Satu per satu orang mendekatiku.
Menyalamiku dengan tatapan haru. Tak jarang pula mereka menjatuhkan pelukan
padaku sambil berkata dengan kebijaksanaan mereka yang tak pada tempatnya,
“Sabar ya nduk.” Apa yang mereka tahu tentang sabar? Mereka tak lebih tahu dari
aku. Bukankah aku telah bergelut dengan kesabaran selama ini. Aku memilih
berdiam diri di kamar daripada menemui orang-orang yang sok simpati. Toh mereka
pasti akan memahami jika aku lebih memilih tinggal di kamar. Sendirian.
Sudah tiga hari kepergianmu. Aku masih
tetap menangis tanpa suara. Satu per satu orang juga masih datang dan
pergi untuk mengucapkan bela sungkawa.
Namun tak satupun dari mereka yang ingin aku temui. Bahkan sahabat-sahabatku
sekalipun. Aku hanya ingin menangis sendiri. Menikmati tiap tetes air mata yang
mampu aku keluarkan untukmu. Yah pasti
kamu sangat bahagia di alam sana ,
karena ternyata aku masih punya cukup air mata untuk menangisi kepergianmu.
Rasanya masih setengah menit yang lalu
kau memintaku menjadi istrimu. Dalam temaram bintang, di depan ombak yang
bergemuruh kau lingkarkan cincin emas putih padaku seraya berkata “Maukah kau
menjadi ibu dari anak-anakku?” Perempuan mana yang tak bergetar hatinya kala
pria yang diidamkannya membalas asa yang selama ini disimpannya erat dalam
dada. Tanpa pikir panjang aku mengangguk tegas. “Iya.”
Tanpa proses yang cukup panjang untuk
saling mengenal diri masing-masing, kau dan aku menetapkan sebuah keputusan
yang sangat besar untuk hidup kita. Bahkan kedua orang tua kita pun terhenyak
ketika kita mengutarakan keinginan untuk merajut mahligai perkawinan. Tak lebih
dari setahun kita mengenal. Itu pun baru lima
bulan yang lalu kita saling bertukar nomor handphone dan email. Lalu saling
menyapa dan memberi perhatian tanpa ada ikatan yang jelas sebagaimana seorang
pria dan perempuan menjalin kasih. Begitulah Tuhan mengantarkan jodoh pada kita
dengan cara yang tak pernah kita duga.
Mahendra Bima. Aku lebih suka memanggilmu
Bim-Bim. Itu sebutan sayangku untukmu dan memang hanya aku seorang yang
memanggilmu Bim-Bim. pada awalnya kau bermuka masam ketika aku memanggilmu
demikian. Namun bertambahnya hari kau justru menikmati panggilan itu. Dari cara
memanggilku, kau bisa tahu isi hatiku. Bila aku sedang merasa marah padamu, aku
tak pernah memanggilmu Bim-Bim. Melalui hal itu, kau bisa langsung tahu kalau
aku sedang marah padamu. Segeralah kau lakukan segala hal konyol untuk
membuatku tersenyum lagi, dan selalu saja kau berhasil! Yah, kau memang orang
yang cukup menarik. Setidaknya bagiku. Secara fisik pun kau cukup ideal,
buktinya banyak perempuan yang hampir
gantung diri kan
ketika kita memproklamirkan rencana pernikahan kita? Dengan tinggi 170 CM,
kulit bersih dan memiliki pekerjaan yang mapan, tentulah bukan hal yang sulit
untukmu mencari pendamping hidup. Suatu ketika aku bertanya padamu “Kenapa kau
memilihku?” Dengan tersenyum lugas kau berkata, “Karena hanya kamu yang
mempunyai asa yang sama denganku. Aku yakin hanya kamu yang bisa memahami dan
menerimaku apa adanya.”
Kita dibesarkan dengan latar belakang
yang sama. Aku hidup dalam keluarga dimana ayahku memilih poligami sebagai
jalan hidupnya. Setahuku tak pernah ada poligami lewat cara yang benar.
