Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Pagi yang sendu di Semarang bagian Klipang. Hujan sepagi ini sudah mengguyur meski hanya sebentar, namun cukup mampu membuat semangat yang tadinya bergelora kembali menyusut dan rasanya ingin beringsut di bawah selimut. Memikirkan semangat yang menyusut, aku jadi ingat tentang diskusi singkat di Google Classroom Matrikulasi Tambahan untuk Koordinator, kelas C. Dalam diskusi tersebut kami para peserta matrikulasi tambahan kembali diingatkan untuk tetap semangat membangun peradaban. Bedanya jika di materi matrikulasi beberapa bulan lalu, kami fokus pada membangun peradaban di rumah, kini kami diajak untuk merentangkan sayap lebih luas; membangun peradaban lewat komunitas.
Kenapa komunitas? Karena sejatinya it takes a village to raise a child. Tujuan pengasuhan tidak lain pada akhirnya adalah membangun peradaban, oleh karenanya kita tidak bisa bersikap acuh dengan membiarkan pikiran seperti ini melintas; “ah, bukan anakku, biarin aja lah.” Bukankah anak orang lain nantinya pun akan menjadi teman-teman bagi anak kita? Jika kita tidak mau ikut memberi warna yang positif, maka bisa jadi warna-warna yang negatif itu ikut mempengaruhi anak kita.
Sebenarnya aku sendiri sadar akan hal ini, namun kok rasanya masih sulit memulainya. Apalagi mengingat bahwa aku termasuk ‘orang muda’ di tempat aku tinggal. Pernah sekali dua kali aku membagikan informasi pengasuhan anak di lingkup RT, ternyata hanya segelintir yang memperhatikan. Lainnya memandang sebelah mata. Mungkin mereka pikir, siapalah aku ini, anak masih dua, masih kecil-kecil dan belum punya pengalaman.
Justru ketika aku diminta hadir di RW lain menyampaikan tentang informasi pengasuhan, mereka menyambut dengan antusias dan hangat. Bahkan beberapa di antaranya mulai tertarik ikut kegiatan-kegiatan seminar dan workshop pengasuhan. Rasa ditolak inilah yang kemudian membuatku menarik diri. Aku tidak lagi banyak berbagi mengenai info pengasuhan di lingkungan tempat aku tinggal.
Hingga awal Minggu ini, hatiku seperti digedor-gedor. Ada panggilan dari dasar diri untuk segera bergerak ketika melihat beberapa kasus di depan mata. Di depan rumah, ada single mom yang belum memiliki bekal cukup untuk membesarkan anak dan selalu saja bertikai dengan ibu dan kakaknya. Setiap hari selalu saja ada teriakan, entah itu karena memaki anaknya, atau karena pertengkarannya dengan ibu dan kakaknya. Kadang terbersit jengkel dan geram menjadi satu di hati setiap kali mendengar teriakannya. Namun jika ingat bagaimana latar belakang single mom tersebut, aku tahu dia hanya perlu dibantu. Pertanyaannya bagaimana aku bisa membantunya? Dari mana dan dengan apa?
Lalu ada lagi sebuah kasus yang baru kudengar tentang seorang anak tetangga, anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP, ternyata sudah beberapa bulan sering tidak pulang ke rumah dan menolak sekolah. Yang lebih bikin hati nggregel, suatu malam saat aku menunggu pesanan sateku selesai dibuat, ada seorang bapak mencari alamat rumah si anak ini. Beliau mengaku sebagai bapak dari pacarnya si anak tetanggaku. Si bapak ingin menjemput anak perempuannya yang sampai jam 10 malam belum juga tiba di rumah.
Saat itu rasanya seperti tertimpa godam raksasa. Inikah maksud Allah menempatkanku di lingkungan ini? Kalau memang iya, lantas apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana memulainya? Dengan apa aku bisa memberi warna positif di sini? Banyak pertanyaan hadir di relung hati dan pikiran.
