Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Seminggu lalu, tepatnya pada hari Jumat, 20 September 2019, aku baru saja mengajak teman-teman di kelas Bunda Sayang Jateng batch #5 untuk membedah buku karya Ustaz Adriano Rusfi, dkk. Tema buku ini memang sangat menarik diangkat.
Berhubung tantangan pekan ketiga ODOP Batch #7 kali ini adalah mengulas tentang sebuah buku yang sudah pernah dibaca. Maka sekalian saja aku bagikan kerennya buku yang kubedah di kelas Bunsay Jateng tersebut di sini. Namun sebelum kita mulai bahas lebih dalam, aku mau bagikan sekilas info terkait buku yang diterbitkan oleh Komunitas HEbAT ini ya.
Judul buku: Menjadi Ayah Pendidik Peradaban
Penulis: Adriano Rusfi, dkk
Editor: Adhika Bayu Pratyaksa
Ilustrasi sampul: Yordan Aulia Akbar
Ilustrasi dalam: Anggi Cyanzan
Tata letak: Timedia SamBa
ISBN: 978-602-51836-1-4
Tahun Terbit: Cetakan ke-2, Desember 2018
Tahun Terbit: Cetakan ke-2, Desember 2018
Inisiator: HEbAT Community (Home Education based on Akhlak & Talents Community)
Penerbit: Hijau Borneoku
Tebal buku: 140 halaman + ix
pic by Mbak Oky Yuwanti |
Siapa yang Harus Baca Buku Ini?
Buku parenting memang kini semakin menjamur. Ada banyak penulis yang concern terhadap tema ini. Bahkan kini parenting pun mulai ada banyak madzhab. Mana yang paling baik? Tentu setiap keluarga punya rujukannya masing-masing. Kalau aku sendiri sebagai muslimah, memang lebih fokus mempelajari Islamic Parenting, parenting yang berdasarkan Quran dan Hadits. Bahkan Islamic Parenting pun ada beragam pilihan. Mau cari buku parenting besutan penulis lokal atau kitab-kitab dari para ulama yang telah diterjemahkan? Semua mudah sekali didapatkan sekarang ini.
Meski penulis buku-buku parenting menargetkan pembacanya adalah para orangtua, nyatanya pembaca buku genre ini kebanyakan tetap para ibu. Bagaimana dengan ayah? Boro-boro mau baca buku, kadang meluangkan waktu buat ngobrol sama anak istri saja nggak sempat.
Nah, buku besutan Ustaz Adriano Rusfi ini diharapkan menjadi teman belajar parenting buat para ayah. Tulisan-tulisan di buku ini sebenarnya sudah pernah diterbitkan oleh Ustaz Adriano Rusfi di beranda Facebook beliau, dan koran-koran lokal. Mengingat betapa tulisan-tulisan beliau sangat menggugah, teman-teman dari HEbAT Community merasa sayang kalau tulisan itu terlupakan. Akhirnya mereka menginisiasi untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Ustaz Adriano ke dalam satu buku, sehingga tidak tercecer dan berharap pesannya lebih tersampaikan.
Mengajak para ayah membaca buku memang hal yang tak mudah. Biasanya karena kesibukan, ayah tak lagi sempat membaca buku. Namun dari pengalamanku ketika menyodorkan buku ini ke suami, respon doi cukup bagus. Karena tulisan-tulisan di sini tidak berisi sekedar teori, namun juga praktek serta curahan hati Ustaz Adriano Rusfi dalam menjalankan perannya sebagai ayah.
Tahu sendiri kan laki-laki itu paling nggak bisa digurui. Buku ini menurutku cukup apik dalam pengemasannya. Pesannya sampai dan para ayah tidak merasa sedang diceramahi, tetapi seperti membaca pengalaman dari seorang sahabat.
Oh ya, meski buku ini ditargetkan kepada para ayah, namun aku rasa para ibu pun sebaiknya juga membacanya. Bukan untuk menguliti suami, lalu menceramahi suami “ini lo jadi ayah seharusnya begini, begitu…”, tetapi agar kita sebagai istri bisa mendukung para suami berperan sebagai ayah dengan maksimal.
Mengapa Harus Baca Buku Ini?
