Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillah,
yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga; kelas BUNDA SAYANG batch #3! Yup,
setelah lulus kelas matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch #4, aku
bersyukur sekali karena bisa langsung masuk ke kelas Bunda Sayang. Tidak semua
peserta yang lulus matrikulasi bisa berkesempatan join di kelas ini karena
kuota yang terbatas. Aku masuk ke grup Bunda Sayang #3 Jawa Tengah, jadi
bayangkan ada berapa grup kalau dibagi sesuai provinsi di Indonesia. Bagi yang
belum berhasil ikut kelas Bunda Sayang batch #3 ini, jangan khawatir masih bisa
ikut batch selanjutnya kok. Pantengin aja grup member sebaik-baiknya, pals…
biar nggak ketinggalan info.
Berbeda
dengan kelas matrikulasi yang hanya berjalan selama kurang lebih tiga bulan,
kelas Bunda Sayang ini akan berlangsung selama 12 bulan alias satu tahun. WOW!
Bikin deg-degan sekaligus penasaran, sebenarnya apa saja sih materi di kelas
ini, kok butuh waktu satu tahun untuk mempelajarinya. Fyi, Bunda Sayang ini
materi pertama yang berfokus pada cara-cara melekatkan diri kita sebagai ibu
dan istri dengan keluarga.
Buat yang
pernah baca-baca NHW – ku di kelas matrikulasi lalu, pastinya tahu dong kalau
tujuan IIP ini untuk mencetak para ibu yang sadar akan misi spesifik hidupnya
sehingga bisa membawa manfaat tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga, namun
juga masyarakat luas. Nah, sebelum berkontribusi ke masyarakat luas, tentu saja
PR utamanya adalah membenahi ‘urusan dalam’ terlebih dahulu, alias keluarganya.
Bagaimanapun kita mampu memberikan manfaat alias ngurusi masyarakat, kalau di
dalam keluarga aja masih berantakan.
Welcome to Bunda Sayang Batch #3
Selama satu
tahun ke depan, aku bersama teman-teman akan belajar 12 materi. Sebenarnya
secara sekilas aku sudah punya gambaran materinya. Bukan karena ngintip postingan
peserta batch sebelumnya yang banyak berseliweran di timeline medsos, namun
karena buku IIP pertama yang aku punya ya tentang Bunda Sayang ini.
Awalnya dulu
beli buku ini karena tertarik ada satu teman SMA – ku yang jadi kontributornya;
Za Ummu Roihan. Jadilah beli dan semakin merasa kalau aku butuh ilmu-ilmu dari
IIP. Alhamdulillah meski selang bertahun-tahun lamanya, akhirnya bisa juga menjadi
murid dari institut para emak pembelajar ini.
Aku kutip dari buku tersebut bahwasanya kelas Bunda Sayang ini menitikberatkan pada HOW TO EDUCATE THE CHILDREN atas ilmu dasar mendidik anak. Materi-materi yang diberikan antara lain;
- Memahami perkembangan anak secara fisik dan psikologis.
- Memahami ilmu tentang ketrampilan dasar anak, baik secara emosi maupun spiritual.
- Melatih kemandirian dan life skill anak sejak dini.
- Memahami bahwa semua anak adalah cerdas. Jika kita punya 6 orang anak, maka bersiaplah untuk mengeluarkan 6 bintang! Jangan sampai mematikan karakter anak kita.
- Memahami multimedia untuk mengikuti perkembangan anak dan sebagai media pembelajaran.
(sumber: Buku Bunda Sayang – Gazza Media, halaman vi-vii)
Kepo sama
materinya, bisa diintip di gambar berikut ya;
Materi
pertama yang harus aku dan teman-teman kunyah di minggu ini yaitu materi
tentang komunikasi produktif. Tujuan dari materi ini yaitu agar kami, para ibu,
dapat menguasai ketrampilan berkomunikasi antara orangtua dengan anak-anak, dan
juga antara istri dengan suami.
Di materi ini
kami juga dibukakan mata untuk mengenal jenis komunikasi yang destruktif,
memahami dan mempraktekkan komunikasi produktif di rumah. Hmmm, kayanya sih
simple… tapi dalam prakteknya cukup menantang.