Perselingkuhan merupakan awal poligami. Begitu juga ayahku. Berulangkali beliau
melakukan perselingkuhan tanpa sepengetahuan ibu. Berulangkali pula beliau
menikam rasa sakit di ulu hati ibu. Namun entah kenapa ibu masih saja bertahan
dalam kondisi itu. ”Demi anak-anak!” Itu yang selalu ibu ucapkan. Kalau saja
ibu tahu aku jauh lebih tersiksa hidup dalam keluarga yang penuh pertikaian
ini. Namun aku tak pernah mengutarakan perasaanku. Diam adalah emas. Kunikmati
setiap jengkal sakitku. Hingga tiba hari itu, salah seorang selingkuhan ayah
hamil! Keluargaku semakin kacau. Pada akhirnya ibu mengalah, ibu mau menerima
perempuan itu sebagai madunya. Aku semakin tak habis pikir dengan jalan pikiran
ibu. Namun aku tetap memilih diam dan menikmati sesakku. Semua yang kurasakan
telah mencambukku untuk menjadi keras. Aku tak mau bergantung pada lelaki
manapun dan tak akan kubiarkan lelaki mana pun membuatku terdampar pada rasa
sakit pengkhianatan. Aku juga tak akan membiarkan perempuan lain
menginjak-injak kebahagiaanku. Harapanku, aku hanya tak mau mengulangi
kebodohan ibuku dan kesalahan kedua orang tuaku.
Begitu juga dirimu. Ayah dan ibumu
bercerai sejak kau masih bayi. Ayahmu menikah lagi dengan orang lain dan tak
pernah memberikan kehidupan yang layak untukmu. Ia meninggalkanmu dan ibumu
tanpa meninggalkan barang berharga satu pun. Demi mencukupi kebutuhan
keluarganya, ibumu terpaksa menjadi TKW di Negeri Jiran. Melalui
pengorbanannya, engkau bisa bertahan hidup. Namun ibumu jarang sekali pulang.
Baginya memberimu kehidupan layak telah merupakan tanggung jawab yang harus ia
penuhi. Sepeninggal ibumu, kau dibesarkan oleh nenekmu. Ketika kau beranjak
dewasa, kau menyadari bahwa kau lebih membutuhkan kasih sayang dari pada
kucuran uang ibumu yang tak sedikit tiap bulannya. Oleh karenanya, kau selalu
menganggap ibumu yang sesungguhnya adalah nenekmu. Sedari kecil beliau
membesarkanmu tanpa lelah. Pernah pula kau coba menemui ayahmu. Namun hanya
caci maki yang kau dapatkan. Ayahmu yang telah menjadi seorang kontraktor
sukses berpikir bahwa kau datang hanya untuk mengemis hartanya. Diacungkannya
padamu segepok uang yang mungkin mampu membuatmu bertahan hidup hingga setahun.
Namun dengan tegas kau menolaknya. Bukan harta yang kau cari, hanya secuil
kasih sayang untuk mendamaikan hati. Dalam kepenatanmu, kau berusaha menikmati
setiap jengkal sesakmu. Dari pengalamanmu sebagai seorang anak korban
perceraian, kau mencoba merentas asa untuk menemukan perempuan yang bisa
benar-benar kau jaga sepenuh hati.
Itulah kenapa aku menjawab dengan
anggukan tegas ketika kau memintaku menjadi pendamping bagimu untuk mengarungi samudera
kehidupan. Aku yakin engkaulah sosok lelaki yang aku cari; lelaki yang mengerti
bagaimana mencintai seorang perempuan dengan seharusnya dan menjaganya sebaik
mungkin. Itulah kenapa aku tak ragu untuk menerima pinanganmu meski hanya
sekejap aku mengenalmu.
