Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Aku
menulis ini bukan karena aku sudah merasa hebat, merasa alim atau merasa lebih
keren dan merasa lebih baik dari siapa pun. Aku menulis ini sebagai bahan
perenungan untuk diriku sendiri sekaligus reminder jikalau suatu hari keinginan
itu datang lagi. Aku menulis ini untuk anak-anakku, jikalau suatu hari mereka berproses
dan jatuh bangun dalam proses itu.
Aku selalu
takjub dengan proses berhijrah seseorang, bagaimana mereka memantapkan hati
hingga akhirnya memutuskan memenuhi kewajiban sebagai muslimah. Setiap kali ada
artis, teman atau keluarga yang memutuskan berhijab, rasanya bunga-bunga
bermekaran di hati, “semoga istiqomah”
itulah doa yang selalu mengalir untuk mereka. Namun bunga-bunga yang bermekaran
itu mendadak bisa rontok. Sedih. Itu yang selalu kurasakan ketika ada seseorang
yang pernah memutuskan berhijab lalu menanggalkannya untuk berbagai alasan.
Entah itu public figure atau bukan, rasa itu tetap hadir. Istiqomah memang penuh
tantangan…
Proses Hijrahku
Berhijrah
bisa saja mudah jika kita memegang ayat sami’ na wa atho’ na, kami dengar dan
kami taat. Namun nyatanya hati tak semudah itu meyakini ayat-ayat Allah. Betapa
kita bukan lagi wanita generasi terbaik di jaman nabi, yang ketika ayat tentang
perintah menutup aurat turun, bergegas mengambil apa saja yang ada di sekitar
mereka untuk digunakan menutup rambutnya, kakinya, tangannya, dan tubuhnya yang
masih terbuka.
Kita hanyalah
wanita jaman now, yang seringkali dengan mudahnya menafsirkan ayat dengan
logika, memilih ayat, mahzab hadits,
ataupun ceramah ustadz yang cuma enaknya aja dan sesuai dengan pemikiran kita.
Aku mengenal
kerudung sejak duduk di bangku SMP. Saat itu aku mulai mengenal majalah An Nida.
Di SMP juga aku sering hadir ke kajian Jumat, ikut melingkar bersama
kakak-kakak rohis. Para murid wanita juga selalu diminta pakai baju panjang dan
kerudung ketika pelajaran agama tiba. Aku merasakan betapa nyamannya menutup
aurat. Namun saat itu ayat tentang kewajiban berhijab belum sampai padaku dan
keluargaku. Meski sudah ada keinginan di dalam diri untuk mengenakan hijab,
ketika aku sampaikan pada ibu keinginan itu, aku malah diketawakan. “Sholat masih bolong-bolong kok meh nggo
kudung to, nok. Isin to ya. Diapikke sik sholate.”
Tanggapan ibu
ini seketika membuatku berpikir dan kemudian perlahan memusnahkan keinginanku
berhijab. (Beberapa belas tahun kemudian,
setelah aku lebih dulu berhijab dan sudah menikah, ibu meminta maaf karena
pernah memberikan tanggapan tersebut. “Ibu dulu belum banyak mengaji, nggak
tahu kalau itu kewajiban. Maaf yo nduk.”)
Masuk SMA,
aku juga masih intens mengikuti kegiatan rohis, meski memilih tidak menjadi
anggota. Saat itu keinginan berhijab muncul kembali. Namun lagi-lagi keraguan
datang, “aah, sholat masih belum bener, ngaji masih acak adut, malu-maluin aja.”
Begitu pikiranku saat itu. Aku melontarkan keinginan itu pada salah seorang
sahabat, dia mendukungku jika memang aku sudah benar-benar memikirkan dengan
matang. Seorang sahabat yang roknya selalu di atas lutut itu justru kemudian meraih hidayahnya lebih dulu daripada aku. Suatu
hari ketika kami bertemu di rumahku setahun setelah lulus SMA untuk syukuran
pertambahan usiaku, dia datang dengan
penampilan berbeda. Dia memelukku sambil berbisik, “malah aku duluan nih, kamu kapan?”
