Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Salah satu goal-ku di tahun ini adalah bisa mengajak
anak-anak berwisata ke tempat-tempat baru, bukan hanya sekedar for having fun, tapi juga untuk
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Apalagi setelah kemarin
selesai nonton The Nekad Traveler, keinginan itu semakin berlipat-lipat. Waktu
itu aku juga mengajak mbak Ifa dan Affan nonton filmnya, sambil sounding ke
mereka, “let’s travel around Indonesia,
around the world, see many beautiful cities and countries, get many experiences and much more
knowledge, my dear.” Mbak Ifa pun berkomentar excitedly saat melihat film tersebut “itu di kota mana bun, bagus
banget ya.” Affan? Heboh juga dia waktu scene
mandiin gajah, hehe.
Baca
Juga: 4 Ide Wisata Liburan Akhir Tahun ke Medan
Berhubung
untuk jalan-jalan jauh juga butuh dana yang nggak sedikit, maka sembari nabung,
ya marilah kita piknik tipis-tipis. Alias piknik ke tempat yang masih bisa kami
jangkau dengan budget kami sekarang, hehe. Salah satu tempat yang nggak jauh
dari Semarang dan mbak Ifa pengen banget ke sana yaitu Masjid Agung Demak. Why?
Sebenarnya
mbak Ifa sudah pernah ke Masjid Agung Demak bersama ibu guru dan teman-teman
sekelasnya saat fieldtrip tema Demak
di akhir semester satu yang lalu. Nah, sejak pulang dari Masjid Agung Demak,
setiap hari dia selalu cerita betapa asyiknya berkunjung ke masjid tersebut.
Dia juga cerita kalau saat itu rombongannya nggak bisa masuk ke museumnya
karena sedang tutup. Dia selalu menutup ceritanya dengan harapan, “tapi lebih
asyik jalan-jalan sama ayah bunda kok. Aku mau ke sana lagi sama ayah bunda.”
Hampir setiap
hari tuh mbak Ifa cerita hal yang sama. Lama-lama kami sebagai orangtuanya
terketuk juga dong. Lagipula aku juga belum pernah ke Masjid Agung Demak, hehe.
Pernahnya ke Masjid Agung Semarang dan Menara Kudus. Nggak ada yang nanya
keleus.
Qodarullah
tanggal 31 Desember kami dapat undangan untuk menghadiri pernikahan kerabat di
daerah Sayung. Tinggal maju dikit nyampe deh ke Masjid Agung Demak, pikir aku
dan ayahnya waktu itu. Eh, ternyata hari itu kami kecapekan sepulangnya dari
Pasar Karetan. Rencananya mau pulang ke rumah sebentar, mandi lalu cuzz
berpetualang lagi. Yang ada, kami tepar semua, hihi.
Akhirnya
rencana pun diubah. Kami bakalan cuzz ke Masjid Agung Demak setelah selesai
kondangan pada hari berikutnya alias 1 Januari 2018. Sepertinya pertanda bagus
nih, membuka awal tahun dengan jalan-jalan. Semoga tahun ini kami bisa banyak
jalan-jalan ke tempat keren lainnya. Aamiin.
Selain mbak
Ifa yang ngebet mengajak ayah bundanya mengunjungi masjid tersebut, si ayah
juga pengen banget mentraktir keluarganya makan asem-asem daging di salah satu rumah
makan yang letaknya dekat dengan lokasi. Jadi ceritanya waktu mama mertua
pulang ke Semarang, suami diajak main ke Jepara. Saat itu aku nggak ikut
mendampingi karena harus menemani Ibu di rumah yang nggak mungkin ditinggal
pergi dalam waktu lama. Ifa diajak pergi tanpa bundanya pun ogah, hehe. Jadilah
suami sorangan aja jalan-jalan sama keluarga besarnya. Lalu di tengah
perjalanan ke Jepara, mereka mampir ke Masjid Agung Demak dan menyantap makanan
khas Demak tersebut. Suami waktu itu langsung kepikiran one day kudu mengajak anak istrinya ke situ. Alhamdulillah,
akhirnya keturutan juga.
Rumah Makan Rahayu, credit by Hello Semarang |
Aku kok lupa
ya nama rumah makannya, lupa moto juga pula, hehe. Beneran nggak bakat jadi travel and food blogger deh. Kalau nggak
salah namanya RM Rahayu (setelah googling, ternyata bener namanya, hehe),
letaknya dekat banget lah sama Simpang Tujuh Demak, di ruas jalan arah mau ke
Semarang. Jadi waktu itu kami putar balik dulu, makan, baru masuk ke area
Masjid Agungnya.
