Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Setelah
melalui jatuh bangun dalam tantangan 10 hari di game level 4 kelas Bunda
Sayang, aku yang semula menangkap bahwa modalitas belajar Ifa cenderung ke arah
kinestetik dan visual, ternyata di akhir tantangan aku melihat modalitas
auditorinya pun berkembang cukup pesat.
Dulu setiap
kali di sekolah ibu guru menceritakan sebuah kisah, sesampainya di rumah aku
minta ia ceritakan ulang apa yang dia dengar, ia akan menjawab “nggak tahu.” Namun
akhir-akhir ini ia mulai bisa menceritakan kembali apa yang didengarkan. Bahkan
kisah-kisah yang ada di Hafizah Doll pun kini mampu membuatnya betah,
didengarkannya berulang-ulang, sampai kemudian dia hafal setiap kata yang dia
dengar. Ketika aku menanyai ceritanya tentang apa, Ifa pun mampu menceritakan
ulang kisah yang didengarkan dengan bahasanya sendiri. Good job, kak.
Sebenarnya
selama ini aktivitas “mendengarkan kisah” sudah menjadi hal yang biasa
dilakukan Ifa. Sejak baby, aku sudah membiasakan untuk membacakan buku sebelum
dia tidur atau di sela aktivitas siangnya. Hanya memang dia dulu lebih tertarik
jika aku membacakan buku yang disertai gambar. Di tengah-tengah proses aku
membacakannya buku, Ifa sering memotong ceritaku dan lebih banyak bertanya
tentang gambar di bukunya. Dari situ aku berpikir untuk mengubah metode
berceritaku, sebelum masuk ke cerita, aku ajak dia untuk melihat gambar dan
bertanya menurutnya apa yang dilihatnya di gambar itu.
Namun semakin
besar usianya, dia mulai bisa mendengarkan cerita dengan kalimat-kalimat yang
panjang tanpa harus disertai gambar. Sesekali bertanya kenapa begini, kenapa
begitu. Ifa pun cukup bisa mendengar dengan baik dalam kondisi apapun, entah
itu duduk anteng ataupun sembari melakukan aktivitas lain. Jika dia minta
diceritakan sambil asyik mewarnai atau cilukba dengan adiknya, untuk mengetes
apa dia menangkap yang aku ceritakan, aku akan menanyakan sesuatu berkaitan
dengan ceritanya. Saat dia mampu menjawabnya aku akan meneruskan ceritaku,
namun ketika dia nyengir, aku akan bertanya padanya “mau mainan dulu atau bunda
teruskan ceritanya?”
Buku adalah
sebuah sarana belajar yang cukup penting untukku. Belajar dari cara ibu
mendidikku hingga menjadi sosok yang suka membaca, aku pun ingin mewariskan
cinta membaca buku kepada anak-anakku. Itulah kenapa sejak Ifa bayi, aku rajin hunting buku anak-anak yang bergizi. Aku
ingin Ifa memiliki wawasan yang luas. Jika aku belum bisa mengajak berkeliling
dunia secara nyata, maka aku harap melalui buku aku bisa mengajaknya keliling
dunia di dalam fantasinya terlebih dulu.
Dalam
perjalananku membersamai Ifa, aku baru sadar bahwa kisah dari buku bisa
meningkatkan modalitas belajar jenis apapun. Entah itu anak dengan gaya belajar
visual, gaya belajar auditori ataupun kinestetik, buku bisa menjadi teman
belajar yang baik. Yang patut dibedakan hanya bagaimana cara mengenalkannya. Di
awal usia anak-anak dengan gaya belajar apapun, tentu saja dibacakan adalah
cara yang paling tepat. Bedanya, untuk anak-anak visual buku bergambar akan
jauh lebih menarik. Sembari kita ceritakan, anak akan enjoy menikmati gambar di
dalam buku tersebut. Lebih bagus lagi jika ditambah dengan sarana pelengkap
seperti boneka tangan dan panggung cerita.
