Ibu seharusnya menjadi guru pertama dan utama bagi putra-putrinya. Ungkapan tersebut pasti seringkali mampir di telinga kita kan? Mau tak mau, kita pun mengakui dan setuju pada ungkapan itu. Ibu adalah sosok penting untuk tiap putra-putrinya, dari nggembol 9 bulan ke sana- ke mari, melahirkan, menyusui, membesarkan, mendidik dan mengasuh. Sungguh sebuah perjalanan yang panjang dan penuh liku.
Lantas mengapa kalau hampir semua ibu di dunia ini sudah paham dan setuju dengan ungkapan tersebut, tema tersebut masih saja diangkat di berbagai kajian parenting?
Alhamdulillah, pada Kamis sore lalu, 29 September 2016, aku mendapat kesempatan untuk menghadiri kajian parenting yang diadakan oleh Paud Bintang Juara, Jalan Dewi Sartika No 82 Semarang. Cukup jauh juga perjalanan naik turun gunung dari Klipang ke lokasi acara, namun demi berguru pada salah satu penulis buku parenting yang inspiratif ini, aku bela-belain deh.
Tentang Kiki Barkiah
Teh Kiki Barkiah. Siapa yang belum mengenal beliau? Beliau telah menulis tiga buku yang diterbitkannya sendiri. Buku yang merupakan kompilasi kisah tentang perjalanannya mengasuh putra-putrinya. Berbeda dengan buku parenting kebanyakan yang biasanya berisi terlalu banyak teori-teori yang bikin otak jadi kusut. Buku Lima Guru Kecilku part 1 dan 2 dari Teh Kiki ini ditulis berdasarkan pengalaman jatuh bangun beliau dalam mengasuh anak-anaknya. Begitu mengalir dan menyentuh. Menggambarkan bahwa tidak ada ibu yang sempurna. Namun sangat diperlukan ibu-ibu yang tidak mau berhenti belajar agar menjadi lebih baik dan baik lagi.
Selain dua seri buku Lima Guru Kecilku, buku terbaru dari Teh Kiki adalah kumpulan puisi beliau yang juga nggak kalah inspiratif. Puisi-puisi beliau berisi motivasi untuk para orang tua, khususnya ibu untuk terus semangat dalam mengasuh putra-putrinya.
Oya, buku teh Kiki ini disusun dari catatan-catatan Facebook beliau yang rupanya telah banyak dibaca dan di-share oleh banyak pengguna Facebook. Atas desakan teman dan fans garis kerasnya, akhirnya catatan-catatan tersebut dibukukan agar bisa lebih banyak membawa manfaat untuk orang-orang yang tidak tersentuh Facebook.
Awalnya aku juga nggak begitu ngeh pada Teh Kiki. Ternyata tanpa sadar selama ini aku juga sering membaca status dan catatan Facebook-nya, dan beberapa kali membagikannya kembali di timeline-ku. Ketika buku pertamanya rilis, aku termasuk telat belinya. Tapi setelah membaca lembar demi lembar, aaah rasanya segala galau dan resah yang kualami dalam perjalananku menjadi ibu terjawab semuanya. Dari situ deh jadi semakin tertarik dengan tulisan-tulisannya.
Makanya ketika dapat info ada kajian parenting bersama Teh Kiki Barkiah di Paud Bintang Juara, langsung semangat 45 untuk datang. Apalagi ada embel-embel gratis di belakangnya. Teuteup ya :D. Maklum, tanggal tua, hehe. Meski begitu kalaupun harus berbayar dan pas ada rejekinya, untuk belajar parenting mah hayuk aja :)
Undangan yang disampaikan bu Dyah Indah Noviyani, owner Paud Bintang Juara tertera pukul 15.00. Berhubung suami baru bisa pulang kerja jam segitu, akhirnya kami baru merapat ke lokasi sekitar jam 16.00. Alhamdulillah belum terlambat. Pas banget teh Kiki baru mau mulai materinya. Nggak nyangka lo, Paud Bintang Juara fulllll sore itu. Berhubung telat datangnya, aku nggak bisa ketemu muka dengan Teh Kiki yang menyampaikan materinya di lantai dua. Cuma bisa menikmati suara dan wajahnya lewat layar televisi yang disiapkan di teras Paud. Nggak apa deh, yang penting bisa dapat ilmunya. Minta maaf juga kalau postingan ini nantinya akan miskin foto karena memang tidak sempat mendokumentasikan apapun. Cuma konsen dengan materi yang disampaikan oleh teh Kiki, hehe.
Menjawab pertanyaan yang aku gulirkan di pembukaan postingan ini, Teh Kiki membuka kajian ini dengan membeberkan fakta bahwa sekarang ini banyak anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya. Bahkan, meskipun orang tuanya ada di dekat dan serumah dengan mereka.
Banyak orang tua yang kini memilih untuk menyerahkan tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain (baca: sekolah) secara 100 persen. Berbondong-bondong para orang tua sibuk mencari sekolah yang bisa mendidik karakter anak, menjadikan anak berakhlak mulia, tidak hanya sekedar cerdas secara kognitif, dan sebagainya. Dan sebagian besar dari para orang tua ini lupa bahwa pendidikan dan pengasuhan yang utama sejatinya adalah di rumah!