Tantangan Level 1 Bunda Sayang Batch #3
Finally,
setelah pemanasan, pembagian materi dan diskusi yang berjalan cukup hangat dan aktif di
grup whatsapp, tibalah yang dinanti-nanti; pemberian game oleh fasilitator
kepada para peserta Bunda Sayang Batch #3.
Hmm, lumayan
puyeng sih mikirin game level 1. Baru level 1 aja begini, gimana level-level
berikutnya ya. Resiko ikut IIP; mau tidak mau kudu praktek ilmu yang sudah
diberikan. Tapi ya bener sih, kalau cuma dibaca tanpa dipraktekkan, bagaimana
kita mau tahu sudah paham atau belum kan?
So, dalam
sepuluh hari ke depan aku harus mendokumentasikan komunikasi produktifku, entah
itu sama si ayah, kak Ifa or Affan. Berkomunikasi sama mereka sih pasti ya
setiap hari, tapi apakah sudah produktif? Kayanya setelah dirunut dan dicocokin
sama materi yang aku dapat, banyakan nggak produktifnya deh.
Well, untuk
hari pertama ini aku pilih kak Ifa sebagai partnerku. Jadi ceritanya hari ini
aku dapat amanah sebagai wakil dari IIP Semarang untuk jadi partner
campaign-nya Biznet. Qodarullah hari ini merupakan jadwalnya kelas blogging offline
yang bertempat di Biznet. Pihak Biznet mengambil beberapa gambar keseruan kami
di kelas tersebut. Namun tugasku belum usai, karena aku diminta untuk
melanjutkan shooting untuk scene-scene berikutnya. Iya, beneran shooting. Fyi,
durasi video campaign ini nggak sekitar 1-2 menit saja, dan kami baru kelar
shooting mendekati maghrib. Well, lumayan menguras tenaga, dan bikin aku sadar
pantas saja artis-artis itu bayarannya mahal, hehe.
Sebenarnya
sudah sejak minggu lalu, setiap kali aku ada kelas blogging, Ifa pengen bolos
sekolah dan ngikut aku. Jelas tidak kuperbolehkan, masa tiap kamis dia bolos?
Hari ini akhirnya ijin bolos Ifa aku kabulkan karena; satu, dia pengen banget
naik BRT sama aku dan adiknya; dua, aku tahu hari ini bakal pulang sore banget
dan dia pasti bosan kalau harus nungguin di rumah sama si ayah. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Ifa ikut deh.
Buat
teman-teman yang sudah kenal Ifa, pasti tahu banget dong bagaimana uniknya anak
mbarepku ini. Dia itu mudah banget tantrum, bahkan sampai hampir 6 tahun kebiasaan
tantrumnya masih kadang-kadang terjadi. Nggak salah Ifa sih, akunya yang kurang
ilmu dalam pola asuhku ke Ifa. Berhubung telat menyadarinya, jadi ya wajar
kalau sampai sekarang doi masih belum sepenuhnya pandai mengelola emosinya. PR
banget buat aku; mendidik anak itu mendidik diri sendiri. Sebelum mendidik anak
mengelola emosi, maka WAJIB banget buat aku mengelola emosi diriku.
Nah, hari ini pula aku kembali tercerahkan kalau ternyata tantrum itu akan lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap ‘sulit’. Anak-anak ‘sulit’ ini ternyata punya beberapa ciri;
- Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
- Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
- Lambat beadaptasi terhadap perubahan/
- Mood lebih sering negatif.
- Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/ kesal
- Sulit dialihkan perhatiannya.
(sumber: Buku Bunda Sayang – Gazza Media, halaman 12)
Sebelumnya
aku udah pernah baca buku ini, namun hari ini aku baru benar-benar ngeh kalau semua
keenam ciri di atas ada pada diri Ifa. Pantesan deh doi gampang banget tantrum
dari kecil.
Entah sudah
berapa banyak kejadian yang aku lewati karena tantrumnya si kakak ini, dari
yang guling-guling di pujaseranya Paragon, nangis kenceng di supermarket,
gedor-gedor pintu rumah ketika di – time out, dan masih banyak lagi.
