Tak terasa 17
Agustus sudah seminggu berlalu. Hingar bingar acara 17an pun mulai menghilang
satu per satu. Bendera demi bendera sudah diturunkan, umbul-umbul tak lagi
terpasang, lampu-lampu hias pun mulai dipreteli. Lomba demi lomba telah usai.
Pekik merdeka
yang disuarakan berkali-kali di malam tirakatan itu kini mulai kering makna.
Apakah ketika dengan lantang diteriakkan ribuan kali di malam itu kita sanggup
mengisi kemerdekaan ini sejalan dengan perjuangan para pahlawan? Atau justru gagal
paham dengan perayaan-perayaan yang berupa seremoni saja. Lomba tanpa kesan dan
musik hingar bingar tanpa pesan, bahkan di beberapa kampung malah asyik nanggap
dangdut koplo dengan penyanyi berpakaian aduhai yang bikin jantung penontonnya
hampir copot. Lantas setelah malam itu usai. Apa artinya itu semua untuk kita?
Apa artinya kemerdekaan untuk kita? Apa artinya Indonesia untuk kita?
Setiap orang
pasti punya makna kemerdekaannya masing-masing. Tapi untukku, melihat betapa
semakin amburadulnya pergaulan muda-mudi di negeri ini, makna kemerdekaan
adalah sebuah keadaan di mana negeri ini mampu membentengi diri dari
pengaruh-pengaruh negatif bangsa lain. Kemerdekaan adalah sebuah kondisi dimana
anak-anak bangsa mampu muncul dengan karakter yang kuat, tidak ikut-ikutan tren
barat ataupun Korea.
Untukku,
merdeka adalah ketika anak-anak bangsa ini terbebas dari ancaman menjadi
generasi BLAST dan tumbuh menjadi generasi EMAS yang berakhlakul karimah,
memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang mumpuni sehingga mampu menerima
esfafet kepemimpinan negeri ini dengan baik. Dan kemerdekaan impian itu hanya
terwujud jika kita, orangtuanya mampu menjadi orangtua-orangtua yang
berkarakter dan merdeka dari nafsu serta ego pribadi, memberikan waktu dan
pengasuhan terbaik untuk mereka, anak-anak kita.. generasi penerus bangsa. Tentu
saja dibutuhkan pula dukungan negara untuk memfasilitasi pendidikan kepada
anak-anak bangsa yang tidak hanya disandarkan pada rangking dan angka-angka,
namun juga bagaimana menanamkan karakter sejak dini.
Saat Allah
memberi kesempatan kepadaku untuk bisa hadir pada Pelatihan Akbar “Praktik Pendidikan Karakter dan Pendekatan Saintifik
yang Sukses Membangun Karakter, Daya Pikir Kritis dan Kreativitas Anak”,
aku semakin trenyuh. Data-data yang disampaikan oleh Ibu Ratna Megawangi, founder dari Indonesia Heritage Foundation (IHF) dalam materinya “Pentingnya Pendidikan Karakter Sejak Dini”
membuatku tercekat. Betapa selama ini kita hanya mengejar kognitif. Betapa anak-anak
dinilai pintar hanya dari hitungan angka-angka. Betapa anak-anak dianggap
pintar jika mampu mengerjakan soal-soal matematika, Bahasa Inggris, Fisika,
namun kita lupa menyisipkan pendidikan karakter.
Banyak guru
tidak lagi digugu dan ditiru malah jadi bahan cemoohan dan ditakuti karena
mengajarkan sesuatu dengan ancaman, dengan keadaan yang spaneng dan jauh dari
kegiatan yang fun dan ceria.
Akhirnya, tak ada ilmu yang terserap dengan sempurna.
Hasilnya dari sebuah data
penelitian dikemukakan bahwa daya nalar pelajar Indonesia masuk dalam lingkup
rendah, yang artinya mereka hanya mampu menjawab soal-soal tertentu, namun
belum mampu mengelola informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah
non rutin dan menggambar kesimpulan. Di sebuah penelitian lainnya malah diungkapkan
bahwa tingkat kreativitas bangsa Indonesia ada di rangking 81 di antara 82
negara. Mengenaskan ya?