Sekolah kini tidak lagi menjadi partner untuk orang tua, namun malah dijadikan para orang tua yang malas atau 'masih pingsan' sebagai tempat belajar utama. Nah, itulah kenapa pertanyaan awal tadi digulirkan. Kita mungkin bisa jadi sudah paham bahwa sebagai ibu seharusnya kita menjadi guru yang pertama dan utama untuk anak-anak kita, tapi apa iya dalam prakteknya sehari-hari sudah seperti itu?
Pertanyaan tersebut juga sekaligus sebagai pengingat bahwa sudah saatnya pendidikan dan pengasuhan anak dikembalikan pada tempatnya; home based education.
Tentu saja untuk bisa menciptakan suasana home based education, tidak hanya dibutuhkan peran dari ibu seorang diri. Sudah saatnya kita putus mata rantai yang mengkoar-koarkan bahwasanya tugas mengasuh anak itu ya tugasnya para ibu. Sedangkan ayah tugasnya cuma mencari nafkah (baca: duit). Padahal nih, memberikan pengasuhan dan pendidikan kepada anak juga termasuk memberikan nafkah kepada keluarga lo.
Jika ibu adalah guru di rumah, maka ayah seharusnya menjadi kepala sekolahnya. Tentu saja sebagai seorang kepala sekolah, ayah wajib tahu kurikulum dan sistem belajar seperti apa yang akan diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya. So, para ayah.... singsingkan lengan baju dan jangan cuek bebek soal pengasuhan anak ya!
Jangan mentang-mentang capek setelah seharian kerja, anak dicuekin ditinggal nonton televisi atau pegang gadget sepuasnya. Di satu sisi, ibu yang udah capek seharian ngurus rumah dan anak pun merasa capek berlipat-lipat, akhirnya leyeh-leyeh juga sambil pegang gadget atau nonton sinetron. Biar anteng, anak-anak pun dipegangi gadget satu-satu. Katanya keluarga, tapi kok hidup sendiri-sendiri ya?
Sayangnya, kasus begini kini semakin banyak kita temui. Miris, tapi begitulah kenyataan. Yuk, instropeksi. Jangan-jangan di rumah kita sendiri pun juga seperti itu. :(
Rata-rata orang tua menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang yang cerdas dan pintar. Namun sebenarnya makna cerdas itu seperti apa sih?
Apa iya anak cerdas itu yang nilai matematika, fisika, kimia-nya selalu 100? Anak cerdas itu yang selalu dipanggil di depan panggung untuk menerima piala karena menang olimpiade atau meraih ranking satu di kelasnya?
Mungkin iya secara kognitif. Namun kecerdasan emosionalnya? Spiritualnya? Kita tidak bisa menilai seseorang cerdas hanya berdasarkan nilai dan angka-angka di raport. Salah satu ukuran kecerdasan yang disampaikan oleh Teh Kiki pada kajian sore itu; ketika anak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri!
Dan untuk bisa membentuk anak-anak seperti ini butuh waktu yang panjang dan proses yang tidak instan. Sayangnya seringkali kita menyepelekan proses pembelajaran mengenai problem solving ini. Contoh kecilnya; membiasakan anak minum dari gelas sejak usia setahun misalnya. Banyak dari kita malas mengatasi rumah yang kotor karena tumpahan air dan susu, hingga akhirnya biar gampang dikasihlah botol. Padahal dari proses menumpahkan air, anak bisa belajar bagaimana cara mengatasi air yang tumpah. Ambil lap, dibersihkan hingga lantainya kering.
Aku pernah berbagi hal ini kepada beberapa ibu di wilayah tempat tinggalku saat arisan PKK dan hampir semua jawabannya; "aah repot, kotor semua, nanti kalau udah gede kan ya bisa sendiri." Dan aku cukup tersenyum. Apakah anak yang biasa dilayani akan dengan mudahnya ketika besar tumbuh menjadi orang yang bisa melayani dirinya sendiri?
Nggak usah jauh-jauh. Aku sendiri mengalaminya. Sejak kecil hingga kuliah, baik di rumah orang tua ataupun eyang pasti selalu ada ART. Meski ibu juga tetap mengajarkanku bagaimana mengurus rumah, sebagai orang yang berpikiran praktis tentu saja aku ambil jalan pintas, "kalau sudah ada yang mengerjakan, kenapa aku harus turun tangan?" Akhirnya ketika waktunya aku berumah tangga dan tidak memiliki ART, barulah terasa pentingnya memiliki skill di bagian urusan rumah tangga.
Oleh karena itu sangat penting sekali bagi kita para orang tua untuk menumbuhkembangkan anak-anak yang bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ketika seorang anak mengalami masalah, ia patut diajarkan cara-cara yang baik untuk mengatasinya, menggunakan kata-kata yang baik untuk mengungkapkannya dan bagaimana meminta bantuan dengan cara yang terbaik.
