Mengingat 2 tahun kepergiannya...
FATONAH. Itulah nama beliau. Salah satu wanita lembut namun tangguh yang kukenal dan
kubanggakan. Sederhana bukan namanya? Sesederhana ia mengajariku tentang hidup
dan bagaimana menjalaninya.
FATONAH. Sebuah nama yang dipetik dari salah satu sifat Rasulullah SAW.
Cerdas. Itu artinya. Begitu pula ia, wanita cerdas yang tak pernah berhenti
membuatku kagum.
FATONAH. Beliaulah eyang putri yang sangat kusayangi. Masih kuingat dengan
jelas bagaimana ia selalu menggunakan setiap detik waktunya untuk kebaikan.
Setiap jam berdentang tiga kali di setiap pagi. Beliau telah membuka mata
dan menyirami pagi dengan senandung do’anya yang menyejukkan. Panjang beliau
bermunajat hingga subuh menghampiri. Lantas sajadah semakin dilebarkan. Rukuh
semakin dieratkan. Beliau menjawab panggilan Subuh dengan khusuknya.
Selepas subuh, tak lupa beliau meregangkan otot-ototnya di depan rumah
sembari menikmati kesegaran udara pagi. Terkadang beliau juga mengitari
lingkungan perumahan hingga dentang pukul 6 membahana. Setelah itu beliau akan
sibuk dengan segala kegiatannya di dapur. Menjerang air. Membuat teh.
Menghangatkan sayur . Menyiapkan roti mentega untuk Yangkung. Menyiapkan obat
harian untuk yangkung. Setelah semua siap, biasanya pukul 8 beliau akan
mendampingi yangkung sarapan.
Selesai sarapan sambil berbincang dengan mak’e, beliau akan mencuci piring
dan membersihkan rumah. Yah begitulah Yangti, meski sudah ada mak’e yang
membantunya mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga, namun Yangti tidak
pernah mau tinggal diam.
Beranjak siang apabila tidak ada acara di luar rumah, terkadang yangti
pergi ke warung mencari lauk yang pas di lidah yangkung untuk makan siang.
Kadang beliau akan pulang dengan sebungkus lombok yang nantinya akan dihaluskannya
menjadi sambal favorit yangkung.
Tak jarang pula beliau menghabiskan waktunya dengan membaca koran, buku
ataupun Al Qur’an. Bahkan dalam usianya yang tak lagi muda yangti masih cukup
awas dan cekatan dalam menyulam.
Saat sepupu-sepupuku yang tinggal serumah dengan Yangti masih kecil. Saat
mereka pulang sekolah, Yangti sudah siap sedia dengan Mi-endok kesukaan mereka.
Begitu sabar Yangti meladeni cucu-cucunya yang sering tanpa sadar menggores
hatinya nan halus.
Aku masih bisa mengingat setiap tanggal 1, Yangti akan pergi mengambil
pensiun. Sepulangnya dari BRI, Yangti pasti akan mampir ke pasar guna membeli
lepet kesukaan Yangkung, kadang juga tongseng dan es campur. Saat itu beliau
masih gagah dan cekatan.
Masih terbayang dengan jelas binar matanya yang tegas. Saat suasana hatinya
sedang gembira, ia suka sekali berjoget, tangannya dinaikkan ke atas,
digoyang-goyangkan mengikuti lagu dari radio tuanya. Ada-ada saja tingkah
Yangti untuk meramaikan suasana.
Aku juga masih ingat bagaimana aku sangat girang setiap Yangti datang ke
Salatiga. Suara “Assalammualaikum” nya dan parfumnya yang khas segera
memberikan efek yang luar biasa. Dan aku, adikku dan Ibu akan segera berteriak
kompak “Yangti....”. Aku menikmati sekali setiap momen kedatangannya ke
Salatiga. Bukan karena beliau akan membawa banyak oleh-oleh dan ‘amplop’ (itu
juga sih, hehe), tapi yang lebih menyenangkan lagi adalah menikmati waktu
bersamanya yang tak pernah membosankan. Mungkin karena aku dan adikku adalah
cucu-cucu yang dulu tinggalnya paling jauh dari Yangti. Kami hanya bisa bertemu
dengan Yangti saat liburan atau saat beliau mengunjungi kami. Maka kedatangan
Yangti bagaikan oase di tengah gurun pasir nan tandus.