Sudah di
sekolah dibikin stress tingkat tinggi, di rumah pun tak ada bedanya. Orang tua
memberikan tuntutan-tuntutan luar biasa. Harus rangking sekian, harus dapat
nilai sekian, harus bisa masuk ke sekolah A. Banyak orang tua yang belum
menyadari bahwa potensi dan keunggulan anak itu berbeda-beda, namun sayangnya mereka
justru lebih fokus pada kekurangan anak daripada keunggulannya. Ketika
anak-anak mereka nilai matematika dan Bahasa Inggrisnya rendah,
sekonyong-konyong koder langsung dileskan ini itu dengan tujuan baik;
mendongkrak nilainya agar menjadi tinggi. Hasilnya apa? Ketika anak memang
tidak memiliki keunggulan di situ, akhirnya mereka semakin tidak termotivasi dan
malah terpaksa melakukannya, akhirnya mereka semakin stress dan kemajuan yang
diimpikan orang tua pun nihil.
Munculnya Generasi BLAST yang MERISAUKAN
Kalau
didengar terkesan sepele ya, namun siapa sangka kalau anak-anak kita merasakan
stress yang berkepanjangan, lambat laun mereka akan tumbuh menjadi generasi
BLAST dan MERISAUKAN.
Istilah BLAST
diperkenalkan oleh ibu Elly Risman yang merupakan kepanjangan dari anak-anak
yang mengalami Bored, Lonely, Angry,
Stress dan Tired. Sedangkan bu
Flo Jusung dari IHF lebih senang menggunakan kata MERISAUKAN, yang merupakan
kepanjangan dari generasi Merana, Minder, Galau dan Rindu Kasih Sayang.
Sekarang coba
tengok ke sekeliling kita, sudah berapa banyakkah anak-anak yang masuk dalam
kategori tersebut? Anak-anak yang hidup dalam dunianya sendiri, pegang gadget
tanpa tahu waktu, lupa makan, lupa ibadah, tidak lagi hormat pada orangtua dan
guru. Lantas kenapa mereka bisa terperangkap dalam kondisi tersebut? Mari kita
tanyakan pada diri kita masing-masing, seperti apakah cara kita menyayangi
anak-anak tersebut.
Dengan
memberikan mereka waktu dan cinta yang cukup ataukah memberikan mereka dengan
segudang fasilitas canggih, dari laptop terbaru, gadget paling ajib, uang saku
bejibun, mobil atau motor dengan harga selangit? Seringkali kita
mengatasnamakan kesibukan dan pekerjaan kita dengan tameng cinta kasih untuk
anak, demi masa depan mereka yang lebih baik, namun kita seringkali lupa bahwa
ada kebutuhan dasar yang lebih penting dari segudang materi; cinta kasih.
Ya, generasi
BLAST yang MERISAUKAN ini timbul karena jiwa-jiwa mereka yang haus kasih
sayang, yang dalam dirinya penuh dengan emosi negatif dan kekurangan emosi
positif. Kenapa? Karena orang tuanya sibuk bekerja, bahkan meski orang tuanya di
rumah malah sibuk nonton Uttaran dan BBM-an atau online shoppingan. Karena
guru-gurunya hanya paham bahwa anak pintar itu yang nilainya Sembilan, di luar
itu hanyalah anak-anak bandel yang tak tahu aturan.
Bahkan
seringkali ketika anak telah berbuat dan berusaha sebaik mungkin pun, usaha
mereka tidak dihargai. Orang tua dan guru masih menganggap bahwa hasil yang
didapatnya belum maksimal. “Kenapa cuma dapat
delapan kalau bisa dapat Sembilan?” “Kenapa cuma rangking 3 kalau bisa rangking
1?”
Kenapa kita
tidak memberikan penghargaan atas usaha dan proses yang dijalaninya dan hanya
fokus pada hasil yang didapat?