Tingkat awareness para ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak masih sangat rendah. Bukan saja di Indonesia, namun hampir di seluruh belahan bumi sepertinya masalah fatherless telah menjadi common issue. Terdoktrin di kepala para laki-laki bahwa tugas utama mereka adalah pencari nafkah keluarga. Padahal sebenarnya tugas utama seorang imam sudah tertulis dengan jelas pada Quran Surat At Tahrim: 6;
Ya, seorang ayah tugasnya tak sekedar mencari nafkah. Itu hanya salah satu, sedang tugas utamanya adalah menjaga keluarganya dari api neraka. Itu artinya seorang ayah harus mampu memberikan pendidikan dan pengetahuan yang tepat kepada istri dan anak-anaknya, sehingga kelak bisa bersama-sama masuk ke surgaNYA.
Berat? Tentu… karena kalau tidak berat, hadiah yang didapat pasti bukan surga, tetapi permen cicak, hehe. Insya Allah, kalau para ayah memahami ayat-ayat Al Quran terkait dengan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak, mereka tak akan lagi merasa berat. Karena sejatinya laki-laki memang didesain untuk menjadi qowwammah.
Buku yang ditulis oleh Ustaz Adriano Rusfi, dkk ini insya Allah akan membantu para ayah untuk lebih terbuka dan lebih memahami perannya sebagai seorang imam. Bahwa ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang ayah, sehingga anak-anak akan tumbuh secara optimal dan tidak ada lagi fatherless kids.
Btw, sebelum kita lanjut mengulik keseruan buku ini, aku mau share dulu kenapa sih concern banget masalah fatherless. Qodarullah aku dan suami mengalami kondisi tersebut. Aku tumbuh dengan seorang bapak yang sangat sibuk bekerja, dan sering sekali bertikai dengan ibu. Sedangkan suami tumbuh dari bapak dan ibu yang bercerai. Tanpa sadar ternyata background broken home tersebut sangat mempengaruhi kami. Namun karena hal ini jugalah aku dan suami berjanji bahwa kami akan menjadi orangtua yang lebih baik dari kedua orangtua kami. Doakan kami, pemirsaah.
Tiga tahun lalu kami pernah duet menulis tentang tema ini di blog masing-masing, boleh lo kalau sedang luang mlipir ke sini;
Intinya karena background itulah, aku angat tertarik masalah fatherless dan soul recovery yang diakibatkan olehnya. Buku ini menurutku sangat komplit membahas tentang bagaimana sebaiknya ayah berperan secara optimal dalam pengasuhan anak, sehingga nggak ada lagi fatherless kids di Indonesia, dan di dunia.
Sinopsis Buku
Baiklah, sekarang kita mulai membedah buku Menjadi Ayah Pendidik Peradaban karya Ustaz Adriano Rusfi, dkk ya. Oya, ada yang belum mengenal ustaz Adriano Rusfi? Beliau adalah founder dari Home Education based on Akhlaq and Talents (HEbAT) bersama Ustaz Harry Santosa.
Ternyata selain kepanjangan dari Home Education based on Akhlaq and Talents, HEbAT juga merupakan kumpulan huruf depan dari nilai dasarnya; Harmoni, Empati, Berani, Adab, dan Terintegrasi. Ustaz Adriano dan Ustaz Harry memang fokus dalam usaha mereka untuk ‘meracuni’ para orangtua untuk mengembalikan peran mereka sesuai fitrah.
Sebenarnya hanya ada 3 bab di buku ini;
1. Niat
2. Sang Pendidik Peradaban
3. Sang Raja Tega
pic by me, bukuku sudah kucel sekali |
Di setiap tema ada lebih dari satu tulisan. Tidak hanya ditulis oleh Ustaz Adriano, tapi juga oleh para punggawa HEbAT Community yang mengikuti kontes menulis dengan tema sama dengan judul buku. Ada delapan orang yang tulisannya terpilih untuk menjadi bagian dalam buku ini. Secara garis besar, tulisan-tulisan di buku ini menceritakan tentang pengalaman para penulisnya dalam berperan menjadi ayah. Tidak hanya itu, beberapa tulisan juga memberikan sudut pandang sebagai anak yang tercukupi kebutuhan mereka akan figur ayah.
Sejak membaca prolognya, buku ini sudah sukses membuat bulu kudukku berdiri. Ini sepenggal dari prolognya;
“Rabb, siapakah sebenarnya sang pendidik anak itu?”