Untuk
anak-anak auditory, buku tanpa gambar pun tak masalah, asal kita mampu
menceritakan isi buku tersebut dengan cara yang menarik, bahkan kalau bisa
dengan suara yang berbeda. Sedangkan untuk anak-anak kinestetik, buku dengan
kalimat-kalimat yang pendek mungkin lebih tepat dibandingkan yang berkalimat
panjang. Di sela kita bacakan, kita bisa mengetes konsentrasinya dengan
menanyakan apa yang baru saja kita bacakan.
Hidangan Enak untuk Mencetak Generasi Berakhlaq
Setelah tiba
pada sebuah kesimpulan bahwa buku bisa menjadi sarana belajar bagi anak dengan
gaya belajar apapun, aku semakin semangat membacakan buku untuk Ifa. Apalagi
setelah kini melihat perkembangan gaya belajar auditorinya meningkat dengan
pesat, aku semakin semangat membacakannya cerita.
Bukannya aku
tak pernah merasa kecewa dan down, beberapa kali sempat aku merasa Ifa acuh
ketika aku membacakan cerita. Sebagaimana ibu-ibu lainnya aku merasa, “aah
jangan-jangan dia nggak suka buku,” dan sebagainya. Ternyata tidak. Itu
hanyalah proses. Membiasakan anak-anak mampu mendengarkan sebuah cerita dan
tertarik dengan buku memang butuh proses yang bertahap. Maka jika ada orangtua
yang berkata “anakku nggak suka buku,” biasanya aku akan bertanya, “sudah seberapa
sering dibacakan cerita?” atau “ibunya suka baca juga nggak?”
Ya, anak-anak
itu meniru orangtuanya. Bagaimana mungkin kita mau mengajak anak mencintai buku
dan membaca, jika kita sendiri nggak pernah berdekatan dengan kedua hal
tersebut.
Kekecewaan
yang dulu sempat hinggap di pikiranku kini telah terusir cantik. Ketika Ifa
menunjukkan gelagat bahwa ia tak fokus atau tidak senang mendengarkan ceritaku,
aku mulai mengevaluasi bagaimana caraku menyampaikan kisah tersebut. Apa aku
kurang bersemangat, apa aku terlihat malas membacakan cerita untuknya, atau aku
terlalu monoton menyampaikannya.
Aku juga
semakin semangat berkisah, setelah aku menuntaskan buku berjudul “Bahagia Berkisah – Resep Lengkap Praktik
Berkisah kepada Anak.” Jika awalnya dulu tujuanku membacakan buku agar Ifa
menjadi anak yang suka membaca, agar Ifa menjadi sosok pembelajar, agar Ifa
kosa katanya banyak. Setelah baca buku
ini, aku kesentil banget. Aku jadi ingat hadis ‘innamal a'malu binniyat.’ Niat kita menentukan balasan yang akan
kita dapat. Kalau niatku membacakan cerita ‘hanya’ sekedar agar Ifa jadi sosok
pembelajar, suka membaca, dan kosa katanya banyak, maka hanya itulah yang akan
aku dapatkan.
Tentu saja
niat seperti itu tidak salah ya, namun ketika kita meniatkan berkisah kepada
anak karena Allah ta’ala, insya Allah apa yang kita dapat lebih dari sekedar
tujuan duniawi di atas. Bukankah Allah pemegang kunci hati setiap makhlukNya?
Ketika kita membacakan kisah dengan niat lillahita’ala, insya Allah anak yang
bisa jadi awalnya tidak suka mendengarkan kita bercerita, akan dibukakan hatinya
untuk mau mendengarkan dan mampu meresapi hikmah dari kisah itu.
Lebih jauh
lagi di buku ini dijelaskan bahwa kisah merupakan hidangan dari Al Quran.
Sebagian firman Allah berupa kisah yang merupakan bekal bagi nabi Muhammad
untuk mendidik umatnya. Bahkan ada satu surat di dalam Al Quran yang bernama Al
Qashas yang mengandung makna kisah-kisah. Surat itu diawali dengan cerita Nabi
Musa yang dihanyutkan ke sungai Nil hingga mendapat mukjizat lewat tongkatnya,
dan diakhiri dengan kisah Qarun yang sombong dengan kekayaannya.