Aku hanya
tersenyum. SMA – kuliah adalah titik-titik terendah dalam kehidupan aku.
Pergolakan batin, masalah keluarga yang bertubi-tubi, ibu sakit, pencarian jati
diri yang salah kaprah, dan mulai kenal pacaran justru semakin menipiskan
keinginanku untuk berhijab. Yang hingga detik ini aku syukuri adalah sejauh
apapun aku lari dari Allah, Dia tak pernah lelah memanggilku kembali. Meski tak
seintens saat SMP-SMA, aku juga masih hadir beberapa kali ke kajian rohis.
Setiap kali hadir ke kajian, selalu ada yang menghentak kalbu.
Pasca lebaran
tahun 2004, entah kenapa saat itu aku merasa “aku harus berhijab sekarang. Tanpa nanti dan tapi.” Ada berbagai
kondisi yang membuatku merasa aku harus segera berjilbab saat itu. Salah
satunya aku risi ketika pergi berangkat ke kampus atau ke suatu tempat, banyak
laki-laki nongkrong yang suit-suit, ngajak kenalan, dsb. “Ahh, itu mah cowok-cowok aja yang ngeres. Kenapa kita para wanita yang
disalahkan karena berpakaian terbuka?” Tanggapan itu yang biasanya hadir.
Ya, kita memang nggak bisa ngontrol otak cowok-cowok itu untuk nggak ngeres. At
least, kita berusaha untuk mengontrol diri mengenakan pakaian yang santun, tidak
ada keburukan dari itu selain kita lebih terjaga. Terbukti kok, setelah aku berkerudung, yang biasa suit-suit nggak jelas,
godaannya jadi beda, “assalammualaikum,
mbak.” Malah didoain to?
Jangan kira
perjalanan berhijrahku mulus. Saat itu kerudungku masih buka tutup kaya warung.
Pakai kalau di luar rumah doang, di dalam rumah ya masih suka-suka. Beruntung
aku nggak modis, jadi ya nggak pernah pakai yang lilit sana lilit sini, ribet.
Palingan dulu belum nutup dada secara sempurna, apalagi pas masih ngajar, yang
ada kerudungnya dimasukin ke kemeja gitu deh.
Beberapa kisah
hidup membuatku ingin berhenti berhijab. Merasa tak pantas mengenakannya,
merasa nggak gue banget, cari kerja susah, dan buanyaaak lagi. Alhamdulillah aku
masih bisa berproses hingga hari ini.
2004 – 2014,
10 tahun aku berhijab dan tidak ada kemajuan apapun. Tidak ada perbaikan
akhlaq, tidak ada perbaikan ibadah, tidak ada perbaikan niat. Hingga tahun 2014
aku mulai membaca beberapa postingan tentang berhijab syari yang banyak
dibagikan oleh teman-teman Facebook. Aku baru tahu bagaimana seharusnya hijab
itu, betapa aku masih banyak kesalahan dalam menafsirkannya. Hijab itu bukan
kerudung, namun pembatas agar orang tidak melihat tubuh kita, hijab itu satu
set pakaian dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku mulai perlahan mengganti
celana-celanaku ke rok-rok panjang.
Titik balikku
ketika Ifa masuk ke PAUD dan aku berkenalan dengan beberapa sahabat baru. Aku
mulai kembali berdekatan dengan liqo, kajian pekanan. Di situ aku digembleng. Aku
mulai belajar agama secara lebih baik, ada murabbi yang menuntun, ada
teman-teman yang mendukung. Sebuah situasi yang kondusif untuk konsisten dengan
pilihanku. Terkadang aku merasa sangat minder sekaligus bersyukur. Betapa aku
yang tumpukan dosanya entah udah berapa ribu karung dipertemukan Allah sama
mereka.
Ketika hati
dengan ikhlas menerima satu pintu kebaikan terbuka, maka akan terbukalah
pintu-pintu lainnya. Aku mulai berkenalan dengan komunitas-komunitas parenting
yang sebagian besar para membernya memiliki pemahaman agama yang baik, berhijab
lebar dan bersikap santun.
Perlahan koleksi
celana dan kerudung miniku kuganti dengan gamis dan khimar yang lebih lebar.
