Mungkin membaca judulnya akan banyak yang mengira bahwa
artikel ini bertema parenting tentang tips membatasi penggunaan TV di rumah. Pals, jika kalian berpikiran seperti itu
maka dugaan kalian salah besar. Catatan ini justru sebuah curcolan panjang
lebarku tentang kepergian ibunda tercinta kurang lebih 40 hari yang lalu.
Ada
banyak hal yang ingin tertulis, namun setiap kali keinginan menulis itu
menyeruak aku hanya mampu tergugu dan masih tak percaya bahwa ibu telah
benar-benar tiada. Aku baru bisa sungguh yakin beliau telah tenang di alamnya
yang lain setelah mengunjungi makamnya.
Ya.. saat kepergian ibu aku memang tidak bisa mengantarkannya
hingga ke peristirahatan terakhirnya karena ada bayi berusia seminggu
menggelendot manja di gendonganku.
Satu hal yang paling terasa bedanya setelah kepergian ibu
adalah TV di rumah ini tak pernah lagi menyala. Penonton setia TV di rumah
hanyalah ibu. Aku, suami dan anakku bukanlah pecinta TV.
Ketika kami butuh
informasi atau hiburan, kami lebih sering mencarinya lewat YouTube atau
streaming. Kalaupun kami ikut nonton TV dipastikan karena saat itu kami
tertarik dengan materi acaranya, atau sedang dalam proses menyuapi atau
memandikan ibu.
TV di rumah hanya menyala di jam-jam tertentu. Hanya pada
acara-acara kesukaan ibu. Biasanya jam tiga pagi ibu sudah bangun, setengah
empat beliau akan membangunkan suami untuk menyalakan TV dan memosisikan di
channel TVRI.
Serambi Islami biasanya akan membuka pagi ibu hingga pukul enam,
dilanjut dengan menikmati Curhat Dong, Mah – acara tausiyah dari Mamah Dedeh.
Setiap pagi TV akan menyala hingga pukul 9 atau 10, tergantung apa ada FTV
religi yang menarik untuk beliau tonton. Setelah itu TV akan mati hingga sore
hari.
Jam 5 sore ibu pasti meminta TV dinyalakan. Karena beliau biasa berpuasa
sunnah, beliau sering menunggu adzan magrib di TV sebagai tanda berbuka. Maklum
rumah kami jauh dari masjid, seringkali adzan tidak terdengar dari rumah.
Selanjutnya ibu akan menikmati Hitam Putih. Di hari-hari tertentu TV akan menyala
jika Mata Najwa, ESQ-nya Pak Ary Ginanjar, Kick Andy atau I’m Possible sedang
tayang. Dan sekarang kebiasaan itu telah punah.
Ruang TV menjadi tempat paling
sunyi di rumah kami. Rak-rak buku yang belum ditata rapi memenuhi ruangan itu.
Kami belum sempat menyusunnya sebagaimana lubang di hati kami yang belum sembuh
benar.
***
Kematian bukanlah sesuatu yang bisa ditebak kapan datangnya.
Sesiap apapun kita menyambutnya, sesiap apapun kita menghadapinya, kematian
akan tetap menjadi hal yang mengejutkan.
Begitu juga ketika aku dengan sangat
sadar harus melepas kepergian ibu. Dengan kondisi ibu selama 16 tahun terakhir,
kami telah sering berbincang tentang bagaimana seandainya hari ini datang.
Kematian bahkan tak jarang mengisi candaan-candaan kami, bagaimanapun ketika
hari ini akhirnya tiba… aku tetap saja kehilangan… aku tetap saja mengkhianati
janjiku pada ibu untuk tak berair mata.
Sejak 2011 Allah sudah menempaku dengan kehilangan demi
kehilangan yang mengejutkan. Diawali dari kepergian Yangti pada 1 Februari
2011, disusul dengan kepergian bapak pada 21 Maret 2011, lantas kepergian adik
pada 8 Februari 2013 dan kemudian kepergian yangkung pada 30 Maret 2014.
