Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Jumpa lagi denganku
di hari kedua game level 1 “komunikasi produktif” kelas Bunda Sayang Batch #3.
Jika kemarin aku belajar mempraktekkan ilmu berkomunikasi yang oke dengan mbakIfa. Hari ini aku menjadikan pak su tercinta sebagai sarana belajarku.
Alhamdulillah
memasuki usia pernikahan ke-10, aku merasa pola komunikasi dengan suami semakin
terbentuk, matang dan dewasa. Kami memang tidak menjalani taaruf, karena
sebelum menikah kami sempat berada di masa-masa alay dan jahiliyah. Kami telah
saling mengenal dan dekat satu sama lain selama empat tahun sebelum memutuskan
untuk menggenapi setengah dien kami.
Meski telah
mengenal empat tahun sebelum pernikahan, bukan berarti ketika sudah
dipersatukan dalam hubungan yang halal kami tidak menemui kendala dalam masalah
komunikasi. Justru kalau boleh kilas balik, komunikasi adalah salah satu hal yang
kerap kali membuat hubungan kami memanas dan naik turun. Bukan karena kami
nggak pernah ngobrol dan saling mengungkapkan isi hati. Kami paling hobi untuk
saling ngobrol, bahkan kalau sudah ngobrol bisa betah hingga berjam-jam. Bahkan
kadang ketika kami ber-pillow talk, kami seringkali nggak sadar sudah ngobrol
sampai dini hari. Kalau nggak karena salah satunya ketiduran duluan, bisa
sampai subuh belum berhenti.
Permasalahan komunikasi
yang terjadi dalam hubungan kami harus kuakui karena aku jauh lebih dominan dan
egois. Aku seringkali ingin menang sendiri. Ketika kami berbeda pandangan dalam
suatu hal, aku ingin menjadi pemenang dalam perbedaan tersebut. Dan suami yang
sadar akan sikapku, akhirnya lebih sering mengalah or kasarnya kalau orang Jawa
bilang karep-karepmu deh. Dengan tanggapan yang seperti itu bukannya merasa
menang, malah aku semakin merasa emosi.
Aku juga
seringkali berasumsi akan sesuatu, padahal suami tidak melakukannya.
Berkali-kali doi menjelaskan bahwa itu hanya sekedar asumsiku, semua alasannya
akan terpelanting dan tak terdengarkan. Semua kegilaan itu berlangsung sampai tahun ketiga pernikahan kami. Kegilaan itu perlahan
mereda dengan hadirnya mbak Ifa di
tengah-tengah kami. Saat itu aku akui suami mengambil langkah yang
sempat kusesali dan kurutuki, namun sekarang aku baru menyadari betapa bijaknya
langkah yang doi ambil. Aku baru sadar sekarang kalau dia waktu itu tidak mengambil
langkah tersebut, entah apakah hari ini kami masih bersama.
Langkah yang
diambil saat itu adalah long distance marriage. Enggak jauh-jauh amat juga sih,
doi pindah kerja aja ke Kebumen. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana saat
itu dia mengatakan yang intinya, “mari menjauh beberapa saat, dengan saling berjauhan mari lihat
seberapa besar kita akan saling merindukan dan membutuhkan.” Awalnya
sebagai seorang yang saat itu masih pemarah dan posesif akut, setiap hari ada
saja yang kami pertengkarkan lewat telepon dan perpesanan, namun perlahan apa
yang dikatakan suami mulai terlihat
kebenarannya.
Ya, jarak
telah membuat kami saling merindukan. Betapa memang benar seseorang akan terasa
sangat berarti ketika ia tidak lagi di dekat kita. Itulah yang aku rasakan saat
itu. Di satu sisi, suami yang mungkin sudah sempat ilfeel denganku mulai
kembali menyadari betapa ia pun masih membutuhkanku. Finally, dengan semua yang
telah kami jalani, hubungan kami pun menguat dan semakin bertumbuh dewasa.
Alhamdulillah, kini kami tak perlu saling berjauhan untuk bisa memahami betapa
kami saling merindukan dan membutuhkan.
Belajar
Komunikasi Produktif dengan Suami
Berada dalam
kelas Bunda Sayang Batch #3, aku sangat bersyukur karena merasa terbantu untuk
menjaga agar komunikasiku dengan suami bisa bertumbuh semakin baik.
