Judul ini
sudah lama ngendon di draft blogku, tapi belum sempat aku eksekusi. Tulisan ini merupakan hasil belajar saat
mengikuti seminar parenting bersama Ibu Elly Risman di Gedung Prof. Soedarto, SH Kampus Universitas Diponegoro pada
17 Oktober 2015. Wow, sudah lama sekali ya? Begitulah, dengan alasan sok sibuk
hasil belajar ini baru bisa dieksekusi hari ini, sekalian menjadi setoran hari
ke – 12 One Day One Posting-nya Fun Blogging.
Tentunya teman-teman
sudah mengenal nama Bu Elly Risman kan? Beliau sering muncul di berbagai acara televisi,
khususnya ketika membahas mengenai pornografi pada anak. Berbekal dari rasa
penasaranku terhadap performa beliau secara langsung, saat mengetahui ada acara
keren tersebut, tanpa berpikir panjang aku langsung mendaftar. Apalagi
jarang-jarang seminar Bu Elly Risman dibanderol dengan harga cukup murah, kalau
tidak salah waktu itu cuma lima puluh ribu rupiah. Sementara biasanya seminar
beliau berkisar tiga ratus ribuan. Meskipun setelah menikmati acaranya memang
beda ya yang kita dapat dengan membayar lima puluh ribu dan tiga ratus ribu,
hehe.
Seminar saat
itu mengusung tema “Mendidik Anak di Era
Digital”. Tema yang cocok dengan era kebebasan internet seperti sekarang
ini. Sebagaimana yang kita tahu internet bisa menjadi selayaknya pisau dapur
yang bermanfaat jika di tangan orang yang tepat, namun di tangan orang yang
salah, bisa menjadi pisau berbahaya yang bisa membunuh kita dengan cepat.
Dengan waktu
yang cukup terbatas, bu Elly cukup ngebut menyampaikan materinya. Aku sendiri
kalau diberi kesempatan untuk hadir di acara seminar bu Elly yang full day, akan
dengan senang hati untuk bisa hadir kembali menimba ilmu dari beliau. Gedung
Prof. Soedarto yang sangat luas dengan peserta seminar yang sedemikian banyak seringkali
membuat para peserta kurang menangkap materi yang disampaikan. Beruntung saat itu aku dan teman-teman dari
komunitas YukJos Semarang bisa mendapat tempat duduk di bagian depan, sehingga
bisa menerima materi dengan cukup jelas.
Saat seminar
ini bu Elly tidak hanya memberikan suntikan semangat agar para orang tua terus
giat belajar untuk berperan sebagai sebenar-benarnya orang tua, namun juga
menampar para peserta yang hadir dengan fakta-fakta dan angka-angka yang
mengejutkan tentang anak dan kaitannya dengan pornografi.
Insya Allah, nanti
aku akan membagi kisah tentang seminar ini menjadi dua tulisan. Khusus pada
bagian ini, aku akan membahas terlebih dulu tentang beberapa kesalahan orang
tua dalam berkomunikasi yang kadang tidak disadari. Kesalahan-kesalahan ini
lambat laun akan membangun sebuah tembok tinggi dan besar yang memisahkan hubungan
orang tua dan anak.
Cara
berkomunikasi yang buruk tanpa sadar bisa mengakibatkan anak-anak menjadi malas
di dekat kita. Jika anak-anak sudah malas di dekat kita, maka bagaimana mungkin
kita bisa menjadi tempat pertama untuk segala keluh kesahnya?
Dari jaman
baheula hingga hari ini, masih saja kesalahan-kesalahan tersebut diulang-ulang.
Orang tua cenderung terlalu banyak ngomong, tapi sedikit bertindak. Tahukah
bahwa hal ini lambat laun merusak anak-anak kita?
Nah, berikut
ini 8 kekeliruan yang biasa dilakukan
orang tua saat berkomunikasi dengan anak:
Kesalahan
pertama, kita sering banget ngomong tergesa-gesa.
