Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
“Masalah paling berbahaya adalah yang hadirnya tidak disadari,”
kata bu Elly Risman di sebuah seminar yang aku ikuti sekitar dua tahun lalu. Lalu
sebulan lalu, aku kembali diingatkan hal yang sama oleh seorang narasumber di
acara Internet Baik tentang hal tersebut.
Aku awalnya tak paham dengan pernyaataan tersebut, namun
setelah coba merenunginya, memang benar adanya. Jika kita menyadari ada masalah
di dalam hidup kita, kita pasti akan berusaha mencari solusi atas masalah
tersebut. Namun ketika kita tak menyadari ada masalah yang hadir, ya bagaimana
mau mencari solusinya, wong masalahnya ada saja kita nggak tahu.
Itulah yang banyak terjadi saat ini. Orang tua banyak yang
nggak sadar atau bahkan nggak mau tahu bahwa ada banyak masalah dalam pola
asuhnya. Selalu berdalih, “halah masih kecil, ntar kalau sudah gede juga tahu
sendiri,” “biarin aja namanya juga anak-anak,” dsb. Anak yang biasa tidak
diberi ketegasan kapan boleh jajan dan tidak, apa besok gede langsung mengerti
soal batasan? Belum tentu! Bahkan yang
sudah biasa diberikan batasan saja bisa jadi belum juga mengerti kok, apalagi
yang tidak pernah diajari batasan sama sekali.
Maka jangan kaget saat di televisi banyak memberitakan “Anak
SMP Mencoba Bunuh Diri Karena Tidak DIberikan Motor oleh Orangtuanya,” atau “Seorang
Pelajar Nekat Mencuri HP Idaman,” dsb. Ya begitulah… suka duka mengajak orang
tua untuk melek parenting seringkali mandheg ketika yang diajak menjawab “anakku
baik-baik saja kok.” Padahal yang belajar parenting pun tidak semua anaknya
bermasalah, hanya mereka punya prinsip bahwa kenapa harus menunggu masalah datang baru kita belajar,
justru harusnya kita belajar untuk mengantisipasi adanya masalah.
Melihat anak-anak jaman sekarang, baik itu anak sendiri dan
anak-anak tetangga, dimana teknologi sudah menjadi kawannya sejak di dalam
kandungan, ngeri sekali kalau orang tua tidak mau melek parenting. Ada anak
tetangga yang sudah disunat masih belum mengerti rasa malu, pakai baju
sekenanya ke sana kemari. Banyak anak tetangga yang kalau kumpul sama temannya
bukan ngobrol atau main seru-seruan, tapi pegang gadget satu per satu. Belum
lagi anak-anak yang tantrum karena keinginannya tak dituruti, termasuk anakku.
Lah terus apa bedanya dengan anak yang lain kalau anakku yang notabene ibunya suka
belajar parenting masih suka tantrum juga?
Bedanya, ketika anak orang lain akhirnya nangis teriak-teriak
dan bergulung-gulung di lantai, pada akhirnya membuat orang tuanya luluh dan
kemudian memberikan apa yang diinginkannya. “Daripada nangis,” begitu alasan
yang sering aku dengar. Sementara aku berusaha mungkin menguatkan diri dengan
tantrum anakku, mengawasinya agar tetap aman, dan kekeuh bilang, “silakan marah
tapi tidak boleh lama-lama, kalau sudah tenang baru kita bicara ya, nak.”
Sekali dua kali jelas tidak jalan, tapi perlahan tapi pasti anak akan tahu mana
yang bisa dibeli mana yang tidak.
Tantangan Mendidik Anak di Era Penuh Kemudahan
Panjang banget bu prolognya, hehehe.. apa hubungannya sama
PANTANG MENYERAH coba? Anak-anak kita ini generasi yang dimanjakan dengan
teknologi dan kemudahan. Masak nasi ada rice cooker, mau air panas sudah ada
dispenser, mau cuci baju ada mesin cuci, mau cari bahan pelajaran sekolah
googling. Mudah sekali hidup mereka to? Tanpa sadar pun kita sebagai orang
tuanya juga membuat hidup mereka mudah. Entah karena rasa sayang (yang
berlebihan dan tidak pada tempatnya), atau karena malas mendengar mereka nangis
meraung-raung?
