Wuih, mo
tahun ajaran baru, banyak yang lagi bingung pilih-pilih sekolah nih sepertinya.
Atau ada yang sudah menjatuhkan pilihan?
Ngomongin
soal sekolah, khususnya PAUD, sebenarnya aku dulu nggak berniat nyekolahin anak
ke PAUD, khususnya usia playgroup. Kalaupun PAUD ya paling TK lah… Dulu begitu.
Tapi pada kenyataannya menyadari bahwa begitu menempelnya Ifa padaku, dan suka
mengkeret ketika bertemu dengan banyak orang. Aku merasa aku butuh sedikit
bantuan dari pihak luar. Apalagi waktu itu aku belum sesosialita sekarang ini,
eeeh…
Maksudnya dulu kegiatanku di luar rumah belum sebanyak sekarang, jadi aku
lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah dan jarang ketemu orang-orang.
Itulah kenapa aku memutuskan untuk memasukkan Ifa PAUD di usia 2.5 tahun.
Selain biar
Ifa belajar bersosialisasi, sebenarnya juga bundanya butuh ketemu dengan
orang-orang baru sih. Biar nggak ketemunya laptop dan dapur melulu. Kebetulan
suka stuck juga di rumah mau ngapain
ya sama Ifa, terutama ketika masa-masa tidak kreatif mulai muncul.
Kalau secara
materi dasar anak usia dini, sebenarnya ifa udah cukup menguasai dan sesuai
dengan perkembangan anak seusianya. Bahkan saat
kemudian ia sudah masuk sekolah, teman-temannya belum kenal warna, Ifa
sudah lebih dulu kenal warna baik dalam bahasa Indonesia dan Inggris karena di
rumah sudah terstimulasi dengan baik, insya Allah.
Cuma ya itu, kalau yang
nanya orang lain dia bakal tutup mulut. Beda kalau yang tanya bundanya atau
ayahnya, keluar lah jawaban yang diminta dari mulutnya yang mungil. Ya, doi
emang tipe introvert. Mirip sama
bundanya saat seusia dia.
Bedanya bundanya nggak separah itu juga sih, karena
mungkin dulu nenek Ifa kerja di luar
rumah, jadi aku pun nggak 24 jam nempel sama ibuku. Beda ma Ifa yang
bener-bener kaya buntut.
Jadilah
kemudian kepo cari sekolah. Saat itu tahun 2014. Pikiranku sih simple, cari
sekolah yang dekat rumah saja, baru nanti saat SD aku masukin ke sekolah idaman.
Karena aku mikirnya yang penting basicnya ada
pendidikan islamnya, lebih banyak bermain dan nggak ada calistung. Toh, yang aku cari sebenarnya wadah untuk
bersosialisasi.
Namun dalam
prosesnya kemudian aku menyadari bahwa memilih sekolah, meski PAUD sekalipun
tidak bisa sesederhana itu. Butuh banyak pemikiran dan pertimbangan. Tidak
boleh hanya sekedar dekat dengan rumah.
Tentunya jarak juga harus
dipertimbangkan, namun tidak pada urutan pertama. Setelah dua tahun sempat ‘terjebak’
pada pilihan yang salah, menurutku sih beberapa hal ini patut dipertimbangkan
saat memilih sekolah.
8 Cara Memilih Sekolah
Yang pertama, kenali benar-benar sekolah tersebut.
Kurikulum yang dipakai, konsep
pendidikan yang digunakan dan bagaimana kualitas gurunya. Bukan hanya sekedar
apakah para guru lulusan PAUD, namun lebih jauh lagi, guru-guru yang ada harus
benar-benar passion di jalur tersebut. Karena ngajar anak usia dini itu nggak
mudah.
Nggak hanya harus kreatif tapi juga perlu hati yang seluas samudera. Dan
yang terpenting mereka merupakan manusia-manusia pembelajar, yang nggak malas
ikut pelatihan ke sana sini demi meningkatkan kualitas diri mereka. Semakin
berkualitas, semakin berkarakter para pendidik di sekolah tersebut, insya Allah
semakin berkualitas dan berkarakter hasil didikan mereka.
Yang kedua, konsep pendidikan di sekolah harus sesuai dengan visi misi pendidikan dalam keluarga.
Karena bagaimanapun tanggung jawab pendidikan anak terletak
pada kedua orang tuanya, sekolah hanyalah partner. Tentunya dalam memilih
partner, kita harus cari yang klop, agar ke depannya tidak terjadi
masalah-masalah yang rumit.