Rumah
makannya memang ramai banget. Punya cabang juga di Semarang kok, salah satunya di
daerah Anjasmoro. Saat itu aku pengen pesan Garang Asemnya, tapi ternyata sold
out sodara-sodara. Jadilah pesan asem-asem yang rasanya memang nampol banget
nget nget. Bikin nagih, pokoknya harus kembali lagi ke sini, hehe. Akhirnya
setelah perut kenyang saatnya menjelajah ke Masjid Agung Demak.
Sejarah
Masjid Agung Demak
Salah satu wish list-nya Mbak Ifa terkabul nih,
bisa masuk ke museum di area Masjid Agung Demak. Di museum ini kita bisa dapat
banyak informasi mengenai sejarah masjid ini, sekaligus sejarah kota Demak itu
sendiri.
Konon Masjid
Agung Demak ini merupakan salah satu masjid paling tua yang ada di Indonesia.
Didirikan atas inisiatif dari Raden Patah yang merupakan sultan Demak pertama
bersama Walisongo. Dulu masjid ini bisa dibilang sebagai basecamp-nya Walisongo. Menurut catatan sejarah yang ada,
diperkirakan masjid ini berdiri sejak abad ke 15 Masehi.
Salah satu
hal yang menjadikan masjid ini pernah dicalonkan sebagai salah satu situs warisan
dunia oleh UNESCO di tahun 1995 adalah sejarah di balik pembuatannya. Menurut
cerita eyang dan ibuku dulu, tiang masjid ini dibangun dari serpihan-serpihan
kayu. Kalau dinalar rasanya nggak masuk akal ya, tiang masjid yang berasal dari
serpihan kayu, tapi bisa berdiri dengan kuat hingga bertahun-tahun. Masya
Allah.
Di dalam museum
masjid, kita bisa lihat tuh penampakan tiang tersebut. Ternyata gede
bangeeeeet. Kalau sekarang tiangnya pasti sudah banyak mengalami renovasi ya, pals. Tiang-tiang ini dinamakan saka
guru. Saka guru ini bisa kita temukan di dalam bangunan induk. Totalnya ada
empat saka guru, yang disebut dengan saka guru Sunan Kalijaga, saka guru Sunan
Bonang, saka guru Sunan Gunungjati, dan saka guru Sunan Ampel. Nama dari saka
guru ini merujuk pada pembuat saka guru tersebut. Salah satu dari saka guru berasal
dari serpihan-serpihan kayu seperti yang aku ceritakan di atas. Saka guru itu
disebut juga saka tatal. Tatal itu mengacu pada bahasa Jawa yang artinya
serpihan kayu. Saka tatal ini yang membuat Sunan Kalijaga, maka disebut pula
dengan saka guru Sunan Kalijaga.
Oya, Raden
Patah dan Walisongo memberikan gambar bulus sebagai simbol masjid ini. Dikutip
dari Wikipedia, gambar tersebut merupakan candra sengkala
memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka.
Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti
angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1
(satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401
Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Menelusuri
sejarah Masjid Agung Demak lewat peninggalan-peninggalan yang tersimpan rapi di
museumnya, membuat kami nggak berhenti berdecak kagum. Ternyata masjid ini
dibangun dengan penuh filosofi. Bangunan serambi masjid ini merupakan bangunan
terbuka, lantainya adem banget. Nggak heran kalau banyak orang duduk-duduk di
serambi ini sembari menunggu waktu sholat. Ketika waktu sholat tiba, penjaga
masjid akan merapikan sembari dan memisahkan antara pengunjung perempuan dan
laki-laki. Pengunjung perempuan hanya boleh di sebelah kiri serambi dan
pengunjung laki-laki harus berada di sebelah kanan. Bagian tengah serambi harus
kosong agar tidak mengganggu jamaah sholat yang mau masuk ke dalam masjid.
Waktu itu si
Affan lagi asyiknya merangkak ke sana ke mari sampai ke tengah serambi. Aku jadi
kena tegur deh sama penjaganya, disuruh menepi ke sebelah kiri. Maaf ya pak,
anaknya pengen tahu nih. Alhamdulillah akhirnya Affan bisa dialihkan
perhatiannya dengan mengeksplorasi bedug yang ada di depan masjid. Sebelum dan
sesudah azan, bedug ini dipukul bertalu-talu. Keren banget. Udah jarang lihat
bedug. Apalagi bedugnya gede banget. Tapi ini udah bukan bedug yang asli ya, kalau
lihat dari keterangan di bedugnya, bikinan baru kok, cuma aku kok lupa ya.
Kalau nggak akhir 2016 ya awal 2017 gitu.