Allah
membukakan mata bahwa cara terbaikNYA seringkali tak terduga. Yangti meninggal
setelah koma sebulan lamanya, bapak yang meninggal setelah kami kira tertidur
lelap, adik yang meninggal di perjalanannya ke sekolah dan yangkung yang
meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit selama dua minggu.
Dari lima orang di foto ini hanya tinggal aku dan suami :( |
Melepaskan empat kepergian orang-orang terkasih dengan cara yang berbeda-beda dalam jarak yang tak berselang lama itu terkadang membuat nyaliku ciut untuk bermimpi indah. Seringkali ketika lembar baru sebuah kalender dibuka, aku bertanya-tanya “haruskan aku melepaskan seseorang lagi di tahun ini?”
Begitu juga ketika tahun 2016
dibuka, pertanyaan yang sama kulemparkan tanpa meminta jawaban. Namun Allah
menjawabnya di penghujung tahun.
Firasat itu muncul bertubi-tubi. Bukan aku tak menyadarinya,
mungkin aku mencoba menyangkalnya. Siapa yang bisa menerima orang yang terkasih
akan pergi?
Meski seringkali ketika lelah ini memuncak ada separuh diri yang
berbisik, “semua akan jauh lebih mudah
bukan jika ibu berpulang? Kamu bisa pergi selama mungkin tanpa khawatir
bagaimana ibu di rumah, kamu bebas dari tanggung jawab untuk merawatnya…”
Separuh diri yang lain menentang pendapat itu, “apa kau yakin bisa menjalani hidup tanpa
rapalan-rapalan doa ibu? Tak kah kau sadar semua kenikmatan yang kau rasakan
sekarang tidak sepenuhnya karena kerja kerasmu, tapi karena doanya yang tanpa
henti? Apa kau yakin bisa melewati masa-masa selanjutnya tanpa
petuah-petuahnya…” Dan ya, itu semua kubenarkan.
Apa aku sanggup? Ketika
lelahku hadir dalam masa-masa merawat ibu, benih-benih pikiran inilah yang
menguatkanku. Seburuk apapun kondisi ibu, toh aku masih sangat membutuhkannya.
Meski ibu tak bisa berjalan, tak bisa duduk, tak bisa bangun, tak bisa
menggerakkan tangan dan kakinya, melakukan semua hal harus dibantu, namun ibu
selalu jadi teman bicara yang menyenangkan. Ya, walaupun kami tak jarang
berbeda pendapat yang kemudian berlanjut saling berdiam diri, namun
kehadirannya tetap saja kubutuhkan.
Dan ketika firasat demi firasat muncul sedemikian cepat aku
tak sanggup mengatakannya pada ibu. Kusimpan sendiri sambil merapal doa semoga
ini hanyalah ketakutan yang berlebihan.
Jum’at, 18 November 2016 mbak Narti yang memasakkan sayur
untuk keluarga kami datang dengan sepanci sayur dan sepiring lauk seperti
biasa. Namun kali ini di tangannya juga ada sepiring buah nangka.
Aah, tahu
saja kalau aku dan ibu sedang ngidam makan nangka. Tanpa babibu aku
mencicipinya. Rasanya begitu manis dan kisat sesuai bayanganku.
Kalau nggak
ingat perut bisa melilit kebanyakan makan nangka, rasanya ingin kuhabiskan
sepiring nangka tersebut saat itu juga. Kuhentikan kekalapanku di suapan yang
kelima. Ibu juga turut mencicipi dua buah potong nangka.
Ibu dan Ifa - 2012 |
Ibu dan bapak |
Desember 2015 - Ultah Rame-rame |
Desember 2015 - family gathering |
2002 - setelah kepergian yangyut |
2008 - Aku bersama ibu di malam midodareni |
Siapa sangka nangka yang baru saja dipetik dari pohonnya dan
begitu manis di mulut itu, getahnya masih menempel dan menimbulkan gatal di
tenggorokan. Aku merasakan tenggorokanku sakit setelah selesai mengajar PAUD.
Rasanya saat itu jengkel, baru saja sembuh dari batuk kok ya harus batuk lagi. Apalagi
saat itu kehamilanku sudah semakin besar, saat batuk menyerang perut rasanya
nggak enak banget.
