Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Akhirnya setelah melakukan maraton hingga membuat nafasku terengah-engah, akhirnya sampai juga di titik finish yang sedari kemarin sudah melambaikan tangannya ke arahku. Tema hari ke sepuluh ini memang sebenarnya aku buat spesial. Jika di hari-hari sebelumnya tema hanya terdiri dari satu kata, tema terakhir ini membentuk sebuah kalimat berdaya magis nan spektakular; “Dengan Pena, Aku Menjadi Wanita Berdaya.”
Masih kuingat dengan jelas bagaimana kebingunganku lima tahun yang lalu saat memutuskan resign. Bukan tidak percaya dengan suami, namun saat itu kebutuhanku rasanya sangat tidak mungkin jika hanya mengandalkan satu pintu. Maklum waktu itu masih kurang belajar tentang rezeki, belum kenal matrikulasi IIP juga sih.
Baca juga: NHW #7 - Rezeki Itu Pasti, Kemuliaan Harus Dicari
Alhamdulillah ada ibu yang menguatkanku dan meyakinkanku bahwa nanti akan ada rezeki lain. Ibu juga mendukungku untuk membuka les bahasa Inggris di rumah untuk anak-anak tetangga, yang sebenarnya tidak benar-benar kunikmati. Hingga suatu hari aku stalking ke facebook salah seorang temanku di tempat kerja dulu. Baru kutahu kalau saat itu ia telah bekerja menjadi seorang content writer. Jujur saat itu aku nggak tahu content writer itu kaya gimana. Untuk menjawab keingintahuanku, aku segera chat doi.
Dari dia, aku punya sedikit gambaran tentang pekerjaannya. Darinya pula aku jadi tahu kalau kantor tempatnya bekerja sedang membutuhkan freelance content writer yang bisa dikerjakan dari rumah. Aku semangat banget melihat peluang itu. Aku segera menyiapkan dokumen yang dibutuhkan dan contoh artikel yang kubuat. Sayang, peluang pertama itu lepas dari tangan.
Namun kesempatan selalu datang berulang dalam bentuk yang berbeda. Dari teman yang sama beberapa hari kemudian, aku mendapat info bahwa salah seorang partnernya juga mencari freelance content writer. Tanpa perlu menunggu lama aku segera menyamber peluang tersebut. Dan alhamdulilah, kali ini usahaku tak sia-sia.
Ya, itulah pertama kalinya aku bekerja secara profesional sebagai wanita berpena, maksudnya mendapat penghasilan dari kegiatan menulis. Meski sebelumnya dari beberapa perlombaan, aku pernah juga mendapatkan hadiah uang, namun beda rasanya ketika mendapat rupiah hasil dari bekerja lewat merangkai kata.
Karena pekerjaanku kueksekusi dari rumah, aku bisa fleksibel dalam membagi waktu. Apalagi sejak difasilitasi koneksi internet oleh Pak Bos, aku jadi semakin mudah mencari informasi dari rumah. Aku mulai kenal dengan beberapa grup kepenulisan, salah satunya Ibu-ibu Doyan Nulis. Dari grup ini aku belajar banyak tentang teori kepenulisan. Dari grup ini pula, aku bisa bergabung dengan proyek antologi pertamaku berjudul Rainbow. Berisi dua puluh flash fiction dengan twist ending, proyek ini selalu menjadi hal paling berkesan dalam sejarah hidupku berkaitan dengan dunia literasi.
Baca juga: Karenamu, Aku Ada!
Baca juga: Karenamu, Aku Ada!
Beberapa proyek antologi menyusul kemudian, aku sangat menikmati hari-hariku berkutat dengan kata. Tak kusangka jawaban yang pernah kusampaikan pada seorang dosenku, “I want to be an author,” pelan-pelan menuju muaranya. Senang sekali melihat karya kita tercetak dalam bentuk buku, apalah lagi nanti kalau punya karya solo… pasti amazing. Saat itu semangatku meletup-letup untuk bisa menerbitkan buku solo. Meski ternyata, letupan semangat itu begitu cepat melemah berbenturan dengan kesibukan yang tak bisa ditolak.
Aku sangat menikmati pekerjaanku sebagai content writer, bukan karena aku menulis, tapi karena uang yang aku dapat. Bahkan aku pernah berada di atas angin kala penghasilanku lebih besar dari suami. Duh, kalau ingat saat itu, rasanya…. kufur sekali. Aku mulai kehilangan arah dan memaknai pekerjaanku dari berapa rupiah yang aku dapat, bukan seberapa banyak manfaat yang bisa aku raih dan tebarkan.
