Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Gimana, pals? Sudah melakukan stimulasi apa saja untuk anak hari ini? Di postingan kali ini aku akan membagikan materi kedua yang aku dapatkan dari event Grow Happy Parenting. Materi kedua ini disampaikan oleh psikolog cantik yang biasa dipanggil mbak Lizzy. Ini materi yang paling jleb buatku. Meski ini bukan kali pertama aku mendapat materi sejenis, namun setiap kali membicarakan tentang kebahagiaan orangtua berbanding lurus dengan kebahagiaan anak, kenangan masa kecil perlahan muncul satu per satu.
“Apakah hari ini Anda bahagia?” tanya mbak Lizzy yang bernama lengkap Elizabeth Santosa pada hari itu. Beliau meminta kami mengukur kebahagiaan yang kami rasakan dengan angka 1 -10. Entah peserta yang saat itu hadir apakah benar-benar memilih angka sesuai dengan kondisi jiwanya, atau sekedar kamuflase agar tidak dianggap sebagai orang yang tak bahagia.
Mbak Lizzy menyampaikan materi dengan atraktif |
“Bagaimana bisa mendukung kebahagiaan anak, apabila orangtuanya sendiri tidak mengetahui bagaimana membahagiakan diri sendiri?” Pertanyaan mbak Lizzy ini benar adanya. Kunci utama dalam melindungi hak-hak anak dan menumbuhkan anak-anak yang bahagia ada pada kebahagiaan orangtuanya. Ketika orangtua bahagia dengan kehidupannya, bahagia menjalani perannya sebagai orangtua, maka otomatis mereka akan membersamai anak dengan suka cita.
Pada umumnya para orangtua mengerti teori pentingnya mendukung anak tumbuh bahagia, seperti menghabiskan waktu yang berkualitas dengan anak. Namun pada kenyataannya, banyak orangtua yang masih belum bisa memaksimalkan keterlibatan mereka bersama anak meskipun telah susah payah menyisihkan waktu. Tantangan hidup modern seperti tingkat stres yang lebih tinggi atau interaksi yang intens dengan gadget misalnya, membuat keterlibatan emosional menjadi tantangan baru bagi orangtua. Semua orangtua pasti sayang terhadap anaknya, hanya banyak di antara mereka yang kurang terlibat dalam setiap aktivitas anak. Padahal seperti yang disampaikan pada sesi mbak Dita, anak lebih bahagia ketika orangtuanya terlibat dalam kegiatan mereka sehari-hari.
Bagaimana Agar Lebih Terlibat dengan Anak?
Untuk bisa terlibat dengan anak, bukan berarti kita harus selalu buat mainan DIY atau berkutat dengan family project beraneka ragam. Untuk yang sudah bisa menjalankan aktivitas berkualitas tersebut, tentu baik untuk dilanjutkan. Namun Mbak Lizzy mengingatkan bahwasanya kegiatannya seperti apa itu bukan satu-satunya yang penting, waktu kebersamaan adalah hal yang lebih penting.
Dalam setiap kegiatan bersama, pastikan tidak ada distraksi di antara kita dan anak-anak. Kalau mau terlibat dengan tontonan anak, ya kita nonton bareng acara tersebut, bukan malah asyik memegang HP dan membalas chat-chat di WA. Sehingga ketika anak bertanya sesuatu yang tidak ia ketahui dari apa yang ditontonnya, kita bisa menjawab dengan fokus dan tidak gelagapan karena sebelumnya asyik membalas pesan-pesan di dunia maya.
Harus selalu ada eye contact dan membuat anak merasa dirinya paling penting adalah dua poin lainnya yang harus kita perhatikan dalam proses melibatkan diri pada setiap kegiatan anak. Saatnya kita mengevaluasi selama ini saat kita berkomunikasi dengan anak, sudah 100 % kah kita fokus pada mereka? Atau kita sambil lalu saja, ngobrol sambil masak, ngobrol sambil membersihkan rumah, ngobrol sambil nonton sinetron di TV? Karena seperti itu yang banyak terjadi di rumah-rumah Indonesia. Mungkin kita merasanya selama ini anak-anak sudah diajakin ngobrol, namun ternyata versi anak-anak orangtuanya asyik dengan kegiatan mereka sendiri. Untuk membuat anak merasa penting dan dihargai, letakkan HP ketika anak sedang bercerita. Tanggapi dengan antusias dan dengarkan dengan seksama. Anak-anak bisa tahu lo kapan orangtuanya berpura-pura mendengar cerita mereka, dan kapan orangtuanya benar-benar tertarik dengan cerita mereka.