Tanpa jeda, kita seringkali meminta anak melakukan hal A, lalu kemudian
melompat ke hal B. Misal, “Kak, jangan
lupa nanti kalau sudah selesai nonton, TV-nya dimatiin ya. Hemat listrik.
Sekarang listrik mahal. Oya, kalau udah selesai nonton acaranya, nanti tolong
belikan cabe di warung Budhe Ginah ya. Sekalian mintakan pulsa, bilang saja
catat dulu…..”
Cara
komunikasi seperti ini sangat menyebalkan untuk anak. Anak berasa seperti
diberondong tembakan bertubi-tubi. Bahkan mungkin saat kita masih seusia anak,
kita juga jengkel diperlakukan seperti itu oleh orang tua. Herannya, sekarang
kita mempraktekkannya ke anak-anak kita sendiri. Cara komunikasi seperti ini
sangat tidak efektif karena anak tidak mampu menangkap jelas maksud dan tujuan
orang tua. Solusinya; speak slowly and clearly! Biarkan anak memahami satu
kalimat dan menanggapinya baru kita buka topik yang baru.
Kesalahan
kedua, tidak kenal diri sendiri. Sadar atau
tidak sadar sampai setua ini sebenarnya banyak dari kita yang belum mengenal
diri sendiri. Kalau nggak percaya, silakan kilas balik. Dulu waktu SMA ambil
jurusan apa? Mengapa ambil jurusan tersebut? Benarkah karena kita menyukainya
atau karena ikut-ikutan teman? Dulu setelah lulus kuliah, kita bekerja karena
benar-benar menyukai bidang tersebut atau asal agar dapat penghasilan? Bahkan
banyak dari kita yang baru menyadari passion kita sebenarnya justru setelah menikah
dan punya anak. Iya atau iya? Hehe.
Nah, syarat
utama mengenali anak kita adalah dengan mengenali diri kita sendiri. Jika kita
belum mengenal diri kita dengan baik, jangan harap kita mampu menerjemahkan
seperti apa anak kita. Contohnya aku nih, anakku ini tingkat emosinya luar
biasa, kalau sudah tidak bisa mengendalikan ujung-ujungnya tantrum. Setahun
pertama aku hampir dibuat gila mengatasi semua itu, ini anak kenapa,
ngatasinnya gimana. Hingga kemudian aku mencoba menelaah diriku sendiri,
seperti apa aku ini, sisi positif dan negatifku. Ketika kemudian aku
menyadarinya, ternyata cara marah anakku merupakan gambaran bagaimana aku
mengekspresikan kemarahan. Barulah dari situ aku pelan-pelan belajar untuk
merubahnya.
Anak adalah
cerminan orang tuanya. Maka ketika seorang anak memiliki sifat buruk, jangan
langsung menudingnya ini itu, apalagi sampai memberinya label. Teliti dulu,
siapa tahu sifat buruknya sebenarnya berasal dari pola asuh kita yang salah.
Untuk
membantu anak mengenal dirinya sendiri, bukan hanya dengan mengajarkannya siapa
namanya, lahirnya kapan, tinggal dimana dan orang tuanya siapa. Namun lebih
dari itu. Anak harus memiliki karakter dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan
serta kemauannya. Kita bisa mulai melatihnya dengan mengajarkannya untuk
mengerti perasaan hatinya, “adik sedih,
ya?” “adik sakit, ya?” “adik kecewa, ya?” Dan sebagainya. Mengajarkan anak
memilih pakaiannya sendiri, mainannya ataupun perlengkapan sekolahnya juga
melatihnya untuk mengenal diri sendiri.
Kesalahan
ketiga, lupa bahwa setiap individu unik. Sadar atau
tidak sadar seringkali kita membandingkan anak kita dengan kakaknya, dengan
adiknya, dengan anak tetangga, bahkan dengan diri kita saat seusianya. Hey, anak
kita bukan diri kita. Anak kita juga bukan kakaknya, adiknya apalagi tetangga!
Jadi pantas saja jika mereka berbeda.