Aku membuka kitabNya helai demi helai. Lalu kudapati nama Luqmanul Hakim. Ia adalah seorang pendidik anak teladan, dan ternyata ia adalah seorang lelaki. Lalu kucari nama lain, muncullah nama Ibrahim as, ia pun seroang pendidik anak fenomenal, dan ia pun seorang lelaki. Lalu kutemukan nama lain, yaitu Imran. Ia adalah seorang pendidik anak, dan ternyata iapun adalah seorang lelaki. Lalu aku pun menemukan nama Ya’qub, Zakaria dan ternyata semuanya adalah lelaki.
Ah, ternyata aku keliru selama ini. Ternyata sang pendidik anak itu adalah ayah, karena dia adalah pemimpin, sosok yang ucapannya didengarkan, perilakunya diikuti dan bahkan isi dompetnya dapat membuat seisi rumah taat kepadanya. Ia tak banyak bicara, tapi lebih banyak didengar.
Lalu aku dengar pula ada 17 ayat dalam Al Quran tentang pendidikan anak. Ternyata 14 di antaranya dilakoni oleh para ayah, hanya 3 yang dilakoni oleh bunda atau keduanya.
Itu hanya sepenggal… tapi menurut teman-teman bagaimana perasaan para ayah saat membaca kalimat tersebut? Kalau suamiku sih bilang berasa ditabok katanya, wkwk. Meski sampai sekarang doi pun belum kelar membaca bukunya, baru sampai prolog melulu.
Bab 1 - NIAT
Ada 10 tulisan di sini, 2 diantaranya bukan disusun oleh Ustaz Adriano. Sebelum masuk ke tulisan-tulisan di bab ini, lagi-lagi ada pembuka yang membuatku menghela nafas berkali-kali.
Ayahbunda, terkadang ada di antara anak-anak kita yang begitu kaya dengan aksi kebaikan, namun begitu miskinnya dengan pahala. Ya, ketika anak-anak kita melakukan kebaikan secara mekanistik dan reaktif.
Mereka dilatih, bukan dididik.
Mereka didoktrin, bukan disadarkan.
Mereka dibiasakan, bukan dimotivasi.
Akhirnya mereka dibesarkan seperti hewan sirkus: begitu terampil melaksanakan perintah, namun hampa.
Mereka gagal beramal shaleh dan berpahala, karena mereka kehilangan syarat utamanya: NIAT! Ya, kehilangan kesadaran, alasan, dan ilmu berperilaku. Maka mari kita mulai pendidikan dari NIAT.
Wah, jleb banget!
Di tema pertama ini, ada 10 tulisan yang menggetarkan;
1. Dicari Lelaki Luqmanul Hakim
2. Visi
3. Sang Pendidik Utama
4. Meneladani Visi Misi Keluarga Ibrahim
5. Man of Vision and Mission
6. Operating Sistem Keluarga
7. Taqarrub
8. Sang Juru Denda
9. Ayah Tiga Generasi, ditulis oleh Anis Venita Febriana
10. Ayah dan Misi Penyelamatan, ditulis oleh Lilian Nema
10 tulisan di atas memiliki satu benang merah yaitu pentingnya seorang ayah memiliki misi yang jelas untuk keluarganya. Bahwa wajib bagi seorang ayah menyadari peran utamanya sebagai pendidik utama bagi istri dan anaknya.
Baru membaca tulisan pertama di tema niat saja, kita akan terasa dicubit dan ditampar berkali-kali. Kita seakan-akan orang pingsan yang diguyur air biar segera sadar.
Dibuka dengan sepenggal ayat dari surat Luqman: Duhai anakku, usah kau sekutukan Allah. Sungguh menyekutukan Allah itu aniaya yang besar”. Mengingatkan pembaca bahwa dialog di surat luqman itu terjadi antara AYAH dan anaknya.
Zaman sekarang masih adakah ayah yang menasehati anak-anaknya? Saat anak-anak teracuni narkoba, pergaulan bebas, kenapa hanya para ibu yang tergopoh-gopoh? Ke mana para ayahnya?
Luqman-luqman hilang entah ke mana. Yang tersisa tinggal para suami yang telah mendegradasi perannya sebatas pencari nafkah keluarga belaka, sedangkan peran lainnya didelegasikan kepada ibu.