Akhirnya hari itu tibalah. Hari dimana
kita mengikat janji setia dalam ikatan suci bernama pernikahan. Ada rasa pesimis
mengiringi kebahagiaanku. Bayangan pertengkaran kedua orang tuaku silih berganti memenuhi pikirku. Namun segera
hilang begitu aku mengingat komitmen kita untuk tak mengulang kesalahan orang
tua kita di masa lalu. Aku mencoba yakin, meski sedikit gamang.
Keyakinanku padamu memang ternyata belum
sepenuhnya. Rasa takut kehilangan yang berlebihan, juga rasa enggan untuk dikhianati
membuatku antipati terhadap semua teman perempuanmu. Aku tak ingin kau
berdekatan dengan perempuan selain aku. Aku tak mau lengah sedikit pun dan
memberikanmu kesempatan untuk tak setia. Pada awalnya kamu menganggap wajr
keposesifanku sebagai bentuk rasa sayangku. Namun kian lama, kau semakin tak
bisa mentolerir sikapku. Kau juga ingin dipercayai. Kau yakinkanku bahwa kau
tak akan mengkhianatiku. Namun aku dengan tegas menolak memberimu kepercayaan.
Bagiku laki-laki adalah makhluk lemah yang akan mudah terpedaya oleh daya pikat
perempuan. Aku tak mau kecolongan sedikit pun. Lalu letupan-letupan kecil pun
mulai muncul di antara kita.
Tahun pertama pernikahan kita diwarnai
dengan pertengkaran demi pertengkaran. Kita memang memiliki visi yang sama
dalam membentuk mahligai ini. Namun tetap saja kita memiliki cara yang berbeda
untuk mewujudkan visi itu. Caraku adalah keposesifanku padamu. Aku tak ingin
menciptakan ruang sedikit pun bagimu untuk berselingkuh. Sedangkan kamu memilih
untuk memintaku tinggal di rumah. Menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Yah, kamu
begitu takut aku akan meninggalkan kewajibanku sebagai seorang istri bila kau
mengijinkanku bekerja di luar rumah. Tentu saja aku tak mau. Sebagaimana janji
yang pernah kuucapkan pada diriku sendiri bahwa aku tak akan pernah bergantung
pada lelaki, termasuk suamiku sekalipun! Begitulah kita, tak pernah menemukan
titik temu dari setiap masalah yang ada. Lalu diam dan mencoba mengingat apa
yang telah membuat kita bersatu pada pernikahan ini. Kemudian tersenyum, saling
menatap dan berjanji untuk lebih mengerti satu sama lain.
Kita mencoba menjadi lebih baik. Kau
memberikan kepercayaan untukku bekerja di luar rumah dengan syarat aku tak
boleh menelantarkan kewajibanku sebagai seorang istri. Begitu juga aku mencoba
percaya padamu. Aku tak lagi mengecek SMS-SMS yang kau terima. Tak lagi
bertanya panjang lebar kala ada rekan kantor perempuanmu menelpon. Tak lagi
melarangmu berteman dengan siapa pun. Sepertinya kita telah menemukan jalan
keluar untuk perbedaan kita. Yah, saling mengisi, mempercayai dan menjaga!
Hidup kita menjadi lebih damai. Lebih
bahagia. Kita menikmati setiap jengkal pernikahan kita. Semua orang menatap iri
pada kita, pada kemesraan kita, pada kekompakan kita, dan tentu saja pada
kebahagiaan kita. Kemudian Nakula Sadewa, dua jagoan kembar kita lahir. Semakin
lengkaplah pernikahan kita. Aku memutuskan berhenti bekerja untuk lebih
konsentrasi mengurus kedua anak kita. Kau menyambut keinginanku dengan sangat
gembira. Apalagi keadaan ekonomi kita kini telah lebih baik dari lima tahun yang lalu
ketika kita menikah, bukan?
