Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Jum'at-jum'at begini enaknya cerita tentang yang agak horor yuk. Eits, insya Allah horornya bermanfaat kok ini. Semua catatan yang kubagikan hari ini kuambil dari materi Liqo Zidni Ilma, pada Rabu, 24 Juli 2019,. Saat itu mbak Diyah, murobbiyahku, menyampaikan sebuah tema yang sangat menarik sekaligus membuat bulu kuduk merinding; mengingat mati dan memendekkan angan-angan.
Disampaikan oleh Mbak Diyah, dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghozali, mengingat mati dan memendekkan angan-angan adalah proses penyucian jiwa. Jikalau saat ini kita merasa mudah galau, tidak tenang saat beribadah, hanya fokus pada tujuan dunia, ada baiknya segeralah menyucikan jiwa dengan dua hal ini.
Pentingnya Mengingat Mati
Hampir semua salafush shalih berujung pada keadaan selalu mengingat mati. Bagi mereka, tiada hari tanpa mengingat kematian. Alhasil, mereka selalu menggunakan waktu sebaik-baiknya. Setiap kali mengerjakan sesuatu hal, mereka melakukannya dengan tuntas dan sesegera mungkin. Mereka takut jika menunda-nunda melakukan hal baik, kematian sudah datang menghampiri.
Para salafush shalih melakukan semua hal di dunia hanya karena Allah semata. Kecintaan mereka terhadap Allah sangatlah tinggi. Sungguh berbeda dengan diri kita yang kecintaan dan keimanan pada Allah begitu fluktuatif. Naik turun tergantung pada keadaan.
Para shalafush shalih memiliki bekal keimanan yang sangat kuat, sehingga tugas-tugas duniawi hanyalah selingan semata. Berbeda dengan kita, tugas yang diberikan Allah justru seringkali dikesampingkan. Misal, kita sedang memasak saat azan berkumandang. Apa yang kita lakukan? Seharusnya sih kita menghentikan aktivitas masak, dan bergegas mengambil air wudhu lalu menegakkan sholat. Namun seringnya kita mengesampingkannya dan memprioritaskan memasak daripada sholat. ‘Ah tanggung, sebentar lagi juga selesai.’
Rasulullah SAW bersabda,
Orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati. (HR Tirmidzi, hasan)
Maksudnya, orang cerdas selalu bisa melakukan segala hal sebagai bekal pertemuannya dengan Allah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah termasuk dalam kategori cerdas tersebut?
Orang yang gandrung kepada dunia adalah mereka yang lalai pada kematian. Mereka tidak pernah mengingatnya, dan jikalau diingatkan, mereka tidak suka. Sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat Quran berikut ini;
Iqtaraba lin-nāsi ḥisābuhum wa hum fī gaflatim mu'riḍụn.
Artinya: Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). (Al Anbiya: 1)
Qul innal-mautallażī tafirrụna min-hu fa innahụ mulāqīkum ṡumma turaddụna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fa yunabbi`ukum bimā kuntum ta'malụn.
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Al Jumu’ah: 8)
Mbak Diyah lalu membacakan sebuah doa yang disampaikan oleh Hudzaifah, salah satu sahabat Nabi, ketika sedang menghadapi kematian;
Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup. Maka permudahlah kematianku agar aku bisa segera bertemu denganMU.
Apa yang bisa kita pelajari dari doa tersebut?
Bahkan di saat sakaratul maut, Hudzaifah masih bisa memuji Allah penuh kerinduan. Padahal saat sakaratul maut, Hudzaifah sedang mengalami sakit yang sangat keras. Namun beliau tetap bisa memuji Allah dan berharap dipertemukan dengan Sang Kekasih sesegera mungkin. Kelak, akankah akhir hidup kita bisa seperti Hudzaifah?
Mungkin bisa, jika mulai hari ini kita melatih diri untuk selalu mengingat mati.