Setibanya di rumah, ternyata bukan aku saja yang merasakan
sakit di tenggorokan, ibu dan suamiku
pun merasakan hal yang sama. Sejak jumat itu pun kami bertiga terserang
batuk karena getah nangka, untungnya Ifa tidak menyentuh buah itu sedikit pun
hingga dia aman dari tenggorokan gatal yang menyiksa.
Rasa sakit di tenggorokan itu berkembang menjadi batuk
berdahak berkepanjangan. Aku dan suami tentunya mudah saja mengeluarkan dahak
kami setiap kali batuk datang, namun untuk ibu mengeluarkan dahak adalah hal
yang tidak mudah.
Entahlah ibu kesusahan berdehem, apalagi mengusahakan dahak
itu bisa keluar dari tenggorokannya. Lambat laun dahak itu menggumpal di dada.
Kami telah memberikan beliau minuman hangat lebih sering dengan maksud agar
dahak mengencer dan mudah dikeluarkan.
Suami tiap malam juga membelikan wedang
jahe geprek untuk beliau agar tenggorokannya lebih enakan dan dahak bisa
keluar. Namun semua usaha belum ada hasilnya.
Hari Senin, 21 November 2016, Om Bambang, adik ibu nomor dua, datang bersilaturahmi
ke rumah. Masih teringat jelas kami masih tertawa-tawa hari itu membicarakan
banyak hal.
Hari Selasa, 22 November 2016, seperti yang kami rencanakan, kami
mengundang Mbak Rahma, terapis pijat langganan kami untuk datang ke rumah. Kami
rutin tiap bulan memanggil Mbak Rahma agar badan yang pegal, masuk angin bisa
teratasi.
Hari itu meski dahak mengganggunya, ibu masih terlihat sehat dan
ceria. Beliau masih ngobrol dengan mbak Rahma begitu ceria. Bahkan ibu sempat
meminta agar Mbak Rahma bersedia memandikan beliau selama aku berada di rumah
sakit.
Ya, dulu saat lahiran Ifa, aku masih terbantu dengan adanya almarhumah
adik. Aku tidak khawatir tentang siapa yang akan memandikan ibu saat aku
lahiran.
Kini karena cuma ada aku, suami dan Ifa, kami jelas harus sudah
mempersiapkan dengan matang siapa yang akan memandikan ibu dan menjaga ibu di
malam hari saat aku harus rawat inap di rumah sakit. Mbak Rahma saat itu juga
menyanggupi permintaan ibu.
Rencananya mulai tanggal 1 Desember, Mbak Rahma
akan mulai mengambil alih tugasku hingga proses penyembuhanku pasca lahiran
selesai.
Sematang-matangnya rencana manusia ternyata tidak lebih
matang dari rencana Sang Pemilik Hidup. Biasanya selesai dipijat, ibu akan merasa
tubuhnya bugar dan malamnya akan tidur lebih lelap. Saat itu pun ibu merasa
badannya lebih segar.
Namun entah kenapa matanya tidak bisa terpejam sama
sekali meski keinginan untuk tidur sangat kuat. Kondisi itu berlanjut hingga
hari Kamis. Bayangkan bagaimana rasanya tidak tidur selama tiga hari?
Anehnya meski tidak tidur selama tiga hari, pada suatu
kesempatan saat aku berdua dengan ibu di rumah dan kami saling berbincang,
entah kenapa aku merasa ibu terlihat begitu bersih dan cantik. Jantungku
berdegup kencang saat itu.
Aku pernah merasakan hal yang sama sebelum adikku
berpulang. Saat itu juga kutepis pikiran buruk itu, kuanggap itu sebagai
perasaan tak penting. Sepertinya ibu menangkap kegelisahanku dan sempat
bertanya, “napa to?” Dan aku cuma
sanggup tersenyum dan menggeleng.
Ibu cuma berkelakar, “la wong adus we durung kok ayu to mbak?” Mbak Narti malah semakin
meyakinkan ibu, “tenan kok bu. Ibu ayu
men kok.” Mendengar perkataan mbak Narti, ibu menjawab “yo wes ben nek resik, aku arep nyedhaki sing
kuasa kok.”