Aku cucu pertamanya. Aku pula cucu yang paling nakal (mungkin---semoga
tidak). Aku tinggal serumah dengan Yangti sejak September 2003, atau tepatnya
sejak aku kuliah di Universitas Dian Nuswantoro. Yangti pula yang mengantarku
ke kampus untuk pertama kali. Mengajariku angkot apa saja yang harus kunaiki
untuk sampai ke sana dari rumah eyang. Kadang kupikir Yangti lebih semangat
kuliah daripada diriku sendiri.
Sejak hari itu, setiap jam lima pagi beliau akan membangunkanku untuk
sholat subuh. Seringnya aku hanya menjawab “hmmm” lalu kututup mata lagi.
Lantas beliau akan mengomel karena aku tidak juga bangun. Begitu setiap pagi.
Sampai mungkin Yangti bosan sendiri membangunkanku dan kemudian tak pernah
membangunkanku lagi. Aku akan dibiarkan sampai aku mau bangun sendiri.
Lama-lama aku merasa malu sendiri dengan sikapku itu.
Yangti juga tak pernah lupa mengingatkanku untuk sarapan. Kalau aku bangun
kesiangan dan tak sempat sarapan, beliau hanya akan geleng-geleng kepala sambil
berucap “Mulakno nek tangi aja awan-awan, cah prawan kok tangine kalah karo
ayam...”
Awal kuliah kegiatanku belum banyak. Aku belum aktif berteater dan masih
jadi mahasiswa normal seperti lainnya, berangkat kuliah pagi, selesai ya
langsung pulang. Yangti sepertinya senang aku tinggal bersamanya. Soalnya
cucu-cucu yang tinggal serumah dengannya laki-laki semua, sedang aku perempuan
jadi bisa diajak ngobrol. Apalagi aku cucu tertua yang paling disayang (kalo
ini ge er aja sih, hehe). Bentuk kesenangannya diungkapkannya dengan
membelikanku mushaf Al Qur’an, buku asmaul husna, tasbih lengkap dengan tasnya.
Tidak lupa setiap Jum’at malam beliau akan mengajakku ke pengajian ibu-ibu
tingkat RW di kampungnya. Dengan lantang beliau akan mengenalkanku dengan
setiap orang yang ditemuinya di jalan, “Niki Ririt, putranipun Mbak Endah
ingkang dateng Salatiga, sakmenika kuliah teng mriki .......” . Tidak lupa
beliau juga akan memintaku mencium tangan orang-orang tua yang kutemui.
Awalnya aku sangat excited dengan itu semua. Perlahan sewajarnya anak muda,
aku mulai tergerus dengan kemoderenan dan bosan dengan aktivitas pengajian
tersebut. Bukan hanya karena tidak ada satupun orang seusiaku ada di sana,
namun juga karena aku mulai aktif dengan teater. Aku mulai pulang sering pulang
malam, terkadang sampai menginap. Aku tahu Yangti mulai kehilangan aku. Aku
sendiri mulai enjoy dengan segala kesibukanku, tanpa menyadari betapa Yangti
begitu setia menungguku pulang, meski kadang hingga jam 10 atau 12 malam.
Dengan mata terkantuk-kantuk beliau akan tetap menungguku hingga aku pulang.
Beliau tidak akan tidur sebelum aku sampai rumah. Sedih rasanya kalau ingat itu
semua. Begitu aku belum sanggup menjadi cucu yang baik untuknya.
Saat kesibukan menggerusku, terkadang aku tak menghiraukan kesehatanku.
Beberapa kali aku ambruk. Yangti dengan sigap akan segera mengeriki tubuhku,
membuatkanku teh hangat. Apabila kondisiku belum juga baik, beliau akan segera
memaksaku ke Pak Warno, dokter dekat rumah. Menyiapkan makanan, bahkan tak
jarang bila kondisiku sangat lemah seperti saat disentri menyerangku beliau
akan menyuapiku penuh kasih. Beliau tak pernah lupa mengingatkanku untuk
meminum obatnya. Sampai aku sembuh dan bergulat dengan kesibukanku lagi. Dan
aku belum bisa membalas semua yang telah beliau berikan padaku.