Kulengkapi penampilanku dengan kaos kaki. Tiga tahun berjalan, apa aku sudah
lebih baik? Pilihanku untuk bergamis dan berkerudung lebar telah menjadi sebuah
habit.
Ketika keluar rumah tidak mengenakan salah satunya jujur aku merasa ada yang kurang, merasa tidak nyaman karena seperti telanjang. Namun untuk urusan akhlaq, aku masih jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh.. masih perlu banyak belajar. Aku tidak lebih baik dari siapa pun, bahkan mungkin akhlaq dan ibadahnya teman-teman yang belum berkerudung bisa jadi lebih baik dari aku. Namun bukan berarti kita harus membenarkan “lebih baik buka-bukaan tapi hatinya beriman, daripada bergamis tapi omongannya kaya setan” atau pernyataan-pernyataan sejenis. Yang lebih baik tentu saja berusaha menjadi muslimah kaffah yang mau mengenal, memahami dan menaati semua perintah Rabb-nya, tidak pilih-pilih yang enak-enak saja. Dan aku masih kepontal-pontal euy untuk menjadi kaffah…
Ketika keluar rumah tidak mengenakan salah satunya jujur aku merasa ada yang kurang, merasa tidak nyaman karena seperti telanjang. Namun untuk urusan akhlaq, aku masih jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh.. masih perlu banyak belajar. Aku tidak lebih baik dari siapa pun, bahkan mungkin akhlaq dan ibadahnya teman-teman yang belum berkerudung bisa jadi lebih baik dari aku. Namun bukan berarti kita harus membenarkan “lebih baik buka-bukaan tapi hatinya beriman, daripada bergamis tapi omongannya kaya setan” atau pernyataan-pernyataan sejenis. Yang lebih baik tentu saja berusaha menjadi muslimah kaffah yang mau mengenal, memahami dan menaati semua perintah Rabb-nya, tidak pilih-pilih yang enak-enak saja. Dan aku masih kepontal-pontal euy untuk menjadi kaffah…
7 Alasan Melepas Jilbab
Dari
pengalaman selama kurun waktu 13 tahun ini, aku menelaah setidaknya ada beberapa alasan
kenapa seorang wanita yang tadinya sudah mantap berjilbab lalu memilih
melepasnya.
Merasa ibadahnya belum sempurna.
Ya kali sampai
mati pun kita harus selalu merasa ibadah kita belum sempurna. Kalau kita udah
merasa paling oke sendiri, kita bakal lupa bermuhasabah diri. Karena yang
sempurna itu cuma milik Allah, ibadah kita itu hanya sarana untuk semakin dekat
pada Allah. Sesungguhnya hanya rahmatNYA lah sebaik-baik pertolongan. Tapi bagaimana
kita mau mengharap rahmatNYA, jika kita dengar dan tahu perintahNYA namun
memilih tidak taat. Hijab itu bagaikan polisi. Polisi yang akan nyemprit diri
sendiri ketika kita melakukan sesuatu di luar ketentuan. Tinggal kita mau nggak
dengerin polisi dalam diri sendiri?
Merasa akhlaknya belum baik. Jilbabin hati dulu deh.
Perintah
berhijab itu mengulurkan kain dari kepala hingga menutup dada lo, pals bukan
mengulurkan kain hati. Bingung juga ya gimana masukin jilbab ke dalam hati,
hehe. Sama kaya alasan pertama, justru jadikan hijab polisi untuk akhlak kita. Perlahan
jika kita mau mendengarkan polisi yang ada dalam diri sendiri, kita akan lebih
peka saat melakukan hal-hal yang tak sesuai.
Hijab itu mengekang, nggak bebas mau ngapa-ngapain.
Maksudnya mengekang
karena jadi susah mau pacaran nggak bebas, mau pegang-pegang tangan sama pacar
ngerasa nggak enak, mau ketawa ngakak jadi kurang pas? Gitu? Ya, bagus lah..
berarti hijabnya udah berhasil jadi polisi. Pan emang nggak ada pacaran dalam
islam. Udah percaya ama mbah, kebanyakan pacaran yang ada rugi, bukan untung.