Stop berujar,
“Kakakmu dulu waktu umur 4 tahun sudah
bisa baca lo,” “kamu tu pemalas banget sih, beda sama adikmu,” “dulu waktu
bunda seumuran kamu, bunda udah bisa naik sepeda roda dua lo,” dan
sebagainya.
Dibandingkan
itu nggak enak dan kita sebenarnya menyadari hal tersebut. Sayangnya kita
sering tidak sadar melakukan hal tersebut.
Boleh
membandingkan, tapi bandingkan anak dengan kebaikan yang pernah dilakukannya, bukan dengan orang
lain. Misalnya, “Wah, adik lupa ya tempat
sampahnya dimana? Kemarin sudah pintar lo, bisa membuang bungkus jajan di
tempat sampah sendiri,” atau “Kenapa
tidak bilang pada bunda kalau ingin pup, kemarin adik sudah hebat lo bisa pup
sendiri di toilet?”
Membandingkan
anak dengan prestasi yang pernah diraih sebelumnya dapat memberikan motivasi
agar ia bisa berbuat lebih baik dan lebih baik lagi.
Kesalahan
keempat, kita sering lupa bahwa kebutuhan dan kemauan anak berbeda.
Kebutuhan anak yang utama adalah bermain, namun seringkali kita paksakan
kebutuhan dan kemauan mereka sesuai dengan apa yang kita mau. Misalnya, “Jangan main pasir, nak. Jijik ah.”
Kenapa anak tidak boleh main pasir? Kalau boleh jujur, karena kita malas berulangkali
memandikannya setelah bermain pasir kan? Tapi kan pasir memang kotor? Hmm, bisa
dibersihkan pakai air dan sabun kan? Yang dilarang itu kotornya, bukan main
pasirnya!
Selain itu
seringkali kita terlalu mengiyakan kemauan anak, tanpa berpikir ulang bahwa itu
sekedar kemauan ataukah kebutuhan anak. Misal ketika anak kita mulai mengeluh
karena teman-temannya sudah memiliki gawai dan dia belum punya sendiri. Kita
sebagai orang tua seringkali merasa kasihan dan tidak mau anak kita dianggap
tidak disayangi orang tuanya gegara tidak dibelikan gawai. Akhirnya tanpa
menimbang baik dan buruk, berpindahlah sebuah smartphone terbaru dari tangan
kita ke anak kita.
Tidak semua
keinginan dan kemauan anak harus dituruti. Jika memang belum saatnya ia
memiliki gawai katakan alasannya. Begitu juga dengan anak balita yang
seringkali membuat kita mati gaya saat berbelanja. Di rumah sudah janji tidak
akan membeli cokelat, sampai di supermarket ia lupa janji tersebut. Ia mulai
merengek-rengek dan berguling-guling agar keinginannya dikabulkan. Dan kita
yang mulai malu dengan keadaan tersebut serta merta mengabulkan kemauannya.
Hey, ketika
anak kita bisa begitu bersabar berikhtiar. Kenapa kita tak bisa lebih bersabar
menghadapi segala tingkah pola anak kita?
Kesalahan
kelima, orang tua seringkali gagal membaca bahasa tubuh anak.
Kita kadang terlalu sibuk menerka dan berasumsi. Ketika anak remaja kita pulang
ke rumah dengan muka cemberut, tanpa mengucapkan salam dan langsung masuk ke
kamar tanpa kata, bahkan membanting pintu kamarnya. Seringkali reflek kita akan
mengomel, “dasar anak nggak sopan, masuk
rumah nggak salam, pintu dibanting. Nggak tahu apa pintu itu harganya mahal,
emang kamu mampu beli pintu sendiri? Kalau ada masalah itu ngomong, crita,
bukan kaya gitu…” Dan sebagainya.
