Akhir-akhir
ini media sedang panas dengan pemberitaan beruntun mengenai kejahatan seksual.
Bahkan baik korban dan pelaku tidak hanya orang dewasa yang sudah cukup umur,
namun masih remaja-remaja belia. Lebih mengerikan lagi beberapa kasus malah
melibatkan balita di dalamnya. Mungkin yang pernah mengikuti seminar bu Elly Risman telah sadar akan “bencana” ini karena data-data yang disampaikan saat
seminar begitu akurat dan membuat kita melek betapa berbahayanya dunia kita
sekarang ini.
Sayangnya
masih sedikit orang tua yang menutup mata atas “bencana” ini. Nggak usah
jauh-jauh ke kota-kota lain. Aku sendiri banyak melihat orang tua-orang tua
yang membutakan diri terhadap kenyataan yang ada. Beberapa pihak sudah mencoba
berbagi tentang bahayanya gadget, pergaulan yang semakin tak terkontrol,
pornografi, namun masih saja banyak yang mengumbar anaknya pergi ke warnet dan
game center seharian, tanpa dicari, tanpa diberi batasan. Masih banyak orang
tua yang membiarkan anak balitanya keluar rumah hanya berpakaian dalam, bahkan telanjang
dan mengganti baju di luar rumah. Masih begitu banyak orang tua yang memberikan
gadget tercanggih pada anak-anaknya tanpa batasan, tanpa tahu di dalam laptop
atau handphone anak-anaknya ada game seperti apa, aplikasi apa. Dan masih
sangat banyak orang tua yang nyah-nyoh soal uang saku pada anak-anaknya, hingga
mereka bebas membelanjakan uang sakunya untuk pergi ke warnet dan game center,
tanpa diajari bagaimana mengatur uangnya tersebut.
Miris!
Hanya kata
sederhana itu yang bisa menggambarkan apa yang di pikiranku. Dan kemudian
ketika anak mulai semakin membangkang, mereka bilang, “aah anak-anak sekarang susah diatur!”
Mereka yang
susah diatur, atau kita para orang tua yang malas mengaturnya? Malas
bersusah-payah untuk menjadikan anak kita generasi emas. Tak ada sesuatu yang
instan, parents. Semua pasti butuh
proses. Kita pilih yang mana – anak menangis di saat kecilnya karena mereka
belajar sesuatu atau anak menangis di saat dewasanya karena mereka tak sanggup
bertahan dalam kerasnya hidup, sebab kita dulu begitu mudah mengabulkan dan
memberikan apa yang mereka minta?
Ketika
anak-anak kemudian menjadi “rusak”, lingkungan menjadi kambing hitam atas
kerusakan mereka. Tanpa pernah sedikit pun orang tua mau bertanya pada diri
sendiri, adakah kesalahanku dalam mendidik mereka hingga mereka menjadi seperti
ini?
Getir saat
aku membaca sebuah berita kasus kejahatan seksual yang salah satu pelakunya
anak SMP. Orang tuanya berkata “kami
tidak menyangka anak kami melakukan seperti itu, dia lulusan pesantren, dia
rajin beribadah…”
Kini semakin
banyak orang tua yang tidak mengenali anak-anaknya. Mereka hanya mengenali
anaknya secara luar, tapi semakin jarang orang tua yang mengenali anaknya
secara dalam. Menyedihkan. Bahkan banyak orang tua yang tidak paham anaknya
berteman dengan siapa, atau bahkan kapan pertama kali anak laki-lakinya mimpi
basah!
Sebuah status
dari Abah Ihsan Baihaqi, salah satu mentoring parenting di Indonesia, mungkin
bisa menginspirasi;
Kita sadari, betapa mengkhawatirkannya jadi orangtua jaman sekarang.
Pengaruh negatif internet, media sosial, kejahatan, kenakalan remaja,
pornografi, budaya hedonis dan lainnya menjadikan sebagian orangtua bertanya:
"apakah yakin anak kita bisa bertahan dengan kebaikan di tengah gempuran
ini semua?"
Kita boleh
khawatir, tapi saya mau kabar gembira, semua riset menunjukkan bahwa orangtua
selalu memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan anak-anak mereka. Karena
orangtua proaktif akan membangun karakter positif
anaknya. Sehingga pengaruh positif orangtua akan lebih kuat daripada pengaruh
negatif dari luar anak.
Terkesan teori, tapi tidak manakala kita mengetahui bahwa hampir
semua orang jahat, semua remaja yang bermasalah yang menghebohkan berita hari
ini, ternyata memiliki masalah yang buruk dengan orangtuanya di masa lalu. Saya
sih tidak terkejut.