Cowok baik-baik nggak ngajak pacaran, ngajak nikah. Oke.. #soktualu.
Kagak bisa
jumpalitan, ribet… masa sih? Aku pernah baca buku tentang proses berhijrah. Ada
sebuah cerita yang menarik tentang perjalanan seseorang berhijab syarie. Mereka
kuliah di jurusan olahraga yang kudu jumpalitan. Awalnya dipandang aneh sama
teman kuliah lainnya, namun akhirnya mereka malah menemukan cara bagaimana bisa
flying fox tanpa harus melepas gamis mereka. Cadaaaas. Terbukti berhijab nggak
bikin kita terbatas!
Susah cari kerja.
Aku pernah
dibuat nangis ketika seorang sahabat melepas kerudungnya karena mengeluh susah
cari kerja. “Terserah apa anggapan orang,
aku perlu cari duit, bukan mereka kan yang ngasih aku duit.” Saat itu aku
nggak bisa jawab apa-apa selain menghela nafas panjang. Aku pun pernah ada di
titik tersebut, nglamar sana sini ditolak hanya karena aku berkerudung. Tapi
buatku terlalu cemen lepas jilbab hanya karena
masalah duit. Padahal beneran nggak punya duit juga, hehe. Yakin aja deh, Allah
mboten sare… rejeki kita udah ditakar, nggak bakal tertukar. Justru semakin
kita istiqomah, semakin Allah akan memberikan limpahan rezeki. Btw, rezeki itu
nggak melulu duit, teman-teman yang sholihah dan selalu mengingatkan kita akan
kebaikan itu lebih berharga dari duit segepok.
Nggak gue banget.
Aku hanya
ingin menjadi diri sendiri, dan berjilbab itu nggak nampilin siapa diriku. Ada
pula yang mengedepankan alasan ini. Makanya
aku sekarang nggak mau cuma bilang “be
yourself”. Menjadi diri sendiri itu tidak sekedar mencari kenyamanan dalam
hidup. Menjadi diri sendiri harus disesuaikan dengan aturan yang Allah berikan.
Mungkin kita tak nyaman awalnya, namun perlahan ketika kita tahu hikmahnya,
nyaman itu akan hadir dengan sendirinya. Ingat kan ayat yang menyatakan bisa
jadi kita membenci sesuatu, padahal itu yang terbaik menurut Allah dan bisa
jadi kita sangat menyukai sesuatu sedang Allah tidak menyukaiNya. So, jadilah
diri sendiri sesuai yang Rabb kita mau.
Nggak Ketemu Tempat dan Sahabat Belajar yang Nyaman
Kadang saat
awal belajar berhijab, kita ingin getol menimba ilmu, menambah teman, tapi
banyak yang tidak merangkul dengan hangat. Yang ada kita dipandang dari ujung kepala
ke ujung kaki, karena pakaian masih acak adut, kerudung masih lilit sana-sini. Bahkan
senyum pun kadang tidak kita dapatkan, hingga akhirnya mau datang lagi ke acara
tersebut, mikir ratusan kali. Sabar, pals. Wajar kok rasa tak nyaman itu hadir.
Namun masa sih kita kalah sama rasa tak nyaman itu? Kita berhijab dan belajar
bukan sekedar cari nyaman, pals. Tapi untuk menaati perintah Allah. Jalani
prosesnya, perlahan akan kita temukan sahabat yang akan benar-benar bisa
merangkul dengan hangat sekaligus menjewer dengan sayang saat kita mulai hilang
arah.
Pencarian jati diri.
Ini yang aku
alami. Kayanya kudu berjilbab deh biar tenang hatinya. Ternyata nggak
tenang-tenang juga, lalu buka tutup kaya warung. Ya, bersyukur nggak pernah
yang benar-benar lepas. Tapi pernah suatu masa aku merasa harus melepas
jilbabku karena sesuatu hal yang buatku jatuh ke lembah tanpa dasar, ke sebuah
titik yang membuatku malu dan merasa nggak pantes banget buat meneruskan
berhijab. Lepas dulu aja deh, ntar kan
bisa dipakai lagi. Begitu bisikan yang aku dengar. Alhamdulillah, aku tidak
mengiyakannya. Aku lebih mendengarkan bisikan yang lain, “bagaimana jika kamu melepasnya,
kamu justru semakin tak terarah. Kamu rela melepas hidayahNya? Kamu mau bikin Allah
akan semakin kecewa dan nggak ridha sama kamu.”