Belum juga aku menemukan jawabannya. Semangatku mulai kendor lagi. Pikiran acuh mulai melintas. “Ah, sudahlah fokus saja pada keluargaku.” Namun sesaat kemudian, aku merasa bersalah dengan pikiran tersebut. Apakah benar tidak ada yang bisa aku lakukan?
Berbagi dan Melayani
Tulisan ini mungkin memang hadir sebagai setoran NHW #10, namun ini juga sekaligus curhat colonganku mengenai mirisnya diri ini dengan apa yang terjadi di depan mata. Belum lagi setelah aku membaca berita yang sedang panas-panasnya di kota Lunpia ini; dua orang anak SMK membunuh sopir taksi online. Subhanallah, apa jadinya bangsa ini jika calon-calon pemimpinnya tidak diasuh dengan benar?
Selain itu, tulisan ini juga kubuat untuk menjawab tantangan dari Gandjel Rel pada #ArisanBlogGandjelRel periode ke 20. Tema kali ini dipilih oleh Mbak Lestari, seorang blogger muda nan cantik sekaligus pegawai di kantor milik Negara yang mengurusi masalah listrik. Temanya yaitu tentang resolusi di 2018. Pas banget dengan apa yang ingin kutulis di NHW #10 ini.
Jika ada yang ingat tahun lalu aku menuliskan resolusi untuk bisa hidup lebih bahagia. Alhamdulillah, resolusiku tahun lalu sudah terwujud. Aku dipertemukan dengan banyak kawan yang membawa aura positif dan banyak kegiatan yang membuatku tidak sempat berpikir negatif. Pengaruh dari kawan dan kegiatan positif tersebut membawa dampak bagi kesehatan jiwaku, yang kemudian tentu meretas simpul-simpul kebahagiaan di hatiku.
Di tahun 2017, aku semakin dekat dengan Komunitas Ibu Profesional. Yang awalnya hanya tahu sambil lalu, hanya kenal lewat buku, masuk grup whatsapp namun sekedar skip “ah, bacanya nanti dulu”. Dengan mengikuti matrikulasi mau tidak mau aku menceburkan diri lebih dalam ke komunitas ini. Di sini aku seperti diingatkan dengan beberapa agenda yang sempat aku ingin lakukan bersama salah satu komunitas parenting, namun kemudian mandheg di jalan. Di sini aku seperti bertemu dengan para soulmates yang memiliki visi dan misi sejalan.
Ada beberapa agenda yang kami susun bersama. Agenda ini nantinya tidak hanya ditujukan untuk para member, namun juga kami harapkan bisa memberdayakan keluarga-keluarga di luar anggota Ibu Profesional. Mengingat segala macam masalah yang hadir di depan mata, kami ingin bisa memberikan uluran tangan yang nyata.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri buatku. Aku cenderung bertipikal “cepat panas semangatnya, namun juga cepat pula lebur semangatnya.” Hal itulah yang kemudian membuatku bertanya pada fasilitator kelas matrikulasi tambahan, “bagaimana menjaga konsistensi diri dalam berbagi dan melayani, agar tak mudah patah semangat meski belum didengar, dianggap dan disepelekan? Dan bagaimana mengajak orang lain agar memiliki semangat berbagi dan melayani selain memulainya dari diri sendiri?”
Jawaban mbak Nesri, sang fasilitator begitu menancap di hatiku hingga detik ini. Aku kukutipkan langsung di sini saja ya jawaban beliau.
Bagaimana menjaga konsistensi? Enjoy! Saya ingat sekali kata-kata Bu Septi dalam salah satu meet up dengan pengurus, "Kalau saya nggak bahagia, saya udah lama sakit." Berkomunitaslah dengan bahagia hingga kita selalu siap sedia berbagi dan melayani. Ketika ada secuil rasa tak bahagia, lebih baik mlipir atau lepaskan komunitas tersebut, mungkin kita butuh komunitas lain yang membuat bahagia. Komunitas yang akan membuat kita bilang “YESS!!” ketika mendapat tugas. Komunitas yang setiap memberi tantangan akan membuat adrenalin kita meningkat dan kita jadi semangat.