Pola asuh orang tua
sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak. Dan seharusnya orang tua bisa
menjadi pengaruh positif terkuat bagi anak-anaknya. Untuk bisa menjadi pengaruh
terkuat bagi anak-anak, orang tua membutuhkan cukup ilmu dan harus menjadi
sosok-sosok yang tidak pernah lelah belajar. Tantangan anak-anak kita berbeda
dengan tantangan kita saat masih anak-anak dulu, maka sudah sepatutnya kita pun
belajar menjadi orang tua yang lebih baik dari orang tua jaman dulu. Orang tua
yang lebih baik dalam berkomunikasi dan memahami kebutuhan anak. Orang tua yang
lebih paham ngajak ngomong anak bukan sekedar ngomongin (baca: nasehatin) anak.
Ngobrolin soal hubungan
orang tua dan anak, tanggung jawab orang tua pada anak, aku merasakan sesak
yang teramat sangat di dadaku. Sangat menyebalkan membaca berita yang kini
banyak beredar, bagaimana pelaku-pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah
umur diberikan keringanan hukuman. Bahkan banyak yang dibebaskan bersyarat,
hanya dengan diwajibkan melapor secara harian. Adilkah itu?
Lantas bagaimana nasib
korban yang masa depannya mungkin hancur, penuh trauma dan depresi, dipandang
sebelah mata oleh masyarakat, dianggap “sampah” oleh sebagian orang, menanggung
malu seumur hidup. Adilkah jika pelaku hanya diberi hukuman seringan itu?
Sebagai ibu dari
seorang gadis kecil, jujur aku sangat senewen baca berita di beberapa media
akhir-akhir ini. Betapa banyak para orang tua yang begitu susah payah menjaga dan membentengi anak-anaknya
dari kasus-kasus semacam itu, namun di luar sana banyak orang tua yang nggak
mau tahu dan anaknya diumbar begitu saja, yang begitu mudah bertumbuh menjadi
pelaku-pelaku kejahatan baru.
Jika saja celotehan
seorang ibu ini bisa didengar, maka buatku hanya tiga hukuman ini yang pantas
untuk para pelaku kejahatan seksual.
Hukuman pertama, gantung atau rajam hingga mati. Apalagi
jika korbannya kemudian akhirnya harus meregang nyawa. Kalaupun tidak meregang
nyawa, rata-rata korbakejahatan seksual akan mengalami trauma yang luar biasa. Meski
tidak meninggal, pelaku secara tidak langsung telah ‘membunuh’ masa depannya. Bahkan
ada pelaku yang korbannya ternyata tidak hanya satu, bahkan belasan hingga
puluhan. Jelas tidak ada tawaran lagi, hukuman mati adalah yang terbaik.
Hitung-hitung ngurangin penduduk Indonesia yang semakin banyak lah. Buat apa menuhin
negara dengan makhluk bejat yang tak bermoral seperti itu?
Hukuman kedua, kebiri! Untuk para pelaku yang dinilai
pihak berwajib kasusnya lebih ringan dan pantas diberi hukuman lebih ringan,
kebiri bisa jadi pilihan kedua. Namun ada yang mengganjal pikiranku ketika
hukuman ini dijalankan. Bisa jadi orang-orang itu akan tersiksa karena tidak
lagi bisa melampiaskan hasrat seksualnya, namun apakah otak kotornya juga bisa
dikontrol? Bisa jadi alat kelaminnya tak lagi berfungsi, namun ia masih punya otak
jahat yang bisa memerintah tangannya melakukan perbuatan keji. Maka jika kebiri
jadi pilihan, potong jari-jari para pelaku hingga mereka tak bisa lagi berbuat
amoral.
Hukuman ketiga, khusus untuk para pelaku kejahatan seksual
di bawah umur. Hukuman harus dialihkan kepada orang tua mereka. Penjarakan
orang tua mereka sebagai teguran bahwa mereka telah gagal menjadi orang tua.
Selayaknya yang pernah aku baca di beberapa negara luar, jika anak di bawah
umur melakukan kesalahan, maka hukuman akan diberikan pada orang tua. Karena orang
tua dianggap tidak mampu mendidik dan mengasuh anak dengan benar, maka
pengasuhan anak-anak pelaku kejahatan itu harus diambil alih oleh negara. Karantina
mereka. Dampingi mereka dengan psikolog dan psikiater. Berikan mereka terapi
hingga mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang yang lebih baik dan bermanfaat
bagi bangsa dan negara. Dengan dijalankan hukuman ini, diharapkan orang
tua-orang tua semakin paham fungsi mereka sebagai orang tua sebenarnya. Orang
tua bukan hanya dituntut memenuhi anak dengan materi, memberi makan yang cukup,
namun juga bertanggung jawab atas pendidikan moral dan akhlak mereka. Siapa
tahu jika pengalihan hukuman ini dijalankan, akan semakin banyak orang tua yang
melek akan pentingnya belajar tentang mengasuh anak dengan baik!
