Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Game level #2 Bunda Sayang batch #5 baru saja berakhir, meninggalkan banyak catatan untukku sebagai fasilitator. Sebuah tamparan untukku karena baru menginjak level #2, tapi sudah terlihat kemerosotan yang sangat nyata.
Di level #1 yang lalu, semangat para mahasiswi terlihat begitu full tank. Selain karena antusiasme yang masih tinggi, juga materi level #1 bisa dibilang PR besar bagi hampir semua mahasiswi. Beberapa juga mengatakan kegiatan yang diolah untuk tantangan 10 hari sangat beragam. Meski saat level #1 yang lalu masih ada yang gagal memperoleh badge sebanyak dua orang, namun sebagian besar mahasiswi berhasil memperoleh badge.
Berikut ini perolehan badge di level 1 vs level 2:
Hampir di semua poin ada penurunan. Yang bikin sedih karena di level 2 ini ada 9 orang yang gagal mendapat badge. Ini benar-benar pukulan telak untukku. 13% mahasiswi Jateng gagal mendapat badge, salah siapa?
Melatih Kemandirian = Membiarkan Tanpa Arahan?
Aku merasakan perbedaan saat menjadi fasilitator Matrikulasi dan Bunda Sayang. Saat matrikulasi, fasil terlibat sangat aktif di setiap proses pembelajaran. Bisa dibilang ini layaknya tingkat dasar, anak-anak baru yang sedang mengenal Ibu Profesional dan konsepnya. Sebagai fasilitator aku membantu mereka untuk memahami hal tersebut. Sistem diskusi yang kupilih pun lebih banyak bersifat “teknis menyuapi”.Berbeda ketika masuk kelas Bunda Sayang, karena ini kelas lanjutan. Teman-teman mahasiswi sudah mengenal konsep pembelajaran di IIP, apa-apa yang tidak boleh dan boleh dilakukan. Perangkat kelas di Bunda Sayang pun sangat lengkap dan membantu kinerja fasilitator. Bahkan ada Peer Group yang dibentuk untuk memudahkan mahasiswi saling memotivasi dan mengenal dalam grup-grup kecil. Aku tidak banyak ‘menyuapi’ di sini.
Di kelas Bunda Sayang terlihat bahwa mahasiswi dilatih kemandiriannya. Para perangkat kelas dilatih kemandiriannya memimpin, mengarahkan dan mengatur mahasiswi lainnya. Koordinator peer group dilatih kemandiriannya untuk bisa memotivasi teman-teman di grup kecilnya agar tidak bolong setoran dan saling memberi semangat agar tidak kendor. Para mahasiswi pada umumnya pun dilatih kemandiriannya untuk bisa konsisten dengan komitmen yang dibuat saat memutuskan masuk Bunda Sayang.
Aku selalu katakan, Bunda Sayang adalah kelasnya calon-calon manajer rumah tangga. Kelasnya para leader. Apa seorang ibu harus menjadi leader? Tentu! Seorang ibu adalah leader bagi anak-anaknya. Jika ibu tidak bisa memimpin anak-anaknya, maka anak-anak akan kehilangan arah. Namun sebelum seorang ibu bisa memimpin anak-anaknya, ia terlebih dahulu harus bisa memimpin dirinya sendiri. Memimpin dirinya untuk konsisten terhadap komitmen yang dibuat, juga memimpin dirinya untuk bisa melawan hawa nafsu dan kemalasan di dalam diri.
Seorang ibu yang telah berhasil membentuk jiwa leader dan manager, akan mampu melahirkan leader baru yaitu anak-anaknya. Di sinilah muncul catatan untuk diriku. Jika aku ingin melahirkan ibu-ibu yang memiliki kemandirian, bukankah aku harus memberikan arahan yang jelas? Bukan sekedar memantau seperti yang aku lakukan di level ini? Alih-alih memandirikan, aku justru terkesan lepas tangan, hingga mungkin para mahasiswi seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Bukankah seharusnya mahasiswi Bunda Sayang kuperlakukan sebagaimana anak-anakku? Saat aku melatih kemandirian anak-anakku, bukankah aku tidak pasif? Aku aktif terlibat, mengingatkan, memotivasi hingga kemudian kemandirian itu tumbuh menjadi habit dan kesadaran diri.