Ketika mendapatkan
materi Komunikasi Produktif, aku manggut-manggut karena akhirnya tahu kenapa
selalu saja ada perbedaan di antara kami. Bahkan kadang perbedaan kecil aja
bisa membuatku ngomel seharian. Misal, kebiasaan doi yang suka naruh barang
sembarangan, sudah berkali-kali dibilangin untuk menaruh di satu tempat yang
sama, tetap saja itu terulang lagi. Atau kebiasaan doi yang suka naruh handuk di
atas kasur dan tidak diletakkan lagi di jemuran selesai mandi, yang bikin kasur
basah dan lembab. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang lama-lama bikin gemes. Meski
akhirnya kemudian berakhir dengan pemakluman, tetap disertai dengan omelan juga
sih,hehehe.
Ketika berkomunikasi dengan orang dewasa lain, maka awali dengan kesadaran bahwa “aku dan kamu” adalah 2 individu yang berbeda dan terima hal itu. Pasangan kita dilahirkan oleh ayah ibu yang berbeda dengan kita, tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang berbeda, belajar pada kelas yang berbeda, mengalami hal-hal yang berbeda dan banyak lagi hal lainnya. Maka sangat boleh jadi pasangan kita memiliki Frame of Reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) yang berbeda dengan kita.
FoR adalah cara pandang, keyakinan, konsep dan tatanilai yang dianut seseorang. Bisa berasal dari pendidikan ortu, bukubacaan, pergaulan, indoktrinasi dll.FoE adalah serangkaian kejadian yang dialami seseorang, yang dapat membangun emosi dan sikap mental seseorang.FoE dan FoR mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu pesan/informasi yang datang kepadanya.
Jadi jika pasangan memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda atas sesuatu, ya tidak apa-apa, karena FoE dan FoR nya memang berbeda.Komunikasi dilakukan untuk MEMBAGIKAN yang kutahu kepadamu, sudut pandangku agar kau mengerti, dan demikian pula SEBALIKnya.Komunikasi yang baik akan membentuk FoE/FoR ku dan FoE/FoR mu ==> FoE/FoR KITA.
Sehingga ketika datang informasi akan dipahami secara sama antara kita dan pasangan kita, ketika kita menyampaikan sesuatu, pasangan akan menerima pesan kita itu seperti yang kita inginkan.
Komunikasi menjadi bermasalah ketika menjadi MEMAKSAKAN pendapatku kepadamu, harus kau pakai sudut pandangku dan singkirkan sudut pandangmu.
Pada diri seseorang ada komponen NALAR dan EMOSI; bila Nalar panjang - Emosi kecil; bila Nalar pendek - Emosi tinggi. Komunikasi antara dua orang dewasa berpijak pada nalar. Komunikasi yang sarat dengan aspek emosi terjadi pada anak-anak atau orang yang sudah tua.
(Sumber; Materi
Komunikasi Produktif Kelas BunSay IIP Batch #3)
Aku ketampar
banget sama kalimat terakhir euy. Betapa dulu aku lebih sering mendewakan emosi
daripada nalar.
Today’s
Pillow Talk
Seperti biasa
ketika anak-anak sudah tidur adalah waktu paling asyik buat saling ngobrol dan
bicara panjang lebar satu sama lain. Topik paling hangat yang akhir-akhir ini
masih jadi bahasan utama kami adalah tentang memilih sekolah Ifa. Sudah sejak
awal tahun sih kita ngobrolin ini. Kemarin sempat sudah hampir mencapai satu
tujuan, namun setelah dipikir-pikir nggak benar-benar tercapai juga, karena aku
lebih banyak mendominasi dialog. Setelah dipikir-pikir lagi saat itu aku juga
banyak dapat influence dari
teman-teman dekat sehingga entah apakah itu keputusanku sendiri atau karena
sekedar ikut-ikutan.
Berhubung
tahun ajaran baru semakin mendekat, dan sekolah swasta pasti membuka pendaftaran
lebih cepat dari sekolah negeri. Tema memilih sekolah sudah urgent banget untuk
segera mencapai titik temu. Jika sebelumnya kami lebih banyak ngobrol di waktu
sekenanya, di sela-sela momong anak, di motor sambil jalan ke mana or ketika
lagi makan di luar. Hari ini kami benar-benar fokuskan untuk ngobrolin tentang
sekolah Ifa dengan lebih serius.
