Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Sejak kemarin aku mulai ikut Rumah Belajar Menulis IIP
Kaltimra (Kalimantan Timur dan Utara) yang sedang menjalankan program ODOS
alias One Day One Status. Jadi setiap hari kami akan ditantang untuk menulis
berdasarkan tema yang telah ditentukan, ya semacam One Day One Post gitu deh.
Bedanya ODOS boleh dikerjakan dimana saja, maksudnya tidak harus dituliskan di
blog, namun bisa sebagai caption Instagram atau status Facebook. Aku sendiri tetap
memilih blog sebagai tempat menuangkan ide-ideku dalam program ODOS ini karena sekalian
menantang diriku untuk bisa update blog sehari satu postingan, setelah bulan
lalu gagal ikut ODOP-nya Blogger Muslimah.
Sebenarnya ODOS Rumbel IIP Kaltimra sendiri sudah berjalan selama
tujuh hari, tapi aku baru masuk di hari keenam, itu artinya aku masih punya
hutang lima tema, hehe. Oke deh, pelan-pelan insya Allah aku garap, itung-itung
sebagai refreshing setelah mengerjakan beberapa artikel konten dalam to do
list-ku.
Hari ini temanya tentang GALAU. Hmm, luas sekali ya temanya. Dari
tadi pagi aku mencari hal apa saja yang sering bikin aku galau. Dari galau
mikirin ASI vs Sufor, working mom vs full time mom, pro vaksin vs anti vaksin,
atau nonton film G30SPKI vs tidak nonton… weleh kok malah berasa mau bikin mom
war, wkwkwk.
Menurut KBBI,
galau/ga·lau/ a,
bergalau/ber·ga·lau/ a sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan
(pikiran);
kegalauan/ke·ga·lau·an/
n sifat (keadaan hal) galau
jadi kalau kita simpulkan galau artinya sesuatu yang
menimbulkan kekacauan pada pikiran. Dan jujur saat ini yang bikin pikiranku
lagi kacau yaitu menentukan akan kemanakah Ifa sekolah setelah lulus TK tahun
ajaran ini.
Sebenarnya tempat Ifa bersekolah sudah lengkap jenjang
pendidikannya, dari PAUD, SD, SMP hingga Sekolah Kejuruan sudah tersedia. Kalau
aku mau, bisa saja nggak perlu pikir panjang, tinggal meneruskan saja stay di
tempat tersebut. Namun dalam prosesnya ternyata tidak sesederhana itu.
Visi pendidikan keluarga kami yang mulai bergeser dan
beberapa pilihan sekolah yang mulai hadir membuat hatiku semakin galau. Anaknya
sendiri kalau ditanya senang-senang saja kalau meneruskan sekolah di tempat
yang sekarang, tapi kalau memang harus pindah ke sekolah yang baru ya nggak
apa-apa.
Salah satu hal yang bikin aku menggalau soal sekolah yaitu
karena sekolah dasar adalah peletakan dasar yang paling lama dalam proses
kehidupan seorang anak. Buatku, ini nggak main-main. Selama kurang lebih enam
tahun, anak ini akan bersama dengan lingkungan sekolah tersebut, bersama guru
dan teman-teman yang sama, yang mau tidak mau akan membantu proses pembentukan
pribadi sang anak ke depannya.
Tidak ada yang salah dengan sekolah Ifa sekarang. Toh, tiap
sekolah pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun kembali lagi
pada soal visi keluarga kami yang mulai bergeser. Mulai muncul pertanyaan demi
pertanyaan di dalam hati, mulai muncul pertanyaan demi pertanyaan dalam perbincanganku
dengan suami, kalau Ifa stay di sekolah ini bagaimana enam tahun ke depan,
kalau Ifa pindah ke sekolah B nanti bagaimana soal ini, kalau Ifa pindah ke
sekolah C bagaimana soal itu… dan banyak lagi hal-hal bermunculan untuk
dijadikan pertimbangan.
Sebenarnya kalau mau dibikin mudah, masukkan saja Ifa ke
sekolah negeri di dekat rumah, nggak perlu keluar biaya banyak, jaraknya dekat,
tapi apa urusan selesai? Oke, aku setuju bahwa tanggung jawab pendidikan anak terletak
pada kedua orang tuanya. Namun justru karena itulah aku nggak bisa main-main dalam
menentukan partnerku soal pendidikan anak. Kenapa tidak di sekolah negeri?
