Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
“Kak Ifa seneng hari ini?” Tanpa perlu mendapat jawaban ‘iya’ dari bibir mungilnya, aku sebenarnya sudah bisa menebak dari gestur tubuh dan pancaran matanya yang berbinar-binar. Pertanyaan itu yang selalu kuajukan kepada Ifa dan Affan setelah aktivitas bersama yang kami lakukan. Bukan hanya untuk sekedar memastikan kebahagiaan mereka, namun juga agar mereka mampu mengenal emosi yang dirasakan. Ooh seperti ini bahagia, seperti ada bunga yang bermekaran muncul di hati, dan aku selalu ingin terus tersenyum dan tertawa.
Aku berusaha untuk tidak pernah lupa menanyakan hal tersebut karena waktu kecil orangtuaku tak pernah menanyakan hal tersebut. Apakah aku bahagia, apa yang membuatku bahagia. Ternyata dampaknya di masa dewasa sangat berarti. Kalau lihat anak umur 2 tahun tantrum pastinya kita akan menganggapnya biasa, tapi kalau lihat orang dewasa tantrum tentunya kita merasa aneh dan lucu kan? Memang ada orang dewasa tantrum? Banyaaak!
Nah, kenapa penting bagi anak mengenal emosi? Jelas sangat penting. Anak-anak yang paham bagaimana rasa bahagia, sedih, jengkel.. jadi akan lebih mudah mengenali dan mengendalikan emosinya saat dewasa nanti. Hal paling sederhana sih anak-anak akan bisa mengungkapkan hal-hal apa saja yang bisa membuat dirinya bahagia. “Aku tuh seneng kalau main sama Bunda dan Ayah kaya gini, tapi kalau ditinggal main HP terus aku jadi bosan.” Hal yang paling sering diungkapkan Ifa kepadaku dan ayahnya, lalu kami hanya bisa nyengir mendengar sentilan Ifa. Kami membatasi Ifa main gadget, tapi kami masih suka menomorduakan anak-anak. Duh! Yang lebih parah agar kami bisa terus megang HP dengan alasan, “bentar lagi ada kerjaan,” akhirnya kami menyodorkan HP ke anak-anak.
Kebahagiaan anak bagi orangtuanya tentu hal paling penting. Sayangnya kebanyakan orangtua milennial sekarang salah mengartikan kebahagiaan anak-anaknya. Dianggapnya dengan memberikan fasilitas yang cukup, mainan yang banyak, dibelikan gadget yang mumpuni, maka kebahagiaan anak telah terpenuhi. Namun apakah benar seperti itu kebahagiaan yang diinginkan oleh anak-anak?
Belajar dari Kasus di Sekitar
“Bu, coba ngobrol sama anakku dong… dia itu kenapa dan maunya apa?” Kata salah seorang tetangga yang anaknya terjerat kehidupan anak jalanan, bahkan sampai drop out dari sekolah. Kegiatan sehari-harinya sekarang hanya berkutat dengan nongkrong bersama teman-temannya. Beberapa tato kulihat menghiasi tubuhnya. Di telinganya kulihat pula ada lubang bekas tindikan. Seharusnya saat ini ia sudah duduk di kelas 3 SMP. Trenyuh melihatnya, apalagi aku pernah menjadi guru lesnya sewaktu dia masih SD, walau tidak lama.
gambar hanya ilustrasi |
Secara ekonomi, keluarga ini sangat berkecukupan. Anak-anak difasilitasi dengan baik, bahkan sebelum diminta. “Aku ki heran kok bu… jane kami orangtuanya kurang apa. Baju, makanan, buku, HP sudah kami kasih, bahkan sebelum diminta kami sudah berusaha memberikannya. Tapi kok anake malah nggak bisa diatur seperti ini.” Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Setelah mendengarkan curhatan si ibu, aku lalu meminta izin untuk masuk ke rumahnya dan mencoba mengajak ngobrol si anak.
Cukup canggung, aku sudah lama nggak berdekatan dengan remaja sejak resign dari tempat kerja beberapa tahun lalu. Namun demi bisa membantu tetangga, aku berusaha sebisaku. Fyi, saat aku mengajak anak ini ngobrol, dia baru saja pulang ke rumah setelah berbulan-bulan entah ke mana.
“Assalammualaikum Mas, apa kabar? Udah lama ya nggak jumpa. Denger-denger barusan pulang jalan-jalan nih?” Si anak tersenyum ke arahku. Sedikit kaget karena sudah lama kami nggak berbincang dan ujug-ujug aku datang. Namun ia cukup baik merespon semua pertanyaanku. Dia juga menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa kota. Ada kekosongan yang terpancar di matanya.
Hingga sebuah pertanyaan aku ajukan padanya, “memangnya Mas nggak kangen sama Ayah dan Mama kalau pergi lama-lama begini?” Tanpa tersenyum, dengan tegas ia bilang, “Nggak.” Lalu ia melanjutkan ceritanya, “kalau sama adik yang paling kecil sih kangen.” Dia mengungkapkan kalau di antara anggota keluarganya, adik bungsunya adalah sosok yang paling dia sayangi.