Cara Membesarkan Anak agar Tumbuh Bahagia
Untuk menumbuhkan anak-anak yang bahagia, keterlibatan orangtua di dalam kehidupan anak-anak harus meliputi segala aspek. Setidaknya ada 4 aspek yang membutuhkan keterlibatan orangtua di dalamnya:
Pertama, makan tepat waktu dan berikan makanan bergizi. Anak-anak hanya tahu soal suka dan tidak suka, serta enak dan tidak enak. Tugas kita sebagai orangtua untuk melibatkan diri dalam memilihkan menu makanan sehat dan mengingatkan mereka agar makan tepat waktu. Nutrisi yang tepat akan membuat tubuh anak-anak tumbuh sehat. Anak-anak yang sehat dan tidak mudah sakit akan semangat melakukan semua aktivitas yang bisa mendukungnya untuk hidup dengan bahagia.
Kedua, cukup waktu tidur. Kalau sudah senang dan nyaman bermain, anak-anak suka lupa waktu. Apalagi kalau biasanya orangtua tidak terlibat dalam semua permainan, tiba-tiba hari itu orangtua menemani mereka bermain, pasti anak-anak tidak mau waktu tersebut berlalu dengan cepat. Dalam pikiran mereka, “mumpung Ayah Bunda nemenin main nih, bisa jadi besok-besok sibuk lagi.” Tugas kita sebagai orangtua untuk mengingatkan bahwa main pun ada batasnya karena tubuh membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Tentu saja jangan lupa untuk tetap menemani mereka main ya agar anak-anak tetap tenang dalam tidurnya karena tahu keesokan hari orangtuanya masih akan beraktivitas bersama.
Ketiga, dukung kompetensi anak-anak. Banyak orangtua memaksakan impian masa kecil yang tak tercapai kepada anak-anak. Banyak orangtua pula mengatur kehidupan anak sedemikian rupa. Melibatkan diri dalam setiap kegiatan anak bukan berarti mencampuri 100% kehidupan mereka. Anak-anak pun memiliki pilihan hidupnya. Anak-anak memiliki cita-cita, impian dan passion sendiri. Jangan jadikan mereka sebagai mesin pencapai cita-cita kita. Sudah sepatutnya sebagai orangtua kita banyak melibatkan diri dalam kegiatan anak-anak agar mampu menemukan passion dan kompetensi mereka. Lalu dukung kompetensi tersebut dengan mengarahkan mereka pada aktivitas-aktivitas yang akan semakin melejitkan potensinya.
Masih ingat kasus anak tetangga yang kuceritakan beberapa waktu lalu? Anak yang terlibat pergaulan dengan anak-anak jalanan itu lo. Anak tersebut sebenarnya sangat menyukai sepak bola, namun ibunya justru meminta dia untuk ikut klub voli. Pada akhirnya si anak tidak bisa menolak, prestasinya di voli pun cukup bagus. Namun kompetensi yang tidak mendapat dukungan lambat laun menjadi bom waktu yang meledak, ditambah komunikasi yang tidak lancar di antara mereka, serta kurangnya apresiasi terhadap apa yang telah ia capai, jadilah bonding antara anak dan orangtua tersebut semakin retak. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kasus tersebut dan bisa menjadi orangtua yang lebih baik ya.
Keempat, berikan cinta tanpa syarat. Memangnya ada orangtua yang memberikan cinta dengan syarat? Adaaaa.. banyak malahan! Meski seringkali tidak terucap, namun dari gestur dan ungkapan-ungkapan tidak langsung, banyak orangtua menanamkan pada anak bahwa “aku mencintaimu hanya jika…”
Coba deh kita review segala perilaku pola asuh ke anak, pernahkah kita bilang seperti ini.. “kalau adik nggak nurut, Mama marah nih. Mau mama marah?” atau “Aduh kak, gini aja nggak bisa sih… kamu tuh bisanya apa?” dan pernyataan sejenis yang seringkali tak sadar kita ucapkan ketika anak bertingkah tak sesuai dengan harapan.
Sadarkah kita secara tak langsung dalam diri anak akan tertanam, “oh ternyata kalau aku nggak nurut, Mama nggak sayang, ya udahlah aku nggak usah bilang gimana keinginanku, daripada nanti Mama nggak sayang.” Cinta tanpa syarat di sini maksudnya jangan paksa anak-anak menjadi seperti apa yang kita inginkan. Boleh-boleh saja mengarahkan pada kebaikan, namun harus dengan teknik yang pas dan sesuai. Berikan pilihan dan ajak diskusi, bukan hanya sekedar menuntut dan memaksa.