Perubahan
suasana hati akan terpancar dalam raut muka dan bahasa tubuhnya. Sebagai orang
tua kita dituntut untuk mampu memahami anak kita. Berikan nasihat pada saat
yang tepat, bukan saat anak sedang kesakitan, sakit hati, jengkel, menangis atau tantrum. Karena nasihat itu
tidak akan berefek sama sekali ke dalam jiwanya. Keluarkan dulu perasaannya,
dan barulah kita isi dengan serangkaian nasihat yang bijak.
Kesalahan
keenam, orang tua seringkali tidak mendengar perasaan anak. Misalnya,
ketika anak kita jatuh karena berlari-lari dengan temannya. Tanpa merespon apa
yang dirasakan anak, kita sudah memberondongnya dengan rentetan kata, “Makanya to, kan udah bunda bilang, nggak
usah lari-lari nanti jatuh. Bener kan jatuh? Kalau dibilangin itu dengerin
dong..”
Lupakah kita
bahwa ucapan orang tua, khususnya ibu adalah doa? Lantas kenapa seringkali kita
mendoakan hal-hal yang buruk kepada anak kita? Sadarkah ketika anak kita
tertimpa hal-hal yang buruk bukan karena ia tak berhati-hati, tapi karena doa
yang telah kita ucapkan sadar atau tak sadar, dan kita ulangi ribuan kali
setiap hari. Coba kita ingat-ingat kembali berapa seberapa sering kita
meneriaki anak kita “Jangan lari-lari,
nanti jatuh?” Kita mengingatkannya atau mendoakannya untuk jatuh? J
Bukankah kalimat ini terdengar jauh lebih baik, “Hati-hati ya nak mainnya?”
Ketika anak
jatuh, respon dulu sakit yang dirasakannya agar ia merasa dimengerti. “Sakit ya nak? Iya, bunda tahu adik sakit. Yuk,
sekarang berdiri dulu nak. Nggak apa-apa, nanti kita obatin ya lukanya. Insya
Allah tiga hari lagi sembuh, kok.”
Kesalahan
ketujuh, orang tua seringkali kurang mendengar secara aktif. Kita
seringkali menyepelekan perkataan anak-anak kita, sehingga tidak menanggapi
secara sempurna apa yang dikatakannya. Mungkin teman-teman pernah mendengar
cerita ini sebelumnya.
Seorang gadis
kecil bertanya pada ibunya. “Bu, aku
berasal dari mana sih?” Ibunya langsung gelagapan mencari-cari jawaban. Bingung
menceritakan bagaimana proses asal muasal si anak. Akhirnya si ibu mulai
bercerita, “Jadi ibu dan ayah menikah, lalu Tuhan memberi ayah dan ibu hadiah
di dalam perut. Itulah kamu. Bla bla bla bla…” Panjang kali lebar sang ibu
bercerita dari A hingga Z, dan anak hanya termenung kebingungan.
Setelah
ibunya berhenti bicara, si anak kembali bertanya kepada ibunya “Terus jadinya aku ini dari mana, bu? Kalau
Susi kan dari Jakarta, Joko dari Solo, Bambang dari Semarang, kalau aku dari
mana? Aku tadi ditanya bu guru, tapi nggak tahu jawabannya. Kata bu guru, aku
harus bertanya pada ibu sepulang sekolah.”
Gentian deh
ibunya yang bengong sekarang. Itulah kenapa dibutuhkan kemampuan mendengar yang
baik. Sebelum kita berasumsi macam-macam dengan segala pertanyaan anak, pahami
dulu maksudnya dengan balik melemparkan umpan kepada anak agar maksud dan
tujuan yang diminta jelas dan tidak ada kerancuan diantara anak dan orangtua.
Misalnya jika
dalam kasus tersebut, sebelum kita menjelaskan panjang kali lebar, kita bisa
bertanya dulu kepada anak, “Maksudnya kakak
apa nih? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu?” Dengan kita melempar umpan,
anak akan menjelaskan maksud dan alasan dari pertanyaannya. Jadi kita nggak
perlu bingung cari jawaban kan?