Contoh nyata
dari generasi BLAST ini mulai muncul satu per satu. Lihat saja
selebgram-selebgram yang mulai menunjukkan eksistensinya dengan cara yang bikin
dada kita berdesir. Ketika mbak Aw… Aw… itu muncul dengan tangisan hebohnya di
YouTube dan foto-foto mencengangkannya di Instagram bersama pasangannya. Viral.
Ibu-ibu banyak yang gedheg-gedheg. Apalagi saat ada info bahwa dulunya si Aw…
Aw… ini anak yang berprestasi.
Belum selesai
keterpanaan kita dengan si Aw… Aw…, muncullah YouTuber lainnya yang konon terkenal lewat Bigo Live, sebuah aplikasi baru yang lagi ngetren di kalangan anak
muda. Aplikasi ini semacam Snapchat
dimana pemilik akun bisa berbagi informasi secara live lewat video dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan followernya. Si YouTuber
yang lagi viral ini (maaf aku lupa namanya) sering sekali posting video
Bigo-nya dengan penuh umpatan, perkataan-perkataan yang menjurus seksualitas,
hingga buka-bukaan baju. Naudzubillahi
min dzalik.
Dan ini hanya
dua yang nampak nyata, sedang faktanya jumlah para generasi BLAST ini semakin
banyak dan banyak. Kita tidak hanya bisa menyalahkan mereka. Perilaku buruk
tidak timbul secara instan dan dadakan. Perilaku itu timbul karena
ditumbuhkembangkan. Anak yang dulunya berprestasi dalam sekejap berubah menjadi
anak liar. Gadis yang cantik rupawan tumbuh menjadi gadis yang kasar ucapannya.
Tanya kenapa? Komunikasi yang buntu
dengan orangtua dan guru merupakan salah satu pemicunya.
Komunikasi
yang buruk antara orang tua dan anak, guru dan murid, adalah salah satu wujud
dari pola asuh dan pola didik yang salah. Tak tahukah software yang kita install
pada jiwa-jiwa anak-anak kita lewat pola asuh dan pola didik yang salah akan
menghasilkan jiwa berkarakter lemah?
Yuk, Raih Kemerdekaan Sebenarnya!
Ah, sudahlah.
Terlalu fokus pada data-data dan fakta-fakta menyedihkan itu hanya akan membuat
kita nyinyir dan saling menyalahkan. Kini saatnya kita bangkit dan
bergandengtangan meraih kemerdekaan sebenarnya.
Dan dalam
pikiranku, inilah 45 hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengisikemerdekaan demi menghapuskan generasi BLAST di muka bumi Indonesia ini;
1. Ajarkan
anak untuk mencintai Tuhan. Bukan hanya sekedar belajar cara praktik ibadah dan
menghafal surat-surat, namun tanamkan keyakinan mereka terhadap Tuhan.
Anak-anak yang mencintai Tuhan akan tumbuh menjadi anak yang mencintai
kebaikan.
2. Memberikan
pelukan pada anak setiap hari. Tunjukkan betapa berartinya mereka untuk hidup
kita.
3. Katakan
“I Love You” pada anak-anak setiap
hari. Kita tidak pernah tahu kapan waktu akan memisahkan kita dengan mereka.
4. Stop
bad labeling pada anak. Tidak ada anak nakal dan bodoh, yang ada hanya orang tua
dan guru yang tidak sabar dan tidak mau memahami mereka.
5. Hargai
hak-hak anak dan kebutuhan mereka terhadap cinta kasih kita. Beri waktu untuk
anak minimal 30 menit setiap hari untuk benar-benar bersama kita, tanpa
diganggu oleh benda-benda kotak, macam televisi, gadget, kompor, koran dan
sebagainya. Berikan 30 menit yang istimewa dan biarkan anak bercerita apa saja,
untuk anak-anak balita lekatkan diri kita dengan bermain bersama di dunianya
yang penuh tawa.
