IIDN |
IIDN bukan kata yang asing untuk saya sejak tiga
tahun yang lalu, secara sepintas saya pernah membaca info komunitas ini melalui
tabloid NOVA. Sejak membaca artikel tersebut saya yang memang memendam hasrat
menjadi penulis menyimpan keinginan untuk mencari tahu tentang komunitas yang
telah menghasilkan ibu-ibu penulis hebat. Namun karena kesibukan kerja
keinginan itu menguap begitu saja.
Memang bila jodoh tak akan kemana. Tiga tahun
berlalu dengan sempurna dan ingatan saya tentang Ibu-Ibu Doyan Nulis terbatas
pada artikel yang pernah saya baca, namun saya kebingungan harus darimana
memulai pencarian saya pada komunitas impian ini. Saat itu saya masih jarang
berkutat di dunia maya. Internet untuk saya saat itu hanya membantu saya saat akan
kirim email dan berhaha-hihi dengan teman-teman lewat facebook. Saking
gapteknya saya bahkan tak tahu kalo
komunitas impian saya bisa saya temui lewat grup facebook.
Sejak melepas atribut sebagai wanita kantoran dan
memilih bekerja di rumah sebagai full time mommy dan content writer untuk
berbagai blog, saya mulai dekat-dekatan dengan internet dan dunia maya secara
konsisten. Akhirnya saya temukan juga komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis yang saya
idam-idamkan. Berbekal kenekatan dan pengalaman yang jauh dibanding ibu-ibu
lainnya saya mulai memberanikan diri untuk mengikuti pelatihan yang diadakan
komunitas ini.
Dengan harga yang relatif terjangkau,
pelatihanWriterpreneur yang saya ikuti semakin menguatkan azzam saya untuk
serius di bidang tulis menulis ini. Bahkan menulis semakin menjadi dalam aliran
darah saya, denyut jantung saya dan kedipan mata saya. Pokoknya tidak menulis
sehari saja rasanya badan pegal, mata berair, tidak nafsu makan dan kehilangan
hasrat hidup. #Lebay.
Indari Mastuti |
Melalui IIDN saya menemukan inspirasi lewat sosok
seorang Indari Mastuti, ibu yang dalam usianya yang masih relatif muda mampu
berkarya dan berhasil membuktikan bahwa dunia tulis menulis mampu membawa
pundi-pundi uang yang tak sedikit tanpa sedikit pun meninggalkan perannya
sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Melalui keberhasilannya membangun agensi naskah
Indscript Creative kini banyak orang berani dan bisa menghasilkan serta
menerbitkan karya-karyanya. Agensi naskah yang didirikannya telah membantu baik
penerbit dan penulis untuk saling menemukan jodohnya masing-masing. Semangat juang dan profesionalismenya
melecut saya untuk bisa meraih cita-cita sebagai penulis novel bestseller.
Lygia Nostalina |
Lygia Nostalina atau akrab dikenal dengan Lygia Pecanduhujan adalah sosok kedua yang saya kenal dan kagumi lewat IIDN. Meski
belum pernah bertatap muka, namun saya merasakan kehangatan dari sosok beliau.
Ketegarannya dalam melewati kisah-kisah hidupnya membuat saya lebih bersyukur
atas kehidupan yang saya jalani. Melalui kisahnya pula saya belajar membuka
mata dan lebih peka terhadap segala kejadian yang bisa saya temui di sekeliling
saya yang ternyata bisa memberikan inspirasi dan ide tulisan. Sosoknya yang
ramah membuat saya tak malu bertanya dan menjadi semakin bersemangat menulis
tiap harinya.
