Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Buat pembaca setia Marita’s Palace pastinya tahu kalau mengikuti seminar dan workshop parenting adalah salah satu hobiku. Buatku menghadiri event parenting layaknya suntikan semangat kala proses mengasuh anak terasa melelahkan. Sama halnya seperti iman yang seringkali naik turun, semangat membersamai anak pun acap kali bak rollercoaster. Makanya ketika mendapat informasi dari WAG Gandjel Rel bahwa akan ada media gathering yang diselenggarakan oleh Lactogrow pada Selasa, 16 Oktober 2018 dengan tema Grow Happy Parenting, aku sangat antusias mendaftar acara tersebut.
Bisa dibilang ini adalah salah satu media gathering terbaik yang pernah aku ikuti. Lactogrow sebagai salah satu produk dari Nestle, sebuah perusahaan di bidang gizi dan kesehatan yang telah beroperasi selama 150 tahun ini, menurutku sangat baik dalam mengemas acaranya. Acara ini diatur dengan sangat baik dan profesional. Dari sisi dekorasi, pemilihan makanan yang benar-benar sehat, hingga materi acara yang sangat komplit sehingga membuat para peserta pulang dengan penuh kebahagiaan sesuai dengan tema yang diangkat.
Semua pertanyaan tentang hak perlindungan anak dan kewajiban orangtua dalam melindunginya yang aku bahas di postingan sebelumnya terjawab tuntas di acara ini. Mengusung tiga orang narasumber yang sudah sangat ahli dalam bidangnya masing-masing, media gathering ini berhasil membawa sebuah wawasan mendalam kepada semua peserta yang hadir.
Melalui acara ini bisa aku simpulkan bahwasanya agar kita bisa tetap melindungi dan menciptakan anak-anak yang tumbuh bahagia, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh orangtua, yaitu:
1. Stimulasi
2. Keterlibatan Orangtua
3. Nutrisi
Pada postingan kali ini, aku akan membahas tuntas dulu hal pertama, yaitu pentingnya stimulasi dalam melindungi hak anak dan menciptakan anak-anak yang tumbuh bahagia.
Pembahasan tentang stimulasi disampaikan dengan sangat adem oleh Sarastri Paramudita yang merupakan Brand Executive Nestle Lactogrow. Mbak cantik yang biasa dipanggil Dita ini menyampaikan bahwa Lactogrow menggelar workshop Grow Happy Parenting untuk berbagi informasi dan tips mengenai pola asuh anak serta tips memberikan nutrisi seimbang dan lengkap agar anak tumbuh bahagia.
Mbak Dita, Brand Executive Nestle Lactogrow |
Workshop dan media gathering yang diadakan di beberapa kota ini merupakan tindak lanjut dari hasil pemaparan studi Child Happiness yang diumumkan Nestle Lactogrow pada Juli 2018. Dari hasil studi tersebut ditemukan bahwa:
anak merasa bahagia saat bermain bersama orangtuanya, bahkan jauh lebih bahagia dibanding ketika bermain bersama adik, kakak ataupun teman sebaya. Sayangnya fakta di lapangan menunjukkan bahwa lebih dari 50 % orangtua merasa belum cukup hadir dan terlibat dalam kegiatan bersama si kecil.
Studi Child Happiness juga mengungkapkan bahwa kebanyakan orangtua menilai karakteristik kebahagiaan anak-anak hanya dilihat dari ciri-ciri fisik, misal anak menunjukkan ekspresi ceria dan aktif bergerak. Padahal menurut Myers & Diener dalam bukunya yang berjudul The Scientific Pursuit of Happiness,
kebahagiaan anak bukanlah kegembiraan sesaat saja, namun lebih kepada rasa nyaman, aman, dan diterima dengan baik di lingkungan sosialnya.
Pernyataan ini sedikit menjewerku yang seringkali memahami kebahagiaan anak-anakku hanya melihat dari senyuman lebar dan jawaban “iya” mereka ketika aku tanya “apa kalian bahagia?” Jawaban iya dan senyuman lebar memang bisa jadi salah satu ciri fisik bahwa anak berbahagia, namun ada tolok ukur lainnya. Aku akui sampai saat ini masih berjuang untuk bisa ‘mengerjakan PR’ku sebagai orangtua dalam memperbaiki pola asuh yang salah, terutama pada Ifa, anak pertamaku. Dulu saat Ifa lahir aku belum memiliki cukup ilmu parenting hingga menerapkan pola asuh yang kurang pas, ditambah dengan inner child yang saat itu belum kukenali, jadilah Ifa punya banyak memori tidak baik.
Salah satu memori buruk yang menurutku sangat membekas untuk Ifa adalah ketika aku menghukumnya di kamar mandi dan mengguyurnya dengan beberapa gayung air. Efeknya sampai sekarang Ifa masih ketakutan ketika mau keramas atau mandi dengan shower. Aku segera meminta maaf kepada Ifa ketika menyadari kesalahan tersebut. Sejak hari itu setiap kali hendak mengajaknya keramas, aku juga selalu meminta maaf dan memeluknya agar ia kembali nyaman.
Ketidakbahagiaan Ifa ini terpancar dalam kehidupan sosialnya. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat sensitif dan mudah marah jika ada temannya yang melakukan hal tak disukainya, bahkan meski tujuannya hanya bercanda. Alhamdulillah dengan seiringnya waktu, kini kondisi Ifa sudah sangat jauh lebih baik. Hari Sabtu, 12 Januari 2019 yang lalu, saat pengambilan raport, aku mendapat informasi yang menunjukkan bahwa perkembangan Ifa sangat signifikan.