Padahal dulu saat ayat-ayat khusus untuk perempuan, rumah tangga dan pendidikan anak turun di Madinah, Rasulullah tidak mengumpulkan para perempuan tapi para lelaki. Lalu beliau bersabda, “Pulanglah kalian, dan sampaikanlah kepada istri-istri dan anak-anak perempuan kalian.”
Tema pertama ini juga mengingatkan agar seorang ayah seharusnya memiliki VISI. Karena visi akan menjadi pembeda antara keluarga satu dengan lainnya. Visi lahir dari kepribadian, idelogi dan aqidah. Visilah yang menentukan cara pandang dan sudut pandang kita.
Setelah menyadari dan menemukan visi, seorang ayah juga diminta untuk memahami bahwasanya penanggung jawab utama pendidikan adalah AYAH. Bukan BUNDA. Bunda adalah pelaksana pendidikan. Di sini Ustaz Adriano mengingatkan para ayah agar jangan berlindung di balik kualitas, padahal kuantitas sangat kurang.
Tidak ada kualitas tanpa kuantitas yang cukup.
Di buku ini Ustaz Adriano juga menyempilkan tips mengenai cara merumuskan visi:
- Mengkaji ulang kenapa dulu berkeluarga, kenapa memilih istri sebagai pasangan hidup, cita-cita dulu berkeluarga apa?
- Temukan faktor-faktor terberi di masa dulu, sekarang atau masa yang akan datang. Hal-hal khas di antara suami dan istri.
- Situasi terkini; jumlah anak, kondisi ekonomi, cobaan yang paling sering ditemui. Cari benang merahnya.
- Tuliskan mimpi-mimpi kita, mimpi setiap anggota keluarga lalu dirumuskan menjadi mimpi keluarga. Ingin dikenal sebagai keluarga apa/ family branding.
Lebih lengkapnya mengenai cara menemukan misi keluarga, bisa dibaca pada postinganku yang ini ya.
Bab 2 - Sang Pendidik Peradaban
Untuk membuka bab kedua, Ustaz Adriano Rusfi kembali menggugah pembaca dengan kalimat yang sangat menyentuh.
Zaman ini, negeri kita telah menjadi the fatherless country, negeri tanpa ayah. Kita hanya akan membaca kisah-kisah sedih tentang anak-anak pengguna narkoba, atau gadis-gadis yang hamil di luar nikah.
Maka, pulanglah ayah…!
Didiklah iman dan aqidah anak-anakmu agar mampu berkata “tidak!” pada segala bentuk penghambaan kepada selain Allah…
Didiklah ego dan individualitasnya agar penuh percaya diri untuk mempengaruhi dan tak terpengaruhi. Agar mereka mampu tandang ke gelanggang walau seorang.
Maka, pulanglah ayah…!
Peradaban menanti sentuhan pendidikan bagi anak-anakmu, demi kembalinya Sang Khairu Ummah. Karena ummah selalu membutuhkan Sang Imam…
Ada 12 tulisan di bab ini;
1. Mendidik Generasi Peradaban
2. Mewariskan Keturunan yang Sholeh
3. Pernikahan Dini dan Kepala yang Dikecilkan
4. Regeneration Parenting
5. Menyebalkan, Anak-anakku Betah di Rumah..!
6. Ayah Smart Mencari Nafkah
7. Mendidik Fitrah Keimanan
8. Pola Asuh Rentan LGBT
9. Peran Ayah dalam Pembentukan Karakter, ditulis oleh Ika Nurmaya
10. Lima Kisah Ayah, ditulis oleh Ani Ch
11. Tazkiyatun Nafs, ditulis oleh Amirrudin
12. Bapak, Someone yang Something, ditulis oleh Kusumaningtyas Sekar Negari
Inti dari semua tulisan di bab ini adalah mengingatkan para ayah bahwa kaderisasi peradaban terbaik adalah pendidikan anak di rumah, yang digawangi oleh ayah. Ketika pendidikan digawangi dengan visi misi seorang ayah, barulah pendidikan tersebut bisa diharapkan untuk membentuk batu bata peradaban.
