Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Lagi-lagi telat
setor #ArisanBlogGandjelRel! Jeweeeer
dah… Tema yang diajukan oleh mbak Relita dan mbak Yuli Arinta untuk arisan
periode ke -16 yaitu “Pengalaman Berkesan
Bersama bersama Guru, Terima Kasih Guru” cukup membuatku pusing
berhari-hari hingga akhirnya nggak bisa setor postingan sesuai jadwal.
Ngeleeesss. Padahal arisan periode ini dibuat dalam rangka memperingati hari
guru, kalau postingnya udah kelamaan gini esensinya jadi kabur dong ya. Hiks,
maafkeun…
Honestly,
aku berhari-hari mengaduk kenangan demi kenangan bersama guru, namun tidak
kutemukan mana yang benar-benar berkesan. Entah itu dari guru TK sampai dosen
di kuliah. Pengalaman bersama guru sih banyak ya, baik yang menyenangkan atau
tidak, namun tidak ada yang benar-benar wow untuk diceritakan dan dibagikan.
Bukan berarti pula aku mendiskreditkan arti seorang GURU. Buatku guru adalah
sosok yang spesial, dari mereka aku jadi tahu banyak tentang hal-hal yang
sebelumnya tidak aku ketahui.
Kalau pun aku tak begitu hafal nama dan
wajah-wajah para guruku sekarang bukan karena aku tak menghormati mereka,
mungkin harddisk otakku terlalu penuh menyimpan kenangan yang tak seharusnya
diingat, wkwkk.
Guru Favoritku
Anyway, kalau disuruh memilih siapa guru favoritku sepanjang aku pernah menjadi murid. Ada empat orang yang cukup aku ingat namanya, meski samar-samar kuingat wajah mereka. Empat orang ini merupakan para guruku ketika duduk di bangku TK dan SD.Entah kenapa tidak ada guru SMP hingga
SMA yang melekat di ingatan. Bahkan ketika melihat foto-foto perpisahan SMP –
SMA yang ada foto para gurunya, aku tak bisa menyebutkan nama-namanya. Payah
deh ah.
Guru pertama
yaitu Bu Nia. Beliau guru TK 0 kecil alias TK A kalau kita sebut sekarang ini. Sosoknya
yang cantik dan sabar selalu membuatku nyaman.
Aku jadi ingat kalau para murid
sedang menyanyikan lagu kasih ibu, kami suka mengganti lirik di bagian … hanya
memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.” Menjadi “…hanya
memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari bu Nia.” Saking sayangnya
anak-anak sama bu Nia, hehe.
Guru kedua
yang cukup berkesan yaitu Bu Sri. Beliau mengajarku waktu kelas 1 SD.
Sabaaaaaaar sekali, juga menyenangkan. Pantas beliau memegang rekor terlama
mengajar guru kelas 1. Kayanya waktu adikku masuk SD, kelas 1 pun masih diajar
oleh beliau. (note: adikku dan aku terpaut sepuluh tahun lo).
Darinya aku
belajar menulis dan membaca pertama kali di sekolah. Beliau sangat perhatian
dengan muridnya. Beliau pula yang menemukan fakta kalau aku sepertinya punya
masalah dengan penglihatanku. Setelah melihat aku selalu kesusahan membaca
ketika mendapat giliran duduk di belakang, beliau berkonsultasi dengan ibuku
agar memeriksakan mataku ke dokter spesialis.
Taraa bener saja, ternyata aku
punya minus ¾ dan ½ kala itu. Aku sempat malu dan minder ketika pertama kali
memakai kaca mata ke sekolah. Namun bu Sri memberikan dorongan hingga akhirnya
minderku perlahan menghilang.
Beliau juga pintar main
gitar. Kalau sedang istirahat, biasanya dia akan duduk di depan kantor guru
lalu main gitar, murid-murid pun langsung mengerubungi beliau.