Para sahabat Nabi
Muhammad adalah generasi Islam terbaik. Dan jika kita mau telusuri bagaimana
cara Nabi mendidik para sahabatnya, ternyata cukup sederhana. Nabi selalu
berkisah di setiap kesempatan, tentang kehidupan dan kejadian-kejadian di masa
lalu. Metode berkisah ini tenryata sangat berkesan di hati dan membekas di
dalam jiwa, sehingga lebih mudah menyusupi nurani menambah cahaya keimanan dan
ketaqwaan para sahabat. (Halaman 19).
Ya, ternyata Allah
telah menunjukkan cara belajar yang paling ampuh. Berkisah telah terbukti
merupakan sebuah metode pengajaran yang efektif, jadi masihkah kita malas
membacakan kisah untuk anak-anak?
Beda antara Kisah dan Dongeng
Beberapa
waktu lalu ketika aku dan suami mengikuti sebuah tes masuk penerimaan santri
baru di Kuttab Al Fatih, ada sebuah pertanyaan menggelitik “apa bedanya kisah
dan dongeng?” Aku tersenyum membaca pertanyaan tersebut. Aku sengaja membiarkan
suami menjawab terlebih dahulu.
Ketika suami
kusodorkan pertanyaan itu, dia mengernyitkan keningnya dan malah balik tanya ke
arahku. Qodarullah aku sudah membaca buku “Bahagia Berkisah” sebelumnya, jadi
insya Allah sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Di dalam buku
tersebut disampaikan bahwa kisah adalah cerita tentang kejadian (riwayat dan
sebagainya dalam kehidupan seseorang dan sebagainya, sedangkan dongeng adalah
cerita yang tidak benar-benar terjadi.
Salah satu
modal parenting adalah qaulan syadida atau perkataan yang benar. Jika kita
mengacu pada hal tersebut, maka termasuk pula dalam hal memilih bahan cerita
kepada anak. Menceritakan anak kisah-kisah yang sudah pasti benar terjadi dan
hikmahnya tentu akan lebih banyak membawa manfaat daripada menceritakan dongeng
yang sebagian besar berupa cerita fantasi.
Lalu apa
mendongeng tidak diperbolehkan? Boleh saja, namun sebaiknya hanya dijadikan selingan
dan tentu kita harus memilah cerita apa yang bisa disampaikan ke anak. Tentu
saja dengan memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada anak bahwa apa yang
akan kita ceritakan hanyalah sebuah dongeng, bukan kisah nyata. Memberikan pemahaman anak akan berpengaruh
pada pola pikir anak dalam menyikapi kebenaran.
Gunakan
NYAM sebagai Bumbu Berkisah
Buku ini
memang sangat menarik. Cocok dibaca baik untuk orangtua yang sudah suka
membacakan cerita kepada anak ataupun yang sama sekali belum tertarik
membacakan cerita kepada anak. Untuk orangtua yang sudah suka membacakan cerita
kepada anak, kita diingatkan untuk memilih kisah sebagai bahan cerita yang
paling pas. Sedangkan bagi orangtua yang sama sekali belum tertarik membacakan
cerita, kita diingatkan untuk kembali ke fitrah, kembali ke metode pengajaran
yang telah terbukti ampuh.
Mbak Hikmah
Yulitasari, sang penulis buku sekaligus founder Komunitas Ibu Berkisah,
menyampaikan sebuah bumbu untuk bisa sukses berkisah; NYAM.
Niat
murni hanya karena Allah – seperti yang sudah aku
sampaikan di atas, niat awal kita akan menjadi tolok ukur apa yang akan kita
terima. Maka pastikan niat kita untuk berkisah hanya karena Allah semata,
sehingga hasil yang kita dapat akan jauh lebih dahsyat dari sekedar anak
menjadi kaya kosa kata, namun anak memiliki iman yang kuat. Aamiin.
Yang
meridhoi, doa dan dukungan suami – setelah kita
meluruskan niat, bumbu yang kedua yaitu agar kita mendapat ridho dan meminta
doa serta dukungan dari suami. Ridho, doa dan dukungan suami akan semakin memantapkan
hati saat kita berkisah pada anak. Akan lebih baik lagi jika suami bisa
terlibat langsung dalam proses berkisah, namun jika belum, tak mengapa. Terus
tunjukkan bahagianya berkisah, insya Allah suami lambat laun akan tertarik
untuk ikut dalam proses tersebut.
