Sebuah Kisah Tentang Mentari
Menceritakan sejarah hidup, begitu yang disampaikan mbak Ika
Puspitasari sang shohibul GA kali ini. Ngomongin soal Maret, nggak cuma istimewa
buat mbak Ika aja lo, Maret itu bulan spesial dan favorit. Ada apa aja ya di
bulan Maret?
Hmm, bulan ini aku memasuki usia 31 tahun, harus sepanjang
apakah kuceritakan sejarah hidupku? Cieee, sok bangeeet. Emang siapa juga yang
kepo ma sejarah hidup aku ya, hihi.
Sejujurnya aku bingung harus memulai dari mana, ada banyak
cerita penuh air mata, beberapa jumput tawa, yang kadang ketika kutuliskan
membuka luka-luka lama yang tidak ingin kuingat-ingat kembali.
Dulu saat aku masih duduk di bangku SD aku menatap hidup
dengan sederhana, sesederhana setelah lulus TK akan masuk SD, lalu lanjut SMP,
lalu lanjut SMA, terus kuliah, kerja, menikah, dan punya anak. Tapi ternyata
tidak selamanya hidup sesederhana itu.
Aku pernah menulis seperti ini di notes FB, tertanggal 9
April 2009;
Destined be Abnormal
normal..
a simple word that I’ve
never found in my dictionary...
everything surrounds me
is abnormal.. everything I did was far away from normal.. even I have to reach
my happiness abnormally..
I want be normal, though
only once.. feel that normal smile, that normal love, that normal path, that
normal laugh, love, and life...
but I’m destined to be
not normal...
but HE creates me
abnormal..n then I see my life's just a group of mistakes ...
I’m sick of this...
should I give up n end
evrything?
God, u made me
abnormal... but I’m just ordinary little woman... I cant pass it through
anymore, it's the peak of never ending tiring episodes of my life!
just want to close my
eyes n forget everything, then if I can wake up for once - I want be normal, God!
Saat puisi terpublish, salah seorang teman berkomentar, “What's so abnormal, sist? Everythn is just
so normal wit u, at lis dat's wat i c..”
Saat itu, ini jawabanku, “Something appears different in front of the
others...but truly i'm just fuckin' abnormal person...who has million masks to
cover it.. I’m not as good as u see,sist!”
Dan itulah kenapa aku selalu merindukan hujan.. karena hanya
saat hujan aku sanggup menjadi diri sendiri, menumpahkan air mata tanpa harus
ada yang tahu dan bertanya. Namun sayangnya hujan tak datang setiap saat, ada
kalanya aku harus memendam air mata hingga menjadi kristal-kristal di dada.
Beberapa lembar sejarah hidupku sebenarnya telah cukup
terangkum di catatan-catatan blog ini, dari yang kelam, yang bikin tertawa,
yang bikin mules, hampir semua terdokumentasikan. Tidak semua kutulis
terang-terangan memang, sebagian ada yang kutulis dalam bentuk fiksi untuk
menghormati beberapa nama dan tidak terkesan mengumbar aib.
Jika Tuhan saja begitu
rapat menutup aib-aib kita, mengapa kita harus menelanjanginya?
Namun adakalanya kisah hidup perlu dituliskan, agar mereka
yang sedang melalui lika-liku yang sama terjalnya bisa berkaca, atau setidaknya
membuat orang lain bersyukur bahwa ada kehidupan yang lebih suram dari mereka
dan sebaliknya.
Andai aku bisa memilih kehidupanku…
Kelahiran Sang Anak Mentari
16 Maret 1985 jam 1 siang, setelah berjuang sehari
semalam akhirnya ibuku berhasil melahirkanku dengan selamat di RS Bhakti Wira
Tamtama, Semarang. Anak dan cucu yang telah dinantikan selama tiga tahun
akhirnya telah berada di dekapan. Besar dengan limpahan kasih sayang, I was the most wanted baby at that time.