Ya, ibu memang seringkali melemparkan candaan semacam itu.
Aku jadi ingat beberapa minggu sebelumnya saat kami nonton berita di TV tentang
meninggalnya ibu Ashanty. Aku berkomentar, “saake
deh Ashanty, bar entuk anak lanang malah saiki ditinggal ibune.”
Ibu saat
itu menanggapi ringan, “jenenge we takdir.
Ngko ngono yo apik to, sampeyan nglairke anak lanang, terus tak tinggal.”
Saking seringnya ibu bercanda nyerempet-nyerempet soal kematian, aku
menanggapinya dengan tak serius, “halah
ibu biasa kok.”
Menjelang kepergiannya, beberapa kali saat aku memandikannya,
ibu selalu bilang “nek bar adus ngene,
terus diparani pak mo (baca: malaikat) enak yo. Wes resik.” Perkataan
beliau ini yang semakin membuatku takut di hari-hari terakhirnya untuk
memandikannya.
Aku takut jika ucapannya menjadi kenyataan. Rasanya tak sanggup
jika aku harus melepas ibu setelah aku membersihkan badannya.
Bahkan ibu sering menggodaku, setiap kali habis dimandikan,
biasanya ibu akan minta dipakaikan mukena untuk melaksanakan sholat dhuha,
setelah selesai sholat ibu tidak langsung minta dibuka mukenanya, tapi
pura-pura tidur. Ketika aku mendekatinya, ibu akan mengagetkanku, “waaa”.
Beberapa kali di malam hari ibu juga seringkali menggodaku.
Kebetulan ibu tidur di area ruang TV yang harus kami lewati saat mau mengambil
minuman di kulkas.
Kalau ibu sedang tidur di saat aku terjaga di malam hari dan
ingin mengambil minuman di kulkas, tentunya aku akan berjalan sepelan mungkin
agar tidak membuatnya bangun, eh tiba-tiba… “waa”… ibu malah mengagetkanku.
“Ibu
ki lo.. bengi-bengi gojek kok,” begitu tanggapanku saat itu. “Ngko nek ibu wes rak ana, tak kageti ngono,
wedi rak?” Lagi-lagi ibu bercanda seperti itu, dan lagi-lagi aku juga
membalas dengan senyum dan gurauan, “wedi
to ya… aku mlayu marani mas Martin.”
Dan siapa sangka gurauan demi gurauan itu mungkin saja
pertanda bahwa waktu perpisahan kami telah begitu dekat. Aaah, andai saja aku
tahu begitu cepatnya kami akan berpisah, aku ingin merawatnya lebih baik. Tapi
sesal selalu saja datang di akhir…
Jum’at itu, siapa sangka interaksi terakhirku dengan ibu
adalah ketika ibu memintaku mengambilkan minum. Tanpa banyak kata, hanya mata
kami yang saling berpandangan dan
bertatapan.
Ada gelora yang berbeda tanpa tahu apa artinya. Setelah mbak
Narti datang dan menyuapi ibu beberapa sendok, ibu terlihat terlelap dalam
tidurnya. Aku sedikit lega melihatnya karena setelah tiga hari tak tidur
akhirnya beliau bisa tidur juga.
Ketika mbak Kam yang biasa membantu kami mencuci dan
menyetrika baju datang, ibu masih juga tidur dengan lelap. Bahkan saking
lelapnya, mbak Kam tidak berani banyak bersuara takut ibu terganggu tidurnya.
Sampai mbak Kam menyelesaikan tugas-tugasnya, ibu masih lelap.
Suami berjanji pulang sore hari itu, tapi nyatanya ba’da
magrib dia baru sampai di rumah. Perasaanku saat itu sudah tidak enak. Mengapa
ibu tidur selama itu.
Aku terbayang peristiwa meninggalnya bapak. Dulu bapak
juga tertidur sangat lama seperti ini. Kegelisahanku kusampaikan pada suami.
Suami menenangkanku, “Ibu kan capek,
makanya tidurnya lama. Nanti agak malam kan bangun.” Aku tidak puas dengan
pernyataannya. Selama-lamanya ibu tidur, ibu tak akan mungkin kuat tanpa
meminta pindah posisi kaki.