Anak
penyemangat jiwa dan raga – ketika semangat
berkisah kita sedang kendor, ingatlah anak-anak kita. Mintalah doa dan dukungan
dari anak-anak, tanyakan pada anak apakah ia senang jika kita berkisah
untuknya, apa yang membuatnya senang dan bagaimana metode berkisah yang ia
sukai. Insya Allah dengan cara itu semua, kita justru akan rindu ketika
berhenti berkisah untuk anak-anak, apalagi jika anak mulai merengek, “aku maunya
bunda yang cerita, soalnya suara bunda lembut sih.”
Manfaat
berkisah yang spesial bagi diri ibu – ternyata
berkisah tidak hanya membawa manfaat untuk anak, namun bagi diri kita sendiri
teralir banyak manfaat di dalamnya. Di halaman 58 buku “Bahagia Berkisah”
disampaikan setidaknya ada 8 manfaat berkisah untuk ibu;
- Bernilai pahala dari Allah selama berniat lurus
- Menyalurkan kebutuhan mengeluarkan puluhan ribu kata bagi wanita (sebagai terapi hati, jiwa dan emosi)
- Membangun rasa bahagia dan percaya diri pada diri ibu
- Menyuburkan rasa mencintai dan dicintai anak
- Sebagai cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak
- Sebagai cara quality time dengan anak
- Sebagai cara mendidik anak dengan menyenangkan
- Sebagai cara menasihati anak tanpa menguras emosi ibu.
Hmm, kece kan
bumbu NYAM yang disampaikan mbak Hikmah di buku tersebut? Semoga semakin
menguatkan diri kita untuk berkisah ya.
Hubungan Bahagia Berkisah dengan Gaya Belajar Anak
Seperti yang sudah
aku sampaikan di awal bahwa dalam proses membersamai Ifa aku menemukan
kesimpulan bahwa buku adalah sarana belajar yang bagus untuk anak dengan gaya
belajar apapun. Bagi anak yang sudah bisa membaca sendiri, buku adalah teman
baik untuk belajar. Bagi anak yang belum bisa membaca, mendengarkan orangtuanya
membacakan buku adalah momen yang asyik jika dibiasakan.
Dari titik
ini, kesimpulanku itu semakin kuat setelah membaca buku “Bahagia Berkisah.”
Bahkan di buku ini juga disampaikan media utama dan teknik berkisah.
Di halaman 88
buku ini disampaikan bahwa bahan pokok berkisah adalah Al Quran, hadits, dan
siroh. Ya, buku ini menyadarkanku yang selama ini suka pusing cari bahan cerita
untuk anak, ternyata nggak usah jauh-jauh, dari tiga bahan tersebut saja sudah
banyak kisah penuh hikmah dan makna yang bisa kita sampaikan. Apa nggak berat
tuh buat anak-anak? Tidak. Asal kita tahu bagaimana cara menyampaikan kisah itu
sesuai usia mereka.
Selain bumbu
NYAM, ternyata dalam menyampikan kisah kita juga harus punya bumbu tambahan,
yaitu;
Bumbu
berita ilmu – kita bisa menyampaian ilmu
atau berita dalam Al Quran lewat cara berkisah. Dicontohkan di buku ini kita
bisa berkisah dengan sumber Al Quran An Nur: 43 dan Ar Ruum: 48 tentang proses
terjadinya hujan. Agar lebih mengena, kita bisa melengkapinya dnegan alat
peraga dan gambar. Intinya, kisahkan sesuatu yang ada dasarnya, cara ini
efektif untuk semakin meningkatkan keimanan dan kecintaan anak pada Allah.
Bahkan secara tak langsung, insya Allah kecintaan dan keimanan kita pun akan
meningkat.