Ternyata berkutat dengan rupiah dan dunia hanya membuat rasa syukur menipis dan ketakpuasan terus menjadi. Aku mulai tak bisa mengatur pena. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dalam diri. Hingga akhirnya aku kembali menemukan cara untuk kembali bisa menggenggam pena dengan benar; ngeblog. Sesuai dengan jargon komunitas Blogger Gandjel Rel yang kuikuti, ngeblog ben ra ganjel. Itu juga yang aku lakukan.
Ngeblog menjadi saranaku untuk kembali pada diri sendiri dan impian lama. Sebuah impian yang terkubur begitu dalam; menulis untuk kebermanfaatan, bukan sekedar nominal rupiah. Aku mulai menata diri dan membagi waktu agar pekerjaan dan passionku menjalankan blog berjalan berdampingan.
Baca juga: Merangkai Gerbong Impian di Dunia Literasi
Baca juga: Merangkai Gerbong Impian di Dunia Literasi
Bukan proses yang instan, bahkan sampai hari ini pun aku masih harus banyak belajar. Bersyukur kemudian berkesempatan belajar dalam komunitas Pejuang Literasi di mana aku ditampar berkali-kali bahwa berkarir di dunia literasi janganlah hanya mengejar duniawi. Tulisan itu tak ada bedanya dengan lisan, suatu saat akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Maka apa jadinya jika tulisan yang kuhasilkan tiada makna dan hanya bertujuan pada rupiah semata?
Sejak pelatihan itu, aku juga semakin semangat memegang amanahku sebagai PJ Rumbel Literasi Media Ibu Profesional Semarang. Mengawal teman-teman untuk belajar bersama di dunia literasi memacu adrenalinku. Aku mulai kembali berlarian dengan deadline demi deadline, tapi sekarang berbeda. Bukan hanya deadline keyword yang kadang menjemukan, namun juga deadline proyek-proyek antologi dengan tema-tema yang menakjubkan.
Ketika naskah dari setiap penulis disatukan, rasanya luar biasa membaca kisah-kisah inspiratif yang mengandung hikmah untuk menguatkan diri pembaca, juga penulisnya sendiri. Rasanya tak sabar melihatnya lahir dalam bentuk cetak dan tiba di tangan-tangan para pembaca yang membutuhkan. Berharap bahwa setiap huruf yang kami rangkai bisa menyusup ke relung hati dan memberikan sedikit sentuhan semangat untuk mereka yang sedang terpuruk. Berharap bahwa setiap huruf yang terangkai bisa membawa perasaan tergugah untuk bangkit dan kembali berjuang.
Kini aku semakin meyakini bahwa inilah duniaku. Dunia yang selalu membuatku berbinar dan lupa waktu. Seperti hari ini saat anak-anak sudah bersama ayahnya, aku ingin berlama-lama dengan laptopku, rasanya ingin terus berteman dengannya dan menggulirkan cerita-cerita baru bersama. Menuntaskan ide demi ide di kepala hingga terjalin kisah yang padu dan syahdu.
Menulis selalu melahirkan semangat baru. Dan semangat itu selalu terbarukan ketika kita tahu tulisan kita bermanfaat buat orang lain. Pesan demi pesan yang kuterima dari teman-teman pembaca blog membuatku bangun dari tidur panjang, membersihkan sarang laba-laba di sudut-sudut ruangan. Ada mereka yang menungguku untuk tetap menulis. Ada mereka yang menanti informasi demi informasi baru. Membuatku berpikir ulang untuk menulis hal yang tak sepantasnya, bahwasanya mereka yang menanti untaian kata itu berhak mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Dan saat itulah aku merasa semakin berdaya!
Doakan aku agar senantiasa istiqomah di jalan ini ya, pals. Semoga bisa terus menulis, meski receh tapi tetap bisa mengalirkan semangat, menghangatkan dan menyajikan informasi terbaik untuk teman-teman semua. Thank youuu for being readers of Marita’s Palace, karena kalian the biggest supporter for me to keep writing. :) Btw, tunggu antologi kedua dari Rumbel Literasi Media Ibu Profesional Semarang, Wanita dan Pena yaaaa... antologi pertama dari Rumbel LM; Be A New Me sudah bisa didapatkan juga lo :)
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Membaca ini membuat semangat nulis saya lebih bangkit lagi. Terima kasih for sharing. ^^
ReplyDeleteWah tak sabar ingin membaca antologi Wanita dan Pena ini mba.. Hm, jadi ingin berkarya lagi lewat antologi..
ReplyDeleteSetujuuu soalnya aku jg gitu hehehe
ReplyDelete