Dari yang
awalnya aku dan ayahnya masih bisa senyum, ngomongnya masih lembut sampai yang
udah kebawa emosi, si Ifa selalu keukeuh dengan pendiriannya kalau kita nggak
ngerti apa yang dia mau atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
harapannya.
Sebenarnya
pas aku dalam kondisi fit, emosi stabil, sekarang ngatasin tantrum-nya Ifa ini
mudah sih. Cuma ya gitu seringnya komunikasiku ke doi, kurang produktif.
Akhirnya tantrumnya baru berakhir ketika aku memberikan ancaman (yang aku tahu
banget itu nggak dianjurkan sama sekali), “bunda hitung sampai 10, kalau kakak
masih nangis kaya gitu, bunda bawa ke kamar mandi!”
Sekarang sih belum
sampai angka 10, Ifa pasti udah berusaha ngerem banget buat berhenti nangis,
karena dia tahu aku nggak main-main sama ancaman itu. Kalau sampai hitungan 10,
dia masih nangis, beneran aku taruh dia di kamar mandi. Nggak cuma aku kunci di
kamar mandi, kadang kalau lagi emosi, aku mandiin sekalian dia. Maksud hati
biar marahnya minggat. Iya sih beneran habis dimandiin, langsung minggat tuh
marah, tapi yang ada setelah itu dia trauma banget aku mandiin. Pasti yang baca
nih postingan bilang “kejaaaamnyaaa….” Ya, begitulah.. sekarang suda tahu kan
kenapa aku butuh beribu-ribu ilmu untuk mengatasi diriku sendiri. Memandikan
Ifa ini sudah taraf mending kalau buatku, saat belum kenal parenting sama
sekali, kalau dia udah tantrum nggak pakai lama aku juga bakal ikutan tantrum, yang
ada akhirnya aku menyakiti dia, entah itu membentak atau mencubit. Anaknya
nggak kelar nangisnya, yang ada aku cuma bisa menyesal habis-habisan. Hiks,
maafin bundamu ini ya, shalihah.
Tapi itu dulu….
Sekarang sebenarnya meski belum bisa benar-benar mempraktekkan, aku sudah ngerti
cara menaklukkan Ifa ketika tantrumnya kumat. Kalau di rumah, cara menanganinya
biasanya akan aku biarkan dia meluapkan emosinya terlebih dahulu dalam batas
yang bisa aku tolerir. Si Ifa ini tipe anak yang kekeuh banget lah, mau dibujuk
kaya apa kalau masih belum pengen berhenti nangis ya nggak bakalan stop
nangisnya. Kalau dirasa udah mulai mereda suara tangisnya, aku peluk dia, aku
elus dan minta dia tenang. Setelah dia tenang dan diam, kasih air putih dan
biarkan dia bilang apa yang dia inginkan. Baru deh bisa diajak komunikasi.
Tantangan
buatku adalah untuk bisa smooth mengatasi keadaan itu; aku nggak boleh kebawa
emosi ketika Ifa tantrum, ketika aku sudah merasa jantung berdegup kencang saat
Ifa nangisnya udah nggak banget, aku kudu cari cara menetralisirnya – entah itu
wudhu, minum air putih, baca istighfar… pokoknya beneran kuncinya ada di aku.
Aku tenang, Ifa bakalan cepat terkendali. Aku lepas kontrol, bubar jalan.
Saat hari ini
aku mengajak Ifa ke lokasi kelas blogging, aku udah was-was banget. Ifa yang
mood-nya mudah rusak ketika bosan, ngantuk dan lapar ini, bisakah mengikuti
kegiatanku yang cukup padat?
Sebelum berangkat,
aku sudah sounding ke Ifa, “kakak hari ini yang baik ya ikut bunda. Kalau ingin
sesuatu bilang dengan jelas, tidak marah dan menangis ya.” Ifa pun
mengangguk-angguk tanda setuju. Aku pikir insya Allah nggak bakal ada masalah
karena sejak semalam dia sudah excited mau ikut. Dan aku pergi sendirian tanpa
si ayah, aku yakin Ifa lebih mudah terkontrol. PR lainnya lagi, kenapa kalau
sama si ayah lebih sering cari perkara, pusing pala eikeh deh.