Jika
sebelumnya aku lebih banyak mendominasi percakapan dengan informasi yang aku
tahu dan kurang memberi kesempatan pak su untuk menyampaikan pendapatnya, “sekolah di B aja deh, anak si X to yah
sekolah di situ jadi begini begini. Lagian kalau di sekolah A ntar begitu begitu.” Kali ini
berbeda, aku justru membuka dialog dengan membiarkan doi menyampaikan sudut
pandangnya, “gimana nih yah, dua bulan
lagi pendaftaran sekolah baru sudah dibuka. Menurut ayah kita pilih yang mana;
A atau B?”
Pak suami pun
membeberkan poin-poin yang dia miliki dan aku pun sangat menerima semua yang
dia sampaikan. Padahal kemarin-kemarin tiap dia menyampaikan pandangannya,
pasti aku sanggah dengan informasi yang aku dapat dari teman-temanku. Yes, I didn’t listen him as well. Bisa
jadi kemarin-kemarin dia jengah juga ya ngobrolin hal ini karena berasa kaya “kok kamu lebih dengerin dan percaya ke
teman-teman kamu sih, dengerin aku dulu kenapa.”
Finally,
setelah melakukan beberapa langkah di bawah ini, kami sudah menyepakati sekolah manakah yang terbaik untuk Ifa.
1. Kaidah 2C: Clear and Clarify
Sebelumnya aku
lebih banyak mendominasi dialog, namun
hari ini aku banyak memberikan kesempatan bertanya ke pak su. Aku juga
menghindari bahasa yang berkesan ngotot ke salah satu kubu (sekolah), memilih
kata yang lebih nyaman didengar sehingga kami bisa saling mengklarifikasi hal-hal
yang belum dipahami.
2. Choose the Right Time
Memang
pastinya beda banget lah ya ngobrol sambil disambi momong, dengan making special time for having deep chit chat. Komunikasi
jadi lebih dua arah, kami pun merasa nyaman karena obrolan nggak terputus di
tengah jalan gara-gara Ifa yang komplain merasa dicuekin ataupun Affan yang tiba-tiba
sudah sampai ke kamar mandi, hehe.
3. Kaidah 7-38-55
Albert
Mehrabian menyampaikan bahwa pada komunikasi yang terkait dengan perasaan dan
sikap (feeling and attitude) aspek verbal (kata-kata) itu hanya 7% memberikan
dampak pada hasil komunikasi. Komponen yang lebih besar mempengaruhi hasil
komunikasi adalah intonasi suara (38%) dan bahasa tubuh (55%). Dengan
berkomunikasi di saat yang tepat, komunikasi jadi sempurna karena kami bisa menata
intonasi dengan baik, dan saling membaca bahasa tubuh masing-masing.
4. Intensity of Eye Contact
Karena kondisi
yang nyaman dan minim gangguan, kami pun bisa dengan leluasa saling menatap dan
melihat apakah pasangan bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan. Eye
contact ini penting banget untuk saling meyakinkan.
5. Kaidah: I'm
responsible for my communication results
Aku kadang
suka salah memahami maksud suami, begitu juga sebaliknya. Jika waktunya nggak tepat
dan kondisi nggak nyaman, kami nggak punya waktu untuk saling mengubah strategi
dan menangkap respon dengan baik, namun dengan menjalankan empat tips
sebelumnya, kami jauh lebih mudah memilih cara komunikasi yang bisa saling memberi
kenyamanan. Dan hasilnya tentu saja tercapailah sebuah kesepakatan yang bisa
diterima dengan baik oleh kedua belah pihak.
Komunikasi
adalah hal yang sangat penting dalam sebuah hubungan pernikahan. Sudah berapa
banyak kasus yang aku temui dari hasil curhatan teman-teman ataupun hasil
ngintip di support group untuk wanita, pernikahan seringkali gagal bukan karena
pasangan berhenti saling mencintai, namun karena tidak ada komunikasi yang baik
di antara keduanya. Semoga aku dan suami bisa menjadi pasangan yang terus
bertumbuh dan bisa saling berkomunikasi dengan produktif, begitu juga dengan
teman-teman dan pasangan ya!
Selamat menjemput
weekend dan happy holiday!
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#hari2
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Aku kok ngerasa lihat diriku sendiri ya pas baca ini. Aku sama suami juga merasa makin lama komunikasi kami membaik. Karena dari awal kami punya prinsip, jangan jadi api dua-duanya. Saat satu naik yang lain turun
ReplyDeleteAlhamdulillah juga orangtua gak pernah ikut campur. Jadi apapun kami putuskan berdua. Itu yang bikin kami makin memahami satu sama lain
Pillow talk tiap malam kami lakukan. Kecuali pas dia luar kota, ya pillow talk by phone aja