Selain dua sosok yang saya kagumi tersebut, saya
juga menemukan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis cabang Semarang yang mempertemukan
saya dengan ibu-ibu keren yang luar biasa semangatnya. Meski sudah berbuntut,
berbadan dua, tetap saja luar biasa, kalau diumpamakan ponsel bagaikan ponsel
yang baterainya selalu penuh. Tiada hari tanpa bernarsis ria kalau sedang
kopdar. Namun ibu-ibu hebat ini tidak hanya tenar karena suka berpose di depan
kamera lo, karya-karyanya sudah berkibar di seantero jagad penulisan, sebut
saja mak Dewi Rieka yang tenar dengan Anak Kos Dodolnya, mbak Dian Nafi dengan
sederetan karya hebatnya, mbak Wuri Nugraeni yang dibalik kekalemannya ternyata
super ngocol dengan Cenat Cenut Reporternya, dan yang paling hangat ada mbak
Wien Okta yang bersemu merah muda lewat Ada Tasbih di Hati Aisyah. Itu cuma
beberapa lo, masih banyak anggota IIDN Semarang yang top markotop dan membuat
saya bersemangat ’85 (lahirnya tahun itu sih) mengejar ketertinggalan saya
dengan mereka; ada mbak Uniek yang doyan banget difoto, mbak Rahmi yang pinter
ngeblog, mbak Lestari yang ramai, Mbak Vetrieni yang tegas, mbak Hapsari dan
Mbak Niken yang pintar masak, mbak Hidayah yang bijaksana, mbak Ade yang baik
hati dan mbak-mbak yang lainnya (ketauan kalau belum hafal semua namanya).
Kopdar IIDN Semarang di Hotel Novotel |
Meski baru kopdar tiga kali, melalui IIDN Semarang,
saya sudah belajar banyak hal. Kopdar pertama ketika ada acara yang diadakan
sebuah majalah parenting ternama di Hotel Novotel. Waktu itu saya
clingak-clinguk karena belum tahu para anggota IIDN Semarang, hanya dengan mbak
Vetrieni yang pernah bertemu muka sebelumnya. Alhamdulillah sambutan anggota
IIDN Semarang dengan newbie yang keterlaluan seperti saya (keterlaluan karena
pertama ikutan kopdar langsung menggondol doorprize yang sangat besar) begitu
hangat sehingga saya tidak takut untuk datang kopdar yang kedua.
IIDN Semarang di Rumah mbak Uniek |
Kopdar kedua dengan rekan-rekan Semarang di rumah
mbak Uniek yang bertempat di jalan Pati Unus. Tidak susah menemukan rumah
beliau. Di rumah beliau saya belajar banyak tentang blogging dan juga berbagi
info tentang membuat artikel SEO yang saya dapatkan dari pekerjaan saya
sekarang ini. Kopdar kedua semakin membuat saya nagih untuk terus ikut dan
berpartisipasi pada kegiatan yang digeber IIDN Semarang yang kemudian membawa
saya pada kopdar ketiga yang baru saja dilaksanakan pada Sabtu, 25 Mei 2013
bertempat di Rumah Albi dekat RS Telogorejo Semarang.
IIDN Semarang di Rumah Alby |
Pada kopdar ketiga ini saya mendapatkan suntikan
yang luar biasa dari mbak Dian Nafi yang semangatnya berapi-api mengajak saya
dan teman-teman untuk menghilangkan keraguan dan ketakutan untuk memulai
menulis. Rasa minder dan malu pelan-pelan mulai terkikis dan keberanian mulai
timbul untuk segera menyusul teman-teman yang sudah mulai memamerkan
karya-karyanya (ngiri deh lihat teman-teman yang mulai jualan bukunya sendiri).
Selain suntikan semangat dari mbak Dian Nafi, di kopdar ketiga ini saya dan
teman-teman berkesempatan bertemu muka dengan penulis senior yang dijamin
kocaknya melebihi Mr. Bean, mas Boim Lebon. Selain memberikan ilmu kepenulisan
yang luar biasa, beliau juga memberikan harga khusus kepada kami untuk buku
Tiga Anak Badung.
Dari pertemuan-pertemuan yang intens dan
percakapan-percakapan via facebook dengan rekan-rekan IIDN, saya sering tutup
muka dan gigit jari kalau sehari tidak berkarya. IIDN memacu adrenalin saya
untuk berkompetisi dengan rekan-rekan lainnya, tentu saja berkompetisi secara
sehat; kompetisi karya. Rasanya memalukan bila sudah menjadi anggota IIDN namun
belum juga menghasilkan sebuah karya. Untungnya lagi teman-teman IIDN begitu
luar biasa baiknya, mereka selalu berbagi info lomba penulisan dan proyek
penulisan bersama sehingga saya semakin
rajin berlatih menulis dan keberanian untuk mengikuti lomba dan
proyek-proyek penulisan yang ternyata bertebaran dimana-mana.
