Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillah,
materi dan tantangan di game level 2 kelas Bunda Sayang Institut Ibu
Profesional sudah berhasil dilahap dan dikunyah dengan penuh semangat 2017.
Namun apakah sudah selesai sampai di sini? Tentu tidak. Semua proses yang terlewati
di game level 2 ini hanyalah sebuah awal. Justru titik pentingnya terletak ketika
setelah game berakhir, aku tetap konsisten melaksanakan apa-apa saja yang sudah
kupelajari selama satu bulan ini.
Melatih
kemandirian tentu saja hal yang sangat penting di dalam fase pengasuhan anak. Terlihat
sederhana, namun dampak dari semua latihan kemandirian ini sangat berpengaruh pada
kehidupan anak kelak. Bukan hanya soal keterampilan hidup, namun juga soal
bagaimana ia nantinya membuat keputusan hingga berinteraksi sosial.
Satu hal yang
aku sadari selama proses belajar di game level 2 ini; betapa sebenarnya fitrah
kemandirian itu telah terinstal pada diri anak-anak. Namun tanpa sadar kita
para orang tua mencerabut dan merusak fitrah tersebut, demi sesuatu yang
instan. Misalnya, semua anak pada dasarnya suka bereksplorasi dengan makanannya
sendiri, namun demi lantai dan baju tidak kotor, serta makan cepat selesai,
maka disuapilah anak. Jadi kalau kemudian anak nggak mau makan kalau nggak
disuapi, salah siapa?
Semua anak
pada dasarnya akan bangun sebelum subuh. Namun demi bisa fokus pada riwehnya to
do list di pagi hari, disusuin bayi-bayi itu dan terlelap lagi. Jadi kalau
sekarang anak-anak hobi bangun siang, salah siapa? Semua anak pada dasarnya
selalu ingin tahu dan cinta belajar, namun demi rumah selalu kelihatan kinclong
dan malas menjawab pertanyaan demi pertanyaan anak, maka disodorin gadget biar
anteng. Atau ditempel cap ‘cerewet’ di kening anak biar seketika diam. Lebih
parahnya lagi anak-anak diumbar bermain tanpa diberi kesempatan untuk ikut
menata kembali mainannya ke tempat semula, dengan alasan “masih kecil ini, ntar
kalau udah gede kan tahu sendiri.” Jadi kalau hari ini anaknya tak lagi rajin
bertanya ini itu, salah siapa? Kalau anaknya lebih milih main gadget seharian
dan nggak mau disuruh main di luar rumah, salah siapa? Terus kalau anak-anak
saat ini habis main langsung ditinggal begitu saja meski diomelin ratusan kali,
salah siapa?
Ya, buat aku
game level 2 kali ini merupakan sebuah jeweran buatku. Betapa masih sering aku
pengen sesuatu yang instan, pengen sesuatu yang serba cepat dari anak, namun
aku lupa fokus pada cahaya yang telah ada pada diri mereka. Ketika mereka
belajar makan, aku tidak fokus pada fitrah kemandirian mereka, namun hanya
fokus pada kotoran yang mereka tinggalkan. Ketika mereka belajar jalan, aku
tidak fokus pada semangat jatuh bangun mereka, namun hanya fokus pada “kok
sudah sekian bulan belum jalan juga.” Ketika mereka punya banyak pertanyaan
dalam hidup, aku tidak fokus pada fitrah belajar mereka yang menyala-nyala,
namun justru fokus pada betapa mereka sungguh mengganggu dengan kecerewetan
mereka.
Membersamai
Affan yang hampir berusia 13 bulan dan Ifa yang masuk usia ke enam di bulan ini,
aku menemukan banyak sentilan sekaligus rasa syukur. Aku melihat keajaiban
fitrah kemandirian di diri Affan. Betapa tanpa harus diminta mandiri sebenarnya
anak-anak sudah terlahir mandiri. Affan yang selalu bangun sebelum subuh, Affan
yang merasa risi ketika pip dan pup, Affan yang mulai bisa mengekspresikan rasa
lapar dan tak nyaman, Affan yang selalu ingin tahu dengan makanan yang
dipegangnya, Affan yang memiliki semangat untuk belajar berdiri. Sungguh
sebenarnya aku tidak perlu banyak effort untuk melatih kemandiriannya, hanya
cukup meluangkan waktu untuk bersabar, mengawasi dan fokus pada cahayanya.
Ketika tiga hal ini mampu aku lakukan, maka keajaiban demi keajaiban aku
temukan setiap harinya.
Sementara di
satu sisi, melihat Ifa yang fitrah kemandiriannya mulai rusak karena beberapa
pola asuh yang pernah kuterapkan tidak sesuai, aku hanya mampu meminta maaf
padanya berkali-kali. Namun ketika aku mengingat kembali tentang “fokus pada
cahaya, bukan kegelapan,” lagi-lagi aku menemukan banyak keajaiban. Sungguh melegakan
ketika bu guru Ifa memberi kabar kalau Ifa sudah berani bercerita di depan
kelas, tidak lagi membutuhkan lama membaur dengan teman-temannya, dan sudah
bisa mengungkapkan perasaannya dengan kalimat yang jelas.