Di sini para ayah juga diingatkan bahwa tugasnya untuk mencari nafkah tidak boleh melalaikan kewajiban utamanya sebagai pendidik. Bahkan ketika anak-anak masih di usia dini - remaja, ayah sebaiknya lebih mengerahkan tenaga, pikiran dan perasaannya untuk mengasuh anak. Saat urusan anak-anak relatif telah selesai, yaitu saat aqil baligh, barulah ayah bisa fokus untuk berburu karir, gaji dan jabatan.
Keluarga yang ayahnya cenderung mengejar karir dan jabatan saat anak-anak masih kecil, dengan alasan demi memberikan fasilitas terbaik untuk keluarganya, justru banyak yang menemukan anak-anak mereka di usia baligh terjerumus pada masalah-masalah kenakalan remaja, narkoba dan hal-hal mengerikan lainnya. Karena sejatinya pengasuhan adalah hutang. Ketika kita tidak melakukan pengasuhan terbaik di saat anak-anak masih kecil, maka kelak semakin bertambahnya usia anak mereka akan menuntut kita atas pengasuhan yang tak tuntas tersebut.
Bab ini juga mengingatkan pentingnya pendidikan pra aqil baligh agar bisa melahirkan generasi-generasi peradaban yang tangguh, tidak manja dan siap menjadi penerus bangsa ini. Regeneration parenting ini bisa kita lihat dari kisah nabi Ibrahim dengan para istrinya, Hajar dan Srah yang telah menurunkan nabi-nabi. Mari kita contoh kesuksesan mereka dalam merawat kualitas secara turun-temurun. Misi regenerasi adalah untuk membangun kota, membangun negara, membangun peradaban, bukan sekedar anak!
Ayah yang selalu memberikan waktu bersama anak-anak tidak sekedar berkualitas, namun juga berkuantitas, akan melahirkan sebuah keluarga yang nyaman. Jangan heran jika nanti anak-anak lebih betah di rumah, daripada kelayapan di luar.
Agar bisa memberikan waktu yang tidak hanya berkualitas namun juga berkuantitas cukup kepada anak, ustaz Adriano memberikan tips kepada para ayah agar tetap bisa seimbang dalam mengasuh anak dan mencari nafkah;
- Bekerjalah secara efisien agar ayah punya cukup banyak waktu untuk keluarga dan mendidik anak-anak secara langsung.
- Jauhilah berburu kenyamanan, kemapanan, kekuatan finansial dan karir saat anak masih kecil. Karena sebenarnya usia yang paling baik untuk berburu kemapanan adalah usia 40-50 tahun saat anak-anak sudah mulai mandiri dan akil baligh.
- Pilih ikhtiar mencari nafkah yang membuat kita lebih memiliki kemerdekaan waktu, misal wirausaha, part time working atau project based income.
Habis-habisan mencari nafkah mungkin akan membuat kita mapan secara finansial di dunia, tetapi mendidik anak saleh akan membuat kita mapan hidup di akhirat kelak. Insya Allah.
Di akhir bab, pembaca akan diingatkan bahwa figur ayah sangat penting untuk pendidikan karakter anak. Menjamurnya LGBT salah satunya dikarenakan kurangnya figur ayah dalam hidup anak-anak.
Bab 3 - Sang Raja Tega
Mungkin tak ada ayah yang lebih ‘tega’ dalam mendidik anaknya daripada nabiyullah Ibrahim as. Saat kecil sang bayi telah ditinggal bersama ibunya di padang gersang. Lalu, saat baligh sang anak pun disembelih. Terkesan kejam, tapi dari didikannyalah lahir generasi tauhid.
Memang ada dua kualitas yang beliau miliki sehingga mampu setega itu: pernah survive di tengah hutan sendirian, dan iman tauhid yang tanpa cela. Sehingga yakin berkata, “tak ada yang perlu dicemaskan.”
Nah, calon ayahbunda, mulailah rumahtangga Anda dari perjuangan berdarah-darah untuk survive, dan jadikan taqwa sebagai bekal, niscaya kualitas ‘tega’ itu akan Anda miliki. MENIKAHLAH SEBELUM MAPAN!