6. Jika
30 menit ternyata terasa kurang, maksimalkan waktu bersama keluarga pada 18.00
-21.00. Jalankan program 1821 yang kini sudah semakin viral dan rasakan
dampaknya bagi keluarga kita. (Baca:
Liburan Hemat bersama Program 1821)
7. Kuatkan
niat dan ingatlah kembali tujuan mengapa kita memiliki anak.
8. Hadiri
kajian-kajian ilmu dan seminar-seminar parenting untuk memperkaya wawasan kita
demi menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anak kita.
9. Jadilah
orang tua yang bahagia; orang tua yang bisa menerima anak-anaknya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya.
10. Sadarilah
bahwa anak-anak lebih dari sekedar angka dan rangking.
11. Hindari
kompetisi di usia dini. Kompetisi di usia dini hanya akan menumbuhkembangkan
anak-anak yang tidak mau bekerjasama dan cenderung egois. Ajak anak-anak untuk
mengikuti kompetisi beregu.
12. Tidak
ada yang THE BEST di dunia ini karena kata PALING adalah mahkota Tuhan. Maka
jangan didik anak untuk menjadi terbaik dengan menuntut ini itu. Anak yang
selalu dituntut menjadi terbaik akan tumbuh menjadi anak yang tidak suka
berbagi, egois dan anti kritik. Tanamkan bahwa melakukan usaha terbaik adalah
keharusan, namun hasil adalah urusan Tuhan. Maka ketika mereka tidak
mendapatkan hasil yang diharapkan, anak-anak tetap merasa puas karena telah
menjalankan proses sebaiknya.
13. Mari
tanamkan dalam diri kita masing-masing bahwa semua anak itu unik dan spesial. Bahwasanya
setiap manusia ditakdirkan sebagai pemenang.
14. Jangan
manjakan anak dengan fasilitas berlebihan.
15. Berikan
anak tanggung jawab untuk membantu pekerjaan rumah tangga sejak mereka berusia
tujuh tahun.
16. Jangan
ajari anak untuk menabung, tapi ajari mereka bagaimana mengelola uang.
17. Stop lomba-lomba yang tak berkarakter; misal
lomba sepakbola dengan peserta laki-laki yang memakai daster, lomba panjat
pinang yang akhirnya jadi ajang injak-injakan dan tanpa sadar justru
mengajarkan penjajahan terhadap orang lain, atau bahkan lomba K3 yang nampaknya
bermutu namun justru mengajarkan kita menjadi penipu-penipu ulung; membersihkan
lingkungan bukan karena sadar diri namun agar mendapat trofi.
18. Stop
menggerutu pada tayangan TV yang buruk. Remote TV ada di tangan kita. Matikan
tayangan-tayangan yang tidak baik, tak usah ditonton, dan say goodbye pada
Uttaran, Anak Jalanan dan jajarannya. Pilih tontonan yang berkualitas untuk
anak-anak.
19. Agendakan
kegiatan membaca untuk anak. Tumbuhkan kesukaan membaca di dalam diri
anak-anak. Fasilitasi buku-buku berkualitas untuk mereka. Tidak punya cukup
dana untuk membeli buku? Tak perlu bersedih hati. Bukankah kita punya kitab
suci? Tidak ada buku yang lebih baik dari kitab suci-kitab suci kita yang di
dalamnya mengandung berbagai kisah nabi-nabi dan petuah-petuah untuk hidup yang
lebih baik.
20. Sadarilah
bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan suci dan fitrah. Jika kini mereka
berperilaku buruk maka ada campur tangan kita di dalamnya. Evaluasi diri kita
masing-masing. Sebelum membenahi anak, maka benahilah diri kita terlebih dulu.
21. Jangan
jadi orangtua dan masyarakat yang abai. Sikap abai terhadap apa-apa di sekitar
kitalah yang melahirkan generasi-generasi BLAST. Stop pikiran “alah, bukan anakku ini, urusan orang tuanya
lah.” Mari saling berbagi cinta dan mengingatkan dalam kebaikan.
22.Bekali
anak dengan pendidikan akil baligh.