Karena IIDN pula pada akhirnya saya berhasil
menembus proyek antologi Storycake Positive Thinking yang saat ini sedang dalam
proses editing di Gramedia Pustaka Utama. Bersama beberapa teman IIDN saya juga
memberanikan diri mengikuti proyek antologi flash fiction “Rainbow” yang
digawangi mbak Umma Azura dan sedang dalam tahap persiapan naik cetak. IIDN
pula yang membuat saya berani mengirimkan berbagai karya saya ke media indie
hingga akhirnya berhasil ikut dalam beberapa proyek antologi dan mendapat
hadiah untuk bisa menerbitkan buku secara gratis.
Bersama IIDN pula saya kini memiliki sudut pandang
yang berbeda tentang menulis. Sudut pandang yang sekarang ini sedang coba saya
sebarkan pada keluarga dan lingkungan sekitar saya. Menulis bagi sebagian orang
(dulu pun saya berpendapat demikian) adalah hobi dan tidak bisa dijadikan
pegangan hidup. Bahkan senyum simpul yang sedikit ngece seringkali saya dapati
ketika beberapa orang menanyakan apa pekerjaan saya sekarang dan dengan tegas
saya jawab saya penulis. Mereka tak tahu betapa menjadi penulis adalah
pekerjaan terenak sedunia; bekerja dengan waktu yang dipilih sendiri dan bisa
menjadi siapa dan apapun yang diinginkan melalui goresan kata.
Banyak yang masih belum yakin bahwa menulis bisa
dijadikan sumber mata pencaharian yang luar biasa. Bahkan banyak instansi yang
belum bisa menerima penulis sebagai salah satu profesi. Suatu ketika saya
memberanikan diri untuk membuat NPWP demi kelancaran dan keseriusan saya
bekerja dalam kancah penulisan. Si petugas menanyai pekerjaan saya dan dengan
tegas nan lantang saya jawab, “penulis, pak.” Alhamdulillah, petugas yang saat
itu melayani saya tidak termasuk petugas yang suka ngece sebagaimana beberapa
teman penulis pernah temui (ada yang bercerita kalau ada petugas yang menyarankan
tidak usah membuat NPWP kalau pendapatannya tidak tentu). Petugas tersebut
justru bertanya-tanya tentang bagaimana sistematikanya menjadi seorang penulis;
jam kerja, mengirim tulisan dan mendapatkan honor. Agar tak terlihat kampungan
karena baru nyemplung di dunia tulis menulis secara professional, saya ceritakan
bagaimana proses kreatif membuat cerpen dan novel, dan pekerjaan saya sebagai
content writer. Petugas tersebut manggut-manggut terlihat kagum hingga kemudian
dia tanya berapa royalty yang sudah saya dapatkan. Saat itu kalau dianimasikan
tubuh saya pasti mengecil sekecil liliput, dalam hati saya berkata bukunya baru
mau terbit kok pak, namun demi harga diri dan percaya diri dengan manis saya
bilang, “belum seberapa, pak, tapi cukuplah untuk ibu rumah tangga macam saya.”