Waktu mengajar
kelas enam, saat kami lagi pusing-pusingnya menghadapi EBTA/ EBTANAS (jaman now
disebut UASBN), pak Ari akan menghentikan agenda belajar lalu mengajak anak
didiknya nyanyi biar nggak stress, hehe. Dari beliau pula aku jadi sadar punya
bakat membaca puisi.
Aku pernah diajaknya rekaman membaca puisi untuk hari ibu.
Suaraku didengar di seantero Salatiga. Senangnyaaa…
Guru keempat
yaitu pak Yono. Beliau adalah guru olahraga. Lucu sih, wong nggak suka olahraga
kok guru favoritnya olahraga, hehe. Soalnya pak Yono baik, kalau aku nggak mau
ikut kasti atau olahraga lain yang aku lemah di sana¸ beliau cuma senyum sambil
nguyel-uyel kepalaku.
Aku baru tahu setelah adikku masuk SD, ternyata sebenarnya
beliau itu sarjana agama Islam. Berhubung ketika ditempatkan di SD tempat aku
sekolah, sudah ada guru agamanya, dan belum ada guru olahraganya, maka dia
beralih profesi jadi guru olahraga, hehe. Namun di masa adikku SD, beliau sudah
ngajar sesuai keahliannya.
Oya, ada satu
lagi guru favoritku. Beliau nggak ngajar di sekolah formal sih. Tapi aku
belajar bersama beliau sejak duduk di bangku SMP – SMA. Pak Agus. Beliau itu
guru lesku bahasa Inggris yang super pinter. Cas cis cus banget bahasa
inggrisnya, bisa bahasa mandarin juga.
Udah gitu fun banget ngajarnya. Pokoknya
dari beliau aku terinspirasi untuk belajar bahasa Inggris dengan baik dan
benar. Hingga akhirnya aku kuliah ambil jurusan bahasa Inggris pun mungkin kena
hipnotis beliau, wkwk.
Saat kuliah memutuskan untuk mengambil kesempatan
menjadi guru les bahasa Inggris pun karena termotivasi dari beliau. Pak Agus
ini menolak tawaran mengajar di sekolah formal karena murid lesnya full dari
pagi sampai malam hari. Aku ingat beliau pernah bilang, “daripada harus terikat
dengan satu sekolah, dapat gaji dari satu tempat saja, enakan begini. Waktu dan
pendapatan bisa kita atur sendiri.”
Suka Duka jadi Anak Guru
Ngomongin soal guru sebenarnya nggak bisa dilepaskan dari kehidupanku. Gimana dong ya… keluarga besar dari ibu hampir semuanya guru. Eyang kakung, eyang putri, ibu, bulik dan om-ku semuanya guru. Udah gitu semuanya guru SD pula, hehe. Semacam trah kali ya.Eyang kakung sebelum pensiun merasakan jadi pengawas sekolah.
Eyang putri terakhir menjadi kepala sekolah di dekat rumah beliau. Ibuku lulusan sekolah guru olahraga tapi berakhir
menjadi guru kelas, sayang karena sakit, beliau harus pensiun dini dari profesi
yang disukainya.
Bulikku sekarang masih aktif menjadi kepala sekolah di salah satu SD
di Semarang. Omku adalah seorang guru olahraga sekaligus wasit volley di
Semarang. Si om menikah dengan adik kelasnya yang juga guru olahraga. Jadilah
kalau berkumpul yang dibicarakan adalah dunia pendidikan dan haru biru menjadi
guru.
Dan mau
ditolak kaya apa, trah ini semacam melekat di darahku. Tiap kali aku melamar
pekerjaan, yang diterima pasti jadi guru, entah itu guru di sekolah formal atau
pun tenaga pendidik di bimbingan belajar. Sekarang pun masih jadi guru, gurunya
anak-anak, hehe.
Banyak orang
yang bilang jadi anak guru itu enak… hmmm iya sih…. Ada beberapa sisi positif
jadi anak guru yang aku rasakan.
Pertama, disiplin.
