Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Meski
tantangan 10 hari sudah berakhir, nggak ada salahnya kan mencoba lanjut hingga
hari kelima belas?
Sejak
mendapat cemilan pertama dari materi komunikasi produktif kelas Bunda Sayang
IIP batch 3 tanggal 8 November lalu, aku semakin merasa tersentil betapa aku
masih sering melakukan komunikasi non produkif kepada anakku, terutama kak Ifa.
Entah sudah berapa kali kak Ifa meneriakiku
hanya karena aku nggak fokus pada apa yang dia sampaikan.
“Bundaaaaa….”
“IIh,
sebeeeel. Bunda pegang HP terus kok…”
Aku
seringkali menjadikan alasan pekerjaanku untuk menghindar dari percakapan
dengan Ifa. “Bentar Fa, ada pesan yang harus bunda jawab”
atau “nanti dulu ya, ini lo ada yang
pesan daster.” Masalahnya aku menjawab demikian tanpa melihat ke arah kak
Ifa dan tetap menatap handphone.
Karena merasa
tak ditanggapi maka nggak heran kalau kak Ifa lantas jadi sering teriak untuk
mendapat respon dariku. Waktu belum dapat materi cemilan, aku seringkali
terganggu dengan teriakannya dan berimbas pada marah-marah yang sebenarnya
tiada guna. Namun yang lebih tertampar adalah ketika Kak Ifa jadi semakin
sering mengabaikan ketika kupanggil. Tentu saja awalnya aku jengkel, kenapa
anak ini dipanggil cuek, nggak respek dan sebagainya. Namun setelah aku mencoba
instropeksi diri, bukan salah kak Ifa.
Anakmu,
cerminan dirimu. Anakmu, cerminan bagaimana pola asuh yang kau terapkan
padanya. Anakmu, gambaran bagaimana kau mentarbiyahnya. Kalimat-kalimat itu
yang berulangkali aku sounding ke diri sendiri. Ya, bukan salah kak Ifa kalau
dia jadi sering meneriakiku untuk mendapat respon dariku, bukan salah dia pula
jika aku memanggilnya ia cenderung cuek. Bukankah aku yang membuat kak Ifa
berteriak karena terlalu asyik dengan pekerjaan, aku pula yang mengajarkan kak
Ifa cuek saat dipanggil. Maka inilah saatnya memperbaiki semuanya.
Aku mulai
mempraktekkan prinsip-prinsip dasar komunikasi antara orangtua dan anak, antara
lain;
▶ Tunjukkan Ketertarikan
dan Perhatian
Saat kak Ifa
mulai mengajak ngobrol, se-hectic apapun pekerjaanku, aku usahakan untuk
menunjukkan ketertarikan dan perhatianku pada obrolannya. “Ohh ya…”, “terus gimana kak?” “Wah keren ya?” Beberapa frasa
sederhana seperti itu bisa menjadi pemicu buat kak Ifa untuk bercerita lebih
banyak. Dan ternyata mendengarkan anak bercerita itu menyenangkan lo. Apalagi
ketika kita sadar si anak punya perbendaharaan kata baru.
▶ Komunikasi non-verbal
Masih ingat
kan rumus 7 – 38 – 55? Ya, bahasa tubuh adalah segalanya. Ketika aku jemput kak
Ifa dan bahasa tubuhnya lemas atau tak bersemangat. Aku bisa mengartikan kalau
dia bisa jadi belum ingin dijemput atau tadi saat sekolah ada sesuatu yang
mengganggunya. Aku biasanya akan memancingnya dengan “Assalammualaikum kak, happy hari ini?” Ketika dia tersenyum dan
bilang “yaa”, berarti tidak ada
masalah di sekolah, kemungkinan dia lapar. Tapi kalau dia tidak menjawab
pertanyaanku baru deh aku akan gali lebih lanjut.
▶ Orangtua sebagai orang
yang dapat diandalkan
Karena di
awal jadi orangtua aku kurang belajar, maka kak Ifa tumbuh jadi anak yang
sering susah mengatakan apa yang diinginkannya. Takut dimarahi dan takut
disalahkan, mungkin itu yang ada di pikirannya. Maka sekarang ini aku sedang
memupuk kepercayaan dirinya untuk bisa mengandalkan ayah bundanya. Kalau dia
butuh sesuatu, aku sampaikan kepadanya bahwa ayah bundanya bisa membantunya,
tentu saja dengan mengatakannya secara baik dan jelas biar kami mengerti.
Perlahan kini Ifa semakin baik dan tidak terlalu ngak ngek saat ingin sesuatu
atau butuh bantuan.
▶ Terima perasaan anak
“Kenapa sih nangis,” atau “gitu aja nangis” adalah dua hal yang
dulu sering aku ucapkan pada Kak Ifa. Ternyata itu tidak menyelesaikan masalah.
Kak Ifa tetap menangis dan aku tak menemukan solusinya. Ya, kesalahan besarku
adalah aku tidak menerima perasaannya terlebih dulu. Aku kini mulai belajar
untuk memeluk dia dan bilang, “kak Ifa sedih? Boleh kok nangis dulu, tapi kalau
udah selesai, nanti cerita ya sama bunda ada apa?” atau jika aku sudah tahu
alasannya aku mulai belajar untuk bilang “Jatuh ya kak? Sakit di bagian mana?
Oke, boleh nangis, sebentar saja ya. Kan sakitnya juga nanti sebentar lagi
hilang.” Dengan melakukan pola tersebut, ternyata jadi lebih mudah menghentikan
tangisannya.
▶ Fokus orangtua hanya
pada anak
“Anak itu seringkali terlihat begitu
menyebalkan karena kita nggak fokus padanya. Coba fokus, lucu dan menyenangkan.”
Jadi ingat wejangan abah Ihsan saat PDA beberapa waktu lalu. Memang benar
adanya. Kalau lagi sibuk membalas pesan di WA atau menatap layar laptop, lalu
kak Ifa berteriak karena ingin direspon, rasanya mengganggu sekali. Namun
ketika dengan ikhlas aku menghentikan dulu aktivitasku, menatap ke arahnya dan
bilang “sebentar ya, bunda selesaikan
dulu ini, 10 menit. Habis itu kak Ifa boleh cerita dan main apa saja sama
bunda? Oke?” Kak Ifa jauh lebih bisa diajak kompromi. Paling sesekali dia
nawar, “10 menit lama, 5 menit aja ya?”
Ternyata
berkomunikasi produktif dengan anak itu nggak susah kok. Masalahnya tinggal mau
atau nggak kita berusaha. Semoga kita dimudahkan jadi orangtua yang selalu bisa
berkomunikasi secara baik dengan anak-anak kita yaa. Aamiin.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Sumber:
Materi Cemilan 1 Komunikasi Produktif di WAG Bunsay #3 Jawa Tengah
#hari12
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Sangat inspiratif
ReplyDelete