Petugas pun tersenyum senang hingga kemudian beliau bertanya lagi, “laporan
pendapatannya bagaimana ya, mbak?” Saya yang masih sok-sokan tahu asal
menjawab, “laporan royaltinya dikirim lewat email kok pak.” Padahal saya belum
pernah mendapat laporan royalty seperti ini dan informasi ini hanya saya
peroleh dari seorang teman (sok banget ya). Setidaknya petugas lega mendapat
jawaban itu, paling tidak dia yakin kalau orang yang sedang berniat membuat
NPWP di depannya kala itu memang benar-benar berpenghasilan. Lalu tiba-tiba si
bapak nampak kebingungan dan bertanya kepada rekan di sampingnya, “waduh, nek
penulis mlebu kategori apa ya?” Rekan yang ditanyai justru tambah cenat-cenut, “rak
duwe gawean liya?” Saya yang mendengarkan percakapan dua petugas itu hanya
senyam-senyum menunggu para bapak itu menemukan jalan keluar dari
kebingungannya. Untung petugas yang melayani saya adalah sosok petugas yang tak
pantang menyerah dan cerdik dalam memberikan pelayanan kepada orang-orang yang
membutuhkan seperti saya. Beliau tidak meminta saya untuk mencantumkan
pekerjaan lain agar lebih mudah memilih kategori pekerjaan. Akhirnya dimasukkanlah
penulis dalam kategori pekerjaan lain-lain. Benar ‘kan penulis memang masih
diragukan sebagai sebuah profesi? Padahal penulis sukses gajinya lebih besar
dari petugas di kantor pajak itu lo. Iya kan ibu-ibu? #Ngedip ke teman-teman
yang sudah berroyalti banyak.
Keluarga dan lingkungan di sekitar saya pun masih
belajar menerima kalau saya bisa menghasilkan rupiah ‘hanya’ melalui menulis di
rumah. Banyak yang masih beranggapan bekerja itu di kantor, masuk jam delapan pagi
pulang jam lima sore, sedang bagi yang hanya tinggal di rumah meski mantengin
komputer bukan bekerja namanya. Seorang tetangga pernah bertanya pada saya, “apa
tidak man eman ijasah S1 nya bu? Masa udah sekolah tinggi-tinggi nganggur di
rumah?” Ketika saya sampaikan bahwa saya tidak nganggur dan menulis di rumah,
si tetangga ini malah mengerutkan kening meski tidak berani bertanya lagi.
Mungkin dia pikir “nih ibu nggaya banget, emang Dewi Lestari nulis bisa dapat
duit.” Entahlah.
Roti Ultah IIDN Semarang by Mbak Hapsari |
Itulah kenapa saya berterima kasih pada IIDN yang
telah tanpa henti melecutkan semangat saya untuk menulis dan membuat saya
berani mendobrak tradisi yang hidup subur dalam keluarga dan lingkungan saya
bahwa bekerja itu harus di kantor dan di luar rumah. Bersama dan karena IIDN
saya berani bermimpi dan menata langkah
untuk mencapai impian saya untuk menerbitkan karya-karya saya. Sungguh untuk
saya saat ini, bukan hanya materi yang saya cari, namun passion yang selama ini
tak terpuaskan harus saya penuhi. IIDN telah membuat saya menemukan jati diri
dan keinginan saya yang sesungguhnya; menulis, karena dengannya saya lahir kembali
dan kemudian ada di dunia ini dengan semangat yang terbarukan. Hingga suami
kini lebih berseri-seri dan berkata saya menjadi tambah cantik sejak mulai rajin
menulis, #pipi merah. Itu artinya dengan menulis, semangat untuk hidup lebih
baik menjadi semakin berkobar sehingga aura positif terpancar dari wajah dan
perilaku.
Happy 3rd Birthday IIDN |
Begitulah sekelumit perjalanan saya bersama Ibu-Ibu
Doyan Nulis, komunitas yang tidak saja membuat kecanduan menulis, namun juga
melecut keberanian untuk mengukuhkan keberadaan saya di dunia ini. Selamat
ulang tahun yang ketiga, IIDN ku tercinta, love ya!
***
Dipersembahkan
oleh Marita Ningtyas,
a
Newbie Writerpreneur
tulisanmu sungguh 'menggigit' mak Marita ;) sukaaaa.... semoga makin barokah jalan writerpreneur-nya ya
ReplyDeleteaamiin.. makasih mak Uniek.. thank you sudah mampir :)
ReplyDeletesukaaa
ReplyDeletemakasih :)
DeleteTulisannya inspiratif :)
ReplyDeleteterima kasih mbak... suwun sdh mampir :)
ReplyDeleteBaru baca ini.... hehheeh....baru tau adaa poseku juga dipasang mba
ReplyDeletewah iya nih mbak Umma, mana fotonya belum pake hijab ya.. perlu kuganti kah? sudah lama nih soalnya postingnya :)
Delete