Akhirnya suami mengambil inisiatif untuk memanggil perawat
IGD ke rumah untuk memastikan kondisi ibu. Aku juga segera menghubungi bulik di
Tulus yang langsung datang ke rumah.
Bulik memanggil ibu berkali-kali, tidak
ada respon. Segera beliau minta aku mengganti pampers ibu dan diputuskan untuk
membawanya ke IGD saat itu juga. Ketika aku selesai mengganti pampers dan baju
ibu, suami datang.
Setelah diberitahu oleh bulik kondisi ibu, suami meminta
tolong tetangga yang punya mobil untuk mengantarkan kami ke IGD. Saat itu
sebenarnya suami minta aku di rumah saja, tapi aku menolak. Bagaimanapun aku
anak kandungnya, kalau ada apa-apa pasti aku yang akan dicari lebih dulu.
Ibu diperiksa segala macam. Dokter IGD menyatakan kondisi ibu
sangat tidak baik, perawatan yang paling tepat hanyalah di ICU. Ada desir halus
menjalar di hati. Haruskah sekarang ya Allah?
Bukan aku ingin mendahului
takdir, namun firasat ini semakin kuat kurasakan. Kutandatangani persetujuan
untuk perawatan di ICU sembari menerka-nerka apakah rencanaNYA untukku.
Saat itu aku juga jadi ingat kartu BPJS ibu kesingsal. Beberapa kali ibu mengingatkan, "tolong diurus, siapa tahu sewaktu-waktu nanti dipakai." Dan ternyata benar terpakai.
Setelah ibu dibawa ke ICU, kami sepakat bahwa suami yang akan
menunggui ibu, sedangkan aku dan Ifa menginap di rumah bulik yang lokasinya
jauh lebih dekat dengan rumah sakit. Dan siapa nyana pukul empat keesokan paginya aku harus
kembali menginjakkan kaki di IGD?
Bukan karena ibu. Tapi karena ketubanku pecah dini. Campur
aduk rasanya. Kenapa harus sekarang? Kandunganku bahkan masih 36 minggu, hasil
periksa terakhir berat janin masih 2,4 kilo.
Kecemasanku semakin bertambah
ketika kontraksi terjadi tanpa henti. Ya Allah, beginikah rasanya kontraksi, sedang dulu saat ibu melahirkanku ibu mengalaminya dari jam 6 sore hingga jam satu siang keesokan harinya.
Dengan
posisi janin yang melintang, tindakan sesar harus diambil pagi itu juga. Pukul
enam pagi aku masuk ke instalasi bedah sentral, ruang yang sama saat aku
melahirkan Ifa lima tahun yang lalu.
Alhamdulillah operasi kelahiran anak keduaku berjalan lancar. Kondisiku juga lebih
stabil dari saat melahirkan Ifa. Sementara itu ibu masih di ICU. Masih belum
sadar dan belum bisa diajak komunikasi.
Aku kembali teringat dengan keinginan
ibu yang sempat beliau utarakan, “pengen ngancani anak wedok lairan, kaya
dhisik yangti ngancani ibu.” Seketika hatiku kembali berdesir, inikah
rencanaMU, ya Allah?
Mengabulkan salah satu permintaan ibu meski dengan cara
yang unik. Ya, ibu menemaniku. Aku di ruang operasi dan perawatan, sementara
ibu di ICU. Raganya mungkin tertidur, tapi aku yakin jiwanya menemaniku.
Rencana Allah memang selalu yang terbaik. Daripada bingung-bingung mencari siapa yang akan menemani dan memandikan ibu saat aku lahiran, Allah mengaturnya lebih sempurna.
Kami sama-sama di rumah sakit. Ibu di ICU dirawat oleh para ahli dan aku di bangsal. Sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya, benar-benar sempurna!
***
Aku pulih lebih cepat dibanding saat melahirkan Ifa. Hari Selasa, 29 November 2016, sebenarnya aku sudah diperbolehkan pulang. Sayangnya bayiku harus dirawat di perinatologi karena bilirubinnya tinggi.