Nah, hal-hal sederhana yang ternyata sangat mendasar untuk pembentukan karakter anak di usia dewasa inilah yang sering kita pandang sebelah mata.
Teh Kiki juga membagikan sebuah cerita tentang kebiasaanya yang membiarkan anaknya mengeksplorasi rumah sebesar-besarnya. Beliau tidak keberatan setelah itu rumah jadi acak adut nggak karuan, asal ketika jam pulang kantor ayahnya tiba, anak-anak diminta untuk kembali merapikan mainannya dengan segera.
Ternyata hal tersebut tidak selamanya baik kemudian. Ketika keluarga mereka bertandang ke rumah nenek kakeknya, anak-anak yang biasa lari sana lari sini, pegang ini itu, tanya apa ini itu, mendapat sentilan keras dari nenek kakeknya. "Jangan sentuh itu nak, nanti pecah", "Eh, jangan lari-lari nanti jatuh", dan sebagainya.
Dari situ Teh Kiki kemudian menyadari bahwasanya ada sedikit kesalahan dalam pola pengasuhannya. Anak-anak tidak hanya boleh bebas bereksplorasi, tapi juga perlu diajari bahwa setiap tempat memiliki aturan yang berbeda-beda. Aturan yang ada di rumah mereka tidak bisa diterapkan di rumah nenek kakeknya. Sejak saat itu Teh Kiki mulai memberlakukan kode wilayah, seperti Red Zone, Green Zone, Yellow Zone dan White Zone.
Green zone adalah zona eksplorasi. Anak-anak bebas lari-larian, teriak-teriak dan sebagainya. Salah satu wilayah yang masuk dalam green zone adalah playground. Sedangkan yellow zone adalah zona eksplorasi dengan pengawasan, boleh sentuh ini itu tapi tidak boleh berlebihan. Red zone adalah zona patuh pada aturan yang ada di tempat tersebut. Dengan memberikan kode-kode tersebut, anak kemudian jadi paham dan lebih bertanggung jawab dalam beraktivitas. Tentu saja orang tua juga wajib sadar bahwa ketika kita mengajak anak-anak ke red zone, kita tidak bisa menghabiskan waktu yang terlalu lama karena akan membuat anak cepat bosan dan mulai bertingkah.
Hal-hal seperti inilah yang nampaknya kecil namun penting untuk diajarkan pada anak-anak. Memahami aturan dan memiliki etika sejak dini adalah hal yang wajib kita bentuk. Bukan berarti karena mereka anak-anak, lalu kita bisa selalu memaklumi semua tingkah mereka. "Ah, nggak apa-apa, namanya juga anak-anak." Sering sekali kan kita dengar hal tersebut?
Selain kecerdasan problem solving, bagi penganut agama Islam, sangat penting untuk membentuk dan mengenalkan anak akan Allah, Rasulullah, Islam, diri sendiri dan tujuan hidupnya. Dan semua proses ini sangat ditentukan sejak golden ages anak-anak kita. Anak-anak yang kurang sentuhan orang tuanya di usia emasnya akan cenderung tumbuh menjadi anak-anak yang tak memiliki tujuan hidup. Ngekor sana-sini, nggak tahu mau apa, bahkan konsep dirinya pun cenderung tidak jelas. Belum lagi jika orang tuanya tidak mengenalkan tauhid, agama kemudian hanya sekedar ritual ibadah namun tidak dijiwai pelaksanaannya.
That's why wajib bagi para orang tua untuk menjadi guru kehidupan yang utama sepanjang hayat. Bagaimana caranya?
Sebagai orang tua kita harus bisa mendidik anak-anak hingga mereka menjadi manusia pembelajar, mencintai dan memilih kebaikan, membedakan baik dan buruk, salah dan benar, serta mandiri mengarungi kehidupan.
Untuk membentuk anak-anak ke arah tersebut, maka sudah sepantasnya kita sebagai orang tua memiliki target pengasuhan agar anak semakin kenal kebesaran Allah, semakin tunduk dan taat kepada Allah, menjadi sosok yang peka, peduli dan bermanfaat, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah, mencintai dan bertanggungjawab penuh atas profesinya dalam bekerja, selalu tumbuh menjadi pribadi yang mau memperbaiki diri sendiri dan memberikan banyak kontribusi dalam peradaban.
Tentu saja untuk menjadi guru yang bisa mencapai target-target besar tersebut, kita harus memenuhi kualifikasinya, antara lain; cinta anak, ikhlas karena Allah, sabar, cinta ilmu, cinta belajar, mau belajar dari kesalahan, mau memperbaiki kesalahan dan memantau pendidikan yang disubkontrakkan.
Homeschooling atau tidak bukanlah hal yang utama, namun yang terpenting adalah kesadaran para orang tua bahwasanya tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak-anak yang terbesar ada di pundak mereka, bukan di sekolah. Maka, kita tidak bisa hanya pasrah bongkokan kepada sekolah. Cari sekolah mahal, dan minta anak kita dididik sebaik-baiknya.