Miris lo melihat anak yang sudah duduk di bangku kelas empat
SD belum bisa pakai sepatu bertali, anak yang sudah duduk di bangku kelas satu
SD belum lulus toilet training – di sekolah masih harus diceboki guru saat
buang air, anak SD-SMP belum paham kewajibannya sebagai anak sekolah – tas masih
disiapkan orang tua, PR kalau nggak dikejar-kejar orang tuanya nggak
dikerjakan, anak TK masih banyak yang mau makan kalau disuapi (termasuk anakku,
PR banget ini!). Di satu sisi ada sekolah-sekolah yang mengajarkan anaknya
untuk mandiri dan menyampaikan pada muridnya, “nak, kalau di rumah bantu-bantu
ibu ya, boleh cuci piring, menyapu atau menjaga adik.” Sesampainya di rumah si
anak pun mempraktekkan apa yang diajarkan oleh ibu gurunya, “ma, aku bantuin
cuci piring ya, kata bu guru aku harus bantuin mama.” Mamanya dengan spontan
menjawab, “halah, nggak usah, basah kabeh mengko, bukannya bersih malah
berantakan.” Si anak pun manyun dan ngeloyor main.
Kisah-kisah di atas umum terjadi, siapa yang menyebabkan
anak-anak menjadi seperti itu? Kita… ya, orang tua lah yang merusak fitrah
anak-anak.. termasuk aku! Fitrahnya anak-anak itu baik, mereka suka belajar,
mereka jujur, mereka rajin, mereka ingin tahu segala hal… tapi kemudian fitrah
itu MATI karena orang tuanya MALAS mendampingi mereka belajar.
Anak-anak balita suka tanya ini apa itu apa, orang tua jawab “ah
kamu tanya melulu, cerewet banget sih.” Anak-anak suka membantu orang tuanya di
dapur, orang tua malah mengusirnya disuruh main di luar, nonton televisi atau
main handphone, “gangguin saja, sana lo main game.” Bayi-bayi sebelum subuh
pasti bangun, tapi sama ibunya disusui lagi, “bobok nak, masih pagi.”
Jadi kalau sekarang anaknya nggak pernah mau ngobrol sama
orang tua, nggak suka bantuin orang tua, bangunnya selalu siang… salahnya
anaknya? Enggak… orang tua yang salah!
Generasi yang penuh kemudahan ini jika kita tidak membersamai
proses belajarnya dengan benar bisa melahirkan orang-orang dewasa yang tidak punya inisiatif, ada masalah
sedikit mengalami stress, tidak bisa mencari solusi atas masalahnya sendiri
karena biasa dibantu oleh orang tuanya, sering gonta-ganti pekerjaan karena
tidak tahan dengan aturan, dan masih
banyak lagi deretan masalah yang timbul.
Pals, mendidik anak itu nggak instan lo. Nggak yang kita
ajarin hari ini, besok anak langsung nurut dan paham apa yang kita mau. BIG NO!
Hasil didikan kita itu bisa jadi terasa setelah tiga tahun yang akan datang,
lima tahun kemudian atau bahkan saat si anak-anak sudah dewasa. Jadi mau pilih
yang mana – bersakit-sakit dahulu sekarang tapi bersenang-senang kemudian saat
kita petik hasilnya, atau santai aja lah jadi orang tua, ntar gede anak ngerti
sendiri kok, tapi yang ada bukannya ngerti tapi malah semakin menjadi?
