Bau basah menempel lekat di
hidungku. Sisa-sisa hujan semalam juga jejak-jejak lumpur mengeras pada
bebatuan menambah kesedihan setiap orang yang datang ke pemakaman Edo siang
ini. Isak tangis saut-menyaut bagaikan paduan suara yang menyayat hati. Mama,
Mbak Sinta, Bapak, pun aku. Semua tumpah ruah dalam haru yang seakan tak pernah
bisa habis.
Tidak ada yang menyangka Edo akan
secepat ini pergi. Sedang sepagi kemarin ia masih sibuk bermain tenis bersama
bapak, mengantarku ke pasar dan bermain bersama Dewa, putra kami. Tidak ada
tanda-tanda, tidak ada firasat, ia pun tidak sedang menderita sakit apa-apa. Maka
pantas saja jika pagi tadi ketika Mbak Sinta menemukan Edo tertidur pulas di
atas meja kerjanya dengan sekujur tubuh yang dingin, seisi rumah bagai
terlempar pada lubang tanpa dasar. Edo, putra kebanggan orang tuanya, adik
terkasih dari kakak perempuannya, ayah dan suami paling dicintai anak dan
istrinya itu pergi selama-lamanya di antara tumpukan lembar kerja yang
berserakan dan laptop yang masih menyala.
Ketika satu per satu tetangga
datang, juga kerabat dekat mulai
memadati halaman luas rumah ini, cerita demi cerita tentang kesuksesan Edo
terurai dengan manis. Dia lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dengan latar
belakang keluarganya yang harmonis dan sukses secara ekonomi, Edo tumbuh
menjadi lelaki yang penuh percaya diri dan selalu bahagia. Tidak pernah ada
satu kata yang tidak indah keluar dari bibirnya, suaranya yang menggelegar dan
penuh semangat, juga gesturnya yang tangkas serta lincah telah memperdayaku
dengan manis.
Kami dipertemukan dengan perbedaan
yang sangat mencolok. Aku yang terlahir dan besar dalam keluarga yang tak
sempurna tumbuh menjadi sosok yang pemalu dan tertutup. Buatku dunia tak
berwarna selain abu-abu. Perceraian kedua orang tua dan ibuku yang keras
mendidikku juga mendesain diriku sebagai sosok yang kaku dan tak mudah bergaul
dengan orang baru. Hingga suatu hari, aku bertemu dengannya pada sebuah acara
kampus sepuluh tahun yang lalu. Pada acara itu, Edo yang merupakan salah satu
seniorku di kampus sedang memberikan motivasi pada mahasiswa-mahasiswa baru
untuk menjadi pembelajar tangguh. “Manusia yang tangguh adalah manusia yang
tidak mau berhenti berproses dan belajar.” Sepenggal kalimat itu membekas di
alam bawah sadarku dengan kuat. Entah bius apa yang ia gunakan, kalimatnya
itu mampu melecutku untuk menjadi
seseorang pribadi yang baru. Aku mulai belajar bergaul dan terbuka dengan orang
baru, prestasiku di kampus pun cukup membanggakan.
Awal pertemuan kami itu menjadi
tonggak kisah cinta kami hingga kemudian setahun setelah aku menyelesaikan
kuliahku, Edo melamarku dan membawaku ke istana hatinya secara sah tidak hanya
sebagai seorang wanita, namun sebagai ibu untuk anak-anaknya kelak. Tidak ada
satu cacatpun yang kutemukan dari dirinya, juga keluarganya. Kehangatan dan
kasih sayang keluarga yang tak pernah kudapatkan sepanjang hidupku kutemukan
dari keluarganya. Lima tahun pernikahan kami berjalan dengan indah.
Cekcok-cekcok kecil yang hadir dalam perjalanan keluarga kecil kami justru
membuat hati kami semakin terpaut dan dekat satu sama lain. Dia, laki-laki
idaman seluruh wanita di jagad raya ini, dan aku menjadi wanita paling
beruntung karena memilikinya. Menjadi istri dari motivator
dan konselor pernikahan yang sukses menyatukan banyak pasangan yang hampir
memilih perceraian sebagai akhir cerita cinta mereka, tentunya membuatku tak
perlu khawatir untuk meragukannya sebagai seorang suami.
“Yang sabar ya Gayatri. Edo sudah mendapatkan
tempat terindah. Dia orang baik. Suami dan ayah yang baik. Budhe tahu kamu
pasti sangat kehilangan, tapi kamu harus kuat demi Dewa, ya nduk.” Kata-kata
budhe Im menerobos telingaku dan mengaduk-aduk pikiran dan perasaanku. Air
mataku justru semakin tumpah dan tak sanggup kuhentikan. Amarah, kesedihan dan
rasa tak percaya menjadi satu. Aku ingin membungkam mulut-mulut mereka yang
hadir di sini. Mulut-mulut yang membanggakan Edo dengan segala kehebatannya.
Tidak bisakah mereka diam sekejap saja dan membiarkanku lelap dalam kesedihan.
Tidak perlulah mereka membantuku mengeja tentang kesabaran dan keikhlasan, aku
punya cara sendiri bagaimana aku akan melakoninya.
Rombongan demi rombongan datang
mengucapkan bela sungkawa. Aku masih terpaku menatap foto pernikahan kami yang
dicetak cukup besar dan menghiasi ruang tamu rumah kami. Semuanya memang tampak
sempurna, sesempurna semua orang melihat Edo sebagai sosok yang tak punya cela.
Namun nota hotel yang kutemukan semalam di kantong celananya juga sisa lipstik
merah marun yang menempel di kerah bajunya memberikan nila pada lembar
pernikahan kami yang seharusnya sempurna. Kubawa dua bukti kejahatannya mencoba
untuk mendapat penjelasan yang masuk akal dari mulutnya. Aku tak ingin gegabah
karena terbakar cemburu buta. Ruang kerjanya tertutup rapat, kuketuk perlahan
namun tak ada jawaban. Kubuka pintunya dan tak kutemukan ia di sana. Hanya
laptopnya saja yang menyala. Kulihat akun Facebooknya terbuka dan kotak chat
nya sedang menampilkan pesan demi pesan yang membuatku mual. Detik itu juga aku
hanya mampu berpikir manusia yang tak mampu berkaca dari kehidupan orang lain
tidak layak untuk terus ada di muka bumi.
mak nyuss.. :) bingung kudu sedih apa malah seneng.. saat baca endingnya.. hehehehe....
ReplyDeletemakasih sudah singgah ke rumah kecil saya :) hehe sedih boleh seneng juga gak da yang nglarang :D
Deletenila oh nila...speechless mba :)
ReplyDelete