Sebagai orang tua kita harus selalu dan selamanya; membimbing, memantau, meluruskan, menyelamatkan dan mendoakan anak-anak kita. Ada kalanya perjalanan yang kita tempuh mungkin begitu sulit dan berliku, tidak perlu galau. Yang terpenting kita telah berikhitiar semaksimal mungkin, sisanya pasrahkan saja kepada Allah sang pemilik kehidupan.
Langkah-langkah sederhana untuk bisa mencapai posisi sebagai seorang guru yang utama dan pertama bagi anak-anak, khususnya para ibu adalah sebagai berikut;
Keterampilan membaca bisa diajarkan dalam waktu enam bulan asal anak tidak memiliki kecenderungan dysleksia atau kebutuhan khusus lainnya. Namun mengajarkan anak mencintai dan membutuhkan kegiatan membaca memerlukan proses yang panjang. Biasakan membaca bahkan sejak baby di kandungan, sehingga nanti mereka akan menganggap membaca bukan hanya untuk kebutuhan pelajaran di sekolah, tapi budaya untuk menggali informasi lebih banyak.
Ciptakan kegiatan membaca yang menarik dan menyenangkan sehingga bisa menumbuhkan minat dalam diri anak. Jika anak sudah bisa membaca sendiri, minta dia yang membaca dan gantian kita yang mendengarkan. Dengarkanlah dengan antusias agar anak tahu kita fokus pada apa yang dibacakannya. Jangan sampai kegiatan membaca hanya sekedar pengantar tidur. Ajak anak untuk kembali menceritakan dan menyampaikan kembali informasi yang baru saja dia dapat dari bacaannya atau dari cerita yang kita bacakan. Tanyakan siapa tokohnya, ada kejadian apa, mengapa si tokoh begini, apa yang bisa diambil dari cerita tersebut. Secara tidak langsung hal tersebut akan mengajarkan anak untuk bisa bercerita secara runtut. Anak-anak yang usianya masih kecil, balita, biasanya akan senang dengan kegiatan membaca yang disertai dengan gambar. Bahkan kita bisa menyediakan satu gambar besar dan ajak mereka menyusun cerita sendiri dari gambar tersebut.
Dari proses kegiatan membaca ini, kita juga tidak langsung seperti bermain-main dengan anak. Kita bisa memasukkan konsep bermain peran. Bermain peran merupakan proses pembelajaran yang penting untuk anak-anak, Mereka bisa belajar menyelesaikan masalah, berimajinasi, mengembangkan kreativitas dan mampu mengambil peran sesuai kondisi dan kebutuhan cerita.
Perpaduan kegiatan membaca dan bermain peran secara tidak langsung akan meningkatkan skill komunikasi anak. Kemampuan komunikasi pada anak meliputi; mendengar dengan paham, dapat mengikuti arahan dan petunjuk, berbicara dengan jelas, menceritakan pengalamannya, bercerita sesuai urutan kejadian dan berani memberikan pendapat atau ide-ide.
Jika kemampuan komunikasi anak telah terbentuk dengan baik, maka hal itu sangat membantu anak dalam bersikap di lingkungan sosialnya. Adapun sikap yang perlu dibangun yaitu mudah berinteraksi dengan orang dewasa, aktif dalam kelompok, bermain dengan baik, bergiliran dan bergantian, serta peduli lingkungan.
Dan ternyata hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter tersebut tidak akan tercipta jika kita hanya berpasrah pada sekolah. Yuk, ayah ibu kita kembali ke rumah dan ambil peran kita sebagai guru utama dan pertama bagi anak-anak kita.
Tertarik untuk belajar bersama teh Kiki Barkiah? Besok pagi HSMN akan menggelar seminar parenting "Ayah Ibu Jadilah Sahabat dan Guru Terbaikku" di Hotel Candi Indah lo. Dari jam 08.00 - 15.00. Selain teh Kiki, juga ada Ustad Bendry yang akan berkisah tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Sudah daftar kan acara keren ini? Rugi lo kalau nggak datang :)
Makanya ketika dapat info ada kajian parenting bersama Teh Kiki Barkiah di Paud Bintang Juara, langsung semangat 45 untuk datang. Apalagi ada embel-embel gratis di belakangnya. Teuteup ya :D. Maklum, tanggal tua, hehe. Meski begitu kalaupun harus berbayar dan pas ada rejekinya, untuk belajar parenting mah hayuk aja :)
Undangan yang disampaikan bu Dyah Indah Noviyani, owner Paud Bintang Juara tertera pukul 15.00. Berhubung suami baru bisa pulang kerja jam segitu, akhirnya kami baru merapat ke lokasi sekitar jam 16.00. Alhamdulillah belum terlambat. Pas banget teh Kiki baru mau mulai materinya. Nggak nyangka lo, Paud Bintang Juara fulllll sore itu. Berhubung telat datangnya, aku nggak bisa ketemu muka dengan Teh Kiki yang menyampaikan materinya di lantai dua. Cuma bisa menikmati suara dan wajahnya lewat layar televisi yang disiapkan di teras Paud. Nggak apa deh, yang penting bisa dapat ilmunya. Minta maaf juga kalau postingan ini nantinya akan miskin foto karena memang tidak sempat mendokumentasikan apapun. Cuma konsen dengan materi yang disampaikan oleh teh Kiki, hehe.
