Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Salah satu
ciri pembelajar sejati adalah selalu mencatat hasil-hasil belajarnya agar
terikat dan tak menguap. Itulah gunanya sebuah jurnal belajar, bukan hanya
sekedar sebagai rangkuman materi namun juga sebagai sebuah penguatan atas proses
belajar yang telah dijalani.
Telah
terbiasa melakukan hal-hal sendiri ternyata tidak selalu bisa menentukan seberapa
mandiri orang tersebut. Aku jadi ingat sebuah potongan kenangan di saat aku
sedang mendaftar ke sebuah SMA di kotaku. Berbeda dengan anak-anak lain yang
datang sendiri ke lokasi, aku diantar lengkap oleh bapak dan ibuku. Apa aku
merasa malu? Tidak… aku merasa wajar-wajar saja ketika diantarkan bapak dan ibu
mendaftar ke sekolah tersebut. Apa salahnya orangtua mengantarkan anaknya?
Aku baru tahu
jika pemandangan tersebut dianggap aneh oleh beberapa orang. Hingga suatu hari
ketika aku sudah mulai menjalani hari-hariku sebagai siswa di sekolah tersebut.
Salah seorang teman berkata, “waktu pertama aku melihatmu, kupikir kamu anak
yang manja dan kolokan lo. Masa daftar sekolah saja aku harus diantarin bapak
ibunya? Ternyata kamu lebih mandiri dari aku.” Aku sempat bengong saat itu.
Namun kemudian kuubah bengong tersebut menjadi senyum.
Apa aku tidak
mandiri? Menurutku aku cukup mandiri. Untuk urusan bertahan hidup, bapakku
justru jagonya mengajari survive. Jikalau hari itu aku diantar ke sekolah untuk
mendaftar sebagai siswa baru, mungkin karena itu merupakan hari yang cukup
penting untuk beliau. Biasanya, bapak akan menolak mengantarkanku ke sekolah,
meski beliau bisa, beliau ada di rumah. Mobil dan motor pun saat itu tersedia.
Kenapa bapak tidak mau? “Jangan termanjakan fasilitas, belum tentu fasilitas
ini akan selalu ada, biasakan diri dengan ketidakmudahan.”
Untuk urusan
mengatur keuangan? Ibuku memaksaku untuk menguasainya. Mulai kelas 1 SMP, aku
sudah minta pada ibu untuk diberi uang saku bulanan. Hal ini kemudian yang
membuat ibu mempercayakan urusan keuangan keluarga kepadaku ketika ibu
memutuskan hijrah sementara ke rumah eyang saat serangan stroke pertamanya.
Dari bayar ART, belanja bulanan, bayar tagihan ini itu, bayar sekolah hingga
uang saku sendiri. Sebuah pengalaman berharga.
Soal
mengambil keputusan? Bapak dan ibu bukan tipe diktator yang memaksakan anaknya
harus menjadi seperti A atau B. Aku dibebaskan memilih jurusan yang aku suka,
aku dibebaskan untuk ikut les atau tidak hingga aku dibebaskan menikah dengan
pria pilihanku. Aku bahkan berani mengambil keputusan yang berbeda dengan
teman-temanku. Aku tak masalah datang sendiri ke sebuah acara selama aku memang
menikmati dan menyukai acara tersebut. Pantang buatku ikut-ikutan orang lain.
Namun kini
ketika aku menjadi orangtua, bertemu dengan materi “melatih kemandirian”, aku
dibuat terhenyak. Memang untuk tantangan 10 hari yang lalu, aku memilih si adek
sebagai partner. Namun sembari belajar bersama adik, otomatis aku juga mulai
melihat perkembangan kemandirian si kakak. Betapa aku menyadari aku telah gagap
menurunkan kemandirianku kepada si kakak. Ifa yang kini berusia 6 tahun memang sudah
bisa mandi sendiri, makan sendiri, cebok sendiri, bahkan cuci piring sendiri.
Namun apakah kemandirian hanya sebatas itu?
Ketika Ifa
kesusahan mengekspresikan apa kemauannya, ketika Ifa terlalu sering berkata “terserah
bunda” atau ketika Ifa hanya diam saja ketika kutanyai pendapatnya. Aku seperti
mendengar sirene berputar-putar di kepalaku. Sebuah alarm yang harus segera aku
atasi.