Melihat Ifa,
aku juga dipaksa bercermin. Mengapa perilaku Ifa begini, ternyata karena aku
pun melakukan hal yang sama. Ifa sangat suka disuapi ketika ada ayahnya.
Setelah ditarik benang merah, ternyata itu karena Ifa sering melihatku disuapi
ayahnya. Saat bersamaku di rumah dari pagi hingga sore, Ifa cenderung sangat
kooperatif dan mau melakukan kebutuhannya sendiri. Namun ketika ayahnya datang,
ia sering meminta ayahnya mengambilkan ini itu, dan meminta ayahnya untuk ada
di sampingnya. Setelah aku bercermin, aku menyadari betapa begitulah manjanya
aku ketika si ayah pulang. Maka, untuk mengatasi hal ini, bukan perilaku Ifa
yang harus diubah, namun justru aku yang harus mau merubah kebiasaanku.
“Raise your kids, raise yourselves” memang ungkapan yang tepat dalam proses
pengasuhan anak. Mau tidak mau ketika mencurahkan 100 persen diri kita saat
mengasuh anak, secara tidak langsung kita juga tergerak untuk merubah hal-hal
yang buruk dalam diri kita. Manalah mungkin aku menuntut anakku mandiri, ketika
aku sendiri masih penuh dengan sifat-sifat ketergantungan pada orang lain?
Itulah mengapa
aku mulai mengumpulkan kepingan-kepingan puzzle diriku yang mulai tercecer ke
mana-mana. Ketika aku mulai nyaman ke mana-mana diantar oleh suami, sekarang aku
mulai meminta izin untuk bisa berangkat dan pulang berkegiatan sendiri. Ketika sejak
hamil Affan, aku tak lagi mengantar jemput Ifa, aku mulai mengambil alih lagi
tanggung jawab tersebut. Aku ingin kembali bisa melakukan hal-hal yang bisa aku
lakukan, agar suami bisa fokus pada pekerjaannya. Ketika suami tidak perlu
sering keluar kantor di jam kerja, itu artinya dia pun bisa pulang tepat waktu
sehingga jatah main bersama anak-anaknya bisa lebih panjang.
Di hari-hari
terakhir tantangan 10 hari game level 2 ini, saat aku mulai membangun kembali
kemandirianku yang mulai terkikis zona nyaman, aku pun mendapat kejutan cantik
dari Ifa dan Affan. Ifa yang sedang menunggu hari terima raport dengan lebih
banyak bermain bersamaku di rumah begitu excited menemaniku memasak setiap hari.
Ifa pun meminta ijin untuk dibiarkan memotong tempe dan wortel tanpa aku
memegangi tangannya seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya saat dia ikut
memasak. Ternyata dia berhasil lo menggunakan pisau dengan hati-hati.
Selain
menunjukkan kemampuan memotongnya, Ifa juga menunjukkan kemampuannya
berimajinasi dalam menyusun balok. Ia tidak hanya menyusun balok menjadi
sesuatu, namun berhasil mempresentasikan apa nama bangunan tersebut dan mengapa
ia membuatnya.
Sementara
itu, Affan menunjukkan kemajuan pesatnya dalam hal motorik kasar. Ia mulai
berdiri tanpa pegangan. Semakin hari durasinya semakin lama. Beberapa kali
terlihat ia mencoba melangkahkan kaki meski masih terjatuh dan terjatuh lagi. Affan
juga mulai kembali sadar betapa tidak nyamannya pip dan pup ketika aku mulai
melatihnya toilet training.
Sesuatu yang tidak
instan memang membutuhkan usaha yang bisa jadi melelahkan. Jika mengingat
segala kelelahan ini nantinya tidak hanya berbuah pahala dan surga, namun juga
anak-anak yang berkepribadian kuat dan insya Allah bermasa depan gemilang,
sungguh berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian pun akan dengan senang
hati kujalani.
Sebagai
manusia yang tak luput dari rasa semangat yang mudah luruh, juga demi menjaga
konsistensi agar selalu penuh, maka penting buatku menemukan wadah terbaik sebagai
tempat belajar dan saling berlomba-lomba dalam kebaikan serta menasehati dalam
kebenaran. Alhamdulillah ditemukan dengan IIP dan proses belajar yang begitu
menyenangkan.
Terima kasih
Institut Ibu Profesional, materi dan tantangan yang diberikan di level 2 ini membuatku
semakin terpacu untuk menjadi ibu yang lebih mandiri, agar aku mampu
membersamai anak-anakku dalam menumbuhkembangkan fitrah kemandirian mereka.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#AliranRasa
#Tantangan10Hari
#Level2
#KuliahBunSayIIP
#MelatihKemandirian
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com