Ifa ngapain coba di belakang X banner? |
Alhamdulillah,
kami sampai lokasi jam sembilan pagi lebih dikit dan baru meninggalkan lokasi
jam setengah dua siang. Ifa sempat mengeluh bosan dan lapar tapi masih bisa
dikondisikan. Sempat hampir bikin emosi ketika dia minta makanan, tapi nggak
jelas maunya yang mana.
Ifa: “Aku
lapar bunda.”
Aku: “Nah itu
banyak makanan, mau yang mana. Ambil gih.”
Ifa: “Mau
yang itu..” kalau kata orang Jawa sambil plintat-plintut alias gaje gitu deh.
Bilang itu tapi nggak nunjuk yang mana.
Aku: “Kakak
mau yang mana, tunjuk barangnya biar bunda ambilkan.”
Dan Ifa pun
masih plintat-plintut. Akhirnya aku tunjuk jenis-jenis makanan yang di dekat
kami. Meski aku tahu sebenarnya dalam hati aku sudah tahu mana yang dia
inginkan. Tapi aku sengaja pengen memancing anak ini ngomong, dan gemeees bo
nggak ngomong juga.
Aku: “Mau
Potabee ya?”
Jangan kira
Ifa bakal bilang iya. Dia cuma diam dan pasang muka datar menggemaskan.
Beberapa teman di sebelahku juga mulai ikut tanya, “oh kak Ifa mau Potabee,
tante ambilin ya.” Masih juga diam. Akhirnya aku minta tolong diambilkan snack tersebut,
kuberikan ke Ifa dan taraa… emang itu yang dia mau, saudara-saudara. Apa
susahnya coba bilang iya.
Ini kalau aku
cerita paksu, palingan dia hanya akan tertawa lebar sambil bilang, “tiru siapa
kaya begitu? Kamu bingung memahami Ifa? Rasakanlah kebingunganku selama ini
menghadapimu.” Gedubrak. Emang iya sih. Ifa ini casing si ayah, onderdil
bundanya banget. Plek ketiplek sifatnya kaya si emak, dan itu yang jadi PR buat
aku karena menghadapi Ifa berasa menghadapi diri sendiri. Bikin aku sadar diri
aja betapa menjengkelkannya diriku ini, wkwkwk.
Oke. Tantangan
teratasi dan Alhamdulillah hari ini Ifa berhasil ikut bunda dengan begitu manis
dan sesuai harapan. Ya, sesekali mengeluh bosan dan capek itu wajar lah. Secara
kami pergi dari pagi pulang sore, wong aku aja capek, apalagi dia kan?
finally ketiduran on the way home |
Tantangan
berikutnya muncul ketika sudah sampai rumah. Di rumah kami ada shoot scene
terakhir yang membutuhkan Ifa jadi model pendamping. Huaa, hampir gagal kalau
salah berkomunikasi deh. Ifa yang udah manyun karena capek, kudu pakai
treatment anti gagal kalau mau shootingnya cepet kelar.
Aku: “Kak, shooting
bolangnya belum selesai. Omnya mau shoot kak Ifa juga, tapi kak Ifa harus ganti
seragam sekolah dulu. Mau ya?”
Ifa: “Nggak
mau, aku tuh capek. Aku maunya coklat. Ayah, aku mau coklat.”
Mulailah dia
drama minta coklat ke ayahnya. So, tadi pagi si ayah janjiin kalau dia baik
selama ikut bunda akan dibelikan coklat. Karena Ifa merasa nggak rewel selama
ikut aku, jadilah nagih coklat ke ayahnya.
Ayah: “Iya
nanti ayah belikan coklat, tapi shooting dulu sebentar ya.”
Ifa: “Nggak
mau, maunya coklat sekarang.”
Aku: “Oke
deh, kak Ifa boleh beli coklat. Setelah itu mau shooting ya sama om nya.”