Karena hingga saat ini aku belum sepenuhnya yakin dengan pendidikan yang dikelola
pemerintah. Maafkeun, teman-teman guru…
Pernah berkecimpung menjadi pengajar di sekolah negeri,
melihat om dan bulik yang masih menjadi guru di sekolah negeri dengan pola
pikir yang belum banyak berbeda, belum lagi kurikulum yang berganti-ganti dan meski
mulai membaik, namun angka masih banyak mendominasi sebagai ukuran kecerdasan
seorang anak… itulah beberapa hal yang hingga detik ini membuatku belum rela menyekolahkan
Ifa ke sekolah negeri. Aku tidak bilang sekolah negeri itu buruk, hanya saja
tidak sesuai dengan visi keluarga kami. Sekarang sudah banyak guru-guru muda
bermunculan yang penuh semangat dan kreativitas di sekolah negeri, bahkan meski
mereka hanyalah guru honorer yang pendapatannya tidak sepadan dengan apa yang
mereka berikan ke anak didiknya. Namun sayangnya kemunculan guru-guru keren ini
belum merata di semua tempat. Semoga saja semakin banyak guru-guru seperti mbak
Diyanika dan Chela, blogger cantik yang juga guru SD jempolan, hadir di
belantara pendidikan Indonesia. Aamiin.
Oke, back to kegalauanku. Dengan alasan tersebut, aku jelas
langsung skip pilihan untuk menyekolahkan Ifa ke sekolah negeri. Jangan dipikir
aku banyak duit karena bisa nyekolahin anak di sekolah swasta, aku cuma yakin
saja bahwa anak punya rejekinya sendiri dan ketika kita berniat akan sesuatu
untuk menggapai ridho Allah, Allah pasti akan memudahkan. Itu juga yang terjadi
ketika aku nekat menyekolahkan Ifa di sekolahnya yang sekarang. Untuk ukuran
ekonomi keluarga kami, bisa menyekolahkan Ifa di sekolah tersebut cukup
mencengangkan. Namun akhirnya setelah dijalani, Alhamdulillah bisa. Bahkan
banyak rekan kerja suami yang terpana melihat Ifa sekolah di sana, hehe. Yakali
mereka ngitung gaji suami, tahunya aku cuma IRT yang nggak berpenghasilan, kok
bisa nyekolahin anak di sekolah tersebut, sementara mereka yang gajinya
berlipat-lipat mundur teratur, hehe. Aku selalu bilang sama suami, “kalau ada
yang gumun, bilang saja sama mereka, bukan kita yang bayarin sekolah, Allah
yang bayarin.” Hehe.
Well, sebenarnya tahun lalu aku sudah pernah menulis soal
tips memilih sekolah untuk anak, especially untuk tingkatan PAUD di blog,
judulnya 8 Pertimbangan Memilih Sekolah Ala Bunda Hanifa. Hari ini aku kembali
membacanya, dan sepertinya 8 hal tersebut juga masih menjadi pertimbangan
untukku memilih sekolah dasar untuk Ifa. Setidaknya membaca kembali artikel
tersebut rasa galauku sedikit terobati.
Dengan membaca ulang artikel tersebut, aku kini juga bisa
menyimpulkan tips anti galau memilih sekolah dasar untuk anak, tentu saja ini
versiku ya. Kalian pasti juga memiliki versi sendiri kan, pals? Boleh lo nanti
kalian ceritakan di kolom komentar hal apa saja yang menjadi pertimbangan saat
menentukan sekolah dasar bagi anak. Kalau aku, berikut ini pertimbangan yang
sedang aku godok sebelum ketok palu sekolah dasar mana yang aku pilih untuk
Ifa;
Pertama, visi pendidikan dalam keluarga kami yaitu mendidik
anak sesuai fitrahnya. Maka kami wajib memilih sekolah yang menyadari arti
penting pendidikan berbasis fitrah. Selanjutnya tentu saja mendidik anak sesuai
tuntunan syariat yang kami yakini. Karena kami meyakini Islam sebagai jalan
hidup dan Al Quran serta Sunnah sebagai pedoman dasar kehidupan, maka kami
perlu memilih sekolah yang dijalankan dengan dasar tersebut.
Ada beberapa teman yang beranggapan jika anak disekolahkan di
tempat yang hanya ada satu agama saja, maka nantinya anak akan susah
bertoleransi dengan teman-teman beragama lain. Untuk hal ini aku tidak
sependapat. Menurutku jika anak diarahkan untuk memahami Al Quran dengan benar,
insya Allah anak pasti tahu bagaimana bertoleransi sesuai yang diajarkan dalam
Islam. Toleransi harus pas ukurannya, tidak kurang, tidak juga dilebih-lebihkan.