Memendekkan Angan-angan
Selain mengingat mati, penyucian jiwa bisa dilakukan dengan memendekkan angan-angan. Mbak Diyah menceritakan kisah tentang salah satu sahabat Rasulullah SAW. Salman Al Farisi pernah berkata;
Ada tiga hal yang membuatku heran sehingga membuatku tertawa:
1. Orang yang mengangankan dunia, padahal kematian telah memburunya,
2. Orang yang lalai padahal ia tak pernah dilupakan (oleh Allah),
3. Orang yang tertawa sepenuh mulutnya, tapi ia tidak tahu apakah dia membuat Allah murka atau ridha terhadapnya.
Ada pula tiga hal yang membuatku sedih sehingga membuatku menangis:
1. Perpisahan dari sang kekasih, Muhammad SAW, dan para sahabatnya,
2. Dahsyatnya hari kebangkitan,
3. Berdiri di hadapan Allah, sementara aku tidak tahu apakah diperintahkan ke surga atau neraka.
Seorang sahabat Rasulullah yang akhlaknya luar biasa saja bisa menangis mengingat kematian, bagaimana dengan kita yang masih saja mengangankan dunia? Apakah akhlak kita sudah sebaik Salman Al Farisi?
Memendekkan angan-angan bukan berarti tidak boleh memiliki cita-cita. Tentu saja sangat dibolehkan memiliki cita-cita, selama kita juga berikhtiar dalam meraihnya. Masalah nanti teraih atau tidak, serahkan pada Allah. Yang terpenting, kita telah memberikan usaha terbaik.
Memendekkan angan-angan di sini maksudnya jika kita terlalu sering berkhayal dan membayangkan yang tidak-tidak. Menghabiskan waktu hanya untuk berimaji, seandainya begini dan begitu, tanpa ada ikhtiar di dalamnya.
Selain kisah Salman Al Farisi, inilah beberapa kisah terkait memendekkan angan-angan. Semoga dengan membaca kisah-kisah ini, kita jadi semakin berhati-hati dalam menghabiskan waktu yang kita miliki.
Seseorang berkata, setelah wafatnya Zurarah bin Aufa, saya berjumpa dengannya di dalam mimpi. Saya bertanya kepadanya, “Amal apakah yang paling baik?” Dia berkata, “Tawakal dan memendekkan angan angan.”
Sofyan Tsauri berkata, “Zuhud adalah nama lain dari memendekkan angan-angan, bukan hanya makan dan berpakaian sederhana.”
Dawud Tha’i berkata, “Seandainya aku berharap akan hidup sampai sebulan lagi, maka aku menganggap bahwa diriku termasuk orang-orang yang sangat zhalim. Bagaimana aku dapat berharap demikian? Padahal aku senantiasa menyaksikan banyak orang yang ditangkap baik malam ataupun siang oleh kematian.”
Masya Allah, betapa luar biasanya akhlak para shalafush shalih. Secuil kuku hitam pun tak bisa kita menyamai akhlak mereka. Namun masih saja kita berleha-leha, bersombong-sombong diri, padahal bekal kita kosong melompong.
Kajian hari itu benar-benar menjadi sebuah pengingat yang tajam. Kematian selalu dekat dengan diri kita, namun mengapa mudah sekali kita lalai terhadapnya. Masih saja berorientasi dunia, dan sering lupa menyiapkan akhirat kita.
Mbak Diyah menutup kajian dengan sebuah pernyataan dari Abu Bakar Ash Sidiq, yang lagi-lagi begitu menggetarkan sanubari;
Di manakah orang-orang yang suka berwudhu, yang wajahnya menarik dan mengagumkan? Di manakah para raja yang telah membangun kota Madain (Mekah dan Madinah) dan mengelilinginya dengan tembok? Di manakah orang-orang yang perkasa dalam berbagai peperangan? Waktu telah membenamkan mereka, sehingga berada dalam kegelapan kubur.
Maksud dari perkataan Abu Bakar ialah apapun dan siapapun manusia, bagaimanapun kuatnya, ketika kontrak kehidupan telah usai. Maka kedudukannya akan sama; berada dalam kegelapan kubur. Tak akan ada artinya harta berlimpah ruah, dan juga jabatan yang saling diperebutkan. Kematian akan meletakkan kita pada kegelapan yang sama.
Mari saatnya kita tenangkan jiwa-jiwa dengan mengingat kematian sesering mungkin dan memendekkan angan sebanyak yang kita bisa. Semoga kelak Allah mudahkan kematian kita, dan semoga husnul khatimah menjadi ujung cerita kita. Aamiin.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Referensi:
- Liqo Zidni Ilma pada Rabu, 24 Juli 2019
- https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/07/29/lp3ev9-kisah-sahabat-nabi-hudzaifah-ibnul-yaman-pemegang-rahasia-rasulullah
- http://syukronmaba.blogspot.com/2016/01/mudzakarah-maut-4-mempersiapkan-kematian.html
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com