Alih-alih pulang, aku memohon pada suami untuk mengantarkanku ke ICU. Aku ingin
melihat kondisi ibu.
Saat itu jam besuk. Kebetulan sudah tidak ada yang
membesukku. Suami meminta ijin kepada perawat untuk membawaku ke ICU. Karena
aku belum kuat jalan jauh, aku naik kursi roda yang didorong suami.
Kukuatkan hatiku ketika pintu ruangan ICU terbuka. Suami yang
sedari tadi berpesan padaku, “jangan nangis lo ya”, mengelus pundak dan
kepalaku. Toh akhirnya jebol juga air mataku. Kondisi ibu mengingatkanku pada
yangti dan yangkung sebelum kepergiannya.
Aku hanya sanggup meminta pada Allah,
“berikan yang terbaik untuk ibuku. Jika memang kesembuhan adalah yang terbaik,
maka sembuhkanlah segera. Namun jika tidak, maka jangan biarkan ibu terlalu
lama merasakan kesakitan dipasang alat-alat bantu ini itu.”
Kondisi Ibu saat di ICU |
Hari Rabu, 30 November 2016 aku dan bayiku sudah diijinkan
pulang. Ibu masih tetap di ICU, kondisinya naik turun, tak stabil. Aah, kembali
ke rumah dengan bayi namun tanpa ada ibu rasanya…
Setiap kali menatap dipan
tempat ibu biasa berbaring aku tak sanggup untuk tak mengeluarkan air mata. Tak
heran jika air susuku pun tidak melimpah. Nurani ini tak bisa berbohong… I’m
not okay.
Hari Jum’at, 2 Desember 2016, tepat seminggu ibu berada di
ICU. Malam itu jadwalku untuk kontrol jahitan.
Saat menunggu giliran dipanggil, handphone-ku berdering. Kulihat di layar, nama
bulik tertera di sana. Jantungku berdegup. Ada apa dengan ibu.
Kuangkat
handphone dengan bergetar, di seberang sana bulik bertanya di mana posisiku.
Setelah kujawab keberadaanku, bulik hanya bilang kalau tadi barusan dari rumah
dan meninggalkan baju ganti Ifa selama menginap di rumahnya di depan pintu.
Aah
kupikir ada apa-apa. Namun ternyata setelah panggilan ditutup, aku menerima
pesan dari bulik, “kondisi ibu buruk.
Tensi drop bahkan hingga angkanya tak nampak di layar, doakan terus yang
terbaik.” Aku menghela nafas panjang. Inikah waktunya?
firasat by Marcell |
Sepulangnya dari kontrol jahitan, suami bergegas ke rumah
sakit untuk melihat kondisi ibu. Suami janji akan cepat pulang. Namun sampai
pukul dua belas malam, dia tak juga pulang. Perasaanku semakin tak menentu.
Hanya dengan bayiku dan Ifa, aku merasa malam sangat panjang.
Bulan September lalu saat mengikuti pelatihan SEFT, semua peserta diminta untuk
menulis surat kepada dua orang yang paling dicintai. Surat itu berisi tentang
pernyataan maaf, terima kasih dan ungkapan cinta.
Saat itu aku menuliskan surat
untuk suami dan ibu. Surat untuk suami telah tiba di tangannya dengan selamat
dan telah dibacanya sendiri. Surat untuk ibu masih ada di tanganku.
Dan hingga
malam itu aku belum sanggup membacakannya langsung di depan ibu. Aku takut jika
surat itu membuat ibu terlalu sedih atau bahagia, dua kondisi yang terlarang
untuk ibu.
Malam itu setelah selesai kubacakan Yasin, aku membuka surat
itu. Aku bergumam sendiri, “maaf bu, aku
nggak sanggup membacakan ini di depanmu. Tapi aku tahu saat ini ibu ada di
dekatku dan ibu bisa mendengarku.”
Kubacakan surat itu sebanyak tiga kali
hingga banjir air mata, sembari di dalam hati kurapal ikhlas jika saatnya memang
benar-benar tiba.