Begitu pula para mahasiswi Bunda Sayang, perjalanan ini masih panjang. Tidak mungkin aku ujug-ujug melihat para mahasiswi rajin setoran dan semangatnya terus full tank saat baru menginjak level kedua. Aku terlalu terlena dengan perolehan badge di level lalu yang cukup baik, hingga kupikir di level ini aku bisa melepas dan memantau. Tidak! Aku baru sadar mereka juga butuh disapa, diingatkan, dimotivasi secara rutin. Mereka juga butuh aku hadir tidak hanya saat jadwal diskusi yang ditentukan. Menyediakan waktu, telinga dan hati untuk segala problema mereka.
Aku tersadar bahwasanya melatih kemandirian itu tetap harus memberikan arahan. Jika aku ingin teman-teman mahasiswi terlatih kemandiriannya dan terjaga semangatnya dalam berproses dengan tantangan 10 hari, maka aku harus siap mengarahkan dan memotivasi. Itulah tugasku sebagai fasilitator yang memang keteteran kulakukan di level ini.
Seperti yang aku sampaikan pula pada mahasiswi bahwa akan ada jutaan alasan untuk tidak setor tantangan 10 hari. Entah itu karena ada kegiatan yang bersamaan waktunya, entah itu kekurangan ide kegiatan, entah itu karena keluarga sedang banyak yang sakit dan masih banyak alasannya. Namun jutaan alasan itu bisa berubah menjadi semangat jika kita melihatnya sebagai tantangan, jika kita bisa kembali mengingat apa alasan dan komitmen saat memilih belajar di Bunda Sayang.
Hal itulah yang kemudian juga kupertanyakan kepada diriku sendiri, alasan apa yang kubuat hingga menjalankan tugasku sebagai fasilitator di level ini dengan sangat tidak maksimal? Jika alasan itu karena ada banyak aktivitas lain, maka bukankah artinya ada yang salah dengan manajemen waktuku? Selalu akan ada excuse untuk setiap hal jika kita ‘terlalu kendor’ pada diri sendiri, kan?
Dari catatan inilah, aku berupaya untuk kembali charging semangatku dalam membersamai teman-teman mahasiswi Bunsay Jateng. Bismillah, masih ada empat level lagi.. mari kita bergandeng tangan bersama-sama..
Dari catatan inilah, aku berupaya untuk kembali charging semangatku dalam membersamai teman-teman mahasiswi Bunsay Jateng. Bismillah, masih ada empat level lagi.. mari kita bergandeng tangan bersama-sama..
Mutiara-mutiara yang Tersimpan
Aku bersyukur karena dikelilingi perangkat kelas yang sangat all out dalam menjalankan tanggungjawabnya. Mbak Dessy Heppy sebagai ketua kelas ‘mencubitku’ saat kami ketemu di sebuah event regional, “Mbak Fasil sibuk nih, jarang mampir ke group.” Sentilannya menyadarkanku dan aku bersyukur Mbak Dessy Heppy menegurku seperti itu. Karena bagaimanapun aku manusia biasa yang juga punya khilaf dan lalai, butuh juga diingatkan. Terima kasih, mbak Dessy.Koordinator level #2, Mbak Oky Yuwanti, juga sangat gerak cepat. Berbeda dengan mbak Indah Dewi di level 1 yang selalu merekap lewat chat, mbak Oky lebih visual. Rekapan tantangan 10 hari disetor dalam bentuk infografis yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi semangat. Setiap kali ada materi yang diunggah di Google Classroom, tanpa waktu lama sudah dishare olehnya ke WAG. Aku sangat terbantu dengan gerak cepatnya.
Yang keren lagi, meski disibukkan dengan putranya yang sangat aktif dan sedang menjalani pengobatan rutin karena didiagnosa flek oleh dokter, dia masih bisa total dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai koordinator sekaligus sebagai mahasiswi. Terbukti mbak Oky tetap bisa meraih badge Outstanding Performance. Aliran rasanya pun kupilih sebagai salah satu aliran rasa terbaik.
Sementara mahasiswi teladan goes to mbak Lena Puspita Dewi. Aku salut
padanya. Di level ini mbak Lena gagal mendapat badge You’re Excellent
ataupun Outstanding Performance karena sempat loncat sekali saat setor
postingan. Namun mbak Lena tidak menyerah, ia tetap konsisten melaporkan
tantangan 10 harinya berlanjut hingga 17 hari. Buatku, mbak Lena adalah
teladan untuk para mahasiswi lainnya bahwa badge adalah bonus,
konsisten pada komitmen adalah hal yang harus dijunjung. Mbak Lena
benar-benar mengerjakan tantangan dengan sepenuh hati bukan sekedar
mengejar badge.