Saat ini ada tiga sekolah dalam daftar pilihanku yang insya
Allah memenuhi kriteria pertama ini. Selanjutnya aku harus kembali
mengerucutkannya hingga menjadi satu nama sekolah saja.
Kedua, kualitas tenaga pendidik di sekolah tersebut. Tidak
hanya soal kualitas kurikulum, cara mengajar, kreatif atau tidak kreatif, dekat
atau tidak dengan anak, namun cara berpakaian guru di sekolah dan di rumah juga
menjadi pertimbangan buat aku. Segitunya? Iya! Jadi aku punya beberapa tetangga
guru yang mengajar di sekolah berbasis Islam. Ada sesuatu yang menggelitik
nuraniku mengenai hal ini. Ada seseorang yang saat mengajar ia menggunakan
kerudung, namun ketika di rumah kerudungnya sering tidak digunakan padahal
sedang di luar rumah.
Kalau kata orang Jawa guru itu sing digugu lan ditiru. Aku
tidak bisa membiarkan anakku mendapat contoh yang kurang sesuai dengan prinsip
yang selama ini aku ajarkan padanya. Itu kenapa aku harus tahu guru-guru di sekolah
pilihanku juga memegang prinsip yang sama denganku. Bahwa hijab adalah
kewajiban yang harus ditaati oleh seorang muslimah, bukan pilihan, apalagi sekedar
ikut tren fashion. Dan pilihanku akan jatuh pada sekolah yang guru perempuannya
berkerudung lebar menutup dada dan mengenakan pakaian yang tidak menyerupai
lelaki sesuai tuntunan al Quran.
Ketiga, sekolah yang mengajarkan adab dengan baik. Ketika aku
mulai belajar pola pengasuhan anak secara lebih intens, aku mulai belajar
tentang “iman sebelum adab, adab sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal”.
Sebelumnya ketika memilih sekolah aku hanya berpatokan pada sekolah tersebut
harus melihat bahwa setiap anak itu unik, bahwa anak punya kelebihan dan
kecerdasan yang berbeda, bahwa anak harus belajar secara fun dan tidak
terpaksa, bahwa ada 12 kecerdasan majemuk, dan sebagainya.
Namun kini aku mulai mencari sekolah yang bisa menjadi
partnerku untuk memberikan pijakan iman kepada seorang anak sebelum dia diajari
adab. Bahwa ia harus yakin dulu dengan keberadaan penciptanya sebelum diajari
mengenai aturan ini itu. Bahwa anak harus memiliki kesadaran kenapa ia
mengerjakan sholat, membaca al quran, dan segala hal ibadah lainnya, bukan
karena disuruh orang tua atau guru, tetapi karena kecintaannya pada Rabb-nya.
Aku juga ingin menemukan sekolah yang mengajarkan anak untuk
memahami kapan waktu belajar, kapan saatnya bermain, bagaimana sikap terbaik
saat guru sedang mengajari sesuatu, bagaimana cara menghormati guru, dan
hal-hal lainnya yang kini mulai terkikis oleh jaman. Entahlah kadang aku merasa
banyak anak mulai kurang ajar dengan gurunya. Beberapa teman dosen bahkan
bercerita bagaimana perilaku mahasiswa sekarang, kirim pesan tengah malam
dengan bahasa informal. Kenapa bisa seperti ini, karena mengajarkan adab
sebelum ilmu mulai dilupakan.
Untuk hal ini aku butuh main dulu ke sekolah incaran, lihat
bagaimana para gurunya mengajar, bagaimana siswanya bertingkah laku. Aku juga
ngobrol dengan beberapa teman yang menyekolahkan anak-anaknya di situ, apakah
ada perubahan setelah sekolah di situ, dan sebagainya.