Tahun 2004 aku mulai mengenal pacaran. Yangti tidak melarang, sederhana
saja pesannya saat itu kepadaku “Jangan gampang memberi sesuatu pada lelaki,
sekali kamu memberi yang dia minta, ia akan minta lebih....” Tentu saja dalam
bahasa Jawa. Setidaknya Yangti lebih welcome pada pacarku yang sekarang sudah
jadi suamiku daripada Yangkung. Yangti tidak pernah mempermasalahkan walau pacarku
datang ke rumah jalan kaki ataupun hanya naik motor CB. Yangti juga tidak
mempermasalahkan keluarganya yang sama broken home nya denganku. Setiap ada
kesempatan dan beliau tidak sibuk, beliau akan mengajaknya berbincang. Tak
jarang beliau akan mengomentari potongan rambutnya yang terlalu panjang atau
bajunya yang sangat tidak rapi. Bagaimanapun Yangti adalah sosok yang paling
tulus menerima pacarku pertama kali. Bahkan mungkin lebih tulus dari diriku
sendiri.
Aku masih ingat bagaimana yangti menitikkan air mata haru ketika aku
berhasil menyelesaikan kuliahku dengan tepat waktu, bahkan berhasil menjadi
lulusan terbaik di fakultasku. Ia mengecup keningku lembut, begitu tulus. Dengan
tertatih ia berdiri di podium menemaniku menerima selamat dari Pak Rektor. Ada
sorot bangga. Dan aku juga bangga bisa membawa Yangti ke Patra Jasa pagi itu
untuk menggantikan Ibu yang tak bisa hadir. Betapa sesungguhnya hal itu belum
cukup untukmu, yangti.
Yangti adalah hal luar biasa untukku. Aku datang ke Semarang dengan keadaan
sangat rapuh. Ibu tergeletak lemah di dipan dan bapak menikah lagi. Sedang aku
tak terima dengan semuanya. Dan beliau adalah salah satu obatku. Ketika di
rumah aku tak bisa menemui kedamaian dan cinta kasih yang selama ini kucari,
aku menemukannya di kedalaman hatinya. Beliau begitu sederhana, sesederhana ia
memaknai kehidupan. Berbuat baiklah pada semua orang. Jangan mendendam dan
ikhlas. Kelak kebahagiaan akan datang dengan sendirinya padamu. Beliau sungguh
luar biasa. Saat beliau lelah dan sedih, tak pernah ditampakkannya.
Membahagiakan orang di sekelilingnya bagaikan kewajiban yang mesti dilakukan.
Maret 2008 aku menikahi mantan pacarku dan sejak bulan itu juga otomatis
aku tak lagi tinggal dengan beliau. Dengan segala kesibukan yang aku punya,
terkadang aku hanya sempat berkunjung seminggu sekali, bahkan pernah sebulan
sekali. Setiap kali aku datang ia akan mengecup keningku. Hangat. Ada rindu di
sana.
Kadang aku berkeluh kesah padanya betapa lingkungan tempat tinggalku sangat
tidak menyenangkan.Tetanggaku rese’ dan suka ikut campur urusan orang. Beliau
malah memarahiku, “berbaiklah pada tetangga, karena nantinya mereka yang akan
memberikan bantuan pertama kali...biarin saja mereka usil, nabi juga sering
dimusuhi tapi beliau tetap baik dengan sekelilingnya”. Lalu aku menjawab
sekenaku, “aku kan bukan nabi, yang.” Yangti hanya terkekeh mendengar jawabanku
dan menjenggung kepalaku.
Kalau tidak salah, sekitar Oktober 2008, pertama kalinya Yangti masuk RS .
Waktu itu sore hari aku ke rumah Yangti, namun aku tak mendapatinya di rumah.