Ambil Peranmu, Hey Ibu dan Ayah!
Menjawab pertanyaan yang aku gulirkan di pembukaan postingan ini, Teh Kiki membuka kajian ini dengan membeberkan fakta bahwa sekarang ini banyak anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya. Bahkan, meskipun orang tuanya ada di dekat dan serumah dengan mereka.
Banyak orang tua yang kini memilih untuk menyerahkan tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain (baca: sekolah) secara 100 persen. Berbondong-bondong para orang tua sibuk mencari sekolah yang bisa mendidik karakter anak, menjadikan anak berakhlak mulia, tidak hanya sekedar cerdas secara kognitif, dan sebagainya. Dan sebagian besar dari para orang tua ini lupa bahwa pendidikan dan pengasuhan yang utama sejatinya adalah di rumah!
Sekolah kini tidak lagi menjadi partner untuk orang tua, namun malah dijadikan para orang tua yang malas atau 'masih pingsan' sebagai tempat belajar utama. Nah, itulah kenapa pertanyaan awal tadi digulirkan. Kita mungkin bisa jadi sudah paham bahwa sebagai ibu seharusnya kita menjadi guru yang pertama dan utama untuk anak-anak kita, tapi apa iya dalam prakteknya sehari-hari sudah seperti itu?
Pertanyaan tersebut juga sekaligus sebagai pengingat bahwa sudah saatnya pendidikan dan pengasuhan anak dikembalikan pada tempatnya; home based education.
Tentu saja untuk bisa menciptakan suasana home based education, tidak hanya dibutuhkan peran dari ibu seorang diri. Sudah saatnya kita putus mata rantai yang mengkoar-koarkan bahwasanya tugas mengasuh anak itu ya tugasnya para ibu. Sedangkan ayah tugasnya cuma mencari nafkah (baca: duit). Padahal nih, memberikan pengasuhan dan pendidikan kepada anak juga termasuk memberikan nafkah kepada keluarga lo.
Jika ibu adalah guru di rumah, maka ayah seharusnya menjadi kepala sekolahnya. Tentu saja sebagai seorang kepala sekolah, ayah wajib tahu kurikulum dan sistem belajar seperti apa yang akan diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya. So, para ayah.... singsingkan lengan baju dan jangan cuek bebek soal pengasuhan anak ya!
Jangan mentang-mentang capek setelah seharian kerja, anak dicuekin ditinggal nonton televisi atau pegang gadget sepuasnya. Di satu sisi, ibu yang udah capek seharian ngurus rumah dan anak pun merasa capek berlipat-lipat, akhirnya leyeh-leyeh juga sambil pegang gadget atau nonton sinetron. Biar anteng, anak-anak pun dipegangi gadget satu-satu. Katanya keluarga, tapi kok hidup sendiri-sendiri ya?
Sayangnya, kasus begini kini semakin banyak kita temui. Miris, tapi begitulah kenyataan. Yuk, instropeksi. Jangan-jangan di rumah kita sendiri pun juga seperti itu. :(
Anak Cerdas Seperti Apa Sih?
Rata-rata orang tua menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang yang cerdas dan pintar. Namun sebenarnya makna cerdas itu seperti apa sih?
Apa iya anak cerdas itu yang nilai matematika, fisika, kimia-nya selalu 100? Anak cerdas itu yang selalu dipanggil di depan panggung untuk menerima piala karena menang olimpiade atau meraih ranking satu di kelasnya?
Mungkin iya secara kognitif. Namun kecerdasan emosionalnya? Spiritualnya? Kita tidak bisa menilai seseorang cerdas hanya berdasarkan nilai dan angka-angka di raport. Salah satu ukuran kecerdasan yang disampaikan oleh Teh Kiki pada kajian sore itu; ketika anak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri!
Dan untuk bisa membentuk anak-anak seperti ini butuh waktu yang panjang dan proses yang tidak instan. Sayangnya seringkali kita menyepelekan proses pembelajaran mengenai problem solving ini. Contoh kecilnya; membiasakan anak minum dari gelas sejak usia setahun misalnya. Banyak dari kita malas mengatasi rumah yang kotor karena tumpahan air dan susu, hingga akhirnya biar gampang dikasihlah botol. Padahal dari proses menumpahkan air, anak bisa belajar bagaimana cara mengatasi air yang tumpah. Ambil lap, dibersihkan hingga lantainya kering.
Aku pernah berbagi hal ini kepada beberapa ibu di wilayah tempat tinggalku saat arisan PKK dan hampir semua jawabannya; "aah repot, kotor semua, nanti kalau udah gede kan ya bisa sendiri." Dan aku cukup tersenyum. Apakah anak yang biasa dilayani akan dengan mudahnya ketika besar tumbuh menjadi orang yang bisa melayani dirinya sendiri?