Sarana Menjadi Orang Tua Lebih Baik
Menjadi orang tua itu
tidak mudah, apalagi di masa sekarang ini. Banyak orang tua berbangga diri dan
berucap, “aku lo nggak pernah marah sama
anak-anakku. Mbok ben mengko yo nek gede ngerti dewe sing bener piye, sing
salah piye.”
Lantas apa gunanya Allah
menjadikan kita sebagai orang tua kalau anak-anak bisa pintar dengan otomatis
tanpa dididik, tanpa diasuh dengan benar?
Memangnya kalau sudah
jadi ortu yang tidak pernah marah itu keren gitu? Sudah super baik gitu ma
anak?
Hmmm...
Allah memberikan rasa
marah kepada diri kita pasti ada maksud dan tujuannya. Bagaimana mengelola
marah pada tempatnya dengan cara yang sesuai.
Lebih baik anak tahu
orang tuanya marah karena perilakunya tak bisa dibenarkan kemudian diluruskan.
Daripada tak pernah marah tapi anaknya dibiarkan terus menerus dalam kesalahan
dan tidak dibantu menyadari kesalahan itu.
Marah itu
diperbolehkan, yang tidak boleh itu menyakiti! Maksudnya, menyatakan perasaan
bahwa kita tidak suka terhadap perilaku anak yang tidak baik itu boleh dan
wajar. Namun caranya tentu saja harus elegan dan tidak menyakiti, tidak sambil
melotot, tidak sambil menuding si anak, apalagi sambil mencubit, membentak dan
menendang.
Sampaikan pada anak
bahwa perilaku buruknya tidak diterima di rumah. Jika memang memungkinkan
kuatkan dengan beberapa dalil dan ayat di Al Quran atau hadits yang menyatakan
bahwa perbuatannya tidak baik. Jelaskan pula bahwa kita marah karena sayang
pada mereka. Jika kita tak marah dan membiarkan mereka terus-terusan berbuat
salah, justru saat itulah kita tidak menyayangi mereka.
Namun untuk bisa marah
secara elegan dan sesuai porsi pun butuh ilmu dan praktek terus-menerus. Salah
satu sarana belajarku yang hingga saat ini masih bikin nagih untuk terus menimba
ilmu lagi dan lagi adalah Program
Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) asuhan Abah Ihsan Baihaqi. Setelah pertama
kali mengikutinya pada bulan Maret 2015 lalu, Alhamdulillah besok Sabtu-Minggu,
21-22 Mei 2016 akhirnya mendapat kesempatan kembali untuk bisa recharge ilmu
agar yang telah menguap bisa kembali penuh dan bermanfaat tidak hanya bagi diri
sendiri, namun juga lingkungan sekitar. Bagi yang belum bisa join pada bulan
ini, insya Allah bulan Agustus 2016, Abah Ihsan akan kembali hadir di Semarang. Untuk yang di luar Semarang bisa cek jadwal PSPA di sini. It’s very recommended parenting program!
Jangan nangis
sesenggukan buat yang gagal ikut PSPA bulan ini. Masih ada satu seminar dan
talkshow inspiratif yang penting banget diikuti di Semarang pada akhir Mei ini.
Diadakan oleh Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN) Semarang, ‘Ketika Islam Berbicara
Sex Education’. Acara yang insya Allah akan digelar pada Sabtu, 28 Mei
2016 di Gedung Dharma Wanita Semarang, pukul 08.00-16.00 ini akan mendatangkan
empat narasumber yang handal dan ahli di bidangnya.
Keempat narasumber
keren itu adalah;
Kak
Sinyo Egie- Founder Peduli Sahabat yang telah banyak mengembalikan para SSA ke fitrahnya.
Beliau juga penulis buku best seller “Ketika Anakku bertanya tentang LGBT”.
Beliau akan memaparkan bagaimana bisa seseorang mengalami SSA dan bagaimana
mengatasinya.
Ustazah Sitaresmi - Psikolog muslimah yang sering mendampingi Teh Ninih di sebuah program TVRI yang insya Allah akan memberikan pandangan mengenai LGBT dan seksualitas dari kacamata psikologi Islam.