Yangkung bilang Yangti sedang nginap di rumah Bulik Rini di Tulus. Aneh
pikirku. Yangti tak pernah meninggalkan Yangkung sampai menginap segala. Ada
apa ya?
Paginya aku ke rumah bulik. Aku ketemu dik Dian, putri pertama Bulik Rini,
lalu kutanya padanya “Yangti mana dik?”. “Kan di RS, mbak.” Tergopoh-gopoh aku
menuju RSU Kota Semarang, ruang Bima kalau gak salah waktu itu. Aku penasaran
Yangti sakit apa dan bagaimana kondisinya. Ternyata Yangti punya sakit jantung.
Tapi saat itu kondisi Yangti masih cukup baik. Semangat sembuhnya juga cukup
tinggi. Bahkan saat aku menjenguknya Yangti masih tertawa-tawa, katanya Cuma
disuruh istirahat saja. Setidaknya aku cukup lega melihat kondisi Yangti yang
tidak begitu mengkhawatirkan. Kadang aku bertugas menjaga Yangti bergantian
dengan om dan bulik. Sepertinya hanya seminggu Yangti dirawat di RS lalu
selebihnya beliau berobat jalan.
Maret 2009 saat aku merayakan ultah pernikahanku yang pertama bertepatan
dengan ultah perkawinan Yangti dan Yangkung ke 50. Seluruh keluarga berkumpul
merayakan kawin emas mereka. Yangti dan Yangkung didandani sebagaimana sepasang
pengantin lalu disandingkan di pelaminan. Satu per satu anak cucu sungkem dan
menghaturkan doa untuk mereka. Khususnya mimpi Yangti dan Yangkung untuk segera
menunaikan Rukun Islam ke 5, haji di tanah suci. Hari itu semua bergembira.
Yangti juga sangat bahagia di sela-sela gurat ketuaanya yang semakin tampak.
Sejak Yangti di rawat di RS setiap bulan Yangti kontrol di RS. Namun ada
satu sifat buruk Yangti. Ketika beliau merasa kondisinya sudah baik dan fit,
beliau merasa tidak perlu kontrol lagi. Semuanya juga baik-baik saja sampai
bulan Oktober 2009, Yangti harus dilarikan ke RS yang sama karena kekurangan
oksigen. Badannya dingin dan membiru. Entah apa yang membebani Yangti hingga
sakit seperti itu, cucu-cucunya yang nakal atau masalah-masalah lain? Aku tak
pernah mengerti dengan benar. Sakitnya yang ini cukup menguras kondisi psikis
Yangti. Yangti nampak cukup lemah kali ini. Semangatnya juga tak lagi sekuat
tahun sebelumnya. Yangti pulang kerumah setelah dirawat seminggu lebih dan
menghabiskan beberapa botol oksigen. Sejak hari itu Yangti tidak pernah lupa
kontrol setiap bulan untuk mengecek kesehatannya.
Agustus 2010 Ibu pindah ke Semarang setelah rumah di Salatiga dijual.
Yangti pun mengunjungi kami sambil memutari rumah dan mengitari lingkungan
sekeliling rumah baru kami. Sesekali mencari tetangga untuk berkenalan. Yangti
memang sangat ramah. Sesaat setelah kepindahan ibu ke Semarang, bulan puasa
tiba. Dan tidak ada satupun yang menyangka lebaran 2010 adalah lebaran terakhir
kami bersama beliau. Yangti sangat menikmati kebersamaan yang ada, meski aku
bisa melihat ada kelelahan yang maha dahsyat yang tidak lagi bisa ditutupi dari
wajahnya.
Karena merasa tidak cocok dengan dokter di RSU kota, Yangti mulai periksa
di unit Rawat Jantung di RS Kariadi. Oktober 2010, sebulan setelah lebaran,
Yangti mengambil rujukan untuk periksa di Kariadi. Entah bagaimana ceritanya
Yangti jatuh di tangga klinik. Waktu itu Yangkung tidak menemani. Yangti pun
tidak cerita pada Yangkung kalau beliau habis jatuh di tangga. Mungkin takut
dimarahi. Yangkung baru tahu Yangti jatuh saat pulang dari Kariadi Yangti
cerita kakinya sakit untuk berjalan. Setelah Yangti cerita pada Yangkung,
Yangkung segera memanggil Om Bambang untuk mengecek, kebetulan Om Bambang guru
olahraga yang cukup tahu memijat.