Nggak usah jauh-jauh. Aku sendiri mengalaminya. Sejak kecil hingga kuliah, baik di rumah orang tua ataupun eyang pasti selalu ada ART. Meski ibu juga tetap mengajarkanku bagaimana mengurus rumah, sebagai orang yang berpikiran praktis tentu saja aku ambil jalan pintas, "kalau sudah ada yang mengerjakan, kenapa aku harus turun tangan?" Akhirnya ketika waktunya aku berumah tangga dan tidak memiliki ART, barulah terasa pentingnya memiliki skill di bagian urusan rumah tangga.
Oleh karena itu sangat penting sekali bagi kita para orang tua untuk menumbuhkembangkan anak-anak yang bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ketika seorang anak mengalami masalah, ia patut diajarkan cara-cara yang baik untuk mengatasinya, menggunakan kata-kata yang baik untuk mengungkapkannya dan bagaimana meminta bantuan dengan cara yang terbaik.
Nah, hal-hal sederhana yang ternyata sangat mendasar untuk pembentukan karakter anak di usia dewasa inilah yang sering kita pandang sebelah mata.
Teh Kiki juga membagikan sebuah cerita tentang kebiasaanya yang membiarkan anaknya mengeksplorasi rumah sebesar-besarnya. Beliau tidak keberatan setelah itu rumah jadi acak adut nggak karuan, asal ketika jam pulang kantor ayahnya tiba, anak-anak diminta untuk kembali merapikan mainannya dengan segera.
Ternyata hal tersebut tidak selamanya baik kemudian. Ketika keluarga mereka bertandang ke rumah nenek kakeknya, anak-anak yang biasa lari sana lari sini, pegang ini itu, tanya apa ini itu, mendapat sentilan keras dari nenek kakeknya. "Jangan sentuh itu nak, nanti pecah", "Eh, jangan lari-lari nanti jatuh", dan sebagainya.
Dari situ Teh Kiki kemudian menyadari bahwasanya ada sedikit kesalahan dalam pola pengasuhannya. Anak-anak tidak hanya boleh bebas bereksplorasi, tapi juga perlu diajari bahwa setiap tempat memiliki aturan yang berbeda-beda. Aturan yang ada di rumah mereka tidak bisa diterapkan di rumah nenek kakeknya. Sejak saat itu Teh Kiki mulai memberlakukan kode wilayah, seperti Red Zone, Green Zone, Yellow Zone dan White Zone.
Green zone adalah zona eksplorasi. Anak-anak bebas lari-larian, teriak-teriak dan sebagainya. Salah satu wilayah yang masuk dalam green zone adalah playground. Sedangkan yellow zone adalah zona eksplorasi dengan pengawasan, boleh sentuh ini itu tapi tidak boleh berlebihan. Red zone adalah zona patuh pada aturan yang ada di tempat tersebut. Dengan memberikan kode-kode tersebut, anak kemudian jadi paham dan lebih bertanggung jawab dalam beraktivitas. Tentu saja orang tua juga wajib sadar bahwa ketika kita mengajak anak-anak ke red zone, kita tidak bisa menghabiskan waktu yang terlalu lama karena akan membuat anak cepat bosan dan mulai bertingkah.
Hal-hal seperti inilah yang nampaknya kecil namun penting untuk diajarkan pada anak-anak. Memahami aturan dan memiliki etika sejak dini adalah hal yang wajib kita bentuk. Bukan berarti karena mereka anak-anak, lalu kita bisa selalu memaklumi semua tingkah mereka. "Ah, nggak apa-apa, namanya juga anak-anak." Sering sekali kan kita dengar hal tersebut?
Selain kecerdasan problem solving, bagi penganut agama Islam, sangat penting untuk membentuk dan mengenalkan anak akan Allah, Rasulullah, Islam, diri sendiri dan tujuan hidupnya. Dan semua proses ini sangat ditentukan sejak golden ages anak-anak kita. Anak-anak yang kurang sentuhan orang tuanya di usia emasnya akan cenderung tumbuh menjadi anak-anak yang tak memiliki tujuan hidup. Ngekor sana-sini, nggak tahu mau apa, bahkan konsep dirinya pun cenderung tidak jelas. Belum lagi jika orang tuanya tidak mengenalkan tauhid, agama kemudian hanya sekedar ritual ibadah namun tidak dijiwai pelaksanaannya.
That's why wajib bagi para orang tua untuk menjadi guru kehidupan yang utama sepanjang hayat. Bagaimana caranya?
Menjadi Guru Kehidupan untuk Anak-anak
Sebagai orang tua kita harus bisa mendidik anak-anak hingga mereka menjadi manusia pembelajar, mencintai dan memilih kebaikan, membedakan baik dan buruk, salah dan benar, serta mandiri mengarungi kehidupan.
Untuk membentuk anak-anak ke arah tersebut, maka sudah sepantasnya kita sebagai orang tua memiliki target pengasuhan agar anak semakin kenal kebesaran Allah, semakin tunduk dan taat kepada Allah, menjadi sosok yang peka, peduli dan bermanfaat, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah, mencintai dan bertanggungjawab penuh atas profesinya dalam bekerja, selalu tumbuh menjadi pribadi yang mau memperbaiki diri sendiri dan memberikan banyak kontribusi dalam peradaban.