Disematkanlah nama yang terdiri dari tiga
suku kata; Marita Surya Ningtyas. Marita diambil dari bulan kelahiranku. Surya
diambil dari nama bapak dan Ningtyas diambil dari nama ibu. Sederhana saja jika
diartikan, anak perempuan yang lahir di bulan Maret bersinar terang layaknya
mentari, cahaya kehidupan yang selalu setia menerangi hati-hati orang di sekelilingnya.
Baguus kan artinya? Tapiii, ngacooo hihi. Bapak dan ibu asal
gathuk-gathuke aja itu tiga suku kata jadi nama yang menurutku cukup indah. Namun
kemudian hari di berbagai lomba atau saat ditanya nama pena, aku lebih suka menyingkat
namaku menjadi Ms. Ningtyas (dibaca miss Ningtyas) atau Marita Ningtyas saja
tanpa kata Surya. Kenapa???
Mentari yang Tersulut Benci
Tiga tahun pertama kehidupanku mungkin adalah tahun-tahun
paling membahagiakan. Bapak, Ibu, Yangkung, Yangti, om dan bulik, bahkan
tetangga di sekitar rumah eyang menyayangiku dengan tulus. Tidak pernah ada
yang membiarkanku sendirian. Setiap saat ada saja yang mengajakku bermain,
bercerita dan bersenda gurau.
Hingga kemudian bapak dan ibu memutuskan untuk berdikari,
lebih mandiri dan membangun rumah tangga dengan kaki dan tangan sendiri.
Salatiga menjadi kota tujuan. Sebuah kota kecil yang terkenal sejuk yang
seharusnya bisa memberikan ketenangan bagi siapa saja yang tinggal di sana.
Nyatanya itu tidak berlaku untukku. Di kota ini, bara api muncul dan membakar
diri ini hingga habis. Bahkan kadang aku seperti kehilangan aku.
Cerita bahagia seharusnya masih berlanjut, namun tidak
seperti yang kukira. Pertengkaran demi pertengkaran bapak dan ibu mulai
memenuhi otak, pendengaran, dan ingatanku.
Pernah dengar lagu Kelly Clarkson
yang Because of You?
This is my song! It really reveal my pain and reflects what I feel :(
Aku tidak harus menceritakan jejak-jejak luka itu di sini ya.
Remahan demi remahan masa lalu itu mungkin bisa dinikmati di beberapa judul puisi
dan cerpen
di blog ini.
Luka-luka batin di masa kecilku yang tak sempat terobati ternyata
kemudian membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupanku selanjutnya.
Terkadang Selembar Foto Mampu Menipu Mata :) |
Dan sebagaimana nama Surya tersemat di tengah namaku, aku pun
layaknya Mentari yang tidak pernah berkata apa-apa meski manusia berbuat
kerusakan di bumi, meski manusia berkali-kali saling membunuh untuk memuaskan
hawa nafsu dan ego pribadi. Dan mentari tidak boleh berairmata sekalipun
mendung menutupi seluruh wajahnya, ia harus tetap menjadi mentari yang nampak
selalu kuat dan terang menyinari kehidupan.
Itulah kenapa menyandang nama Surya seringkali memberatkanku. Juga aku pernah sangat benci nama itu tersemat di antara namaku, namun berupaya berapa kalipun, menghilangkannya sekalipun dari deretan namaku, aku tetap anak pak Surya, sampai kapan pun akan ada ... binti Surya... di belakang namaku.
Rembulan Memantulkan Senyuman
Selama 10 tahun aku menjadi penikmat sandiwara kehidupan
tanpa teman. Ketika beberapa teman sudah memiliki satu bahkan dua adik, aku
hanya sendiri, tetap sendiri, menatap topeng-topeng yang dipakai bapak dan ibu
membohongi dunia. Dan aku hanya gadis bertopeng mentari yang dalam diam ingin
berkata, “Stop lying mom, dad.. we’re not
happy. I am not happy.”
29 Maret 1995, seorang gadis mungil lahir ke dunia
menjadi kawan perjuangan. Adik kecilku yang manis lahir dengan berat 2,9 kg dan
panjang 50 cm. Dari bayi aja udah nampak ia akan tumbuh tinggi. Berbeda
denganku yang lahir dengan teriakan begitu membahana, tangisan Marisa Surya Ningtyas terlalu pelan
untuk bayi yang baru lahir. Ternyata hal tersebut berhubungan dengan
kesehatannya. Seminggu setelah ia dilahirkan, diketahuilah bahwa Tyas
(panggilan kami untuk adik) mengidap penyakit jantung bawaan. Penyakit yang kelak memaksanya menutup mata
di usia yang hampir masuk ke angka 18, pada Jumat, 8 Februari 2013.