Saat masih TK, ia sering malas-malasan mengikuti pelajarannya dan lebih suka menyendiri. Sekarang justru ia termasuk murid yang semangat belajar, berani mengungkapkan pendapat, bicaranya paling lantang dibanding murid perempuan lainnya dan tidak pernah mengeluh saat mengerjakan tugas-tugas di kelas. Saat pulang sekolah pun, Ifa akan berceloteh panjang lebar tentang kegiatannya di rumah tanpa harus aku dan ayahnya tanyai. Buatku ini sebuah hal yang membuatku sangat bersyukur. Aku berharap ke depannya bisa lebih baik dalam membersamai anak-anak.
Kembali ke studi Child Happiness yang disampaikan oleh Mbak Dita dalam media gathering Grow Happy Parenting, beliau mengungkapkan bahwa kunci anak-anak tumbuh bahagia dimulai dari pilihan orang tua. Untuk bisa memberikan stimulasi yang cukup kepada anak, tentu hal yang pertama kali harus dilakukan adalah keterlibatan orangtua.
Di era modern dan milennial seperti sekarang, banyak orangtua merasa bahwa dengan memilih sekolah yang berkualitas baik akan menjamin anak-anak terstimulasi secara paripurna. Pada kenyataannya hal tersebut tidak sepenuhnya benar, stimulasi yang dilakukan sendiri oleh orangtua akan memberikan efek kebahagiaan yang lebih besar kepada anak. Anak-anak yang memiliki memori-memori kebahagiaan di masa kecil cukup banyak bisa membantu menjadikannya sebagai manusia-manusia dewasa yang lebih bahagia kelak.
Sebenarnya untuk urusan stimulasi, orangtua di zaman milennial sangat terbantu dengan hadirnya internet. Kita bisa dengan mudah mencari informasi stimulasi yang tepat dengan usia dan kondisi anak. Untuk orangtua yang memiliki sisi kreativitas cukup tinggi, membuat mainan DIY bisa jadi hal menarik yang bisa dilakukan bersama anak. Namun nyatanya nggak semua orangtua bisa dan suka membuat mainan-mainan DIY, contohnya aku. Meski di rumah sudah punya buku-buku aktivitas yang bisa dicontek, namun masih banyak kegiatan yang belum sempat aku lakukan bersama anak-anak. Kalau aku sih sepertinya perpaduan antara nggak bisa dan malas.
Btw, stimulasi tersederhana yang bisa kita lakukan pada anak adalah dengan membersamai setiap kegiatan anak. Salah satunya saat mereka menonton TV atau tayangan di YouTube. Seberapa sering sih kita benar-benar terlibat dalam kegiatan tersebut. Apakah saat anak-anak nonton TV, kita juga ikut menonton apa yang dilihatnya, atau malah asyik mainan HP atau membaca koran?
Disampaikan oleh Mbak Dita, dari studi Child Happiness ditemukan fakta bahwa banyak orangtua berada di dekat anak-anak saat mereka menonton TV, namun mereka sama sekali tidak tahu apa yang ditonton, ceritanya tentang apa, tokohnya siapa saja. Dari fakta ini bisa ditarik garis lurus bahwa untuk urusan sesederhana menonton TV saja, orangtua masih sering abai, apalagi urusan lainnya. Bahkan banyak anak-anak yang sudah difasilitasi TV dan HP sendiri, sehingga akhirnya orangtua nonton TV di kamar mereka, anak-anak pun nonton TV sendiri di kamarnya. Menyedihkan nggak sih?
Buatku obrolan tentang apa yang ditonton anak-anak adalah cara paling sederhana untuk membuka komunikasi dengan anak-anak. Lewat hal-hal yang ditontonnya, aku juga bisa lebih mudah menanamkan nasihat dan menginstal software-software kebaikan dalam diri anak. Misal mereka nonton kartun yang memperlihatkan anak-anak makan dengan berdiri, aku bisa mengajak anak-anak berdiskusi, apakah hal tersebut baik dan bagaimana adab makan yang benar.
nemenin Ifa melukis |
Sama halnya juga seperti kasus yang aku sampaikan di postingan sebelumnya. Banyak orangtua memberikan HP ke anak, tapi nggak tahu anaknya main game apa. Meski tidak baik jika dilakukan terlalu sering, ada banyak game edukasi yang bisa dimainkan bersama anak. Daripada kita sama-sama asyik khusyuk dengan HP nya masing-masing, ibunya asyik chatting di WA, anaknya main game yang nggak tahu apa, bapaknya asyik nonton bola.. kenapa nggak jadikan game di HP sebagai sarana bermain bersama.
Jika kita sudah rutin dan nyaman melakukan aktivitas bersama anak, kita bisa mulai menyusun family project yang asyik. Libatkan anak untuk berdiskusi dalam memilih kegiatan yang mereka sukai. Buat yang butuh acuan kegiatan, buku Rumah Main Anak recommended lo. Dalam buku itu tidak hanya diberikan contoh-contoh kegiatan yang bisa dilakukan bersama anak, namun juga dilengkapi dengan jadwal stimulasi serta dan standar isi tentang tingkat pencapaian perkembangan anak sesuai usia.
Stimulasi yang tepat dan berkelanjutan akan mampu melejitkan potensi, passion dan fitrah anak. Anak yang fitrah, potensi dan passion-nya dikenali, dihargai dan dikembangkan oleh orangtua, dia akan jauh merasa lebih bahagia.
So, mulai sekarang yuk sama-sama berjanji memberikan stimulasi yang tepat untuk anak-anak sebagai salah satu wujud perlindungan kita terhadap hak-hak anak! Bisa dimulai dengan hal paling sederhana, ajak ngobrol mereka tentang film favoritnya. Anggap saja sebagai sesi stimulasi perkembangan bahasa.
Jangan lupa ikuti seri Grow Happy Parenting yang lain ya;
Happy parenting, pals!
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com