Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Jika aku diminta untuk
menceritakan tentang kota yang memiliki benang merah dengan kehidupanku, maka
dua kota ini yang akan aku sebutkan. Semarang sebagai kota kelahiranku, dan
Salatiga sebagai kota tempatku dibesarkan dari sejak usia tiga tahun hingga
memasuki bangku kuliah.
Beberapa orang yang
pernah singgah dan tinggal di Salatiga pasti akan langsung jatuh cinta dengan
kota yang sejuk ini. Kota yang terkenal akan sate sapi Suruh, wedang ronde dan
enting-enting gepuknya ini memang kota yang adem. Bukan hanya adem udaranya,
namun atmosfir hubungan sosialnya pun sangat adem. Namun itu tidak berlaku untukku.
Sekitar 15 tahun aku
menjalani hari-hariku di kota kecil itu, dan hampir sebagian detiknya aku
habiskan dengan amarah dan air mata. Udara sejuk yang konon menjadi impian
orang-orang untuk tinggal di kota ini justru sama sekali tidak memberikan kedamaian
di hatiku. Pertengkaran, pertikaian, konflik dan segala drama yang terjadi di
rumah telah membuat Salatiga panas membara untukku.
Jika bukan karena Allah
mengirimkan orang-orang terbaiknya menjadi sahabat-sahabatku saat itu, entah
apa jadinya aku…
Hingga akhirnya takdir
mempertemukanku kembali dengan kota Lunpia dan wingko babat. Kota yang terkenal
dengan matahari yang menyengat begitu tajam, menusuk pori-pori kulit dengan
sinarnya yang dahsyat, namun entah kenapa selalu memanggilku untuk bersemayam.
Kota yang memiliki
udara berkebalikan dengan Salatiga ini justru menawarkan keramahan yang maha
dahsyat kepadaku. Di kota ini aku menemukan pelabuhan hati yang kemudian
kunamai cinta. Di kota ini pula aku temukan sahabat-sahabat baru, dari sahabat
yang sempat menjadi teman menikmati ketidakwarasan hidup hingga sahabat-sahabat
yang kini banyak mengingatkanku dalam kebaikan dan kesabaran. Dan di kota ini
pula aku kemudian melahirkan buah-buah cintaku.
Semarang, kota yang
empat belas tahun terakhir menjadi tempatku menyusun aksara kehidupan, akan
selalu menjadi kota favoritku. Meski panasnya menyengat, namun aku tetap suka
memandangi Lawang Sewu dari bundaran Tugu Muda sambil menikmati pemandangan air
mancurnya, juga tawa anak-anakku yang berkejaran dengan ayahnya. Meski matahari
seakan menjadi sahabat karib kota ini, namun aku tetap selalu cinta pada
Simpang Lima dengan segala keramaiannya di malam hari saat semua strata
masyarakat berkumpul menjadi satu.
Semarang, kota yang
kini mulai menata diri dan semakin indah dipandang… tetaplah menyusupkan
kedamaian di hatiku dan para penghunimu. Dan Salatiga, kau akan tetap menjadi
kota bersejarah untukku. Seringkali rindu hadir menyusup ke relung hati untuk
kembali singgah padamu, bertemu dengan kawan-kawan masa kecil yang pernah memberi
arti. Salatiga… tetap tebarkan kesejukanmu, meski bukan untukku.
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
#OneDayOneStatus
#Day6
#BelajarMenulis
#IIPKaltimra
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com