Pengasuhan adalah hutang, jika kita tidak menuntaskan di masa
kecil, mereka akan menagihnya di saat dewasa. Banyak orang-orang dewasa
bermasalah disebabkan karena pola asuhnya di masa kecil karena orang tuanya
yang tidak konsisten.
Enam Tips Mendidik Anak Pantang Menyerah
Pastinya kita nggak mau dong ya jadi orang tua yang nggak aware
sama masalah berkaitan dengan pola asuh anak? So, berikut ini ada beberapa tips
agar kita bisa mendidik anak-anak menjadi anak yang pantang menyerah dan
mandiri;
Pertama, biarkan anak belajar.
Anak bayi mau makan sendiri nggak mau disuapin? Biarin! Tapi
kan kotor… Bisa dibersihkan to?
Anak balita mau ngisi air sendiri dari dispenser? Ijinin!
Ntar basah kuyup… Bisa dilap dan ganti baju to?
Anakku maunya mandi sendiri. Enak dong, kita berkurang tugas
satu lagi, hehe. Tapi pasti nggak bersih mandinya… Nggak papa, ntar sesekali
kita inspeksi mendadak ke anak, bilang bunda mau lihat bagaimana cara kakak
sikat gigi, bersihkan badan dan rambutnya ya.
Anak mau cuci piringnya sendiri habis makan? Kereeen! Tapi
pasti nggak bersih, belum lagi lama mainan air… Bisa dicuci lagi kan? Bisa sambil
dikasih tahu kan anaknya cucinya seperlunya ya airnya?
Anak nggak bilang kalau ada PR, konsekuensi dia dong kalau
nanti di sekolah dimarahin gurunya. Tapi kan kasihan…. Terus mau dikerjain
PRnya si anak? Terus kapan dong anak bisa bertanggung jawab sama pekerjaannya
sendiri?
Habis mainan harus dibereskan dan ditaruh di tempatnya lagi
ya, nak. Faktanya ada teman-temannya di luar yang ngajak main engklek,
keluarlah dia. Sampai di rumah anak merasa capek dan tidak mau membereskan
mainannya. Oke, silakan tidak dibereskan, tapi kamu belum boleh makan malam
kalau mainannya belum dibereskan pada tempatnya. Kasihan dong… Lebih kasihan
mana kalau sampai besar dia tumbuh jadi orang dewasa yang nggak bisa menjaga
kerapian?
Anak ngambek karena ia mewarnai keluar garis, anak ngambek
main lego karena jatuh lagi jatuh lagi, anak ngambek main puzzle karena nggak sabar
mencari kepingan yang dibutuhkan, lalu akhirnya tidak mau meneruskan bermainnya
dan minta mainan yang lain. Ya sudah dikasih mainan yang lain? Menyelesaikan
masalahnya kah? Nggak, pals!
Jangan-jangan anak nggak mau nerusin mewarnai
karena kita keseringan bilang, “kalau mewarnai jangan keluar garis ya, nak…
kalau gunung itu warnanya biru, lo orangnya kok badannya merah..” Jangan-jangan
anak nggak mau main lego sendirian karena kebanyakan kita bantu menyusunnya, hingga
ia terlalu malas menyusunnya sendiri. Jangan-jangan anak nggak mau nerusin main
puzzle karena kita seringkali kurang sabar saat menemaninya main, “ini lo yang kepingan
ini di sini, itu di sana… “ Terlalu banyak instruksi yang tak pada tempatnya
akan membuat anak tumbuh jadi mudah menyerah ketika hasilnya tidak sesuai
dengan bayangannya. Ajarkan anak untuk menuntaskan satu pekerjaan sebelum beralih ke pekerjaan lainnya.
Masih banyak lagi sederet aktivitas yang sesungguhnya
anak pengen belajar dan mengeksplorasi kemampuannya, tapi di sisi lain kita juga
punya banyak alasan untuk tidak mengijinkannya belajar atau tanpa sadar merampas fitrah karunia belajarnya. Dari A, B, C sampai Z… Pilihan
ada di tangan orang tua masing-masing, kalau aku pilih repot sekarang, tapi
hasilnya insya Allah baik ke depan.