Kesalahan
kedelapan yaitu seringnya kita menggunakan 12 gaya populer dalam berkomunikasi
dengan anak. Adapun 12 gaya tersebut
adalah:
- Gaya Memerintah – Sering kali kita lupa menyematkan kata tolong dan terima kasih di setiap permintaan kita. Bukankah “Dik, bunda bisa minta tolong ambilkan sapu di depan? Terima kasih” akan jauh lebih indah didengar daripada “Dik, cepat ambilkan sapu di depan!”
- Gaya menyalahkan – “Tuh kan tumpah, udah dibilangin tadi harusnya bawanya begini lo, nak.” Mungkin kita sebenarnya ingin menunjukkan kesalahan anak, namun jika caranya seperti ini justru si anak akan merasa bahwa ia selalu salah dan tidak pernah melakukan kebaikan.
- Gaya meremehkan - “Memangnya kamu bisa bikin susu sendiri, paling nanti tumpah semua. Udah sini bunda aja.” Semakin sering kita meremehkan anak, anak semakin menangkap bahwa dirinya tidak punya kemampuan.
- Membandingkan - Bisa dibaca lagi di bagian kesalahan yang ketiga. Mungkin sebenarnya kita ingin member motivasi dengan member contoh tentang orang lain, tetapi anak justru menanggapi bahwa dia selalu dibanding-bandingkan.Remember that each person is unique.
- Mencap atau memberi label – Anak nakal, anak pemalas, anak nggak tahu diri, anak rempong, anak usil dan sebagainya. Yang kita sering ucapkan maka itulah yang akan terjadi J. Mungkin maksud kita ingin memberitahu kekurangan anak agar ia berubah, namun justru semakin kita ulangi pelabelan tersebut, semaki si anak merasa, ya itulah aku! Berapa banyak stempel yang sudah kita capkan di jiwa anak? Menghapus cap-cap itu tidak semudah membalik telapak tangan lo.
- Mengancam – Tahukah kalau dari kecil kita dan anak-anak sudah biasa diancam. Coba nyanyikan “Nina Bobo”! Dari kecil setiap anak Indonesia telah diancam oleh orang tuanya, “kalau tidak bobo digigit nyamuk!” Itu baru hal paling sederhana, belum lagi ancaman-ancaman lain yang terkesan menakutkan seperti “kalau kamu nggak mau makan, nanti bunda panggilin pak dokter, biar disuntik.” Kasihan banget pak dokter dibawa-bawa J. Mengancam tidak menyelesaikan masalah, yang ada kadang anak justru tidak ikhlas melakukan hal yang kita minta.
- Menasehati - Bisa lihat lagi bagian kesalahan kelima. Jangan nasehati kalau anak sedang bermasalah, keluarkan dulu masalahnya.
- Membohongi – Ini ada hubungannya dengan mengancam. Apalagi jika kita kerap mengancam, namun tidak pernah dilakukan. Alhasil, anak akan merasa dibohongi dan menyepelekan kita. “Halah, paling bunda bohong, kemarin juga bilangnya kalau aku nonton TV lama-lama, uang jajanku dikurangi, nyatanya juga nggak dikurangi.” So, kalau sebelumnya kita sudah membicarakan konsekuensi pada anak, jalankan konsekuensi itu, jangan hanya ucapan. Ancaman no, konsekuensi yes!
- Mengkritik – Hindari penggunaan kata kamu. Misalnya, “Kamu tuh sudah dibilangin berkali-kali kalau pakai baju itu yang rapi, rambutnya disisir..” Di telinga anak kritikan ini akan sangat menyebalkan, seakan-akan salah lagi, salah lagi. Tapi jika kita menyampaikannya dengan seperti ini“Gantengnya anak bunda, tapi kok kayanya ada yang kurang ya? Apa ya… sepertinya baju dan rambutnya kurang oke deh”, anak akan lebih mendengar dan menerima kritikan kita.