Memang tidak akan ada sekolah yang sempurna,
setidaknya carilah yang paling mendekati. Kalau untuk aku sih, sekolah yang
bisa jadi partner, terutama untuk ukuran PAUD adalah sekolah yang ramah pada
semua kemampuan anak. Tidak membanding-bandingkan anak, tahu menstimulasi
kelebihan anak dan tidak fokus pada kekurangannya.
Tidak memberikan label
negative pada murid-muridnya. Tidak membombardir muridnya dengan calistung,
karena aku percaya sebelum 7 tahun anak tidak wajib belajar calistung secara
formal. Dikenalkan oke, dipaksa no way.
Selain itu, karena aku merasa ilmu agamaku kuraaaaang pake banget, aku butuh
sekolah yang bisa menjadi partner dalam hal ini. Intinya aku cari sekolah yang
tidak hanya mencerdaskan anakku saja, tapi juga orang tuanya.
Suka banget sama
sekolah yang tidak hanya memfasilitasi muridnya dengan berbagai kegiatan yang
interaktif, tidak hanya di dalam kelas, namun juga memfasilitasi orang tua
muridnya dengan pelatihan-pelatihan parenting ataupun halaqah-halaqah demi
terciptanya sinergi antara orang tua dan sekolah.
Yang ketiga, setelah menelisik konsep pendidikannya, berikutnya yang kutengok jelas jarak.
Kalaupun kualitasnya oke, tapi jaraknya super jauuuuh dari rumah, mikir
sekian kali juga lah. Kasihan kalau anak kecapekan di jalan, dan ngantuk saat
pulang.
Yang
keempat, namun ternyata jarak bisa dianulir juga, ketika si anak merasa dekat
dan nyaman dengan gurunya. Ada seorang teman yang sekolah anak-anaknya cukup
jauh, tapi anak-anaknya nggak merasa capek karena sangat menikmati pembelajaran
di sekolahnya.
So, syarat berikutnya
yaitu guru harus bisa menjadi sahabat untuk anak. Guru harus perhatian pada muridnya.
Kalau misal nggak masuk, guru bisa aktif tanya ke orang tuanya ada apakah
gerangan dengan si anak. Sakitkah? Pergikah? Ada masalah dengan teman kah?
Bukan diumbar, dijar-jarke berbulan-bulan tanpa ada perhatian. Sekalinya nanya
"kok lama nggak masuk ya", ternyata karena ada maksud dan tujuan
tertentu. Bukan karena tulus ingin tanya kondisi si anak, dan ujung-ujungnya duit :D.
Yang kelima, gurunya selalu keep in touch dengan orang tua.
Share kegiatan apa aja
kah hari
ini. Bagaimana respon anak di kelas. Kalau ada masalah dengan temannya di
kelas, orang tuanya diberi tahu, jadi saat anak di rumah juga bisa disounding
lebih baik J Yup, selain menjadi sahabat anak, guru harus bisa menjadi
sahabat untuk orang tua.
Yang keenam, sekolah harus punya standar berapa jumlah siswa per kelas.
Tidak dengan
sesuka hati menambah jumlah siswa, bahkan hampir setiap bulan ada siswa baru.
Ya, kalau gurunya bisa handle dengan baik nggak masalah, kalau nggak, mending
sekolah sendiri aja lah sama ibunya di rumah.
Emang ada gitu sekolah kaya gitu? Huhuhu, sayangnya ada L
Yang ketujuh, sekolah punya program kegiatan yang jelas.
Rapat
yang biasanya dilaksanakan di awal tahun harus memberikan informasi yang
lengkap bagi orang tua. Apakah nantinya di tahun itu akan ada piknik, akan ada
outing berapa kali, tema-tema kegiatannya apa, atau target-target yang berusaha
dicapai apa, sehingga orang tua juga bisa ikut menstimulasi anaknya di rumah.
Soal piknik punya pengalaman buruk nih. Tanpa ada pemberitahuan di awal tahun,
tiba-tiba sebuah sekolah menyatakan akan mengadakan piknik sebelum akhir tahun.
Tanpa rembugan dan diskusi yang bijak, sebuah kota yang cukup jauh dari
Semarang menjadi tujuan.
Belum lagi biaya yang sak dhat sak nyet harus
dikumpulkan dalam beberapa bulan. Buat aku yang uangnya nggak banyak-banyak
banget ini, jelas berasa kaya mo ditembak mati tiba-tiba ditodong uang segitu.
Tanpa babibu.
Di satu sisi aku juga sedang mempersiapkan biaya untuk masuk TK. Padahal
masih banyak tempat edukatif yang bisa dikunjungi di Semarang dan sekitarnya,
Dan anehnya tanpa mempertimbangkan ini itu, sebagian besar orang tua murid
setuju, sambil berbinar-binar membayangkan asyiknya shopping di kota itu.
