang juga salah satu pemenang Changemaker Award di KIP, dan mbak Nani Nurhasanah yang terpilih masuk dalam jajaran timnas. Orang-orang yang tepat secara kapasitas dan kualitas.
Apakah aku sedih? Tentu tidak. Sudah berani melamar posisi Manajer Matrikulasi saja buatku adalah hal yang perlu diapresiasi - oleh diri sendiri. Kenapa? Karena aku mampu melawan ketidakpercayaandiriku!
Namun rupanya Allah mengirimkan sebuah kejutan yang tak terduga. Ya iyalah namanya kejutan pasti nggak terduga, hehe. Dua hari setelah pengumuman nama yang terciduk ke timnas, tepat di pergantian usia suami tercinta sebulan lalu, mbak Chika menghubungiku dan melamarku menjadi Manajer Media Komunikasi IIP.
Galau!
Karena di saat yang bersamaan, IP Semarang sedang dalam persiapan Pemilu Raya. Lanjut bergerak di regional atau menambah jam terbang dengan lingkup yang lebih luas? Tentu saja meskipun saat berkecimpung di ranah pusat, aku tetap masih bisa aktif di regional, namun suami sudah wanti-wanti, “Ambil salah satu peran saja. Kalau mau ambil peran di pusat, maka lepaskan yang di regional. Atau sebaliknya. Ingat, tugas utama bunda tetap jadi istri dan ibu! Jangan sampai peran di ranah publik membuat tugas utama keteteran.”
My husband is my best support system. Selama ini dia selalu siap mendukung semua aktivitasku di IIP. Mulai dari momong anak, nganterin ke lokasi playdate atau kampanye KLIK sampai jadi juru foto juga doi jabanin. Tapi dia juga yang paling tahu bagaimana perfeksionisnya sang istri ketika sudah diamanahi sesuatu. Makanya doi sarankan; pilih salah satu.
Setelah 5 hari diberi kesempatan berpikir, pada hari Selasa, 1 Oktober 2019, mbak Chika kembali menghubungiku dan menanyakan kesanggupanku. Bismillah, aku ambil peran yang ditawarkan beliau. Setelah diskusi panjang lebar dengan suami, dan mengingat wejangan Bu Septi, “Pilihlah peran yang paling membuat kita berbinar!”, maka kupikir ini keputusan terbaik.
Dan terbukti, memasuki bulan pertama menjadi Manajer Medkom IIP, aku diberi tugas untuk membuat Website official IIP. Berhasil membuatku penasaran dan tertantang untuk segera menyelesaikannya! Meski sudah pernah ikut Coding Mum, dan diajari suami utak-atik wordpress beberapa kali, tetap saja ini hal baru buatku! Doakan ya semoga semuanya cocok dan web khusus Institut bisa segera launching.
Ibu Profesional, terima kasih… dulu, aku selalu takut dengan perubahan. Namun berkecimpung di dalam tubuhmu, aku jadi tahu bahwa perubahan adalah fitrah. Semua orang pasti berubah. Bahkan waktu saja berubah dari pagi ke malam, malam ke pagi bukan? Apalah lagi manusia. Yang patut digarisbawahi adalah bagaimana menjadikan setiap perubahan di dalam hidup tetap bernafaskan kebaikan-kebaikan.
Perubahan besar pada New Chapter 2020 of Ibu Profesional memang cukup mengagetkan. Namun inilah bukti betapa Bu Septi telah memikirkan secara matang konsep ‘anak ideologis’nya, lebih dari siapapun. Beliau ingin merangkul semua perempuan di Indonesia, apapun passionnya, apapun minatnya, apapun potensinya untuk bisa bergabung bersama komunitas ini.
New Chapter 2020 of Ibu Profesional juga membuktikan bahwasanya setiap orang bebas memilih menjadi apapun dan siapapun sesuai dengan yang dia mau dan dia suka, selama masih dalam nilai dan koridor kebaikan.
Selamat datang babak baru Ibu Profesional! Mari bergandengan tangan untuk membangun semesta karya bersama-sama! I love you, Ibu Profesional…
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com