Almarhumah Adikku |
Hidup tidak menjadi lebih baik setelah kelahiran adik. Pertengkaran
demi pertengkaran bapak dan ibu justru semakin sering menjadi. Dan aku bisa apa…
selain terduduk lemas di samping dipan sembari bertanya pada Tuhan.. “Kenapa harus kau pilih aku melewati semua ini,
tidak bisakah aku seperti teman-teman yang memiliki keluarga penuh cinta?”
Dan aku tetap bertopeng mentari, “everything is fine. Everything is okay.” Berbeda dengan adikku yang
kebetulan dilahirkan di malam hari, dalam ketenangannya, ia memang berhati
rembulan. Ia memang tidak memantulkan cahayanya sendiri, namun temaramnya
selalu menenangkan dan merindukan. Ya, hatiku terlampau panas sebagaimana terik
mentari membakar bumi. Dan adikku adalah cahaya bulan yang menenangkan. Kami dua
sosok yang sangat berlawanan.
Setidaknya bersama bulan, mentari tahu ia memiliki teman
melewati siang dan malam, meski tidak pernah bertemu namun hati kami terpaut
satu sama lain. Seperti sekarang, kami tak lagi di dunia yang sama, tapi aku
masih merasakannya ada, di dekatku.
Jika Saja Mentari Boleh Menangis
Aku harus kuat, itu yang selalu kupatrikan di dalam diri. Air
mata hanya tanda kelemahan, dan aku mentari yang tak boleh menangis. Aku harus
selalu menerima setiap apa-apa yang bahkan aku tak inginkan sama sekali,
termasuk ketika ibu mulai digerogoti penyakit dan bapak kemudian menikah dengan
perempuan yang usianya hanya terpaut lima tahun dariku. Dan semua itu harus
kusimpan sendiri.
Memang nggak punya teman cerita gitu? Ada beberapa nama
sahabat baik, namun saat masa-masa sekolah aku cenderung tumbuh menjadi sosok
yang introvert. Tidak semua bisa kuceritakan hingga dada terasa plong, dan
hanya kertas serta pena sahabat terbaik dalam kesunyian. Beberapa nama terekam
manis dalam Jejak-jejak Sahabat.
Ibu mulai sakit di akhir masa-masa SMP. Cerita
lengkap tentang ibu dan perjuangannya berdamai dengan keadaannya bisa dibaca di
sini. Masa-masa dimana seorang gadis belia begitu membutuhkan
kehadiran sentuhan seorang ibu dan bapaknya secara utuh. Ketika rona-rona merah
jambu mulai mengganggu namun tak tersampaikan, ketika persahabatan bisa menjadi
drama berlebihan, namun aku tak mau mengganggu bapak ibu dengan cerita-cerita
picisan yang tak ada artinya. Pertengkaran demi pertengkaran mereka pasti sudah
terlalu menyita waktu dan emosi. Maka, aku memutuskan untuk cukup menjadi anak
yang baik bagi mereka. Bukankah anak baik dalam ukuran orang tua jaman dulu
adalah selalu mendapat nilai baik dan tidak pernah membangkang? Aku berharap
prestasiku bisa mengalihkan pandangan bapak untuk berhenti menyakiti hati ibu, juga
hatiku (yang mungkin saat itu tak disadari oleh beliau). Aku berharap
prestasiku menjadi obat untuk sakit ibu. Aku berharap prestasiku menjadi
semangat untuk adikku. Aku melarang diriku untuk jatuh dan tetap tegak apapun
kondisinya.
Itulah kenapa no drama
in my school moments. Tidak ada yang spesial dari masa-masa sekolah.
Semuanya lancar. Nilaiku cukup baik di masanya, masuk SMP dan SMA favorit.