Nggak eyang, nggak ibu…. Soal
waktu pasti nomor satu. Tapi akunya aja
yang suka badung, hehe.
Kedua, nggak perlu les ke sana sini.
Saat teman-temanku
banyak yang cari guru les, aku malah menyambut para murid les ibuku di rumah.
Meski ibu sebenarnya menolak untuk memberikan les karena ingin waktunya di
rumah hanya untuk anak-anaknya. Namun banyak tetangga dekat rumah mempercayakan
anak-anaknya kepada ibu.
Ketiga, dapat buku lebih cepat.
Jaman dulu kan buku
paket itu di semua sekolah kan sama. LKS nya pun biasanya sama yang dipakai.
Nggak harus nunggu di sekolah dibagiin, biasanya ibu sudah membawakan/
membelikan dulu untukku.
Bahkan kalau mau pun soal tes tingkat kota juga bisa
curi-curi lihat. Aku pernah nggak sengaja menemukan soal tes di tas ibu,
ternyata itu untuk tes ulangan harian catur wulan (semester kalau sekarang).
Wuiii, seneng dong ya, ngebayangin besoknya ulangan harianku lancar jaya karena
udah lihat soalnya duluan. Eeeh ketahuan ibu…. Aku dimarahin boooo.
Beliau
bilang, meski anak guru nggak ada privilege untuk tahu soalnya lebih dulu.
Kewajibanku sama kaya murid lain, belajar. Kalau mau dapat nilai baik, jujur!
Di sisi lain
banyak juga dukanya jadi seorang anak guru. Stigma masyarakat seakan menempel
dengan kuat, “anak guru itu kudu pinter.” Alhasil kalau prestasinya nggak
sesuai ekspektasi masyarakat, bakalan banyak yang bilang “anak guru kok masuk
SMP X, anak guru kok kelakuan begitu…” dan sebagainya. Hooy, anak guru juga
manusia kali. Hehe.
Alhamdulillah,
aku anak guru yang cukup sadar diri, hehe. Karena tahu ada stigma yang melekat
di masyarakat tersebut, aku selalu berusaha untuk tidak malu-maluin ibu, di alam
bawah sadarku seakan bilang, “masa anak guru nilainya segitu doang.” Itu
merasuk di dalam sukma, especially ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
Qodarullah
aku nggak menemukan pengalaman yang dirasakan adik sepupu. Adik sepupuku tuh
pinter bangeet. Bahkan ujian nasional pun dia pernah mendapat angka sempurna
alias seratus untuk beberapa bidang studi, kalau nggak salah matematika.
Sayangnya seringkali dia mendapat perlakuan nggak mengenakkan dari orangtua
siswa lainnya, prestasinya seringkali jadi bahan nyinyiran. “Ya iyalah anak
guru, mesti nilainya dibagusin.”
Saat duduk di kelas enam, adikku ini diajar
langsung oleh ibunya, sampai nggak berani dikasih rangking satu karena
menghindari nyinyiran orang. “Ya iyalah anake dewe dikei rangking 1.” Padahal
adik sepupuku ini memang pinter beneeeer. Terbukti ketika SMP – SMA dia masuk
sekolah favorit terus, dari SMP 3 ke SMA 3.
Kayanya aku
udah feeling aja kejadian kaya begini bakalan muncul kalau aku belajar di sekolah yang sama tempat ibuku
mengajar. Jadilah saat SD aku menolak didaftarkan di sekolah tempat ibu
mengajar. Lagian ibu ngajarnya beda kecamatan, jauuuuuh. Aku sih milih sekolah
yang lokasinya nggak jauh dari rumah aja.
Oya ada lagi
sih enaknya jadi anak guru. Sesama guru pasti kenal lah ya. Apalagi satu kota,
kan sering ada pertemuan guru gitu. Nah, kerasa banget perhatiannya para guruku
di sekolah itu waktu ibu melahirkan adikku.