Cinta tanpa syarat adalah memberikan cinta tidak hanya pada saat anak-anak bersikap baik, namun juga saat anak-anak melakukan kesalahan. Bukan dengan menghakimi kesalahan tersebut, namun mengajak mereka belajar dari kesalahan yang mereka lakukan. “Wah, airnya tumpah ya, nak. Kenapa bisa tumpah? Kira-kira gimana nak biar nggak tumpah lagi?” Dialog-dialog sederhana ini akan membuat anak selalu merasa penting.
Bahagia Dimulai dengan Membereskan Masa Lalu
Langkah awal untuk bisa melibatkan diri dalam kehidupan anak yaitu kita harus menjadi orangtua yang bahagia. Untuk bisa menjadi orangtua yang bahagia, kita harus membereskan masa lalu yang belum selesai. Kenapa? Pola asuh orangtua kita di masa lalu berdampak pada pola asuh kita kepada anak-anak. Maka jika ada trauma yang terjadi karena pola asuh orangtua kita dulu, kita harus selesaikan lebih dulu sehingga tidak terbawa pada cara kita mengasuh anak-anak.
Contohnya, kita dulu dididik oleh orangtua yang sangat otoriter dan over protektif, akhirnya karena kita nggak mau melakukan hal yang sama ke anak, kita takut menjadi orangtua yang terlalu mengontrol anak dan cenderung menjadi orangtua yang permisif. Anak-anak minta HP dikasih, anak-anak main tanpa batasan jam yang jelas. Ketika anak melakukan kesalahan, misal jadi kecanduan game atau terlibat pergaulan bebas, karena kurangnya kontrol dari kita, kita akan merasa bersalah. Rasa bersalah ini bisa mengganggu proses pengasuhan.
Kasus-kasus kekerasan pada anak biasanya terjadi secara berantai. Dulunya orangtua anak-anak ini juga dibesarkan dengan keras dan kasar. Akhirnya mereka menganggap bahwa kekerasan pada anak dalam proses pengasuhan itu adalah hal biasa, dengan alasan menegakkan disiplin atau memberikan hukuman.
Bahkan meski kita telah sadar pola asuh orangtua kita ada yang salah, namun jika kita belum menuntaskannya dan mencari tahu bagaimana sebaiknya, alam bawah sadar kita akan membawa pola-pola asuh yang salah itu kembali, meski dengan cara yang berlawanan. Hal-hal yang belum tuntas di masa lalu akan terus membuat kita jauh dari kondisi bahagia. Ketidakbahagiaan kita akan menular kepada anak, dan itu akan seperti rantai, terus menyambung hingga ke anak cucu cicit jika tidak segera diperbaiki.
Maka segera putus mata rantai tersebut dengan menginstall software pola asuh baru. Caranya gimana? Lakukan penerimaan terhadap masa lalu kita, maafkan segala hal yang pernah membuat kita terluka, belajar hal-hal baru dan banyak berteman dengan orang-orang positif yang bisa menularkan aura-aura kebaikan pada diri kita.
Kenapa sih penting banget jadi orangtua bahagia? Karena hanya dari orangtua-orangtua yang bahagia akan lahir anak-anak yang memiliki daya tahan baik terhadap stres dan tantangan hidup masa depan. Kalau bahasanya bu Elly Risman, orangtua bahagia akan mengurangi lahirnya anak-anak BLAST (boring, lonely, angry, stress, tired). Anak-anak bahagia hanya bisa ditumbuhkan melalui pola asuh orangtua yang bahagia dan selalu terlibat dalam aktivitas anak.
Sebelumnya, orangtua harus lebih dulu mengenali dirinya sendiri. Setiap individu, khususnya orangtua, perlu memahami apa saja sumber kebahagiaan dalam hidup seperti positif afektif (tertawa, damai, pemenuhan diri), negatif afektif (marah, sedih, curiga) dan tingkat kepuasan hidup agar dapat mengajarkan anak-anak bagaimana arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
4 Teknik Menciptakan Kebahagiaan
Kebahagiaan itu sifatnya tidak permanen, namun fluktuatif, tergantung dengan apa yang sedang kita alami dan hadapi. Kabar baiknya, bahagia itu sebenarnya bisa diciptakan. Bahagia itu sesuatu yang aktif. Maka jika kita ingin bahagia, kita harus bergerak secara aktif, bukan pasif menunggu datangnya bahagia tersebut.
Lantas bagaimana menciptakan kebahagiaan?
Satu, banyak melakukan hal-hal positif. Lebih banyak mencintai, selalu merasa dicintai, memperhatikan sesama, banyak tertawa dan tumbuhkan kepercayaan diri.
Dua, kurangi hal-hal negatif yang bisa membuat stres, marah, kesepian dan sakit hati.