Beberapa hari setelah itu, Yangti diketemukan tidak sadarkan diri di
kamarnya. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Bahkan waktu Yangkung dan
rombongan berhasil membuka pintu kamar beliau, Yangti sudah basah kuyup karena
pipis. Segera Yangti dilarikan ke RSU Tugu. Dirawat di ruang Amarylis kurang
lebih dua minggu. Cukup lama memulihkan kondisi Yangti. Bahkan sampai pulang ke
rumah pun Yangti masih harus disiben dan saat berjalan harus digandeng. Tak
tega aku melihatnya. Hingga Desember 2010 Yangti masih terus berusaha
memulihkan kondisinya. Perlahan namun pasti, Yangti mulai bersemangat. Beliau
sudah cukup sehat untuk berjalan keluar rumah, membeli lombok dan membuat
sambal untuk Yangkung. Bahkan menanak nasi. Meski begitu dari lubuknya yang
paling dalam beliau sadar bahwa kondisinya tidak lagi sesempurna dulu, sempat
beliau mengeluh, “Kok suwi banget ya marine...”. Sedih aku mendengarnya.
Di saat Yangti mulai pulih dan berat badannya mulai naik, 22 Desember 2010
bertepatan dengan hari Ibu, Yangti anfal lagi. Padahal malamnya Yangti masih
bercengkrama dengan Bulik Rini dan Om Pung, juga Yangkung. Bahkan sempat
mencoba kaca mata barunya. Yangti tak sadarkan diri lagi. Kali ini kami tak
lagi bisa melihatnya pulih seperti sedia kala. Yangti dilarikan ke RS Tugu
lagi. Kali ini ICU langsung menyambutnya. Untuk menjenguk beliau, kami harus
menunggu jam besuk yang telah ditentukan dan itu pun harus masuk satu per satu.
Satu minggu Yangti di ICU sebelum akhirnya dibawa ke amarylis. Itupun
kondisinya masih tidak begitu berbeda. Oksigen masih terpasang. Mata terus
tertutup. Tangan kanannya terus bergerak. Tak sadarkan diri. Untuk menambah
nutrisi, makanan harus dialirkan lewat hidungnya melalui sonde. Semakin hari
yang kulihat Yangti semakin kurus dan layu. Dalam hati kecilku, “Ya Alloh, bila
memang Yangti bisa sembuh maka sembuhkanlah, namun bila memang sudah waktunya
Ia kembali padaMu, maka cepatkanlah dan jangan terlalu lama Engkau memberinya
sakit.” Berdesir, salah satu sisi hatiku merasakan ini terakhir kalinya Yangti
masuk RS. Kurasakan pula sepertinya tak lama aku harus siap melepas wanita
kebanggaanku. Namun aku berharap bila saat itu tiba aku ingin Yangti sempat
berkomunikasi barang sejenak dan mengecupku hangat.
Kata dokter sonde lewat hidung terlalu riskan untuk manula seusia Yangti.
Dokter memutuskan untuk membedah perut Yangti dan membuat lubang di sana untuk
mempermudah Yangti mendapat makanan dan minuman. Bergidik ngeri aku membayangkan
Yangti dibuka perutnya saat kondisinya tidak sadar seperti itu. Setelah sonde
di perut itu dipasang. Dokter menyatakan kondisi Yangti sudah stabil dan bisa
dibawa pulang. Dengan catatan, keluarga harus siap dengan perawatnya dan segala
macam kebutuhannya.
Yangti pulang ke rumah lewat dari ulang tahunnya yang ke 73 yang jatuh tanggal
9 Januari lalu. Padahal sebetulnya pada hari Jum’at tanggal 7 Januari beliau
punya rencana untuk mengadakan pengajian syukuran akan kepulihannya dari sakit.