Dengan pengalaman piknik di Ungaran setahun yang lalu, anak-anak aja udah
kecapekan banget, ibu-ibunya juga kecapekan. Kalau ibu-ibu udah kecapekan,
siapakah yang kena getahnya? Anak-anaknya juga kan?
Huhuhu, enggak bayangin deh
betapa piknik nantinya justru menjadi momen yang menyebalkan, padahal harusnya
jadi momen yang asyik buat anak-anak. Dan dengan pertimbangan macam-macam, aku
pilih say no dan ‘melarikan diri’
dari sekolah itu, hehehe.
Yang kedelapan, cek kebersihan sekolah.
Teringat sekali wejangan
dari Ayah Edy dalam seminar parenting yang aku ikuti beberapa tahun lalu, saat
sedang survey sekolah, pergilah ke kamar mandinya. Sekolah dengan kamar mandi
yang bersih dan terawat bisa menjadi salah satu indikasi kualitas dari sekolah
tersebut.
Jika ruangan yang biasa ditempatkan di area belakang saja
diperhatikan sebaik mungkin, apalagi kualitas-kualitas yang lain kan? Dan aku
mengamini hal ini.
Pernah punya pengalaman kerja sama mengajar dengan sebuah
SDIT, karena kebelet buang air kecil bergegaslah aku pergi ke sebuah kamar
mandi siswa yang terdekat, dan voila….. yang terlintas di kepalaku, “ini sekolahan
apa pom bensin ya?”
Kalau untuk masalah budget pendidikan sendiri, menurutku bisa
disesuaikan dengan perencanaan keuangan setiap keluarga ya. Tapi kalau dari
kacamataku sih, it’s okay spending much
money for getting qualified result J.
Delapan hal itulah yang kemudian menjadi pertimbangan untukku dalam
menentukan TK dan SD untuk Ifa. Aku tidak lagi menjadikan jarak sebagai alasan
utama. Karena hak Ifa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan tempat
belajar yang nyaman lebih dari segalanya.
Apapun itu tanggung jawab utama
pendidikan doi sih terletak di pundakku dan ayahnya. Dimanapun doi sekolah,
kami tetap harus memberikan stimulasi terbaik dan menjadi guru terbaik untuknya.
Kalau moms and dads di sini, saat pilih sekolah untuknya pilih yang kaya gimana
nih? Punya pengalaman buruk juga dengan sekolah ananda? Cerita-cerita yuk di
sini J
Komplit banget, Mbak. Waktu anak pertama mau masuk TK, saya cuma mikir soal jarak. Karena dalam radius 1 km dari tempat tinggal ada banyak TK, barulah pilih-pilih kriteria lain. Dan alhamdulillah pilihannya boleh dibilang nggak salah. Gurunya ngemong, kegiatannya aktif tapi juga nggak terlalu banyak untuk anak-anak, terus terlihat sekali progres anak dari bulan ke bulan.
ReplyDeleteSeneng ya pak. Kalau dapat sekolah yg pas dgn harapan :)
Deletekalau sekarang mikir keras ya mak buat nyari sekolahan buat anak, milah milih ini itu.. semoga membantu yang lain juga mak postingan ini
ReplyDeleteKarena tantangan anak jaman sekarang juga beda dan jauh lebih kompleks dibandingkan anak2 jaman dulu. Tentu dibutuhkan sekolah2 yg paham akan perkembangan tersebut :)
Deletekomplit. dulu aku gak terlalu banyak memilih yang penting dekat rumah dan dapat dijangkau dengan angkot, biar anak bisa pulang sendiri
ReplyDeleteDulu sih begitu. Sekarang tantangannya beda harus lebih selektif. Apalagi di tempat tinggal saya, angkot susah, jauh dekat sama saja harus antar jemput anak hehe..
DeleteIfa dah tk ya mbak, wah bentar lagi sd dong ya, cepat besar tidak terasa ys
ReplyDeleteIya nih mbak. Time flies so fast :)
DeleteUlasannya sangat menarik. Senang sekali dapat berkunjung ke laman web yang satu ini. Ayo kita upgrade ilmu internet marketing, SEO dan berbagai macam optimasi sosial media pelejit omset. Langsung saja kunjungi laman web kami sboplaza.com ya. Ada kelas online nya juga lho. Terimakasih ^_^
ReplyDeleteOke. Makasih infonya :)
Deletepostingannya sangat menarik mbak..kebersihan juga perlu diperhatikan ya..betul mbak.aku juga suka sekolah yang bersih.alhamdulilah kayaknya sekolah anakku sudah memenuhi semuanya
ReplyDeleteAlhamdulillah ya mbak.. :)
Delete