Kedua, mulai berikan anak tugas rumah tangga saat usianya tujuh
tahun.
Ini merupakan salah satu PR saat aku mengikuti pelatihannya
Abah Ihsan dua tahun lalu. Saat anak usia tujuh tahun, anak sudah mulai bisa
diajak bertanggung jawab secara aktif. Otaknya juga sudah berkembang memahami
hal-hal yang abstrak. Makanya di usia inilah anak paling siap diajari calistung
dan segala macam praktek ibadah; mengaji, sholat, puasa, dsb.
Jika sebelum usia tujuh tahun, anak hanya diperkenalkan dan
dibiasakan dengan beberapa aktivitas, baik itu aktivitas ibadah ataupun
aktivitas rumah tangga. Di usia tujuh tahun ini anak harus mulai diberi
kepercayaan bahwa ia mampu melakukan tugas, salah satunya dengan memberikannya
tugas rumah tangga. Misalnya minggu pertama, tugas si anak adalah mencuci
piring semua orang di rumah setiap habis makan. Minggu kedua tugasnya berganti
menyapu rumah tiap pagi dan sore. Minggu ketiga ia harus membuang sampah di dalam
rumah ke tong sampah di luar. Minggu keempat ia mengisi air di botol-botol yang
kosong dalam kulkas. Dan masih banyak aktivitas rumah tangga lainnya yang bisa
kita latihkan kepada anak-anak.
Tentu saja karena ini dalam rangka melatih tanggung jawab, anak
pun mendapat konsekuensi jika tugasnya tidak dilaksanakan. Jika tugas belum
tuntas, maka anak tidak boleh mengerjakan hal lainnya. Hak untuk main di luar
rumah, menonton televisi atau main game bisa dicabut saat ia lalai mengerjakan
tugasnya.
Hati-hati tantangan untuk orang tua ketika anak begitu lambat
mengerjakan tugasnya, orang tua biasanya gemes dan akhirnya dikerjakan sendiri
karena tidak sabar melihatnya. Sekali lagi, proses belajar itu nggak instan,
pals.
Ketiga, berikan pujian yang tepat pada anak.
Menurut psikolog ibu Dyah Indah Noviyani, kita harus
membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan bahasa yang tepat. Seringkali
ketika anak selesai melakukan tugasnya, pujian kita begitu standar, seperti; “Alhamdulillah,
anak bunda pintar,” “Masya Allah, anak sholih.”
Pujian yang seperti itu tidak akan menguatkan anak bahwa apa
yang dilakukannya benar dan tuntas. Daripada sekedar memujinya pintar dan
sholih, sebaiknya kita memuji sesuai dengan apa yang baru saja dikerjakannya.
Misal, “alhamdulillah kakak Ifa rajin ya, sudah bangun untuk sholat shubuh,” “Alhamdulillah,
kakak Ifa sudah rajin bersih-bersih, piringnya habis makan dicuci sendiri.”
Selain itu fokuslah pada proses, bukan hasilnya. Bahkan meski
saat mencuci piring anak belum bisa benar-benar bersih, hargai dan pujilah usahanya,
jangan mematahkan semangatnya dengan ujaran, “kok belum bersih sih? Yang bener
dong nyucinya.” Kita bisa menggantinya dengan, “Makasih ya, nak, sudah dicuci
piringnya. Anak bunda rajin sekali. Sini bunda lihat dulu, ooh ternyata masih
ada kotorannya sedikit di sini, mau dibersihkan ulang atau boleh bunda bantu,
nak?”
Keempat, mulai berikan uang saku pada anak di usia tujuh tahun.
Jangan perkenalkan uang pada anak ketika belum siap. Bahkan
anak di bawah tujuh tahun ketika ingin membeli sesuatu harus selalu didampingi
orang tuanya. Bukan hal yang bijak ketika kita memberikan selembar seribuan
lalu membiarkan anak ke warung untuk jajan sendirian.