Mengulas
kembali proses pendampingan kemandirian kepada anak-anak, membuatku belajar
beberapa hal tentang “melatih kemandirian”;
Anakmu, Cerminan Dirimu
Perilaku yang
ditunjukkan oleh Ifa adalah hasil
didikanku, hasil bentukanku. Maka jika ada perilaku yang tidak sesuai
harapanku, sudah sewajarnya aku tak kecewa. Justru aku harus instropeksi diri mengapa
perilakunya seperti itu, bagaimanakah pola asuhku selama ini.
Ifa
sebenarnya cukup kooperatif ketika hanya bersamaku di rumah. Ia mau makan
sendiri, mandi sendiri, ambil minum sendiri, bahkan cuci piring sendiri. Namun
ketika ayahnya pulang, mendadak semua yang tadinya bisa dilakukan sendiri
lenyap saat itu juga. Apa-apa langsung minta ayahnya yang mengambilkan atau
membantu.
Saat aku
menegur Ifa atas perilakunya itu, ayahnya tersenyum. Saat Ifa sudah tidur,
ayahnya gantian yang menegurku. “Coba bunda lihat, bagaimana manjanya bunda
saat ada ayah.” Aku langsung merasa
tersentil. Oooh, ternyata Ifa melakukan
duplikasi terhadap perilakuku. Ya, sejak bertemu dan menikah dengan ayahnya
anak-anak, tingkat kebergantunganku padanya sangat tinggi. Kadang aku juga
heran ke mana diriku yang dulu.
Dari sinilah
kemudian aku mulai menyusun kembali kepingan puzzle diriku. Aku harus mulai
keluar dari zona nyamanku. Jika biasanya asyik diantar ke mana-mana, aku mulai
meminta izin kepada suami untuk diperbolehkan mengendarai motor sendiri. Aku
mulai memilah hal-hal apa yang bisa aku lakukan tanpa harus minta tolong suami.
Aku harus memandirikan diriku terlebih dulu, jika ingin menghasilkan anak-anak
yang mandiri.
Kemandirian, Fitrah yang Telah Terinstall
Dari proses
tantangan 10 hari di game level 2 ini, aku juga menemukan bahwasanya setiap
anak itu sejatinya dilahirkan sebagai anak-anak yang mandiri. Nyatanya, saat
bayi lahir ke dunia, bayi dilahirkan sendirian. Sebuah hikmah dari proses
kelahiran, bahwa kita dilahirkan sendiri, dan nantinya pun akan pergi dalam keadaan sendiri, maka saat
menjalani proses kehidupan pun kita tak
boleh takut sendirian. Harus berani berdiri di atas kaki sendiri, tempat
bergantung satu-satunya hanyalah Allah Subhanahu wa Taala.
Bayi-bayi pun
tanpa diminta selalu bangun sebelum subuh. Bayi-bayi selalu menangis ketika
merasa popoknya basah karena pup atau pip. Bayi-bayi akan merengek ketika ia
merasa lapar. Saat usianya semakin besar, bayi selalu ingin bereksplorasi
dengan makanannya. Ia selalu ingin memegang sendiri makanannya. Saat masuk ke
usia balita, ia selalu berusaha untuk pakai baju sendiri, pakai sepatu sendiri,
bermain sendiri, dan menanyakan banyak hal yang ada di kepalanya.
Namun tanpa
sadar fitrah bawaan itu terbunuh perlahan. Saat bayi bangun, disusui ibunya
biar tertidur lagi, maka bayi pun perlahan semakin siang bangunnya. Semakin
besar usianya, semakin susah dibangunkan saat subuh berkumandang. Bayi yang
tadinya menangis saat pup dan pip mulai dikenalkan dengan diapers, lalu
perlahan instingnya akan rasa risih menghilang, hingga kemudian emak-emak
dibuat bingung dengan masa-masa toilet training yang melelahkan. Karena tak mau
bajunya kotor, tak mau mengepel lantai berulangkali, bayi pun dilarang memegang
makanan sendiri dan disuapi sampai kenyang. Ketika sudah tumbuh besar dan anak
nggak mau makan ketika tidak disuapi, emak-emak pun melabelinya anak malas.
Siapa yang membuatnya malas?