“Kenapa nggak kangen sama Ayah dan Mama, Mas?” Tanyaku saat itu setelah dia selesai bercerita.
“Malas aja.”
“Kok malas? Memangnya di rumah nggak pernah ngobrol? Bukannya Mas dan Ayah sama-sama suka bola ya? Nggak pernah nonton pertandingan bola bareng gitu?”
Dia menggeleng dengan segera. “Dulu waktu kecil sering, sekarang nggak pernah. Kalau di rumah pada sibuk sendiri-sendiri. Ayah megang HP, Mama sama adik-adik nonton TV. Jadinya malas di rumah. Mending main sama temen.”
Deg. Saat itu aku langsung ingat anak-anak, kisah anak tetangga ini menyadarkanku bahwa kids don’t need gadgets! Kids actually only need their parents. Mereka hanya butuh orangtuanya tidak sekedar ada, namun hadir dan terlibat. Anak-anak juga pengen diajak ngobrol bukan sekedar ngomong ketika mau memberi nasehat, yang lama-lama memekakkan telinga mereka. Anak-anak pun bosan jika terus dipaksa mendengar tanpa diberi kesempatan untuk didengar perasaannya dan apa maunya. Lalu kalau kemudian ada kasus seperti ini, atau ada anak-anak yang kecanduan game, terpapar pornografi, terjerat narkoba… salah siapa?
Baca juga: Belajar Kembali tentang Komunikasi Efektif
***
Awal Desember 2018 lalu, aku diberi amanah untuk mewakili Komunitas Ibu Profesional Semarang untuk menjadi narasumber dalam sebuah talkshow memperingati Hari Anak Internasional. #KitaPelindungAnak menjadi hashtag rangkaian event yang diselenggarakan oleh Yayasan Setara bekerja sama dengan beberapa pihak terkait, termasuk Pemerintah Kota Semarang dan Komunitas Ibu Profesional Semarang.
Tema yang diangkat saat itu tentang mendidik anak di era digital. Cukup deg-degan berbicara di depan audiens berseragam PKK, kulihat banyak yang lebih sepuh dariku. Pastinya mereka ini jauh berpengalaman dalam urusan mengasuh anak dibandingkan aku. Namun niat lillahita’ala untuk berbagi ilmu, aku mengambil nafas panjang dan memulai sharing beberapa informasi yang aku tahu.
“Bu, coba angkat tangan siapa yang di sini putra-putrinya sudah diberi HP sendiri?” Hampir semua ibu yang hadir mengangkat tangannya.
“Siapa yang anaknya suka main game?” Lagi-lagi para ibu pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.
“Siapa yang tahu game apa yang dimainkan anak-anaknya?” Saat masuk ke pertanyaan ini, rupanya banyak jawaban berbeda. Sebagian menjawab kalau mereka tahu game yang dimainkan anak-anak. Rata-rata yang menjawab demikian adalah ibu-ibu dengan anak di bawah usia 7 tahun. Sebagian lagi menjawab mereka tidak tahu game apa yang dimainkan anak-anak. Jawaban ini terlontar dari bibir para ibu dengan anak-anak di atas 10 tahun atau anak-anak remaja.
Kemudian aku kembali melanjutkan kembali pertanyaanku, “siapa yang suka ngomel kalau anaknya ngegame atau main HP kelamaan?” Kini ibu-ibu kembali serentak mengangkat tangan mereka.
“Sudahkah anak-anak ibu dibekali informasi tentang menggunakan HP dengan baik? Sudahkah pula ibu-ibu memberikan batasan yang jelas kepada anak? Kapan boleh main HP dan kapan tidak?” Sebagian besar para ibu menyunggingkan senyum kecutnya. Ada salah seorang ibu yang kemudian menjawab, “kalau anak saya, ada jadwalnya bu. Cuma boleh Sabtu Minggu dan nggak boleh lebih dari satu jam. Kalau sudah habis jatah main HP-nya, ya saya ambil.”
“Kalau anaknya nangis gimana bu?” Tanyaku melanjutkan diskusi bersama ibu-ibu di Kelurahan Manyaran tersebut.
“Ya, ndak apa-apa. Biar anak tahu disiplin, nggak keterusan.”
Alhamdulillah. Saat itu ada desir halus di hatiku. Bersyukur meski hanya 1-2 orang, sudah ada orangtua yang mulai sadar pentingnya batasan atau aturan kepada anak. Memberikan fasilitas kepada anak itu sah-sah saja, namun sebagai orangtua kita pun perlu membekali anak-anak dengan informasi dan aturan yang jelas agar mereka belajar bertanggungjawab.
Yuk, Kenali Hak-hak Anak!