Memberikan anak uang saku di usia tujuh tahun, bukan lagi
memberikan uang saku secara harian, kita bisa melatihnya secara bertahap apakah
akan diberikan secara tiga hari sekali atau mingguan. Seringkali kita terpatok
untuk mengajari anak menabung, tapi lupa mengajari anak mengelola keuangan.
Padahal orang dewasa yang bisa menabung adalah orang-orang yang pandai dalam
mengelola keuangannya. Jadi, ajarkan dulu anak tentang mengelola uangnya.
Setelah anak tuntas soal bab kelola uang, ia akan lebih bertanggungjawab dengan
uang yang dimilikinya dan kemudian akan belajar menabung uangnya untuk benda
impiannya.
Uang saku mingguan yang diberikan pada anak meliputi uang
jajan di sekolah dan uang jajan di rumah serta hal-hal yang diinginkan anak di
luar kebutuhan sekolahnya. Pada awalnya, yakinlah uang tersebut akan habis
sebelum waktunya, tapi itulah tantangannya… kita sebagai orang tua bisa tega(s)
nggak sama anak.. atau akhirnya kembali mengeluarkan lembaran rupiah dari
dompet, sambil bilang “ini cuma sekali, lain kali bunda nggak bakal kasih lagi
lo.” Ingat konsistensi dan nggak ada yang instan, ciiint.
Jangan kaget juga jika nanti di tengah-tengah proses belajar mengelola
uang, anak-anak akan mengibarkan bendera putih, “udah ah, ma.. uangnya dipegang mama aja, nanti kalau aku
butuh aku minta ke mama.” Bilang ke anak, ada biaya untuk jasa titip dipotong
dari uang sakunya. Belum lagi tantangan dari pihak luar, kaya nenek kakek,
tante, tetangga yang bakal memelototi kita seakan bilang, “kejam banget sama
anak.” Hihihi.
Dan sungguh aku nggak sabar nunggu Ifa berusia tujuh tahun
dan melihat matanya berbinar mendapat uang saku mingguan, kita lihat berapa
lama ia mampu menaklukkan tantangan itu, hehehe.
Kelima, berikan jadwal yang jelas untuk hal-hal tertentu.
Banyak tetangga yang mengeluh anaknya hobi banget jajan,
kalau nggak dituruti nangis. Helooo, nangis itu memang usaha si anak buat bikin
orang tuanya luluh dan nggak tega, akhirnya dituruti deh. Besoknya ketika
nangis sudah nggak bikin orang tuanya luluh, anak bakal teriak-teriak,
gulung-gulung bahkan sampai jedukin kepala di tembok, tujuannya apa? Biar
diturutin!
Mau pilih yang mana, anak nangis sekarang karena belajar
sesuatu atau anak nangis saat dia sudah dewasa karena sadar tidak ada satupun
hal yang diajarkan orang tuanya mengenai kehidupan?
Maka, jadwalkan kapan boleh jajan, kapan boleh main di luar,
kapan boleh nonton televisi, kapan boleh beli buku, kapan boleh beli mainan dan
sebagainya. Oya, batasan ini dibuat ketika perilaku anak mulai meresahkan ya,
pals. Jika perilaku anak masih dalam batas wajar ya, it’s okay kalau nggak mau
dibatasi. Misal, dulu Ifa bukan anak yang suka jajan, aku sendiri juga nggak
pernah nawari jajan ke doi. Tapi ketika sekarang mulai sekolah dan banyak
kumpul dengan temannya, dia mulai tahu jajan dan kalau diturutin semua bakal
diminta. Finally, aku kasih jadwal ke dia sesuai dengan perjanjian yang kami
buat. Setiap bulan perjanjian itu akan diperbaharui, misal bulan ini dia minta
jadwal jajannya setiap hari minggu, bulan lalu setiap hari sabtu.