Maka dengan
terseok, aku memilih tetap berhijab, melawan pergolakan batin demi menjemput
satu per satu hidayahNya. Aku bisa saja memuaskan pencarian jati diriku, namun
aku terlalu takut jika aku kehilangan arah dan malah semakin meninggalkan Allah. Aku
takut tak bisa kembali.
Yang penting beriman.
Nggak
papa nggak berhijab, yang penting masih sholat, masih puasa, nggak nyinyir,
nggak julid, nggak mulut setan dan sebagainya.
Hati-hati ketika pikiran itu mulai meracuni. Segera cari bantuan ke para ahli!
Beneran deh ah… jangan beragama karena logika, pals. Beragamalah sebagaimana
Allah minta dan Rasulullah contohkan. Tapi
kan memang banyak tuh sekarang yang berhijab tapi mojok sama pacarnya, nyinyir
dan julidnya nggak ketulungan. Itu oknum, jangan salahkan hijabnya! Tentu saja yang paling baik berhijab tapi sholat
dan puasa nggak cuma yang wajib, yang sunah juga ditegakkan, berhijab dan
santun dalam ucapan serta tindakan. Namun lagi-lagi kesempurnaan itu milik
Allah. Manusia mah tempatnya salah dan dosa. At least, mereka udah berani ambil
keputusan untuk berhijab, lah kita ngaku beriman, ngaku selalu sholat dan
puasa, ngaku nggak nyinyir tapi kok belum terpanggil menjalankan kewajiban
menutup aurat dengan berhijab? Malah seakan menganggap kewajiban itu remeh
temeh.
Istiqomah, Yuk!
Aku tersenyum
ketika membaca sebuah komen di Facebook, berhijab mah gampang, istiqomahnya
yang susah. Buatku kedua-duanya tidak mudah. Proses memantapkan hati untuk
berhijab itu penuh lika-liku. Kalau memang gampang, kenapa banyak yang belum
terpanggil sedang tahu kewajiban berhijab itu ada? Nggak gampang bo memutuskan
berhijrah dari yang tadinya buka-bukaan pakai rok mini, rambut indah tergerai,
menjadi tertutup. Yang tadinya pakai kerudung lilit-melilit, menjadi menutup
dada bahkan berniqab.
Melawan
pergolakan batin, dianggap alien, dicap teroris, disebut kaya emak-emak (emang
udah emak-emak to), nggak fashionable, kuno, dan sebagainya. Tidak mudah lo
mencapai keberanian untuk akhirnya mengulurkan khimar dari kepala hingga ke
dada, memakai gamis yang tak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh.
Maka ketika
kita sudah mencapai keberanian itu… genggam dengan kuat dan jangan lepaskan.
Karena bisa jadi keberanian itu tak datang dua kali. Caranya?
Jangan berhenti hanya karena sudah berhijab.
Alhamdulillah
sudah berhijab. Udah ah, kaya gini aja kerudungnya, yang penting kan udah nutup
aurat. Yang penting ntar bapak, suami dan saudara laki-lakiku udah nggak
keseret neraka karena aku umbar aurat. Nope! Berhijab itu bukan akhir
perjalanan, pals. Ini adalah awal perjalanan panjang kita. Jangan berhenti di
sinit’s okay awalnya lilit-lilit dulu, dimasukkan ke dalam baju, pilah-pilih
biar ikut trend fashion. Perlahan murnikan niat berhijab hanya karena Allah. Pelajari dan kenali fiqih yang berkaitan
dengannya agar kita tak asal memakainya, namun tahu dengan benar aturannya.
Hadiri kajian ilmu.
Salah satu kunci untuk istiqomah berhijab adalah jangan
bosan datang ke majelis ilmu. Saat hadir
dari satu majelis ke majelis lainnya, saat itulah ruhiyah kita di charge.