Selain aku dan temanku dari Yayasan Setara, ada satu lagi narasumber di talkshow tersebut yang mewakili Ibu Tia selaku Ketua PKK Semarang. Saat itu beliau menyampaikan mengenai hak-hak anak. Hak-hak tersebut bisa kita temukan di UU NOMOR 35 TAHUN 2014. Kalau teman-teman download UU ini, komplit sekali membicarakan tentang hak anak. Ada 40 lembar dan kalau saja semua orangtua membacanya, pasti akan membuat berpikir ulang apakah selama ini sudah memenuhi hak-hak anak dengan baik.
Link download UU Perlindungan Anak, klik di sini.
Beberapa hal menarik disebutkan dalam pasal 1 UU tersebut;
- Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
- Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
- Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
- Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.
- Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
- Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Kalau diringkas dari poin-poin tersebut, ada kewajiban orangtua yang harus dipenuhi, salah satunya yaitu melindungi anak sehingga tidak menderita, baik secara fisik dan psikis. Dari sini aku baru sadar kalau yang dinamakan anak terlantar itu bukan hanya anak-anak yang nggak diurusi dan keleleran di jalan. Anak-anak kita mungkin di rumah, namun kita abai dalam pemenuhan kebutuhannya. Makan dikasih sembarangan, nggak dikasih nutrisi yang benar, akhlak dioutsorcingkan ke guru les ngaji, TPQ atau sekolah - maunya tahu beres.. lupa kalau sekolah bukanlah bengkel akhlak. Di rumah juga kita nggak paham anak maunya apa, dikasih fasilitas tanpa diberi batasan jelas, nggak pernah ditanya dan didengar perasaannya.
Dengan hal-hal yang sering kita temui, atau bahkan kita sendiri jadi pelakunya, kita menuntut anak untuk sopan, untuk sadar tanggungjawabnya. Kalau nggak sesuai maunya kita, kita beri mereka hukuman. Dan sedihnya, tidak sedikit orangtua yang memberikan hukuman fisik pada anaknya. Maka nggak heran kalau semakin tahun, tingkat kekerasan pada anak meningkat secara signifikan, berikut ini data-data terkait:
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014, pasal 14 (2) disebutkan pula bahwa anak berhak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
Sedangkan dalam pasal 26 (1), secara gamblang kewajiban orangtua tertulis di sana bahwa;
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Lewat UU tersebut, negara sudah sangat jelas dan detail merumuskan hak-hak anak dan kewajiban orangtua. Sekarang coba kita tengok kewajiban orangtua versi Islami yuk, bisa kita lihat di Quran surat At Tahrim: 6.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Pertanyaannya sekarang sudahkah sebagai orangtua, kita telah benar-benar melindungi hak-hak tersebut? Sudahkah kita telah benar-benar menjalankan kewajiban sebagai sebaik-baiknya orangtua? Sudahkah kita benar-benar berikhtiar menjaga keluarga dari api neraka? Melalui postingan ini aku mengajak diriku sendiri dan teman-teman untuk mereview pola asuh kita ke anak-anak selama ini. Semoga meski belum sempurna menjadi orangtua, kita sudah menjadi orangtua yang telah memenuhi hak-hak anak ya, pals.
Untuk yang masih merasa galau apakah pola asuh yang diterapkan selama ini sudah tepat atau belum? Aku bawa kabar gembira… Bulan Oktober 2018 lalu aku mengikuti sebuah media gathering yang oks banget. Dalam event tersebut dibahas dengan komplit bagaimana cara melindungi hak anak, yaitu dengan menumbuhkan anak-anak yang bahagia. Caranya dengan menerapkan Grow Happy Parenting.
Event yang diusung oleh Nestle Lactogrow tersebut benar-benar membuka wawasan bagaimana orangtua seharusnya. Bahwa seringkali orangtua memiliki standar bahagia yang berbeda dengan anak. Bahwa orangtua hanya melihat kebahagiaan anak-anak melalui ciri fisik, tanpa menyadari bahwa ada kebahagiaan batiniah yang bisa tercapai hanya ketika orang tua benar-benar menjalankan perannya. Ada tiga hal yang tak boleh dilupakan oleh orangtua untuk bisa menciptakan anak-anak yang bahagia, apa saja ya? Simak cerita komplitnya di postinganku berikut ini ya.
Btw, don’t forget that it takes a village to raise a kids! So, jika kita menemui kasus-kasus pola asuh yang tak tepat di sekitar kita, di depan mata kita… yuk jangan abai! Hilangkan rasa “aah, bukan anakku ini.. biarin saja lah. Yang penting aku baik ke anakku.”
Tahukah jika kehancuran sebuah negara berawal dari masyarakatnya yang abai satu sama lain? Dengan kita saling mengasihi dan mendukung satu sama lain, kita bisa menciptakan atmosfir pola asuh yang baik dan sehat untuk anak-anak Indonesia. Kelak, negeri ini akan berada di tangan mereka. Jika kita tidak bahu membahu dalam proses pengasuhan generasi bangsa ini dengan baik, akan jadi apa negeri ini?
Tidak ada anakku atau anakmu, yang ada hanyalah anak kita. Anak bangsa ini. Mari kita jaga bersama-sama.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Terima Kasih sudah berbagi bun
ReplyDelete