Bumbu
kunci kaidah usia – beda usia tentu saja akan
beda cara penyampaian berkisah. Berkisah bisa dilakukan sejak anak di dalam
kandungan. Pada usia bayi hingga tujuh tahun adalah masa penggemburan fitrah
iman, cinta Allah, cinta Rasulullah, cinta para Nabi dan cinta kisah. Maka perbanyaklah
kisah yang berhubungan dengan hal-hal itu. Sedangkan pada usia pra aqil baligh,
kisah-kisah tentang pengenalan dan pembiasaan syariat adalah hal yang harus
diperhatikan. Untuk anak-anak yang sudah memasuki usia aqil baligh, tadabbur
ayat-ayat Quran, bedah hadits dan analisis siroh menjadi cara berkisah yang
menantang. Bingung bagaimana caranya? Alhamdulillah di akhir buku ini
dilengkapi dengan daftar kisah sesuai usia dan menu bahagia berkisah. Tidak
lupa disertakan pula poster peta bahagia berkisah. Komplit banget deh buku ini!
Resep Bahagia Berkisah
Di bagian
ini, mbak Hikmah menyadarkanku bahwa semua tantangan dalam berkisah pasti bisa
diatasi selama niat kita sudah lurus lillahita’ala.
Mbak Hikmah
mengumpulkan curhatan para ibu mengenai proses berkisah, misal tentang ibu yang
merasa tak pandai berkisah. Mbak Hikmah menguatkan bahwa berkisah tidak perlu
bakat. Semua orang pasti BISA berkisah asal MAU dan BIASA melakukannya. Jadi
kalau awalnya kaku, anak nggak suka, tetap lanjutkan prosesnya, nanti perlahan
akan ketemu kok cara yang paling nyaman untuk kita dan anak. Intinya adalah
bahagia dulu, nikmati prosesnya.
Curhatan yang
banyak disampaikan berikutnya yaitu tentang fasilitas berkisah. Banyak ibu yang
merasa tidak punya cukup fasilitas. Mbak Hikmah kemudian mengajak para
pembacanya meluruskan pola pikir, bahwa tiga unsur utama berkisah hanya tiga;
ada ibu dan atau ayah sebagai orang yang berkisah, ada anak yang mendapat kisah
dan sumber bahan kisah dari Al Quran, hadits atau siroh.
Selanjutnya
mbak Hikmah menyampaikan sebelum berkisah, orangtua harus membekali dirinya
dengan ilmu terlebih dahulu. Selain ilmu tentang berkisah, tentu saja juga
banyak ikuti kajian siroh dan kisah. Bagaimana kita mau menyampaikan kisah jika
kita sendiri jarang mendengarkan kisah?
Setelah
membekali ilmu, kita bisa melengkapinya dengan buku, alat peraga, boneka
tangan, media internet, sarana audio dan audio visual. Nggak tanggung-tanggung,
mbak Hikmah pun menyampaikan tips untuk para ibu yang kesusahan membeli buku
berkisah yang berkualitas karena harganya cenderung mahal. Bisa dengan
menabung, beli saat pameran, meminjam di perpustakaan atau teman, dan mengikuti
arisan buku.
Resep
selanjutnya yang disampaikan mbak Hikmah yaitu tentang kaidah berkisah;
Berkisahlah
saat anak siap dan nyaman - pastikan anak dalam keadaan kenyang, nggak
kebelet buang air dan nggak ngantuk berat. Boleh menjadikan kisah sebagai
pengantar tidur, tapi ketika kondisi anak sudah hampir terlelap, hentikanlah
dan sambung kisahnya di keesokan hari.
Berkisahlah
ketika kita merasa siap dan nyaman – berkisah harus
fokus, nggak bisa disambi dengan aktivitas apapun. Mulai dengan ta’awudz dan
basmallah agar apa yang ingin kita sampaikan mengena. Jika tema kisah yang
ingin disampaikan bisa untuk usia yang
berbeda, kita bisa berkisah bersama adik dan kakak. Jika tidak, kita
bisa berkisah secara bergantan.