Dr. Zulfa - Dokter spesialis andrologi yang akan menjelaskan LGBT dan seksualitas dari sisi kedokteran. Beliau juga merupakan dosen di Fakultas Kedokteran UNDIP.
Kak Mumu – Sosok yang pernah kecanduan game, namun kemudian menyadari kesalahannya lalu menciptakan aplikasi KAKATU yang bisa membantu orang tua membatasi anak dalam penggunaan gadget. Beliau akan share bagaimana mengatasi kecanduan game dan tips menggunakan gadget dengan bijak.
Berminat bergabung
dengan para orang tua pembelajar dan pelajar serta mahasiswa yang ingin turut
serta memperbaiki bangsa ini? Luangkan waktu untuk hadir pada hari itu dan mari
berjama’ah menjaga generasi-generasi penerus bangsa! Untuk informasi lebih
lanjut, bisa menengok ke fanpage HSMN Semarang.
Niatkanlah kehadiran kita sebagai
ikhtiar untuk menjaga anak-anak, dengan tak lupa tentunya menyerahkan segala
keselamatan dan kehidupan mereka hanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga
Allah menjaga kita beserta keluarga. Aamiin.
Kalau bukan kita yang menjaga
bangsa ini, siapa lagi?
*Sebuah
catatan emosional dari ibu muda melihat kasus-kasus menyedihkan yang banyak
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Juga ajakan untuk seluruh orang tua agar
semakin sadar dan melek akan kebutuhan belajar parenting demi Indonesia yang
lebih baik.
Sarannya bagus tetapi harus mengacu kepada UU yang berlaku. Saran ketiga agak sulit karena dalam hukum ada kata "Barangsiapa" artinya pelakulah yang harus menerima ganjarannya, jadi tidak bisa dialihkan. Kecuali jika ada UU yang mengaturnya.
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
Terima kasih pencerahannya pakdhe. Semoga saja bisa ada UU baru yg mengatur hal tersebut, sehingga ortu juga jadi lebih bertanggungjawab mendidik akhlak n moral putra putrinya.
DeleteDi luar kejahatan seksual apalagi korbannya dibawah umur dihukum seumur hidup
ReplyDeleteMasalahnya terkadang di indonesia penjara pun bs dibeli. Dihukum seumur hidup tp dapat fasilitas enak. Tdk ada efek jera :(
DeleteAku berharap pemerintah segera merevisi undang2 perlindungan anak dan perempuan. Hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku kejahatan seksual apalagi sampai korbannya meninggal itu hukuman mati, kebiri dan rajam hingga mati. Bi
ReplyDeleteSetuju mbak.. Nggregel liatnya :(
DeleteHukuman ke tiga saya kurang setuju nih karena saya yakin semua orang tua tidak pernah ada yang mengajarkan akhlak buruk pada anaknya walaupun orang tua trsebut bisa di katakan jahat tapi saya yakin dalam hati kecilnya orangtua tersebut tidak menginginkan anak untuk berbuat jahat
ReplyDeleteMungkin hukuman yang ke tiga bisa di ganti dengan apalah seberat-beratnya tetapi tidak mengalihkan hukuman tersebut kecuali ada bukti bahwa orangtua lah yang menyuruh anaknya untuk berbuat seperti itu
sedih miris marah ngeri khawatir sampe takut.
ReplyDeleteTidak perlu sampai paranoid mbak.. sebagai ortu yang penting kita harus membekali diri dengan ilmu dan skill yang memadai sehingga bisa memberikan tameng yang kuat untuk anak-anak. Pengaruh lingkungan tidak akan ada apa2nya jika ortu bisa menjadi pengaruh terkuat untuk anak2nya.
Deletenyimak gan
ReplyDeleteSilakan :)
DeleteSemoga pemerintah konsisten untuk menegakkan hukuman thd pelaku.
ReplyDeleteDan smg tdk ada pihak2 yg mwngatasnamakan HAM untuk menolak UU
Sedih dan miris melihat banyak kejahatan thd anak d aekitar kita :(
Aamiin.
DeleteKalau ngomongin HAM, apa mereka yang mengatasnamakan orang2 yang peduli HAM itu lupa bahwa para pelaku juga telah melanggar HAM dari para korban?
bukan miris lagi, tapi GERAM, mbak :)
semoga undang-undang yang terbaru ini bisa membuat anak2 Indonesia tenang ya mbak...
ReplyDeleteAamiin.
DeleteNamun yang paling penting lagi orang tua2 harus lebih kuat menjadi pengaruh untuk anak-anaknya :)
kalo menurut saya, hukuman untuk penjahat kelamin itu hanya satu: HUKUMAN MATI
ReplyDeleteMantap mbak!
Delete