Bagaimana membuat orang lain punya semangat berbagi dan melayani, selain mulai dari diri sendiri? "Seorang pemimpin memimpin dengan teladan, bukan paksaan. (Sun Tzu).” “Ingat perbedaan antara boss dan pemimpin. Boss bilang, "Lakukan!" Pemimpin bilang, "Mari lakukan. (E.M Kelly). Berkaca dari para pemimpin besar, tak ada cara untuk membuat orang melakukan sesuatu dengan sukarela selain memberi teladan. Mengajak melakukan sesuatu berarti kita sudah melakukannya.
Jawaban itulah yang semakin memperkuat diriku untuk menjadikan “berbagi dan melayani” sebagai resolusiku di 2018. Aku ingin memberikan kontribusi yang nyata kepada lingkungan di mana aku tinggal. Aku berharap bisa memberikan warna dan aura positif, aku ingin bisa bermanfaat dan tidak sekedar melihat segala problema yang ada dengan kaca mata kuda.
Dan untuk mencapai ke arah tersebut, maka aku harus mengawalinya dari diriku sendiri. Aku harus terus memperkaya diriku dengan berbagai wawasan dan mengisi hariku dengan berbagai kegiatan positif. Aku juga harus kembali semangat mengejar beberapa PR pengasuhanku terhadap anak-anak. Menjadi teladan bagi mereka dan menjalin kebersamaan lebih akrab dengan anak-anak.
Aku sadar untuk memberi warna pada masyarakat yang lingkupnya luas membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak. Kemudian aku bersyukur karena di RT ku, Alhamdulillah aku diamanahi menjadi pengurus Pokja 1. Lewat sinilah aku perlahan bisa memberi warna. Setidaknya jika dulu setiap kali ustazah di RT kami berhalangan hadir ke acara pengajian rutin bulanan, kami tidak berusaha mencari ustazah pengganti atau saling berbagi informasi. Sekedar baca yasin lalu pulang ke rumah masing-masing.
Aku mulai merapikan acara pengajian dengan selalu berusaha mencarikan ustazah pengganti ketika ustazah di RT tidak bisa hadir. Ketika ustazah pengganti pun tidak bisa didapat, aku berusaha setidaknya berbagi informasi yang aku miliki, agar wawasan para ibu di RT ku bisa semakin berkembang. Agar setiap para ibu pulang ke rumah mereka bisa membawa ‘sesuatu’ yang baru di dalam jiwanya. Meski mungkin tidak semua mendengarkan, namun tidak masalah, harus tetap semangat berbagi dan melayani.
Aku ingat sebuah renungan lama, jika orangtua acuh pada perkembangan anak, lingkungan abai dan Negara pun tidak mau tahu, lalu apa jadinya para pemuda negeri ini kelak. Aku tidak ingin jadi bagian dari lingkungan yang abai, meski hanya sedikit, aku ingin bisa memberi manfaat. Apalagi dengan dua kasus yang aku ceritakan di awal postingan ini, alarm di dalam diriku semakin kencang berbunyi untuk segera bertindak.
Ke depannya aku ingin lebih banyak melakukan sesuatu di tempat aku tinggal, aku ingin sekali bisa membuat wadah bagi para remaja. Entah itu semacam karang taruna atau remaja masjid. Aku bisa saja berbagi tentang blogging atau seni peran. Atau mengundang para ahli di bidangnya untuk workshop singkat bagi para remaja di sini sehingga mereka bisa punya life skill, punya visi misi hidup yang jelas dan tidak terjebak dengan kecanduan gadget.
Aku juga ingin menghidupkan kembali POS PAUD RW yang setahun ini vakum karena muridnya sudah mulai bersekolah di Taman Kanak-kanak terdekat. Aku ingin kembali mengumpulkan anak-anak usia dini yang perlu sentuhan, termasuk anak-anakku sendiri tentunya. Mengajarkan mereka tentang hal-hal sederhana namun penuh makna; mengucapkan terima kasih, maaf dan tolong, berani mengungkapkan keinginan dan bercerita di depan kelas. Pendidikan karakter terbaik adalah di saat usia dini, dan senang rasanya jika aku bisa kembali ambil bagian menjadi penyemai bibit karakter-karakter mulia di diri anak-anak pewaris bangsa ini. Niat itu semakin besar, namun entah kenapa keragu-raguan pun tidak kalah besar. Doakan saja semoga niat ini tidak sekedar menjadi niat ya, pals.