Aktivitasku kini hanya berputar dari
sudut rumah yang satu ke sudut rumah yang lain. Setiap pagi aku tak pernah lupa
menyiapkan secangkir kopi kesukaanmu. Lalu kita menyantap sarapan bersama,
kadang nasi goreng, kadang juga roti bakar rasa cokelat keju kesukaanmu. Selagi
kau bekerja, aku beraktivitas bersama kedua buah hati kita. Mengamati setiap
inci perkembangan mereka. Tentu saja kuberikan juga nutrisi yang terbaik untuk
mereka. Bukankah mereka yang akan meneruskan trah kita nantinya? Aku semakin
bahagia dengan pernikahan kita. Aku semakin mempercayaimu. Semakin mencintaimu.
Juga semakin lupa bahwa kau tetap saja seorang lelaki yang mampu terjerumus
pada lubang ketidaksetiaan.
Pagi itu seperti biasa aku mengantarkan
Nakula Sadewa ke sekolahnya. Sudah lima
tahun usia mereka. Sudah pintar berhitung dan menyanyi. Kita sangat bahagia
melihat kenakalan kedua buah hati kita. Sering kali kau menatapku dengan begitu
hangat sembari berkata, “Terima kasih telah memberikanku bocah-bocah lucu dan
cerdas ini.” Aku semakin bahagia dan yakin pada apa yang kita jalani saat ini.
Hari itu pernikahan kita memasuki usianya yang kesepuluh. Aku ingin memberikan
kejutan padamu. Membuat pesta kecil untuk merayakannya berdua nanti malam.
Sudah kurencanakan sematang mungkin. Black forest kesukaanmu dan candle light dinner telah
kusiapkan untuk malam nanti. Aku juga telah menghubungi ibu agar aku bisa
menitipkan Nakula Sadewa selama beberapa jam. Yah, aku ingin merayakannya
sespecial mungkin. Hanya denganmu!
Baru saja aku keluar dari taksi menuju
sebuah hotel dimana aku ingin pesan sebuah kamar untuk perayaan ulang tahun
pernikahan kita. Aku melihatmu keluar dari hotel itu. Tidak sendirian. Bersama
seorang perempuan. Tinggi semampai, putih dan berambut ikal. Aku rasa aku
mengenalnya. Aku melihatnya dengan seksama. Yah, bukankah ia Fitri, rekan
kerjamu di kantor? Aku bertanya-tanya tentang apa yang kau lakukan dengannya di
hotel itu. Namun kucoba menepis rasa curigaku, siapa tahu kau sedang ada rapat
dengan klien! Lalu aku ingat, Fitri memang sekantor denganmu, tapi ia tak
sebagian denganmu. Jadi mana mungkin kau bisa bersama-sama dengannya untuk
urusan kantor? Rasa curigaku semakin menjadi ketika aku melihatmu merangkulnya
begitu mesra. Jantungku seperti tertusuk sembilu. Aku tak bisa mempercayai
penglihatanku. Kulihat kau berlalu.
Aku mencoba menenangkan diri. Kumasuki
hotel itu dan sesuai rencana kupesan sebuah kamar. Kamar 17. Disinilah tempat
yang bisa kupesan. Kutata serapi mungkin. Kusiapkan semuanya. Lalu kukirim
pesan singkat untukmu, “Kutunggu di Hotel Arjuna. Nggak pakai lama ya Sayang!”
Tak berapa lama kau membalas pesanku, “Ada apa? Kok di hotel
segala?” Aku merasakan kebingunganmu. Kamu mungkin saja bingung karena aku tak
biasa mengajakmu bertemu di hotel seperti ini. Atau mungkin kau bingung karena
baru saja beberapa menit yang lalu kau
meninggalkan tempat ini dengan kekasih gelapmu. Kubiarkan kebingunganmu. Aku yakin
tak lama kau juga akan mengungkapnya. “Sudahlah nggak usah banyak tanya!
Pokoknya aku tunggu di sini. Di kamar 17 yah!” Kukirim pesan balasanku untuknya
dan aku menunggu. Galau.