Kemudian aku juga teringat obrolanku bersama ibu selemparan
masa yang lalu ketika merencanakan tanggal operasi untuk kelahiran bayiku. “Tanggal 3 Desember ternyata Sabtu Pahing bu,
dilahirke tanggal kui wae ya bu ben wetonne pada mbek aku.”
Candaku kala
itu. “Ngko tukaran terus mbek ibune,”
kata beliau. “Aku mbok digawekke bubur
abang putih, kaya jaman pas di Salatiga ki lo bu. Nek pas wetonku mesti
dibuburke, jare ben ilang nakale,
hehe.” Ibu tersenyum dan membalas candaanku, “yo ngko bancaan bubur abang putih.”
Jam menunjukkan hampir setengah satu pagi, tapi suami belum juga pulang. Aku tak
lagi sabar menunggu kabar darinya. Kuambil handphone dan segera kupencet nomornya.
Tak lama ia segera mengangkatnya. Suaranya bergetar. Dia tidak perlu berkata
banyak, aku sudah bisa menebak.
Semua firasat itu terjawab. Ibu wafat 3 Desember 2016, pukul
00:28. Inikah ‘bancaan’ versimu, bu? Hmm, namun inilah yang terbaik. Bukankah
setelah ini ibu tak lagi akan merasakan sakit di tubuhnya, kaku-kaku di tangan
dan kakinya, ibu sudah bebas dari segala rasa sakit yang selama ini dirasakan.
“Nek ora mari yo mati,”
dua keinginan yang ibu punya dan selalu disampaikan padaku. Ibu hanya ingin
sembuh, namun jika kesembuhan tidak bisa diraih, ibu hanya ingin meninggal
dalam keadaan husnul khotimah. Dan ternyata pilihan kedua yang dikabulkan oleh
Allah. Insya Allah, husnul khotimah ya bu.
Ibu pernah memintaku untuk tidak menangis kalau akhirnya ibu
meninggal. Namun nyatanya janji itu tidak bisa kutepati.
Sesaat setelah
mendapat kabar dari suami jika ibu meninggal kuhabiskan air mataku dalam
kesunyian. Hanya ada Ifa, bayi berusia seminggu, aku dan Allah.
Anak-anakku
tertidur lelap dan aku tergugu dalam tangisku. Perpisahan ini tiba juga. Aku
menangis sejadinya, aku berjanji pada diriku sendiri. Cukup malam ini, besok
air mata tak boleh tumpah.
Bersama mereka dini hari itu saat kabar itu kuterima |
Ibu dimandikan dan dikafani di rumah sakit. Sungguh
sebenarnya aku ingin memandikan sendiri ibu untuk terakhir kalinya, sebagaimana
dulu yang kulakukan pada bapak.
Namun kondisi tak memungkinkan, ada bayi
berusia seminggu yang tak mungkin kutinggalkan. Aku pun masih nifas.
Jenasah ibu dibawa pulang ke
rumah pukul delapan pagi. Aku tak berani membukanya meski diijinkan. Aku nggak
mau pertahananku untuk tidak menangis bobol jika membuka kain kafannya.
Tamu-tamu
berdatangan, tetangga, keluarga hingga teman-teman sekolah ibu tumpah ruah di
rumah. Aku menyambut mereka dengan senyum. “Sabar,
tabah, ikhlas ya mbak.” Berkali-kali pesan itu terekam di telingaku.
3 Desember 2016, ba’da luhur, hujan menjadi saksi
perpisahanku dengan ibu. Aku hanya mampu menatap nanar ambulance yang membawa
jenasah ibu ke peristirahatan terakhirnya.
Pernah dengar ketika hujan turun
saat seseorang akan dimakamkan tandanya Allah memaafkan dosa-dosanya. Entah pernyataan
itu benar atau tidak, aku aminkan saja.
Allahumma firlaha warhamha wa'afiha wa' fu'anha. Ya Allah ampunilah dosanya, berilah rahmatMU atasnya, sejahtera dan maafkanlah dia.
Sudah tunai tugasmu di dunia ini, bu. Kini saatnya aku
melanjutkan segala mimpi dan harapanmu. Saatnya pula bagiku melanjutkan
kebaikan-kebaikan yang telah kau torehkan, juga melaksanakan petuah-petuahmu.