Tiga, perbanyak syukur. Bersyukur dengan pekerjaan kita, keluarga kita dan seluruh kehidupan kita.
Sesi yang paling menarik dari materi mbak Lizzy adalah kita diajak praktek untuk menumbuhkan kebahagiaan. Mau tahu caranya?
1. Buat gratitude journal alias jurnal syukur.
Untuk awalan, kita bisa memulainya dengan menuliskan minimal 10 hal yang bisa membuat kita bahagia dalam seminggu ini. Saat itu para peserta diberi waktu cukup singkat untuk bisa mengisi daftar tersebut. Alhamdulillah aku bisa mengisi daftar tersebut dengan 10 hal sederhana yang bisa membuatku bahagia minggu itu. Ternyata ada juga lo yang tidak bisa mengisi sampai 10. Nah, teman-teman coba sekarang ambil kertas dan bolpoin, lalu tulis 10 hal yang paling bikin bahagia dalam satu minggu ini.
Semakin banyak yang teman-teman tulis, artinya semakin banyak hal yang teman-teman syukuri dalam kehidupan. Semakin banyak kita bersyukur, akan semakin banyak dopamine yang tubuh kita hasilkan. Aku sendiri sebelum tidur sekarang suka menulis minimal 5 hal yang aku syukuri di hari itu sebagai proses release emosi-emosi negatif, jadi saat bangun tidur keesokan harinya, aku bisa bangun dengan lebih bahagia karena menyadari bahwa ada banyak hal yang mungkin membuat jengkel, ada lebih banyak hal pula yang bisa disyukuri. Sebaiknya setiap hari tulis hal berbeda yang kita syukuri.
2. Buat daftar pencapaian atau hal-hal baik tentang diri kita.
Sadarkah kita seringkali lebih mudah menegur kesalahan anak daripada menyanjung prestasinya? Karena buat kita prestasi mereka itu hal biasa yang memang sudah seharusnya dicapai. Kondisi ini bisa terjadi karena saat kecil dulu orangtua kita melakukan hal yang sama. Lebih sering fokus pada keburukan kita daripada kebaikan kita. Akhirnya menular ke cara kita mengasuh saat ini. Nah sebelum kita berlatih banyak-banyak fokus melihat kebaikan anak, kita harus lebih dulu berlatih melihat kebaikan dalam diri kita.
Tulis lima hal baik tentang diri kita. Gunanya apa? Untuk menumbuhkan hormon serotonin di dalam tubuh. Hormon serotonin ini nantinya akan mampu meningkatkan self worth diri kita. Jika kita telah terbiasa dengan hal ini, diharapkan kita pun bisa lebih mudah untuk meningkatkan self worth anak. Anak yang memiliki self worth baik akan tumbuh sebagai anak yang percaya diri dan bahagia.
3. Ngobrol asyik.
Mungkin kita nggak sadar kalau dengan sering ngobrol sama anak, hormon oksitosin di dalam tubuh akan meningkat sehingga bonding kita semakin kuat. Pada sesi ini, mbak Lizzy meminta kami duduk berpasangan dan saling berhadapan lalu mengambil gulungan kertas. Di dalam kertas itu berisi pertanyaan yang harus diajukan kepada teman di depan kita. Lalu kami diminta untuk menggali perasaan teman terhadap pertanyaan itu.
Setelah kami saling ngobrol, mbak Lizzy bertanya bagaimana perasaan kami saat itu. Dan hampir semua peserta menjawab bahwa merasa lebih bahagia dan enteng. Itulah gunanya sharing dan ngobrol asyik dengan teman yang dipercaya. Jika ditarik ke dalam hubungan orangtua dan anak, orangtua yang bisa jadi teman ngobrol dan sharing yang asyik, akan menciptakan bonding yang hangat dan kuat.
4. Olahraga teratur.
Musik dimainkan dan mbak Lizzy asyik mengajak kami mengikuti gerakan yang dicontohkan di dalam layar. Wah, ternyata meski hanya sebentar, namun cukup bikin ngos-ngosan… tapi happy! Ya, olahraga teratur bisa melahirkan hormon endorphine di dalam tubuh. Pantesan, kalau habis senam aerobic, meski badan capek kok aku selalu pengennya senyum melulu. Aah, jadi ingat udah lama nggak senam nih, makanya kok jadi gampang marah sama anak-anak. #Alasan!
Cuzz deh tanpa nanti dan tapi, segera praktekin 4 hal di atas dan siaplah panen kebahagiaan di dalam hidup agar lebih jos saat terlibat dan membersamai anak-anak!
Jangan lupa, tengok seri Grow Happy Parenting yang lain ya;
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com