Jalankah jadwal itu? Jalan dong… Nggak nangis gitu si Ifa
nya? Yo mesti nangis kalau lagi kumat, hahaha. Seperti yang aku bilang di awal,
yang dibiasakan dengan batasan saja masih sering melanggar. Ya, kaya kita lah
yang udah dewasa aja masih suka nggak pakai helm saat motor dengan alasan
perginya cuma deket kok
.
Keenam, KONSISTEN!
Kelima tips di atas nggak bakal jalan kalau orang tuanya
nggak konsisten alias nggak istiqomah. Ini juga yang masih jadi PR buesar buat
aku. Aku kadang masih malas mendengarkan anak nangis, masih merasa kasihan yang
tidak pada tempatnya, sehingga akhirnya aku sering merusak proses yang sedang
aku jalani sendiri.
Sumpah, konsisten itu nggak mudah. Tapi bukan berarti nggak
bisa! Kerja sama dengan suami penting banget. That’s why ketika kita memutuskan
peraturan dan konsekuensi untuk anak, suami juga kudu ngerti agar sejalan.
Jangan yang kita memutuskan A tapi nggak kasih tahu suami, anak bisa jadi
bingung dan akan selalu berlindung di belakang ayahnya.
Berjamaah dengan komunitas parenting juga sangat membantu
untuk konsisten. Saat kita down menjalani proses mengasuh anak yang penuh air
mata dan tetesan keringat, ada teman-teman yang selalu siap mendengarkan dan
mendukung usaha kita. Karena belum tentu tetangga, orang tua dan keluarga di
sekitar bisa memberikan dukungan, yang ada kita dinyinyirin… “ya elah, anak cuma
minta permen seribu aja nggak dikasih, bu..” Bukan masalah permennya, tapi
masalah berlebihannya bu, masalah adab euy!
Anak-anak bisa jadi tumbuh menjadi orang dewasa yang mudah
menyerah karena terlalu dijejali kemudahan dalam hidupnya, karena tidak dibiasakan
menaklukkan tantangan dalam kesehariannya, karena kesempatannya untuk belajar
dan bereksplorasi tanpa sadar kita rampas. Maka maukah kita bersabar sedikit
mengenyahkan rasa malas dalam diri untuk membersamai mereka belajar, “Jadi anak
pantang menyerah itu keren lo, nak… yuk teruskan mewarnainya, nggak papa keluar
garis sedikit, masih tetap bagus kok,” “jadi anak pantang menyerah itu keren
lo, nak… nggak papa legonya jatuh lagi jatuh lagi, kan kakak masih bisa
mengambil dan menyusunnya lagi, bunda penasaran mau dibikin apa sih ini?” “jadi
anak pantang menyerah itu keren lo, nak… ayo kita cari sama-sama kepingan
puzzle-nya, nah ketemu.. kalau yang ini ditaruh di mana ya..?”
Pals, jadi orang pantang menyerah itu keren lo… yuk jangan menyerah untuk terus belajar jadi orang tua yang lebih baik demi anak-anak kita. Terima kasih sudah
mampir dan sampai jumpa di postingan berikutnya!
Wassalammualaikum warohmatulahi wabarokatuh.
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah
Itu PR buat para orang tua, termasuk saya. :) Apalagi anak saya sering tantrum kalau kemauannya nggak dituruti. :(
ReplyDeleteSama mbak.. kalau konsisten dengan batasan, insya Allah bisa teratasi sih mbak. Tapi seringnya Kita nggak konsisten ya.
DeleteBenar banget. Semua kembali pada orang tua. Tapi, orang tua yang kaya 'gitu' banyak banget. Apalagi sekarang. Anak dibiarin main sendiri, ibunya main hp. :(
ReplyDeletesalah satu cara membuat anak pantang menyerah adalah membuatnya terbiasa untuk mencuci seragamnya sendiri
ReplyDelete