23. Stop
berikan gadget di usia dini jika kita tidak mampu memberikan batasan yang tegas.
Para ahli otak bahkan menyarankan “stop
giving gadget before kids reaching 8 years old.”
24. Berikan
pujian-pujian positif pada anak untuk membangun kepercayaan dirinya.
25. Stimulasi
anak-anak kita dengan memberikannya pertanyaan-pertanyaan terbuka, khususnya
pada usia-usia dini untuk menumbuhkembangkan daya berpikir kritis dan
kreatifnya.
26. Ucapkan
kata JANGAN pada tempatnya. Selama aktivitasnya tidak mengganggu orang lain,
tidak membahayakan diri sendiri, dan tidak bertentangan dengan norma agama dan
aturan agama, maka bebaskan anak-anak kita bereksplorasi.
27. Jika
anak-anak kita suka ngegame, kenali game seperti apa yang mereka mainkan.
Arahkan mereka untuk bermain game yang positif.
28. Kenalkan
kembali anak-anak dengan permainan-permainan tradisional yang sarat makna,
seperti Gobag Sodor, Betengan, Petak Umpet, dsb.
29. Jangan
paksa anak untuk bisa calistung di usia dini. Dikenalkan dengan cara yang fun
tentu saja boleh, tapi memberikan target berlebihan pada mereka untuk bisa
calistung di usia dini bisa membahayakan jiwa-jiwa mereka. (Baca: Pro Kontra Pengajaran Calistung di TK Memanas Lagi)
30. Pilih sekolah yang sesuai dengan visi
misi pendidikan keluarga kita dan memahami tahap-tahap perkembangan anak. Sekolah adalah partner, maka jangan sampai
memilih partner yang salah.
31. Jika
kita memutuskan homeschooling, maka buat keputusan itu sebagai bentuk ikhtiar
dan bukan sekedar ikut-ikutan tren.
32. Berikan
kepercayaan pada anak bahwa ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan
bertanggung jawab. Stop negative thinking pada anak. Hal kecil yang seringkali
kita lakukan adalah ketika kita akan meninggalkan mereka bekerja atau pergi ke
suatu tempat, kita memberi pesan kepada mereka “jangan nakal”, “jangan bikin repot”, “jangan rewel”, “jangan nangisan”
dsb. Mari ubah pesan-pesan tersebut dengan kalimat-kalimat positif, seperti; “jadi anak pintar ya nak”, “yang baik ya nak”,
dsb.
33. Hargai
usaha dan proses anak dalam mendapatkan sesuatu, jangan terpaku pada hasil.
Jika kita menghargai sebuah usaha, kita tidak akan gelap mata untuk meminta
anak berbuat curang demi mendapat hasil yang terbaik. Apalah artinya nilai 9
yang didapat dari mencontek dibandingkan nilai 6 yang didapat karena hasil dari
buah pikirnya sendiri.
34. Bahwasanya
menumbuhkembangkan karakter dan perilaku baik pada anak bukan proses yang
instan, maka bersabarlah.
35. Ajak
anak-anak untuk mencintai kebaikan; melakukan hal-hal positif dengan senang
hati bukan karena keterpaksaan.
36. Kenalkan
anak dengan banyak aktivitas yang bermanfaat untuk mengisi waktu luangnya.
Semakin banyak mereka memiliki kegiatan bermanfaat semakin tumbuh jiwa mereka
sebagai pembelajar.
37. Berfokus
pada menumbuhkembangkan anak yang bermanfaat bagi sesama, yaitu anak yang
selalu melakukan nilai tambah dan kebaikan.
38. Menumbuhkembangkan
jiwa kepemimpinan pada diri anak. Setiap anak harus menjadi pemimpin,
setidaknya bagi diri mereka sendiri.
39. Mengajarkan
anak bahwa ada banyak perbedaan di muka bumi dan bagaimana kita memandang serta
menghormati perbedaan tersebut.
40. Fokus
pada kebaikan anak, bukan keburukannya. Fokus pada keunggulannya, bukan
kekurangannya.