Aku yakin kau telah bahagia di tempat yang Allah pilihkan untukmu. Semoga kelak
kita bisa bertemu kembali di jannahNYA.
I miss you so much, bu… Aku, Ifa, mas martin dan Afan sangat
mencintaimu, namun cinta kami tidak lebih besar dari cinta Sang Pencipta
kepadamu, maka sudahlah pasti tempat terbaik untuk kembali adalah berada di
sisiNYA.
Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan kepadaku selama 31
tahun ini. Engkaulah inspiratorku, wanita terhebat, terkuat, tersabar. Dan sungguh ketika TV di rumah tak lagi menyala,
saat itu pulalah aku kehilangan salah satu pintu surgaku…
InsyaAllah ibu nya Khusnul Khotimah mba, Aamiin..
ReplyDeleteSemoga Allah sll memberkahi klg mba
Jadi dzikrul maut saya mbaca tulisan mb
Aamiin. Makasih ya mbak :)
DeleteYa Allah...bohong banget kalo aku bilang aku nggak nangis baca ini. Aku jadi ingat 3 perempuan kesayanganku yang kini juga sudg nggak ada. Mbah putri meninggal, Eyang Uti dan Ibuku meninggal sama-sama di bulan Oktober, tetapi masing2 selisih 5 tahun. Semoga ahli kubur kita semua khusnul khotimah. Aamiin
ReplyDeleteAamiin... Peluuuk mbak Ika :)
DeleteKita mengalami kedukaan yang sama bun. Dulu aku sempat berharap ibu sembuh. Mungkin aku terlalu terinspirasi oleh sinetron-sinetron religius di tipi, meski bisa saja hal itu terjadi. Apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh Allah. Allah tinggal berucap "Jadilah" maka akan terjadi. Tiba-tiba ibu bangun, bisa duduk, kemudian tiba-tiba berdiri. Keren ya?
ReplyDeleteHarapan ini sepertinya terlalu mewah, baiklah aku ganti dengan yang lebih natural. Aku berharap ibu disembuhkan seperti sebelum makan nangka. Sepertinya harapan ini natural dari yang tadi. Tapi segera aku tersadar, harapan ini jauh lebih kejam. Bukankah aku tahu penderitaan ibu. Sebenarnya masih ada satu harapan, tetapi itu bukan harapanku, itu harapan ibu yang sering disambatkan ke aku. Tapi aku belum siap bu, jadi maaf tidak aku masukkan ke daftar harapanku.
Mungkin ini adalah jawaban penantian lama ibu. Semua indah pada waktunya. Allah sudah mengatur rentetan peristiwa untuk kita, tetapi kita tidak pernah menyadarinya. Semoga memang benar Allah telah mengaturnya sedemikian rupa. Dan semoga ibu meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Amin
Aamiin
Deleteturut berduka cita sedalam2nya ya mbak...semoga ibu khusnul khotimah
ReplyDeleteAamiin
DeleteYa Allah, aku mbrebes mili bacane Mbak.. semoga Ibu khusnul khotimah, amin
ReplyDeleteYa Allah, sepanjang membaca cerita ini saya tergugu Mbaa :'(
ReplyDeletesemoga ibu diberikan tempat terbaik di sisiNya, amin..
Aamiin. makasih mbak
DeleteAku selesai ngebaca ini tanggal 26 november 2022, jam 00.09... Gak kerasa air mata ikut keluar ðŸ˜
ReplyDeleteGak bisa berkomentar apa² lg mba... Hanya terselip sebuah doa untuk keluarga mb yg udah duluan berpulang semoga Allah menempatkan mereka disebaik²nya tempat. tak lupa aq berdoa mudah²an kedua orang tua q, sodara² q, anak & keponakan q panjang umur sehat wal afiat semuanya 🥺
Peluk jauh buat mba Marita 🥺🥺ðŸ˜
Makasih banyak mbak sudah mampir dan turut mendoakan. Semoga Allah memberikan kesehatan kepada mbak Melisa dan keluarga yaa...
Delete