Begitulah opening statement di bab terakhir buku ini. Sepertinya para jombloers langsung mendadak semangat menikah muda nih membacanya. Sedikit testimoni, aku pun menikah di saat kondisi ekonomi jauh dari kata mapan. Alhamdulillah, justru kondisi tersebut bisa membuat kami saling menguatkan satu sama lain. Serta membuat kami satu suara tentang ‘tega’ kepada anak. Memberikan fasilitas berlebihan kepada anak tidak ada di dalam kamus keluarga kami.
Tulisan di bab ini yang terbanyak, ada 18 judul;
1. Tega, Kunci Pendidikan Anak
2. Mendidik Anak dengan Cinta dan Tega
3. Ayah Egois vs Ayah Pendidik
4. Menikah Sebelum Mapan
5. Rich Kids
6. Saya: Ayahnya… Gurunya…
7. Libatkan Anak dalam Masalah
8. Abi Lagi Ada Uang Nggak?
9. The Legend of Zorro; Kisah Tentang Ayah, Ibu dan Anak
10. Allah adalah Pelindung Terbaik
11. Orang Tua yang Tersandera Anak, Kok Bisa Ya?
12. Individualisasi Sebelum Sosialisasi
13. Ayah Sang Ego
14. Indonesia dan Hipno-hipnoan
15. Dari Ayah Mereka Belajar, ditulis oleh Mesa Dewi Puspita
16. Pendidik Ego dan Individualitas, ditulis oleh Ayah Lila
17. Pendidikan Akhlaq
18. Generasi Aqil Baligh Nan Hijau
Di bab ini, ayah disadarkan untuk kembali menjadi raja tega. Bahwasanya memanjakan anak dengan fasilitas berlebihan dan memudahkan kehidupan anak sejatinya bukanlah sebuah keputusan baik. Justru bisa jadi itu adalah keegoisan kita sebagai orangtua. Terlalu memberikan kemudahan kepada anak-anak artinya kita tidak memberikan kesempatan anak untuk berpikir bagaimana caranya bertahan hidup dan belajar menemukan solusi atas masalah-masalah hidup.
Meski begitu, orangtua juga wajib menempatkan rasa tega pada waktu yang tepat. Memasukkan anak ke sebuah boarding school atau pesantren, padahal dia masih kecil, belum aqil baligh serta masih membutuhkan perhatian dan pendidikan dari orangtuanya, itu justru bukan termasuk tega. Hal itu adalah sesuatu yang kejam dan merugikan fitrah perkembangan anak.
Ada dua jenis ayah; ayah egois dan ayah pendidik. Ayah egois adalah tipe ayah yang tidak mau anak-anaknya menderita, mereka hanya perlu belajar dan menikmati fasilitas yang ada. Sedangkan ayah pendidik adalah tipe ayah yang sadar bahwa untuk bisa sukses, anak-anak harus harus melewati jalan yang berkerikil. Kesuksesan tidak akan pernah tercapai ketika ada kemudahan fasilitas. Maka sudah sepantasnya ayah mewariskan jalan kesuksesannya kepada anak-anaknya; bagaimana bertahan hidup dalam kesulitan. Jangan takut berbagi masalah dengan anak.
Ustaz Adriano juga menyampaikan bahwa yang anak-anak butuhkan adalah cinta kasih, bimbingan, tempat tinggal, pakaian, makanan, pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. Selain dari itu semua hanyalah keinginan yang cenderung berupa kemewahan; gadget teranyar, fashion keren, jam tangan canggih dan sebagainya.
Orangtua ingin anaknya bahagia namun sebenarnya anak-anak membutuhkan orangtua yang bisa mendorong mereka untuk mandiri. Anak-anak mulai bisa diajarkan kemandirian pada saat usianya di atas 7 tahun. Menghabiskan waktu dengan anak-anak lebih penting daripada menghabiskan uang untuk mereka.
Bab terakhir ini juga menyentil pentingnya kita menggenggam anak sulung. Anak sulung adalah prototype pengasuhan kita. Ketika kita berhasil mendidik anak sulung, maka adik-adiknya akan mencontoh dan menjadikan idola.
Di bagian akhir buku ini, hal yang paling menyentilku adalah tentang pendidikan individualitas yang seringkali dikesampingkan. Sebagai orangtua kita seringkali menggegas anak-anak untuk cepat bersosialisasi, padahal sebaiknya kekuatan individualitas anak dikuatkan dulu sebelum diajak bersosialisasi. Fitrah individualitas anak akan bisa tumbuh optimal ketika ayah terlibat dalam pengasuhan. Tak lain karena fitrah ayah adalah sang ego. Ayah akan bisa mengajari anak untuk berkata TIDAK pada hal-hal yang tak sepantasnya.