41. Pilihkan
lagu yang baik untuk anak-anak. Anak-anak adalah penyerap ulung, jangan sampai
lagu yang kesannya sepele mendarah daging hingga merusak jiwanya.
42. Perbaiki komunikasi dengan anak. Bahwasanya broken home family bukan sekedar
keluarga yang berpisah, namun juga keluarga yang komunikasi antar anggotanya
buntu. Ajak anak ngobrol bukan sekedar ngomongin anak (baca: nasehatin satu
arah).
43. Jadikan
diri kita sumber terpercaya bagi anak dengan cara tidak pernah membohongi
mereka dalam hal sekecil apapun.
44. Ucapan
akan melahirkan perbuatan, perbuatan melahirkan sifat dan karakter, dan
karakter akan menentukan nasib. Maka hati-hati dengan ucapan kita.
45. Ikhlas
dan berpasrah pada Allah, Tuhan Semesta Alam. Yakinlah bahwa tidak ada satu daun
pun yang jatuh tanpa izinNYA. Titipkan anak-anak kita padaNYA karena tidak ada
penjagaan terbaik selain penjagaan dariNYA. Kita hanya mampu berikhtiar, urusan
hasil adalah mutlak milikNYA.
Belum
terlambat untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Mari terus jaga
generasi-generasi muda yang telah menunjukkan kualitas terbaiknya, yang telah
menunjukkan prestasi mereka di bidang olahraga, sains, budaya dan sebagainya.
Tetap doakan mereka agar selalu konsisten dan istiqomah menjaga ghirah dalam berbuat kebaikan dan memberikan kemanfaatan untuk orang lain.
Di satu sisi, jangan lepaskan anak-anak muda yang sedang tersesat, anak-anak
muda seperti adik Aw… Aw… dan teman-temannya. Mari rangkul mereka, berikan
mereka cinta dan doakan mereka agar Allah memberikan hidayahnya dan kembali
menemukan jalan lurus untuk hidupnya.
Kesuksesan
yang sebenarnya hanya akan terlihat ketika kain kafan telah membungkus jasad
kita. Maka tidak perlu membangga-banggakan anak-anak yang sudah baik sekarang
ini, tidak perlu pula nyinyir dan memandang sebelah mata anak-anak yang
hidupnya ‘kacau’. Kita tidak akan pernah tahu perjuangan dan takdir akan membawa mereka di titik yang seperti apa.
Yang kita perlu lakukan hanyalah terus berbagi cinta baik pada yang telah
menunjukkan prestasinya, juga pada mereka yang haus akan kasih sayang.
Tentu saja 45
hal itu hanya sebagian kecil yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita. Masih
ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memerdekan mereka dari jeratan
BLAST. Mari alirkan emosi-emosi positif kepada anak-anak kita dan mari kita
tumbuhkembangkan generasi EMAS yang penuh CINTA! Merdeka! Dirgahayu ke 71, Indonesiaku...
*Writing for sharing. Penulis tidak lebih
baik dari pembaca. Tulisan ini juga merupakan jeweran dan self reminder untukku sendiri. Mari bersama membangun bangsa
6 comments
Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)
Salam,
maritaningtyas.com
Salam,
maritaningtyas.com
Banyak banget peer nya jd orangtua ya. Udah ada yg diterapin tp masih banyaakk bgt yg harus terus di update. Moga2 bisa jd ortu yg baik buat anak2 kita ya mak
ReplyDeleteAamiin. Iya mak... PR ortu jaman sekarang banyak bingit :)
DeleteSemakin hari semakin bertambah tugas orangtua dalam mendidik anak-anak. Banyak pe ernya. Akupun masih terus belajar. Makasih ya, selalu berbagi ilmu parenting :D
ReplyDeleteSama-sama mbak. Aku jg masih terus bebenah dan belajar terus :) saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan ya mbak :)
Deletesangat bermanfaat mbak..aku juga masih banyak kekurangan sebagai ortu .tfs ya mbak
ReplyDeletesama-sama mbak.. :) Indahnya berbagi :)
Delete