Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
“Apa cita-citamu?” Menjadi salah satu pertanyaan yang paling sulit untukku jawab sejak kecil. Mungkin saat itu aku kurang 3B, kurang banyak main, kurang banyak ketemu orang dan kurang banyak nyoba-nyoba aktivitas baru.
Saat masih SD ‘arsitek’ menjadi kata yang selalu terlintas setiap kali pertanyaan itu hadir ke depanku. Padahal aku sendiri tidak begitu paham arsitek itu seperti apa dan bagaimana. Hanya aku ingin beda dengan teman-temanku yang rata-rata menjawab ingin jadi dokter. Ya, aku tak pernah sekali pun tertarik menjadi dokter. Mungkin karena aku tak suka obat dan bau rumah sakit.
Begitu duduk di kelas enam, aku mulai tertarik belajar bahasa Inggris. Lagi-lagi alasannya sederhana, karena bapak ibuku tidak bisa, aku harus bisa! Saat itu di SD belum mendapatkan pelajaran bahasa Inggris, hanya saja di buku lembar kerja siswa paling belakang selalu ada sisipan pelajaran bahasa Inggris. Aku berusaha belajar sendiri hanya dengan membaca dan mencoba mengerjakan soal-soalnya, tanpa tahu salah dan benar.
Baru kemudian ketika duduk di bangku SMP, akhirnya aku bertemu dengan bahasa Inggris. Tak perlu waktu lama mapel ini telah mencuri hatiku dan menjadi mapel favorit. Nilaiku bahasa Inggris tak pernah kurang dari angka 9. Bahkan sebelum guruku menerangkan sebuah tema, malam harinya aku sudah membaca dan mengerjakan semua soalnya. Aku juga meminta kepada ibu untuk dileskan bahasa Inggris. Alhamdulillah aku bertemu dengan guru les yang luar biasa. Enam tahun aku belajar bersama beliau. Bahkan karena influence dari beliau pula akhirnya aku memilih Sastra Inggris menjadi jurusan kuliahku.
Karena memang sudah kadung cinta, masa-masa kuliah kulewati dengan begitu antusias dan riang gembira. Hampir semua mata kuliah kulalap habis, tidak kusisakan tempat untuk nilai C. Bahkan ada teman yang berkata padaku betapa kurang kerjaannya aku. Ketika yang lain mengulang nilai D atau E, aku ikut semester pendek hanya untuk mengulang nilai C. Kalau ingat masa-masa itu inginku tertawa terbahak, betapa aku sungguh nilai oriented, hehe.
Hingga suatu hari pertanyaan itu diajukan lagi kepadaku. Bedanya kali ini diajukan dalam bahasa Inggris, “what do you want to be?” Seorang dosen mengajukan pertanyaan itu kepada seluruh mahasiswanya. Tidak tanggung-tanggung, beliau memutari kelas dan meminta jawaban atas pertanyaan tersebut, tanpa terkecuali. Aku yang saat itu datang terlambat dan mendapat kursi di deretan belakang mulai mencari-cari jawaban.
Belum selesai prosesku mendapat jawaban, dosen yang bernama sama dengan eyang kakungku itu telah berdiri di depanku, “Marita, what do you want to be?” Antara kaget, bingung dan iseng yang bercampur menjadi satu, akhirnya aku menjawab pertanyaan itu, “I want to be an author.” Aku sendiri tak percaya mendengar jawaban yang kuucapkan. What, an author? Are you sure, Rit? Pikirku saat itu.
“Why do you want to be an author?” Pak Nardi ternyata belum puas dengan jawabanku. Dan pertanyaan WHY selalu saja membuatku harus berpikir lebih panjang. “I want to publish books, or something that can deliver messages to everyone in the world. Something that can provide benefits to the reader.” Pak Nardi manggut-manggut lalu memberikan jawaban yang kini kuanggap sebagai doa. “What a great dream. I hope you can achieve it.”
Dan sekarang setelah ratusan purnama berlalu, apakah cita-cita itu telah terwujud?
Sejatinya, aku belum merasa pantas menyebutkan kata PENULIS sebagai profesiku. Namun kata salah seorang pemateri di sebuah kelas penulisan beberapa tahun lalu, “jika kamu sudah berani menulis dan karyamu sudah dibaca orang lain, maka itu artinya kamu adalah penulis. Pertanyaan besarnya, konsisten nggak?”
Dueng! Nabok banget memang. Menjadi penulis itu nggak susah kok di zaman sekarang, kita bisa mudah menasbihkan diri berkarya lewat tulisan. Bahkan nggak harus menerbitkan buku, bisa mulai dari menulis status di facebook, merangkai caption di instagram atau malah di WA story. Nggak menutup kemungkinan jika banyak yang menyukai tulisan kita di media sosial, tulisan-tulisan tersebut bisa berakhir menjadi buku.
Masalahnya itu tadi, konsistensi! Saat aku mulai benar-benar terjun ke dunia literasi pada 2012, aku mengawalinya menjadi seorang penulis konten web. Berhubung lulusan sastra Inggris, artikel yang kutulis tentunya berbahasa inggris. Sehari aku harus membuat minimal lima artikel lalu menerbitkannya ke web yang telah ditentukan. Dari situ aku belajar konsistensi. Ya, profesi sebagai seorang penulis konten sangat membutuhkan konsistensi. Sekali saja bolong posting, berpengaruh pada viewer dan nilai sebuah web.
Meski belajar soal konsistensi, nyatanya sampai hari ini konsistensi masih juga menjadi tantangan untukku. Pernah meletup-letup ingin menerbitkan karya solo sejak 2013, namun apa kenyataannya setelah 5 tahun berlalu? Jangankan karya solo, antologi aja masih bisa dihitung dengan jari. Sementara teman-teman seangkatan sudah terbang ke sana ke mari. Ada yang sudah sukses blogging, ada yang buku solonya sudah terbit berkali-kali, bahkan ada yang sudah serius menekuni profesi menjadi penulis naskah FTV. Mantuuuul! Kok aku masih di sini-sini aja yeee?
Namun mengeluh dan meratapi proses bukanlah hal yang bijak, meski goal belum sepenuhnya tercapai, bukan berarti aku diam saja dalam enam tahun terakhir. Meski buku solo belum juga nampak hilalnya, namun lewat blogging dan content writing, aku sudah mendapatkan banyak hal. Tidak hanya soal materi, namun juga kepuasan batin yang tak bisa terukur dengan angka-angka. Salah satunya ketika menerima pesan dari pembaca blog yang merasa tulisanku bermanfaat untuk mereka. Sungguh melegakan sekaligus melecut semangat untuk terus menulis dan berkarya.
Aku bersyukur pernah menjawab “I want to be an author” kala itu. Ternyata jawaban isengku dulu membawaku menemukan misi spesifik hidup yang Allah titipkan. Dan benar adanya, berapa kali pun kita mencoba menghindar, misi hidup akan terus membawa kita kembali ke relnya. Doakan aku ya untuk bisa semakin istiqomah di jalan ini… btw, kalau aku nerbitin buku solo, enaknya nulis tentang topik apa ya?
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com