Maka jangan heran ketika sekarang banyak anak perempuan yang dengan suka rela menyerahkan keperawanan, banyak orang-orang korupsi dan tanpa malu mengambil hak orang lain, itu semua karena rendahnya individualitas orang-orang Indonesia. Ustaz Adriano memberikan tips membangun individualitas;
- Perlakukan tiap anak spesial dari panggilan, pakaian, perlakuan, dsb.
- Hindari pendidikan yang menyeragamkan.
- Jangan suka membandingkan anak yang satu dengan lainnya, kecuali masalah ketaqwaan.
- Izinkan anak untuk memiliki property dan wilayah pribadinya sendiri.
- Berikan kasus kepada anak dan biarkan dia menyelesaikan dengan caranya sendiri.
- Berikan alat-alat ekspresi diri pada anak dan biarkan dia memilih media yang paling tepat untuknya.
- Izinkan anak untuk berbeda pendapat dengan saudara dan orangtuanya, sejauh ma’ruf.
- Sediakan beberapa alternatif untuk setiap masalah, keinginan dan kebutuhan. Biarkan anak memilih.
- Izinkan dan biarkan anak dengan sikap dan kesendiriannya dalam realitas sosialnya. Jika anak dibully, kuatkan dan besarkan hatinya.
FItrah individualitas pada anak ini sebaiknya dikuatkan saat anak berusia 2 - 7 tahun. Di masa-masa itu jangan paksa anak untuk mau berbagi mainannya. Namun ajarkan anak untuk memahami hak milik. Mainan miliknya tidak boleh direbut orang lain, dan dia pun tak boleh merebut mainan orang lain. Selain itu jangan biasakan anak melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar sadar. Biasakan anak melakukan sesuatu atas kesadaran sendiri, bukan karena pembiasaan dan pemaksaan semata.
Membangun kepercayaan diri anak adalah hal yang penting. Lakukan dengan selalu menghargai pendapat dan prestasinya. Selalu apresiasi kebaikan-kebaikannya dan ajarkan anak untuk banyak-banyak bersyukur.
Fitrah individualitas yang terjaga insya Allah akan menjaga anak untuk tidak kehilangan jati diri. Anak akan berani tampil sebagai dirinya sendiri. Anak berani tampil sendirian walau semua orang penegak kebatilan. Jika punya ego, anak akan berani tandang ke gelanggang walau seorang diri sebagai penegak kebaikan.
Permasalahan pengasuhan anak semakin hari semakin mengerikan, dari narkoba, pornografi, pergaulan bebas hingga LGBT. Namun semua itu tidak boleh membuat kita merasa takut berlebihan, karena kita harus ingat bahwasanya Allah adalah sebaik-baiknya pelindung.
Wow, panjang juga ya. Ini baru sekilas lo, belum detail tulisan per tulisan, tetapi sudah nendang banget kan? Apalagi kalau teman-teman baca bukunya, insya Allah akan lebih terbuka dan paham bahwa kehadiran ayah sangat penting dalam proses pengasuhan anak.
Semoga dengan semakin banyak ayah yang sadar untuk terlibat dalam pengasuhan, akan semakin banyak anak-anak yang telah tumbuh aqil baligh-nya secara sempurna. Yaitu anak-anak yang memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab; bermula dari tanggung jawab kepada Allah, yang akhirnya menjelma menjadi tanggung jawab pada diri, hak milik, otoritas teritorialnya, kemanusiaan dan alam semesta.
Sampai jumpa di cerita-ceritaku selanjutnya. Semoga bermanfaat dan selamat hunting buku keren ini!
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Buku yang ingin aku pinjam eh aku beli hehe
ReplyDeleteMantap kak #semangat
ReplyDeleteWah perlu baca nih
ReplyDeletewah kak cocoklah kak buat calon ayah juga :')
ReplyDeleteKeren reviewnya nih..Smg bermanfaat dan menjadi jariah bagi penulisnya.. Jadi semacam selling tools utk membeli buku ini.. Jazaakillaahi..
ReplyDelete