Qodarullah ada satu guru di SD-ku
yang teman kuliah D2 ibu, beliau dititipi pesan gitu lah, selama ibu di rumah
sakit minta tolong dijagain. Haduh senangnya, dikasih jajan dan segala macam.
Meski teman ibu yang bernama pak Arief ini nggak masuk daftar guru favoritku
karena kalau lagi kumat galaknya menyeramkan, wkwkwk.
Kalau
sekarang duka yang aku rasain ketika lahir dari keluarga guru, ketika pilihan
sekolah anakku tidak sesuai dengan standar keluarga. Ya buat om dan bulik,
ngapain bayar mahal-mahal ke sekolah swasta, taruh di negeri aja lah, kan bisa
menghemat kebutuhan, hehe.
Namun dengan pengalaman waktu ngajar di SD negeri
dan bertemu dengan para guru yang jauh beda dengan para guruku waktu SD, aku
mundur teratur deh untuk nyekolahin anak di sekolah negeri. Selain itu visi
misiku yang sekarang bukan lagi mengejar angka di atas kertas, sedang
kebanyakan sekolah di Indonesia masih berorientasi pada nilai.
Makanya waktu
tahu aku nyekolahin anakku di sekolah alam, cukup kaget sih om dan bulik.
Mungkin juga kaget dapat duit dari mana aku bisa nyekolahin anakku di situ,
wkwkkw.
Nggak
bayangin deh kalau tahun depan aku nyekolahin Ifa ke sekolah lain yang
kurikululumnya jauh berbeda dari sekolah kebanyakan, pasti bakal diwawancara
panjang kali lebar kali tinggi. Apalagi kalau aku milih meng-homeschooling-kan
Ifa dan Affan ya, hehe.
Yang pasti
guru jaman now dan jaman past itu beda banget ya. Aku nggak
ngobrolin soal kualitasnya, karena di tiap jaman pasti ada guru yang
berkualitas dan tidak. Namun penghargaan orang-orang terhadap para guru. Jaman
dulu anak disentil gurunya, orangtua nggak bakal belain si anak, bakal
cenderung bilang “la kamu bikin ulah apa, kok sampai disentil guru?”
Jaman now, anak dimarahin dikit aja sama guru,
orangtua bisa protesnya panjaaaaaaang kaya kereta. Lihat saja di berita-berita,
berapa banyak guru dilaporin ke polisi hanya karena menegur anak. Adab terhadap
guru sudah terlupakan.
Padahal tahu nggak sih bahwa adab dalam menuntut ilmu
itu penting. Percuma berilmu tinggi, kalau nggak punya unggah-ungguh kepada
gurunya. Huhu, aku jadi merasa bersalah dulu suka nakal dan bandel sama
guru-guruku, especially sama dosen-dosenku di kampus.. suka bolos dan nyepelein
mereka pas ngajar. Maafkan aku ya, pak.. bu…
Btw,
menurutku GURU itu tidak sekedar mereka yang mengajar kita di bangku sekolah
formal. Selain mereka, aku sadar ada banyak guru yang telah dan nantinya akan
kutemui di universitas kehidupan. Para guru ini terkadang tanpa sadar
memberikan pelajaran yang sangat bermanfaat untuk kita sehingga bisa menjalankan
hidup lebih baik.
Mereka ini bisa jadi orangtua kita, sahabat kita, anak-anak
kita atau bahkan orang yang sama sekali tidak kita kenal. Hewan dan tumbuhan
pun juga bisa jadi guru-guru untuk hidup
kita.
Tentu saja selama kita mau membuka mata, telinga dan hati, selalu ada
ibroh di balik pertemuan yang Allah susun dengan guru-guru kehidupan kita,
karena tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua adalah qodarullah. Selamat
menimba ilmu dari para guru…
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
MasyaAllah yg berkesan bagi mba marita malah guru guru awal yaa mba, yg memberi sentuhan pertama kali..
ReplyDeleteMasyaAllah yg berkesan bagi mba marita malah guru guru awal yaa mba, yg memberi sentuhan pertama kali..
ReplyDelete