Keempat, seperti yang tadi aku sampaikan di awal bahwa pendidikan
anak tetap saja tanggung jawab orang tuanya. Maka aku membutuhkan sekolah yang
membuatku tidak langsung lepas tangan dengan proses pendidikan yang ada. Aku
membutuhkan sekolah yang merangkul dan mengajakku untuk berperan serta dalam
proses pendidikan anakku. Sekolah yang tidak hanya menjadi tempat belajar bagi
anakku, namun juga sebagai kawah candradimuka untukku; menggodokku untuk lebih
baik lagi. Sekolah yang tidak hanya memfasilitasi orang tuanya hadir pada acara
parenting, namun juga mewajibkannya hadir demi keberhasilan proses pendidikan
anaknya. Sekolah yang tidak hanya mengajak orang tua belajar tentang pola asuh
anak, namun juga memberikan tempat untuk orang tua mempelajari kandungan al
quran dan sunnah sehingga bisa membersamai proses belajar anak semakin baik.
Kelima, jumlah siswa dalam satu kelas. Sebenarnya hampir
semua sekolah swasta yang aku tahu sudah mulai membatasi jumlah siswa dalam
satu kelas, bahkan sekolah negeri pun juga sudah memberlakukan batasan ini. Nggak
seperti jamanku waktu masih mengajar di sekolah negeri yang jumlah siswa dalam
satu kelas pernah mencapai lima puluh tiga anak, ih wow banget deh pokoknya.
Saat ini rata-rata semua sekolah membatasi jumlah siswa per kelas tidak lebih
dari 30, malah kalau sekolah swasta banyak yang sekelas jumlah siswanya di
bawah 25 dengan dua orang guru untuk kelas-kelas kecil (kelas 1 – 3).
Tapi dengan pengalaman waktu menemani Ifa di dalam kelas
beberapa waktu lalu karena ada sesuatu hal, ternyata dengan jumlah dua puluh
empat anak di dalam kelas dengan dua orang guru pun masih belum efektif. Maka
aku mulai selektif memilih sekolah yang membatasi jumlah siswa dalam satu kelas
tidak lebih dari 15 orang.
Dari lima hal yang aku gunakan sebagai pertimbangan, pilihan
sekolah dasar idaman pun mulai mengerucut. Namun untuk bisa masuk ke sekolah
tersebut ternyata persaingannya pun semakin ketat. Jumlah siswa yang mendaftar dengan
yang diterima cukup bikin deg-degan dan kembali bikin galau. Belum lagi ada
sisi hati yang berbisik, beneran sanggup di sekolah itu, nggak ketinggian tuh
buat kamu, hehehehe. Kalau sudah begini, maka cukup berikhtiar sebaik mungkin
hingga hari pendaftaran tiba lalu pasrahkan hasilnya pada Allah. “Ya Allah, pilihkan
sekolah terbaik untuk anakku, pertemukan anakku dengan guru-guru terbaik agar
semakin baik mengenal dan mencintaiMU serta ajaranMU. Aamiin.”
Semoga saat Desember tiba dan pendaftaran sekolah-sekolah
idaman mulai dibuka, Allah sudah membantuku mengambil keputusan terbaik dan
tidak ada lagi galau di hatiku.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
#OneDayOneStatus
#Day7
#BelajarMenulis
#IIPKaltimra
Jadi ikutan mikir deh mom Rit..
ReplyDeleteJuga untuk Arfa kedepannya, kira-kira sekolah dasar mana ya yang "pas" untuk Arfa..apa Arfa sudah siap sekolah tingkat dasar ketika usianya nanti masih 6 tahun ketika lulus TK B, yang jelas pasti gak masuk sekolah negeri, hehe..pengen bidik ke sekolah yang bagus itu, tapi apa sanggup perjalanannya yang jauh, dan pasti pertanyaannya juga "apa anakku mampu ya mengikuti ritme pendidikan sekolah dasar untuk usianya saat itu".. Malah kegalauan datang lagi, apa Arfa sekolah TK B lagi setahun biar dia genap usia 7 tahun dan sudah bisa mengendalikan diri dan fokus pada apapun yang sedang ia pelajari.. Duh, ikutan galaau.. Hehhee
Hihihi, jangan ikutan galau dong. Mulai di list aja kebutuhan Dan visi misi pendidikan keluarga apa, terus survey deh sekolah yang diinginkan.. insya Allah galaunya hilang deh :)
DeleteTerimakasih
ReplyDeleteSangat bermanfaat sekali utk sy pribadi yg lg galau pilih sekolah baik yg sesuai.dg visi misi tp biayanya lumayan tinggi vs yg biasa aja tp kualitas gurunya jg bikin ketar ketir
Aplg nanti si kecil akan sekolah.slama 6 tahun
Insya Allah kalau urusan biaya, selama kita yakin Allah bakal bantu mbak. Asal ketika milih kita libatkan Allah, beres deh semua :)
Delete