Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Meski tantangan
wajib selama sepuluh hari sudah terlewati, tapi sudah kadung semangat nih
menantang diri untuk terus belajar berkomunikasi produktif dengan anggota
keluarga. Jadi, yuk mari kita lanjoooot.
Nggak terasa
tahun ini sudah sampai bulan ke sebelas, bahkan sudah memasuki pertengahan
bulan. Itu artinya penerimaan siswa/ santri baru untuk beberapa sekolah swasta
sudah akan mulai dibuka. Biasanya bulan Desember – Januari, beberapa sekolah
swasta berbasis Islam sudah membuka pendaftaran gelombang pertama.
Seperti yang
teman-teman baca di beberapa postingan sebelumnya, aku memang sedikit galau memilihsekolah dasar buat Ifa. Apakah melanjutkan ke yayasan yang sama atau berpindah
ke sebuah sekolah yang sistem pendidikannya mengguncang hati dan jiwa. Lebaaay.
Jikapun
akhirnya memilih memindahkan Ifa ke sekolah yang lain tersebut, bukan karena
sekolah Ifa yang sekarang buruk. Sama sekali tidak. Memilih sekolah itu kan
seperti milih partner hidup, jadi ya kudu klik visi dan misinya. Di sekolah
yang sekarang visi misi itu sudah cukup tercapai, namun ketika ada alternatif
lain yang ternyata nggak cuma klik, tapi double atau triple klik… maka pilihan
harus dibuat.
Setelah
berdiskusi dengan ayahnya panjang lebar, berkali-kali menemukan kebuntuan.
Kadang hasil diskusi hari ini dan yang kemarin bisa berbeda. Namun Jumat lalu,
kami memantapkan hati, bismillah kita ikhtiar ke X dulu. Sambil menunggu
pendaftaran dibuka, kami mulai sounding ke Ifa lebih intens. Bagaimana pun
nanti Ifa yang menjalani. Kami harus mempersiapkan dirinya.
Kalau anaknya
nggak mau masa dipaksa? Anak seumur Ifa belum sampai pada pemahaman yang kuat
soal baik buruk, kalaupun ia melakukan hal baik lebih karena dibiasakan,
sehingga perlahan nanti akan muncul pemahaman. Ia baru berorientasi soal suka
atau tidak. Maka, sejauh ini yang bisa kami lakukan hanya memberikan pengertian
ke Ifa alasan kami kenapa X menjadi pilihan kami. Kami juga memberikan contoh
prestasi beberapa anak teman yang Ifa kenal, “kakak A sudah pintar ini lo sekarang”. Kami juga menginformasikan
beberapa teman yang kemungkinan akan menjadi teman barunya kelak, “kakak ingat Z yang kemarin asyik main sama
kakak waktu PDA, insya Allah nanti jadi temannya kakak sekolah.”
Dulu waktu
awal kelas TK B, sebenarnya wacana soal sekolah X sudah pernah kami bicarakan
dengan Ifa. Bahkan kami sudah mengajak untuk melihat bangunan sekolahnya. Saat
itu Ifa hanya manggut-manggut setuju. “Nggak apa-apa kok, aku mau sekolah di
situ.”
Namun seiring
bertambahnya usia dan pengalamannya bersama teman-teman di sekolah yang ini, ia
mulai bereaksi berbeda ketika kita kembali mengingatkan wacana bahwa ada
kemungkinan Ifa akan bersekolah di X. Daripada menekannya, aku lebih memilih
menggali apa yang dia rasakan soal wacana tersebut.
Ifa:
“Aku nggak mau sekolah di X, bunda.”
Aku:
“Memangnya kenapa?”
Ifa:
“Teman-temanku di sekolah Y semua, nanti aku nggak ada temannya.”
Aku:
“Kan nanti bisa dapat teman baru di sekolah X.”
Ifa:
“Aaah, nggak mau. Kenapa sih harus di X, bunda?”
Aku:
“Bunda pengen kak Ifa jauh lebih baik ngajinya, lebih kenal Allah, lebih kenal
Al Quran, lebih pintar sholatnya.”
Ifa:
“Memangnya di sekolahku tidak bisa, bu guruku juga ngajarin kok.”
Aku:
“Iya, bu gurunya Ifa di sekolah jempolan semua. Tapi bunda pengen kak Ifa
belajar lebih banyak. Di X bunda dan ayah juga nanti harus ikut belajar. Jadi kita
belajar bareng-bareng.”
Ifa:
“Ooh, ada sekolah buat ayah bundanya juga?”
Aku:
“Iya, di X ayah dan bunda bertanggungjawab sama proses belajarnya kak Ifa. Kalau kak Ifa belum pintar, nanti bunda dan
ayah ditanya sama ustadnya, jadi kita harus kerjasama. Kalau pagi kak Ifa belajar di sekolah, sore
dan malam belajar sama ayah bunda. Seru kan?”
Ifa
mulai manggut-manggut nih. Entah setuju, entah bingung, wkwkwk.
Ifa:
“Kalau Affan udah seaku, nanti Affan sekolah di mana?”
Aku:
“Insya Allah di X.”
Ifa:
“Aku nanti kelas 1 di Y dulu deh, bunda. Kalau Affan sudah lima tahun terus
masuk X, aku baru ikut sekolah di X.”
Aku:
“Kok begitu? Masa sekolahnya pindah-pindah. Kak, sekolahnya kan harus bayar.
Kalau kak Ifa pindah-pindah begitu ya nanti harus bayar sana-sini dong, nanti
kak Ifa nggak bisa jajan, nggak bisa nabung lo.”
Ifa:
“Ya udah deh, aku mau sekolah sama Affan aja.”
Tuh kan
anak-anak mah kadang suka nggak bisa ditebak. Seringkali kita pikir alasan anak
akan sesuatu hal itu sangat serius, ternyata bisa jadi sesederhana ini. Ifa mah ternyata pasrah sekolah di mana saja, yang penting nanti adiknya juga sekolah di tempat
yang sama. Padahal adiknya kan sekolahnya masih lama ya. Hihihi.
Wokay…
bismillah, kita ikhtiar daftar ke X dulu ya, nak. Semoga ayah dan bunda memilih
partner yang tepat. Sebenarnya yang deg-degan ayah bunda nih, takut kalau dalam
mendampingi kak Ifa belajar di X kurang maksimal. Bener-bener home team kita
harus dikuatkan nih, nak… kita belajar bareng-bareng ya!
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#hari11
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com