Semakin banyak kita belajar, semakin kita akan merasa betapa masih banyak hal
yang patut kita tahu. Kosongkan gelas, murnikan niat… lillahi taala. Kurangi
kongkow-kongkow nggak jelas dan nggak bermanfaat, habiskan lebih banyak waktu
hadir ke masjid, seminar-seminar penguatan diri. Jaga agar keberanianmu
berhijab tidak berubah menjadi berani melepasnya kembali. Selektiflah memilih tempat belajar, karena kini
semakin banyak kajian yang menyesatkan.
Perbanyak teman-teman sholihah.
Semakin
banyak inner circle kita yang menguatkan, semakin ratusan kali kita akan
berpikir untuk melepas jilbab. Jilbab itu
urusanku sama Allah, nggak usah ikut campur. Lakum dinukum waliyadin. Jangan
salah menempatkan ayat. Lakum dinukum waliyadin itu dipakai untuk mengingatkan
orang non islam agar tidak turut campur dalam peribadatan kita, begitu pula
kita tidak boleh turut campur dalam peribadatan mereka. Hal itu nggak berlaku untuk
sesama muslim, karena kita justru punya kewajiban untuk saling mengingatkan dalam
kebaikan dan kebenaran. Jadi, kalau ada yang nasehatin kita untuk
istiqomah, jangan lepas jilbab, begini begitu… jangan dianggap nyinyir bin
julid. Mereka sedang berusaha menjalankan kewajibannya sebagai sesama muslimah.
Justru karena mereka sayang sama kita, makanya keluarlah nasehat itu.
Buat
teman-teman (termasuk aku) yang mungkin sedih sekaligus gemes lihat teman,
saudara atau artis yang buka tutup jilbab, mari sampaikan sesuatu dengan
santun. Menasehati dengan ngata-ngatain itu beda. Tempatkan diri kita pada
mereka, kalau kita yang ada di posisi mereka, terus dengerin nasihat yang bikin
panas hati dan kuping, apa kita akan mendengarkan, atau kita justru akan
semakin menjauh?
Nggak usah
merasa lebih baik, kita nggak tahu apa yang terjadi ke depannya. Kita nggak
tahu juga pergolakan dan pengalaman apa yang sedang mereka alami hingga
akhirnya memutuskan menanggalkan hijab. Apakah kita juga bisa istiqomah ketika
ada di posisi mereka? Yuk, belajar bersikap dan berucap santun. Rangkul mereka
dengan hati yang tulus dan penuh sayang, sehingga mereka nyaman dan menemukan
rumah hingga terpanggil untuk kembali. Jika kita nggak
bisa santun, mending diam dan doakan. Bukankah doa adalah senjata paling manjur
untuk setiap orang beriman?
Untuk yang
belum berhijab, hidayah itu dicari dan dijemput, bukan dinanti J
Segera jemput hidayah itu, taati perintahNya dan berproseslah. Semoga kita bisa
istiqomah berproses menjadi pribadi-pribadi muslim muslimah yang kaffah. Aamiin.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Aamiin. Semoga kita istiqomah ya, Mbak.
ReplyDeletesemoga terus istiqomah :)
ReplyDeletePostingannya bermanfaat banget mbak, suka dengan cara mbak mengajak , yang nggak langsung to de poin tapi ceritain dulu pengalaman mbak berhijab dan alasan2 mengapa seseorang bisa melepas jilbabnya hingga akhirnya mengajak kita untuk istiqomah..
ReplyDeleteIn syaa Allah, postingannya jadi reminder bagi diri saya pribadi juga. Semoga kita bisa sama2 istiqomah selamanya dengan hijab kita ya mbak 😊
Aminn semoga istiqomah selalu, ditunggu ya mba blog selanjutnya 😊
ReplyDeleteiyah menasehati dengan santun
ReplyDeleteAku juga sering di-bully kek gitu dibilang ngak rajin sholat atau iman ku belum sempurna.jadi mereka sering berkata"buat apa pakai hijab tapi sholatnya masih bolong-bolong
ReplyDeleteSEMOGA SELALU ISTIQOMAH