PR Sebagai Koordinator Rumah Belajar Literasi Media
Di dalam komunitas Ibu Profesional Regional Semarang, aku diamanahi menjadi koordinator rumah belajar literasi media. Ketika menerima amanah ini sebenarnya deg-deg ser, aku bertanya-tanya apakah mampu menjalaninya. Namun ketika mengingat bakat yang diberikan Allah kepadaku, aku kemudian yakin bahwa aku mampu. Lewat passion menulisku, aku ingin berbagi meski tidak banyak. Lewat passion menulisku aku ingin mengajak lebih banyak orang yang memiliki passion yang sama untuk berani menunjukkan passion tersebut. Alhamdulillah kini sudah berjalan sekitar tiga bulan aku diamanahi tantangan menjadi kordi rumbel literasi media, insya Allah semangatku masih belum luntur.
Dalam menjalankan amanah ini, tentu saja tidak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya semangatku kendor ketika yang datang ke kelas offline hanya separuh dari yang tadinya mendaftar. Atau ketika kelas online berlangsung dan aku membagikan materi, tidak ada respon sama sekali. Namun aku berhusnuzon, mungkin yang berhalangan hadir sedang ada acara keluarga, atau ada urusan lain yang lebih penting. Ketika materiku tidak mendapat respon, aku jadikan hal itu sebagai evaluasi. Bisa jadi materi tersebut kurang menarik bagi anggota grup. Hal ini semakin membuatku terus berpikir apa lagi ya yang bisa aku bagikan, bagaimana ya mengemas sebuah materi agar tetap menarik dan inovasi apa yang harus aku lakukan agar semua anggota grup merasakan manfaat dari rumah belajar literasi media.
Ke depannya aku ingin menyusun jadwal rumbel literasi media dengan lebih rapi. Menyiapkan materi-materi dengan lebih matang. Aku juga ingin mendatangkan narasumber dari luar untuk memberikan materi-materi yang tidak aku kuasai seperti traveling writing, copy writing, penulisan cerpen dan lain-lain. Dalam hal ini aku ingin bisa berkolaborasi dengan teman-teman di Gandjel Rel. Sebagai komunitas yang sama-sama bergerak di dunia perempuan, semoga kelak Gandjel Rel dan Ibu Profesional bisa bersinergi dalam beberapa kegiatan. Aamiin.
Aku juga akan terus mengadakan gebyar literasi media setiap bulannya bagi anggota rumbel Literasi Media. Hadiah sederhana akan diberikan kepada satu tulisan terbaik untuk menyemangati mereka agar terus menulis. Keep writing, keep sharing. Aku juga ingin kelak komunitas Ibu Profesional Semarang bisa menerbitkan buku hasil karya tulisan para anggotanya.
Aku berharap bersama teman-teman di Rumbel Literasi Media bisa menghidupkan blog Ibu Profesional Semarang agar lebih semarak dan penuh catatan bermanfaat bagi para pembacanya.
Doakan ya pals, semoga resolusi sederhanaku di tahun 2018 ini bisa terwujud. Dan seiring pudarnya gerimis di pagi hari ini, semangatku pun mulai kembali bersemi. Tidak perlu kata tapi dan nanti, mulailah saat ini dari diri sendiri, ayo bergegas merubah diri demi kemajuan peradaban sebuah negeri.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Semoga lancar ya resolusinya, marita, sehat selalu aamiin..
ReplyDeleteSemoga lancar dan terlaksana semua resolusinya ya
ReplyDeleteSubhanallah sungguh resolusi yang mulia semoga dimudahkan Allah ya mbak...amin..
ReplyDeleteSemoga resolusinya dimudahkan ya, Mbak. Semangat! Go go go!
ReplyDelete