Kuliah di salah satu universitas swasta di Semarang yang sekarang gaungnya
tambah menggema di mana-mana. Aku termasuk mahasiswa rajin. Rajin membolos
wkwkwk. “Kuliah itu penting, namun teater
yang utama.” Begitu semboyan yang diajarkan para seniorku. Jaman segitu
anak teater selalu terkenal dengan anak-anak pembangkang yang nilainya
jelek-jelek dan lulusnya molor. Alhamdulillah, aku nggak masuk golongan
tersebut. Lulus tetap tepat waktu dengan prestasi yang cukup membanggakan. Bahkan
bapak dan Yangti yang hadir di acara wisudaku tampil ke depan. Ini caraku
membakar semangat diri dan membuktikan pada dunia, “Keluargamu boleh saja hancur, tapi tidak dirimu. Kamu harus punya
value!” Meski tak ada yang tahu, aku menuntut diriku terlalu tinggi.
Kenangan Mahasiswa Berprestasi 2006 |
Karena prestasiku di kampus, sebelum lulus kuliah pun aku
sudah ditawari ngajar sebagai dosen tidak
tetap. Meski kemudian tidak kulanjutkan karena nggak (belum)
sanggup kuliah S2. Dari situ kemudian aku bertualang dari satu tempat kerja ke
tempat kerja lainnya, yang rata-rata sebagian besar memang di dunia pendidikan.
Seakan sebuah trah – garis keturunan yang kubawa turun temurun dari eyangku,
menjadi pendidik, meski sebenarnya aku tak begitu menikmati.
Karena Tuhan Terlalu Menyayangi Mentari
Jika kita benar-benar merasakan jadi matahari, yang tetap
setia bersinar dari awal hingga akhir jaman, pastinya kita lebih memilih
menjadi manusia. Namun matahari punya Tuhan yang selalu menyayanginya, hingga
sedemikian takutnya memandang dunia yang semakin tak waras, ia tetap kuat.
Tanpa Tuhan tentu saja matahari tak akan menjadi matahari.
Begitu juga denganku. Tanpa Allah dan segala kasih sayangnya,
entah apa jadinya aku. Entah sudah berapa kali Allah menyelamatkanku. Dengan
segala kerapuhanku, aku bisa saja berkubang dalam lumpur kemaksiatan. Bisa saja
dengan tameng “broken home”, aku menjadi orang yang semaunya sendiri, jadi
orang kecanduan narkoba, free sex mungkin? Sebagaimana banyak mataku memandang
mereka yang memilih jalan-jalan pintas kebahagiaan. Allah always protects me perfectly!
Tapi aku juga bukan gadis suci yang begitu patuh pada sabda
Tuhannya. Aku pernah memilih membebaskan diriku, alih-alih mencari kebahagiaan.
Rokok pernah tersulut beberapa kali di bibir ini, menenangkan hati katanya.
Namun lagi-lagi Allah terlalu baik padaku. Allah selalu punya cara yang indah
untuk mengembalikanku pada rel yang benar.
Setelah lebaran tahun 2004, Allah memercikkan sedikit
hidayah. IA menuntunku untuk menutup aurat yang harusnya tidak dipamerkan ke
sana-sini. Tapi sudah sempurnakah aku? Tidak, perjalanan masih panjang. Aku
masih saja terus mencari apa tujuan Allah menurunkan aku di bumi ini.
Foto Pertama Berkerudung :) |
Pada tahun yang sama pula, aku bertemu dengan seorang lelaki.
Aku menyebutnya lelaki di ujung senja, karena ia yang pernah berjanji menemani aku
selamanya hingga senja tiba, hingga dunia menua. Kami sempat berniat menikah di
masa-masa kuliah, namun ditentang oleh pihak keluarga. “Lulus dulu,” begitu bapak dan eyang kakungku, serta buliknya
mengultimatum.
Ketika ijasah kuliah resmi diterima pada Oktober 2007, aku
dan lelakiku
kembali menata mimpi untuk bersama dalam jalinan yang halal. Hingga kemudian
diputuskan, tepat di saat usiaku 23 tahun, 16
Maret 2008, lelakiku mengucapkan janji yang mengguncang arsy-NYA. Ya, hari
itu aku dipersuntingnya. Sebuah babak baru dalam hidupku dimulai. That day was the most happiness in my life.