Dalam
berkisah kita juga harus memegang enam
kaidah berbicara;
- Qaulan Syadida – perkataan benar dant tidak mengada-ada
- Qaulan Ma’rufa – perkataan yang baik dan tidak menyinggung perasaan
- Qaulan Karima – perkataan yang mulia. Muliakan anak dengan sapaan anak sholihahku, anakku yang disayang Allah dan sebagainya.
- Qaulan Baligha – perkataan yang tepat sasaran, sesuai usia dan kadar pemahaman anak.
- Qaulan Maysura – perkataan yang mudah dicerna, mudah dimengerti. Sesuaikan pilihan kata dengan usia dan pemahaman anak. Ketika menjelaskan apapun kepada anak selalu kaitkan dengan tauhid kepada Allah.
- Qaulan Layyina – perkataan yang lemah lembut, enak didengar, ramah dan menyenangkan hati.
Selain enam
kaidah berbicara, kita juga bisa berkisah
dengan teknik gado-gado sebagai berikut;
- Berkisah dengan mimik wajah – gunakan ekspresi untuk memunculkan alur kisah dengan kuat.
- Berkisah dengan intonasi variasi suara – nada dan intonasi suara bisa memperkuat kisah yang kita sampaikan.
- Berkisah dengan boneka/ alat peraga yang kita buat sendiri – jika kita punya boneka tangan/ jari bisa dipakai, bahkan kita bisa menggunakan alat yang ada di sekitar kita. Misal mau cerita tentang mukjizat tongkat nabi Musa, bisa lo cari barang di rumah yang menyerupai tongkat sebagai bahan pelengkap cerita. Enaknya lagi di buku ini ada beberapa contoh media bercerita, bisa jadi sumber inspirasi.
- Berkisah dengan bermain peran – bermain peran adalah cara yang asyik menyampaikan kisah. Namun mbak Hikmah mengingatkan hindari memerankan tokoh antagonis. Tokoh antagonis hanya boleh dikisahkan, bukan diperankan, apalagi untuk anak-anak. Khawatirnya akan tertanam di hati dan pikirannya.
- Berkisah dari buku – sebaiknya sebelum membacakan kisah dari buku, ibu sudah tahu isi buku tersebut sebelumnya.
- Berkisah dengan gambar - Cocok untuk anak visual nih. Ibu bisa memulai dengan menggambar di kertas, papan tulis bahkan pasir, lalu ajak anak menikmati kisah sesuai gambar yang dibuat.
- Berkisah dari pertanyaan – anak-anak selalu punya segudang pertanyaan. Pertanyaan anak bisa jadi awal memulai kisah, misal anak bertanya tentang madu. Kita bisa mengawali dari kisah lebah hewan yang ada di Al Quran.
- Berkisah dari peristiwa – peristiwa sehari-sehari bisa jadi awal memulai kisah, misal proses terjadinya hujan, air mengalir dan sebagainya.
- Berkisah dari pemandangan – saat mengajak anak jalan-jalan ke kebun bintatang misalnya, kita bisa menyisipkan kisah tentang tentara gajah dan burung ababil.
- Berkisah dari berita terkini – misal kisah tentang anak-anak di Gaza atau Suriah.
Dari
gado-gado teknik berkisah yang disampaikan di buku ini, aku jadi semakin yakin
bahwa berkisah memang cocok untuk meningkatkan modalitas belajar anak dengan gaya belajar apapun. Mau si anak
auditory, visual ataupun kinestetik, insya Allah mereka akan senantiasa
menikmati proses berkisah. Yang penting emaknya tahu teknik yang pas.
Masya Allah,
kaya ilmu sekali buku ini. Satu pesan dari mbak Hikmah di akhir buku begitu
menggugah jiwa;
Selamat
berkisah parents dan bersiaplah menjadi arsitek peradaban.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Wah ini buku bagus banget yaa, cocok buta ibuibu kayak saya nih. Soalnya aku juga suka banget berkisah pada anak-anak, mereka senang kalau udah diceritaain atau didongengin.
ReplyDeletelengkap banget mba review bukunya memang aku pun menjadikan buku sebagai media buat pembelajaran dan buku yang memuat kisah jauh lebih mengena dan bisa jadinpembelajaran buat anak daripada dongeng yang benar2 tidak terjadi y mba
ReplyDelete