- Menyindir – Biasanya ibu-ibu nih paling hobi menyindir kesalahan yang telah berlalu. Enggak sama suami, enggak ke anaknya, selalu saja diulang-ulang. So, stop ungkit-ungkit kembali kesalahan anak yang telah berlalu karena itu akan membuat anak jengkel dan merasa tidak dihargai.
- Menghibur - Kadang kala menghibur yang tidak pada tempatnya malah bisa jadi awal masalah baru, pilihlah waktu dan tempat yang tepat.
- Menganalisa – Hal ini berkaitan dengan mengenal diri sendiri dan kemampuan kita untuk mendengarkan anak dengan baik. Terkadang kita terlalu tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu dan melakukan analisa sebelum mendengarkan anak selesai bicara.
Dengan
menyadari 8 kekeliruan yang biasa dilakukan orang tua dalam berkomunikasi tersebut, diharapkan kita akan
mampu mengurai komunikasi yang mulai buntu antara anak dan orang tua dan
menghasilkan komunikasi yang lebih efektif. Dengan merubah pola komunikasi
kita, semoga kita juga bisa membentengi anak –anak dari gempuran bencana dan
wabah pornografi yang semakin merajalela.
Ngomongin
soal komunikasi aja ternyata udah sepanjang ini. Semoga nggak bosan ya bacanya.
By the way, jangan dianggap aku udah jago
menghindar dari kesalahan-kesalahan di atas ya. Aku menuliskan ini juga sebagai
self-reminder agar tidak lelah
belajar dan terus memperbaiki kesalahan-kesalahanku dalam mendidik dan mengasuh
anak.
Semoga bermanfaat.
#OneDayOnePost
FunBlogging Day 12
Amazing tip untuk para orangtua dan calon orangtua.
ReplyDeleteTerima kasih.
Beberapa hal di antara tip tersebut juga ada dalam buku saya berjudul Madrasah Itu Bernama Ibu (Quanta Emk)
Wah, Pakdhe keren udah punya buku parenting.. :)
Deletesering banget denger mahmud kayak gitu sama anaknya..
ReplyDeleteYang nggak mahmud juga banyak mbak yang kayak gitu sama anaknya :D
DeleteTengkyu miss.. Alhamdulillah dapat tambahan wawasan sebelum benar2 menjadi orang tua..
ReplyDeleteSama-sama. Semoga bermanfaat :)
DeleteHiks. Tamparan banget buat aku.
ReplyDeletemakasih sharingnya Mba, dulu keknya udah pengen dateng ke seminar ini tapi batal :(
Nulis ini juga untuk menampar diri sendiri mbak :)
Deletenina boboknya saya ganti mbak. ga bawa nyamuk deh. kalo tidak bobok nanti mengantuk. hehe...
ReplyDeletenice share mbak. sudah sering baca tapi juga harus selalu diulang-ulang. soalnya mengulangi kesalahan lagi.
Iya mbak...
DeleteSebenarnya isi parenting itu sama, tapi karena pola asuh warisan kadung melekat butuh diingatkan terus biar software tg parenting yang sesuai jaman terinstal sempurna :)
tipsnya sukses dan keren bingo mbak
ReplyDeletethx for sharing hee
Sama-sama mbak :)
DeleteWah tipsnya top banget buat mendidik dan interaksi ma anak
ReplyDeleteIya mbak, bu Elly memang top :)
DeleteWah foto anak yang no 2 itu ekspresif banget mbak, lagi jengkel sama siapa tuh?
ReplyDeleteNo.1 s/d no 8 kok semua ada pada saya ya mbak, iya deh inshaa Allah tobat. Nice post :)
Hehe.. lagi jengkel sama ibunya kali :D
DeleteKayanya nggak cuma di mbak deh, hampir di semua para orangtua :D :D
Mbaaa..yang no 7 itu. Lucu tapi miris tapi ho oh bener banget yaa...
ReplyDeleteHehe, begitulah mbak :D
DeleteTips nya top markotop mb :D Suka bacanya, mudah2an bisa kulaksanakan kalau udah jadi orang tua :D Amin
ReplyDeleteaamiin :)
Delete