Di deretan koordinator peer group, ada mbak Ayuk Wulandari dan mbak Nurul Hidayah yang cukup berhasil membawa anggota groupnya setor tantangan 10 hari secara rutin. Meski memiliki dua style yang berbeda dalam mengampu peer group, namun keduanya menjadi teladan untuk para peer group lainnya. Yang kuhighlight dari kedua peer group inspiratif ini yaitu totalitas mereka dalam berbagi dan melayani untuk rekan-rekannya. Mereka siap membantu teman-temannya yang kesusahan, mereka meluangkan waktu untuk ngobrol bersama rekan-rekan segroupnya tentang apa saja sehingga muncul bonding yang kuat. Ini nih yang jadi PR buatku, memunculkan bonding dengan para mahasiswi! Hanya karena merasa sebagian besar mahasiswi Bunsay kali ini adalah mahasiswi di kelas matrikulasi yang kuampu, aku sedikit kendor dalam membangun bonding bersama mereka.
Mahasiswi aktif di level ini adalah mbak Fiqih Nindya alias mbak Nine.
Aku memilihnya sebagai mahasiwi aktif karena mbak Nine tidak hanya aktif
di kelas, namun juga aktif memberikan ide-ide segar kepadaku dan
perangkat kelas agar kelas Bunda Sayang semakin semarak dan terjaga
semangatnya. Ide-ide segar itu tidak hanya disampaikan di WAG perangkat
kelas, namun juga disampaikan lewat pesan pribadi di google classroom.
Contoh idenya antara lain adanya sharing tips antara koordinator peer
group dalam mengawal grup-grup kecil, lalu ide membuat sticker kelas
Bunda Sayang untuk mengingatkan sudah setor tantangan hari ini belum,
sudah dicekkah link nya, dan sebagainya. Ide soal sticker akhirnya
kujadikan tantangan liburan kali ini kepada seluruh mahasiswi agar kelas
kembali greget.
Mahasiswi apresiatif di level ini jatuh kepada mbak Annisa Dian Savitri dan mbak Nur Rahma Wahyuningsih. Kedua-duanya direkomendasikan oleh sebagian besar mahasiswi lainnya sebagai postingan terinspiratif. Memang kuakui tulisan-tulisan mbak Annisa dan mbak Nur Raham sangat menginspirasi dan penuh ketulusan. Mbak Annisa pun di level ini terlihat sekali perkembangannya, tulisannya semakin runtut dan kaya, disertai pula dengan referensi yang memadai. Sayang doi hanya mengirimkannya lewat google document, seandainya ditulis lewat medsos atau blog pasti akan semakin banyak yang mendapat manfaat dari tulisannya.
Selain mbak Oky, dua aliran rasa terbaik kuberikan kepada mbak Khoirun Nisaa dan mbak Widi Utami. Aliran rasa dari mbak Khoirun Nisaa cukup baik dalam mengambil hikmah tantangan 10 hari ini dan apa saja yang akan dilakukan ke depannya. Karena melatih kemandirian tentu saja tak berhenti hanya saat di tantangan 10 hari kan? Harus tetap ada proses berkelanjutan.
Sedangkan aliran rasa dari mbak Widi Utami sangat apik tersusun dengan rapi dan spesifik dalam menjelaskan prosesnya membersamai buah hatinya belajar sikat gigi. Memang beda kalau yang nulis blogger senior yah, aliran rasa yang disusun mbak Widi menjadi sebuah artikel blog yang sangat inspiratif dan informatif bagi setiap pembacanya.
Sesi Jumat Hangat di level ini juga spesial karena ada mbak Andiani Kuswardhany dan uni Ririn Febriani. Yang satu ibu bekerja di ranah publik dan satunya ibu bekerja di ranah domestik, aku rasa persamaan keduanya karena sama-sama suka masak. Terbukti di akhir sesi Jumat Hangat mbak Andiani berbagi resep favorit keluarganya. Kalau Uni Ririn sudah tidak diragukan lagi kemampuannya membuat kue-kue lezat dan menu-menu food combining. Persamaan lainnya tentu saja keduanya sama-sama ibu yang tidak mau stuck dalam titik yang itu-itu saja, ibu-ibu yang haus belajar menuju predikat profesional.
Alhamdulillah, meski banyak drama dan catatan level #2 Bunda Sayang kelas Jawa Tengah telah berhasil dilalui. Semoga di level berikutnya aku bisa membersamai teman-teman mahasiswi dengan lebih all out. Aamiin. Selamat liburan ya teman-teman Bunda Sayang, sampai ketemu tanggal 10 Juni di level #3 dengan materi yang tak kalah seru dan menarik.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Lama-lama baca jurnal nya bu fasil bisa jatuh cinta nii..
ReplyDelete