Tentu saja untuk menjadi guru yang bisa mencapai target-target besar tersebut, kita harus memenuhi kualifikasinya, antara lain; cinta anak, ikhlas karena Allah, sabar, cinta ilmu, cinta belajar, mau belajar dari kesalahan, mau memperbaiki kesalahan dan memantau pendidikan yang disubkontrakkan.
Homeschooling atau tidak bukanlah hal yang utama, namun yang terpenting adalah kesadaran para orang tua bahwasanya tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak-anak yang terbesar ada di pundak mereka, bukan di sekolah. Maka, kita tidak bisa hanya pasrah bongkokan kepada sekolah. Cari sekolah mahal, dan minta anak kita dididik sebaik-baiknya.
Sebagai orang tua kita harus selalu dan selamanya; membimbing, memantau, meluruskan, menyelamatkan dan mendoakan anak-anak kita. Ada kalanya perjalanan yang kita tempuh mungkin begitu sulit dan berliku, tidak perlu galau. Yang terpenting kita telah berikhitiar semaksimal mungkin, sisanya pasrahkan saja kepada Allah sang pemilik kehidupan.
Langkah-langkah sederhana untuk bisa mencapai posisi sebagai seorang guru yang utama dan pertama bagi anak-anak, khususnya para ibu adalah sebagai berikut;
- menyusui langsung
- mengajak diskusi
- melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah tangga
- do it yourself
- problem solving
- menciptakan kegiatan yang aktif dan kreatif
- membaca buku bersama
- olahraga bersama
- cinta dan kasih sayang
- membacakan Al Quran
- memanjatkan doa dan mengeluarkan sedekah
Membangun Home Based Education
Setelah kita sadar dari 'pingsan' dan kembali kokoh menjadi sebenar-benarnya orang tua. Maka langkah selanjutnya yaitu bagaimana membangun suasana home based education di dalam keluarga kita. Untuk bisa mencapai pengasuhan dan pendidikan yang lebih terarah di rumah, maka kita harus mau menyediakan waktu untuk mempelajari parameter perkembangan anak, mengintegrasikan materi dalam pengasuhan sehari-hari, dan merencanakan kegiatan.
Jika tidak berjalan dengan rencana yang kita buat? Jangan panik dulu! Ingatlah masa anak-anak itu sebentar kok, ribetnya nggak lama. Mending ribet sekarang, daripada saat nanti mereka udah beranjak besar. Pengasuhan itu seperti hutang, jika tidak diberikan dengan baik saat anak masih belia, ia akan menagih di masa yang akan datang. Nggak perlu yang neko-neko, sederhanakan saja aktivitas-aktivitasnya, libatkan mereka dalam setiap kegiatan di rumah, berikan tanggung jawab sederhana seperti merapikan mainan sendiri, memakai baju sendiri, menemani adik main selama ibu memasak dan sebagainya. Integrasikan setiap rencana pembelajaran dengan semua aktivitas di rumah; misal sambil mendongeng kita secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai moral, sambil mengajari anak cuci piring kita ajari tentang cinta kebersihan.
Biar lebih gampang merencanakan kegiatan belajar di rumah bersama anak, berikut ini ada beberapa hal dan sikap yang harus kita kembangkan dalam diri anak. Jika kita sudah tahu apa saja yang harus dikembangkan, insya Allah kita akan lebih mudah dalam memilih jenis kegiatan yang akan kita lakukan bersama anak-anak.
Sikap yang dibangun dalam suasana belajar; antusias, mengembangkan rasa ingin tahunya, kooperatif dan menyenangkan. Saat bersama anak, maka kita harus fokus sehingga punya cukup waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menanggapi rasa ingin tahunya. Karena ketika kita tidak punya cukup waktu untuk itu, tanpa sadar kita bisa mematikan rasa ingin tahunya dan potensi belajarnya. Buat suasana jadi menyenangkan dengan membiarkan anak untuk memilih materi belajar yang diinginkan, tidak perlu takut kotor dan berantakan. Jadilah fasilitator bukan sekedar tutor.
Oleh karenanya saat kita memilih sekolah untuk anak pun kita juga wajib melihat apakah sekolah yang kita tuju bisa membangun suasana belajar dalam diri anak. Ingat, setiap anak berbeda. Anak A bisa jadi cocok di sekolah A, namun anak B belum tentu cocok di sekolah A.
Banyak orang tua jaman sekarang yang kebingungan kalau anak-anak usia TK belum bisa membaca. Apalagi kalau melihat anak tetangga sudah lancar mengeja dan membaca kata, langsung deh kebingungan, takut nanti nggak keterima di SD dan sebagainya. Padahal dibandingkan sekedar keterampilan membaca, ada yang lebih penting, yaitu; menumbuhkembangkan anak-anak yang cinta buku dan ilmu pengetahuan, membangun kepahaman anak terhadap apa yang dibacanya, memperkaya kosa kata dan wawasan anak dan membangun karakter anak lewat bacaan yang kita pilihkan.