Beliau juga ingin semua anak cucu kumpul di hari itu. Namun manusia hanya bisa
berencana dan Alloh lah penentu segalanya. Hingga Yangti pulang ke rumah,
Yangti juga belum bisa berkomunikasi. Sesekali beliau dapat merespon, dan
seakan ingin menjawab, namun sepertinya tersekat di tenggorokan dan hanya
lenguhan saja yang keluar dari mulutnya.
31 Januari 2011, sepulang mengajar dari Islamic Centre. Entah kenapa aku
ingin sekali bertemu Yangti. Meski harusnya aku pulang ke kantor, namun aku
tidak sabar menunggu jam 8 untuk melihat kondisi Yangti. Sesampainya di rumah
eyang, seprei Yangti sudah dilepas. Kata Yangkung, kondisi Yangti drop dan
barusan muntah. Kupegang keningnya, panas tinggi. Tapi hari itu, aku merasa
Yangti begitu berbeda. Bersih.
Setelah makan, aku menemani Yangti. Aku merebahkan tubuhku di sampingnya
sambil memegang tangannya yang lemas namun tetap aktif bergerak. Nafasnya mulai
tersengal. Sesekali aku bertanya pada beliau apa yang dirasakannya. Tidak ada
jawaban. Lalu kami terpaku dalam diam. Sesaat aku merasa aku sedang
berjalan-jalan bersama Yangti. Yangti nampak gembira. Saat tersadar ternyata
hanya mimpi. Ketika adzan magrib berkumandang, kulepas tangan Yangti dan
kupegang keningnya, sudah tidak panas lagi. Karena aku tidak bersama suamiku,
aku segera pulang setelah magrib usai. Tak lupa kucium kening Yangti dan
berbisik, “besok Mbak Rit kesini lagi ya Yang...” Dengan hati gundah aku
meninggalkan Krapyak. Sepertinya tak seharusnya aku pulang.
Jam empat pagi, Lady Gaga menyeruak dari henponku. Dua buah panggilan tak
terjawab dari Bulik Rini. Hatiku berdesir. Firasat buruk. Kutelpon kembali
nomernya, “Ada apa bulik?” “Yangti dah gak ada nok.” Jantungku rasanya seperti
dilolosi, bulir air mata seperti tak terkontrol lagi, ternyata sore itu sore
terakhirku bersama Yangti.
Dari cerita yangkung aku baru tahu setelah aku pulang, jam 8 an kondisi
Yangti drop lagi. Panasnya mencapai 40 derajat. Yangkung menelpon om Bambang.
Bersama-sama mereka menunggu Yangti dan membacakan ayat-ayat Al Quran. Ketika
semua sudah tak sanggup memicingkan mata, dan hanya Yangkung yang sanggup
bertahan, Yangti menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah Yangkung
selesai membaca Yasin entah keberapa kali dan mengucap Sodaqallahual’azim.
Yangti pergi dengan begitu cantik. Meski masih ada satu mimpi yang belum
tercapai, yang harusnya bisa beliau wujudkan tahun ini. Pergi haji bersama
Yangkung, ternyata Yangti tidak sabar menunggu hari itu tiba. Beliau sudah
menemuiNYA lebih dulu. Senyum tergurat di bibirnya. Seakan menggambarkan sudah
selesai tugas yang diembannya. Sudah selesai segala beban di hatinya.
Ini hari ketujuh kepergian beliau. Masih ada aroma dan potongan kenangan
yang jelas terukir di ingatan. Yang tentu saja tak kan mampu terlupakan. Semoga
dengan kepergian beliau, tidak pergi pula semangat kami untuk terus mengingat
dan meneruskan kebaikan beliau.
Selamat jalan Yangti Fatonah...damailah engkau disisiNYA, kami akan selalu
menghantarkan doa untuk kebahagiaanmu di sana...
(Catatan kecil untuk Yangti, diselesaikan pada hari ketujuh kepergian
beliau, Senin, 7 Februari 2011...Satu bulan yang lalu beliau ingin diadakan
pengajian di rumah ini dan bulan ini pengajian yang beliau inginkan telah
terlaksana. Semua anak cucu dan ibu-ibu pengajian Al Huda berkumpul
mendoakanmu, yang... rest in peace there,my luphly granny)
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com