Namun keegoisanku hampir merusak pernikahan dan kehidupanku
bersamanya saat kami baru menapaki tahun-tahun pertama. Kami terombang-ambing
dalam pertikaian-pertikaian tanpa henti. Pengalaman dan luka batinku atas
pertengkaran bapak ibu sepanjang usiaku justru membuatku ketakutan tanpa
alasan, menuduh lelaki senjaku atas ini dan itu. Ketakpercayaanku padanya, juga
keposesifanku bisa saja membunuh cinta di antara kami.
On My Wedding Day |
But, as always, God
saves me in HIS own way!
Mau tahu bagaimana
Allah menyelamatkan pernikahan kami?
"Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway"
Wah seru sekali mbak Marita, ada sambungannya lagi. Memang menuliskan sejarah hidup tidak akan pernah cukup dengan hanya beberapa halaman saja ya melainkan beberapa bab hehe
ReplyDeleteSetiap manusia punya cerita masing-masing dengan segala liku-likunya ya mbak, yang terpenting adalah akhir yang bahagia, dunia akherat. Semoga cerita ini bisa menginspirasi orang lain yang mungkin punya permasalahan yang sama.
Melihat foto adik, duh hati saya teriris-iris. Semoga beliau telah berada ditempat yang indah disisi Allah, aamiin :)
Aamiin, makasih ya mbak :)
DeleteHihi iya mbak, nggak cukup kalau ceritanya di blog, harus satu buku sendiri :D
Bingung mo nyingkatnya lagi bagaimana :D
benar-benar menyentuh mbak...rumah tangga ortu kita boleh hancur tpi kita jangan...mbak marita pinter ya berprestasi. kok g jadi dosen aja mbak
ReplyDeleteHehe nggak ada yg mo nyekolahin S2 sih :D
DeleteSpeechless... perjuanganmu cukup berat juga ya, tapi Tuhan punya cara terbaik menuntun umat pilihanNYA.
ReplyDeleteAllah tdk akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNYA kan mbak? :) that makes me stronger :)
DeleteMengharu biru ya mak ceritanya. Ancung jempol deh keren mampu menuliskannya sepanjang ini.
ReplyDeleteharusnya jadi satu buku sendiri ya mbak, hehe... salam kenal :)
DeleteWah, perjuanganmu berat, ya. Namun percayalah berat perjuangan berat biasanya itulah muara kebahagiaan yang akan diraih. Nikmati setiap proses dengan bersyukur. Semoga, aamin.
ReplyDeleteAamiin :)
Deletewahh,kita sama-sama kelahiran 1985 Mbak :)
ReplyDeleteturut berduka untuk adiknya :'(
saya salut pada prestasi yang Mbak torehkan *jempol*
Toss mbak.. Terima masih :)
DeleteMengharukan sekali mbak ceritanya... nyentuh banget di hati.
ReplyDeletesemoga mbak d beri kebahagiaan yang tak terhingga oleh Allah. Amiinnn....
Aaamiin. Terima kasih. DOA yg sama utkmu :)
DeleteManusia di dunia ini sedang menjalani drama kehidupan. Sang Maha Sutradara yang telah menggariskan jalan hidup kita. Tinggal kitalah yang berikhtiar dan berdoa... sebuah kisah hidup yang tidak mudah. Aku follow blog nya yaa
ReplyDeleteYuph betul mbak.. dengan sutradara terhebat, Allah yang maha kuasa :) Kita hanya wayangnya yang harus siap dengan segala permainan dalang... :) Terima kasih, saya follow blognya juga ya :)
Deletebaru sempat bw kesini... hiks. mengharukan sekali kisahnya...
ReplyDeleteaku membayangkan adik2ku yg melihat hal serupa hampir setiap hari, saat aku kuliah T.T
barakallah Mba, insyaAllah masa lalu menjadi pelajaran berharga ya.. :)
aamiin..
Deletegoresan di masa lalu membentuk diri kita yang sekarang mbak :)