Keterampilan membaca bisa diajarkan dalam waktu enam bulan asal anak tidak memiliki kecenderungan dysleksia atau kebutuhan khusus lainnya. Namun mengajarkan anak mencintai dan membutuhkan kegiatan membaca memerlukan proses yang panjang. Biasakan membaca bahkan sejak baby di kandungan, sehingga nanti mereka akan menganggap membaca bukan hanya untuk kebutuhan pelajaran di sekolah, tapi budaya untuk menggali informasi lebih banyak.
Ciptakan kegiatan membaca yang menarik dan menyenangkan sehingga bisa menumbuhkan minat dalam diri anak. Jika anak sudah bisa membaca sendiri, minta dia yang membaca dan gantian kita yang mendengarkan. Dengarkanlah dengan antusias agar anak tahu kita fokus pada apa yang dibacakannya. Jangan sampai kegiatan membaca hanya sekedar pengantar tidur. Ajak anak untuk kembali menceritakan dan menyampaikan kembali informasi yang baru saja dia dapat dari bacaannya atau dari cerita yang kita bacakan. Tanyakan siapa tokohnya, ada kejadian apa, mengapa si tokoh begini, apa yang bisa diambil dari cerita tersebut. Secara tidak langsung hal tersebut akan mengajarkan anak untuk bisa bercerita secara runtut. Anak-anak yang usianya masih kecil, balita, biasanya akan senang dengan kegiatan membaca yang disertai dengan gambar. Bahkan kita bisa menyediakan satu gambar besar dan ajak mereka menyusun cerita sendiri dari gambar tersebut.
Dari proses kegiatan membaca ini, kita juga tidak langsung seperti bermain-main dengan anak. Kita bisa memasukkan konsep bermain peran. Bermain peran merupakan proses pembelajaran yang penting untuk anak-anak, Mereka bisa belajar menyelesaikan masalah, berimajinasi, mengembangkan kreativitas dan mampu mengambil peran sesuai kondisi dan kebutuhan cerita.
Perpaduan kegiatan membaca dan bermain peran secara tidak langsung akan meningkatkan skill komunikasi anak. Kemampuan komunikasi pada anak meliputi; mendengar dengan paham, dapat mengikuti arahan dan petunjuk, berbicara dengan jelas, menceritakan pengalamannya, bercerita sesuai urutan kejadian dan berani memberikan pendapat atau ide-ide.
Jika kemampuan komunikasi anak telah terbentuk dengan baik, maka hal itu sangat membantu anak dalam bersikap di lingkungan sosialnya. Adapun sikap yang perlu dibangun yaitu mudah berinteraksi dengan orang dewasa, aktif dalam kelompok, bermain dengan baik, bergiliran dan bergantian, serta peduli lingkungan.
Dan ternyata hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter tersebut tidak akan tercipta jika kita hanya berpasrah pada sekolah. Yuk, ayah ibu kita kembali ke rumah dan ambil peran kita sebagai guru utama dan pertama bagi anak-anak kita.
Tertarik untuk belajar bersama teh Kiki Barkiah? Besok pagi HSMN akan menggelar seminar parenting "Ayah Ibu Jadilah Sahabat dan Guru Terbaikku" di Hotel Candi Indah lo. Dari jam 08.00 - 15.00. Selain teh Kiki, juga ada Ustad Bendry yang akan berkisah tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Sudah daftar kan acara keren ini? Rugi lo kalau nggak datang :)
14 comments
Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)
Salam,
maritaningtyas.com
Salam,
maritaningtyas.com
Subhanallah ya, semoga kita bisa ikut jejaknya. aamiin
ReplyDeleteAamiin. Mbak Dian smp selesai kmrn? Aku kok gak lihat jenengan habis UST. Bendry
Deletekeren ya mbak kiki bukunya udah banyak
ReplyDeleteIya mbak.. Lebih asyik lg denger beliau ngomong.. Teges banget :) so inspiring
DeleteMba..kabar2 yaa kalau ada info seminar parenting yang lain, biar ada pengingat setelah diri ini khilaf :)
ReplyDeleteInsya Allah :)
DeleteTulisannya lengkap sekali mba. Aku sendiri merasakan tak mudah ya menjadi orangtua di jaman ini. Buku ini menjadi reminder bagi saya :)
ReplyDeleteIya mbak. Buku Teh Kiki enak banget dibaca. Ngalir Dan down to earth banget :)
DeleteKomunitasnya dibawah banyak bener, tidak salah kalau bisa punya banyak teman
ReplyDeleteAlhamdulillah :) silaturahim memperpanjang umur n memperbanyak rizki :)
DeleteTTeH kibar emang keren banget ya mba... sangat menginspirasi. Kagum sy sama beliau
ReplyDeleteSama mbak.. Aku Juga kagum.. Apalagi waktu dia handle anak2nya sebelum naik panggung di acara HSMN.. Awesome :)
Deletemba maritaaa... :D makasiih tulisannyaa...
ReplyDeleteohya yg white zone nya teh kiki kayaknya ketinggalan belum dijelaskan. kalo white zone itu apa mba?
Ah iya mbak, kelupaan.... kalau nggak salah zona aman mbak...
Delete