Matanya pun
berbinar. Setelah mendapatkan coklat yang dia mau, masih mau lanjut drama nih
si Ifa. Yang nggak mau ganti baju, maunya makan coklat dulu dan adaaa aja. Sementara
aku dan ayahnya mulai nggak enak sama kru dari Biznet dong. Udah hampir magrib
juga.
Aku: “Kak,
ayo shooting. Kan udah dapat coklatnya. Ganti baju yuk, lalu kita pura-pura mau
berangkat sekolah. Kaya kalau pagi gitu, kak Ifa pergi sekolah sama ayah.”
Akhirnya Ifa
mau tuh ganti baju, tapi belum mau shooting. Malah cuma duduk aja gitu di
kursi.
Aku: “Biar
kak Ifa mau shooting gimana dong?”
Ifa: “Coklatnya
mau dibawa.”
Aku: “Oh,
coklatnya dibawa shooting, pura-pura buat bekal kak Ifa sekolah ya? Boleh deh.
Hayuk!”
Ifa pun
mengangguk-angguk tanda senang. Meski setelah di depan mas-mas Biznet, dia
kembali cool dan tanpa ekspresi.
Alhamdulillah,
bisa juga membujuk Ifa menyelesaikan scene terakhir. Meski ada adegan yang
nggak sesuai arahan, tapi sudah oke lah. So, dari pengalamanku hari ini memang
bener banget untuk berkomunikasi produktif ke anak, kita butuh hal-hal berikut
ini;
Keep Information Short & Simple (KISS)
Gunakan
kalimat tunggal, bukan kalimat majemuk. Kalau dari pengalamanku hari ini sih,
aku tetap pakai kalimat majemuk, tapi aku juga gunakan jeda yang jelas di
setiap kalimatnya. Sehingga anak nggak berasa diceramahin dan bisa menerima
informasi dengan lebih baik.
Kendalikan intonasi suara dan gunakan suara ramah
Gunakan rumus
7-38-55. Selama ini sadar atau tidak kita sering menggunakan suara saja ketika
berbicara ke anak, padahal kekuatan suara itu hanya 7% dalam mempengaruhi
keberhasilan komunikasi kita ke anak. Sedangkan 38% dipengaruhi intonasi suara
dan 55% dipengaruhi oleh bahasa tubuh. Hari ini sudah aku praktekkan, meski
pengennya cepet-cepet kelar, tapi aku tata intonasiku saat bicara sama Ifa dan
pasang muka yang enak dilihat, jadilah Ifa paham yang aku mau.
Fokus pada solusi bukan pada masalah
Sama anak,
apalagi di bawah 7 tahun itu kalau ngomong kudu konkret ke akar masalahnya.
Nggak perlu ndakik-ndakik karena malah tidak terekam. Contoh hari ini, daripada
sibuk membujuk Ifa shooting dulu baru beli coklat, yang aku tahu akan bikin dia
bad mood atau malah tantrum dan bakalan nggak kelar deh shootingnya. Aku memutuskan
untuk dia boleh beli coklat dulu.
Ganti perintah dengan pilihan
Ketika kalimat
perintah untuk melakukan sesuatu sudah nggak mempan, memberikan pilihan atau
menanyakan ke anak apa yang dia inginkan justru lebih efektif membuat anak melakukan
hal tersebut. Kaya di kasusku di atas ketika Ifa disuruh shooting masih ogah
melulu, akhirnya aku tanya ke dia maunya bagaimana biar shooting bisa lanjut.
Ternyata sederhana, dia mau shooting sambil bawa coklat, hehe.
ifa tepar setelah seharian nemenin bunda jadi artis, masih pakai seragam bo |
Masih ada
banyak tips sih berkaitan dengan komunikasi produktif dengan anak, namun hari
pertama tantangan level 1 ini aku hanya menggunakan empat hal tersebut. Hmm,
kira-kira besok aku menemukan tantangan apa lagi ya? Yang mau tahu, jangan lupa
untuk terus simak catatanku tentang Bunda Sayang ya. Thanks for reading, dan
sampai jumpa di postingan selanjutnya!
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#hari1
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com