Belajar dari
pengalaman si kakak, aku merubah pola-pola asuh yang belum sesuai dengan fitrah
anak-anak. Masih punya waktu untuk menyelamatkan Affan dari kerusakan fitrah
kemandirian. Toilet training yang tadinya mau aku mulai selambat-lambatnya di
usia dua tahun sudah mulai aku perkenalkan sekarang. Setiap pagi hingga sore
kini Affan tidak lagi pakai diapers, dan sungguh aku menertawai diriku sendiri
yang telah merusak fitrahnya. Affan tak lagi merasa jijik dengan pip dan pup. Aku
harus sounding beberapa kali hingga Affan sadar saat ia pip dan pup, ia harus
segera memberitahuku dan membersihkan diri.
Tidak Ada Percepatan, No Instant Process
Kadang kalau
mengikuti hawa nafsu, suka gemes melihat Ifa yang pilih baju bisa sampai setengah
jam, mandi bisa sampai satu jam, nyiapin tas sekolah bermenit-menit, atau makan
yang nggak habis-habis. Rasanya kalau sudah gemes, pengen segera ambil alih,
lalu pilihkan baju buat dia, segera masuk kamar mandi terus membereskan urusan
mandinya Ifa, ambil tasnya Ifa dan segera memasukkan barang-barang yang harus
dibawa, lalu narik piring dan sendok terus nyuapin dia.
Tapi apa itu
sebuah solusi? Membangun kemandirian butuh sebuah proses yang tak instan.
Membangunnya hari ini, bisa jadi aku menikmati hasilnya setahun atau dua tahun
lagi. Untuk itu aku butuh konsistensi yang penuh keikhlasan dalam membersamai anak-anak
belajar menjadi sosok-sosok yang mandiri.
Jika Ifa
masih belum bisa cepat memilih baju, itu artinya ia sedang belajar teliti agar
tidak salah kostum. Jika Ifa masih belum bisa mandi dalam waktu yang cepat, ia
sedang belajar membersihkan badannya secara maksimal. Jika Affan di usianya
yang hampir 13 bulan belum mau berjalan, itu karena ia sedang menguatkan otot-otot
kakinya.
PR terbesarku
adalah agar bisa senantiasa fokus pada cahaya, bukan kegelapan. Ketika fokus
pada kegelapan, aku hanya akan merasa semua yang dilakukan anak-anak tidak
pernah berhasil. Namun ketika aku fokus pada cahaya mereka, maka aku bisa
memaknai setiap proses yang mereka jalani dengan penuh senyum dan kelegaan.
Bahwa setiap hari selalu ada proses belajar, tidak ada kegagalan, yang ada aku
seringkali alpa memaknai sebuah keberhasilan.
Maka aku
bersyukur telah bergabung dengan Institut Ibu Profesional. Karena di IIP, aku
bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan dan sevisi misi yang selalu menguatkan
aku ketika semangat mulai kendor dan keinginan untuk instan datang menggempur.
Raise your
kids, raise yourself. Sebuah ungkapan sederhana namun begitu dalam maknanya.
Ya, membesarkan dan mengasuh anak secara tidak langsung telah membuat kita
belajar dan melakukan koreksi atas perilaku-perilaku yang belum sesuai. Jika
anak-anak kita saja sabar menanti perbaikan diri kita, mengapa kita tidak sabar
membersamai anak-anak belajar dan bersiap menuju gemilangnya peradaban?
Semoga kita berhasil
menjadi arsitek-arsitek peradaban ya, pals.
Sampai jumpa di game level 3.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#JurnalBelajar
#Tantangan10Hari
#Level2
#KuliahBunSayIIP
#KuliahBunsayLeaderIIP
#MelatihKemandirian
Nice mbak ��
ReplyDeleteDalam melatih kemandirian memang harus bersabar dg proses. No instan bahkan mie instan aja di rebus dulu kan ya. Wkwkw... Trus utk mbak sendiri,biasanya kendala apa saja saat mnjd rule model anak dalam melatih kemandirian?
Salam kenal dari saya ya mbak.
Akmala-Peserta WAG-Fo Semarang.
Yoyoy mbak.. itulah biasanya kesurupan setan instantnya masih suka nempel. Hihi.
DeleteKendala saat jadi role model.. lebih ke aku Orang yang moody, suka sesuka hati.. Dan aku jengkel kalau anakku begitu hihihi. Piye jal?
Jadinya aku yang harus benerin diri dulu :)
Aw aw aw berarti memang rata2 kendala kita sama ya mbak. Kudu benerin dulu dari diri kitanya. MasyaAllah....
ReplyDeleteSemoga kita semua dimampukan ya mbak.