Salah satu
filosofi yang apik dari masjid ini dituangkan dalam atapnya yang berbentuk limas.
Limas ini merupakan salah satu arsitektur khas rumah Jawa yang menunjukkan
strata sosial. Atap ini ditopang oleh delapan tiang, disebut Saka Majapahit. Berbeda
dengan makna limas di bangunan rumah Jawa, atap limas di masjid ini terdiri
dari tiga bagian yang berarti iman, Islam dan ihsan. Seakan mengingatkan pada setiap
muslim yang masuk ke masjid ini untuk jangan pernah melepas tiga bagian penting
ini di dalam diri.
Hal menarik
lainnya dari masjid ini adalah Pintu Bledeg yang kini sudah tersimpan di dalam
museum. Pintu ini mengandung candra
sengkala, yang artinya adalah Naga Mulat Salira Wani, merujuk pada tahun
pembuatannya yang diperkirakan pada 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. Pintu
ini dibuat oleh Ki Ageng Selo dari kayu jati berukiran tumbuh-tumbuhan,
suluran, jambangan, mahkota, dan kepala binatang (naga) dengan mulut terbuka
menampakkan gigi-giginya yang runcing. Konon, kepala naga ini menggambarkan
petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo.
Selain saka
guru yang telah rusak dan pintu bledeg, di dalam museum kita juga bisa melihat
beberapa Al Quran kuno 30 juz yang ditulis dengan tangan. Keren banget, rapi lo
kaya cetakan pabrik. Lalu ada foto-foto Masjid dari tahun ke tahun, Maket Masjid
Agung Demak pada tahun 1845 – 1864 M, kentong dan bedug peninggalan para wali,
gentong pemberian Putri Campa dari Dinasti Ming pada abad ke-14, lampu dan
beberapa peralatan rumah tangga terbuat dari Kristal dan kaca yang merupakan
hadiah dari Paku Buwono 1 pada tahun 1710 M, serta informasi silsilah para
nabi, para raja kesultanan demak hingga bupati Demak jaman now, dan Walisongo.
Untuk lebih
terasa napak tilas sejarahnya, bagusnya sih sekalian ziarah ke beberapa makam
raja-raja Kesultanan Demak. Letaknya pun ada di kompleks masjid ini kok. Cuma
waktu itu aku memutuskan nggak masuk sih. Ntar kapan-kapan mau ke sana lagi
deh, ziarah ke makam para raja tersebut dan cuzz ke makamnya Sunan Kalijaga
yang ternyata letaknya nggak jauh dari Masjid Agung Demak.
Mbak Ifa minta difoto |
Oya, di dekat
museum masjid, ada sebuah kolam. Konon dulunya kolam ini merupakan area yang
digunakan untuk berwudhu. Kalau sekarang tempat wudhunya ada di sayap kiri dan
kanan masjid. Yang berada di sayap kiri untuk jamaah perempuan, dan sayap kanan
untuk jamaah laki-laki. Waktu menuliskan postingan ini, aku googling dan
mendapatkan alamat website Masjid Agung Demak yang ternyata mengarah ke channel
live video. Masya Allah jam setengah
3 pagi aja penuh para jamaah yang sedang berzikir dan melaksanakan sholat di
sepertiga malam. Beberapa juga ada yang nampak tertidur di serambi, mungkin
menunggu waktu subuh tiba.
Begitulah
sedikit catatanku saat mengunjungi Masjid Agung Demak bersama keluarga beberapa
waktu lalu. Maafkeun kalau tak banyak foto yang dibagi karena kami terlalu
sibuk menikmati setiap sisi masjid dan museumnya. Plus gantian mengejar Affan
yang nggak henti berexplorasi ke sana ke mari, hehe. Dan baru sadar kalau foto di kamera HP kok ternyata tidak tersimpan, hiks.
momong Affan |
Sampai jumpa
di cerita-ceritaku berikutnya ya, pals.
Thank you so much buat yang sudah
mampir dan menyempatkan membaca.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Sumber
Informasi:
Saya jadi tahu sejarah Masjid Agung Demak nih. Habis itu langsung list ke sini ah, pas liburan bareng keluarga :D
ReplyDeleteMasjid Demak ini masih kental dengan adat Jawanya ya, dari filososi atap bentuk limas yang kejawaan banget. Saya jadi ingin mengunjungi majsjid ini
ReplyDeleteHeader blognya kece banget ihh mba..cara bikinnya gimana sihhh? Hehe
ReplyDeleteBanyak sejarah yang bisa diketahui ya dateng kesini :)
ReplyDeleteCheers,
Dee - heydeerahma.com