Setengah jam berlalu. Pintu kamar
diketuk. Pasti itu kamu! Kubuka dan kau telah ada di depan pintu. Tampak wajahmu
terlihat tak secerah biasanya. Kau nampak kebingungan luar biasa. Lalu kutarik
kau untuk masuk ke dalam. Melihat black forest dan jamuan yang kusiapkan,
barulah kamu ingat bahwa hari itu hari special untuk kita. “Maaf sayang, aku
benar-benar lupa.” Aku hanya tersenyum. Aku tak menunggu permintaan maafmu
untuk apapun. Apalagi setelah yang aku lihat pagi ini.
Tiba-tiba kekakuan menyelimuti kita.
Sepertinya kau ingin membicarakan sesuatu. Dengan ringan aku berkata, “Kalau
ada yang harus kau katakan, katakan saja. Aku siap mendengarnya.” Nampaknya
kamu tahu maksudku. Tiba-tiba kamu bersimpuh di kakiku dan menangis. “Maafkan
aku. Aku tak bisa menjaga hati. Hukumlah aku apa pun. Asal kau memaafkanku…”
Hancur. Remuk redam hatiku. setelah aku memberikan semua kepercayaan, kamu
justru mengkhianatiku seperti ini! Begitu sakitnya hingga menangis pun aku tak
sanggup. Aku berdiri, bermaksud meninggalkanmu. Namun aku masih sempat berkata,
“Kamu tahu aku tak pernah bisa memaafkan ketidaksetiaan, apapun alasannya!
Kecuali kau mati!” Aku tak tahan lagi. Perayaan yang telah kurencanakan sebaik
mungkin gagal. Aku berlari. Kelu.
Aku telah menjadi istri terbaik seperti
yang kamu minta. Kulepaskan karierku demi kebahagiaan kita. Mengabdi sepenuhnya
padanya dan anak-anak. Setiap hari aku memberikan yang terbaik. Menyiapkan
makanan-makanan kesukaanmu. Merawat buah hati kita. Aku juga tetap merawat
tubuhku agar kau tak kehilangan seleramu padaku. Kurangkah yang kulakukan
padamu? Aku tak habis pikir dengan semua tingkahmu.
Buyar lamunanku ketika kudengar “Brak”.
Begitu keras. Aku menengok dan telah kudapati kau bersimbah darah di depan
mobil Avanza berwarna perak itu. Aku kalut. Bingung. Kudekati dirimu,
kuletakkan dirimu di pangkuanku. Memintamu untuk bertahan. Aku memang tak bisa memaafkanmu.
Namun anak-anakmu masiih membutuhkanmu! Lirih kau berkata terbata, “Waktuku
telah tiba.Tolong jaga Nakula dan Sadewa. Maafkan aku…..” Lalu sunyi. Gelap.
*************
Ini hari ketiga kepergianmu. Aku masih
menangis. Dan orang-orang di luar sana
tak pernah mengerti arti tangisanku. Mereka pikir aku hampir gila karena
kepergianmu. Tidak. Aku bisa hidup tanpamu. Seperti yang kau tahu, aku tak akan
bergantung pada siapa pun! Tangisan ini bukan untuk kepergianmu. Aku menangisi
kenapa kau harus pergi dengan meninggalkan ketidaksetiaan? Aku menangis kenapa
kau tak mati di tanganku, di tangan orang yang kau khianati ini?
“Bunda…Bunda…..”
Kudengar Nakula dan Sadewa memanggilku. Mereka segera menerobos pintu kamar dan
memelukku. Wajah tanpa dosa mereka membuatku tak akan sanggup melihat mereka
beranjak dewasa dan mewarisi ketaksetiaan ayahnya pada perempuan. Kuingat pesan
terakhirmu untuk menjaga mereka. Kulihat pula sebatang gunting di meja. Akan
kutepati janjiku untuk menjaga mereka meski tidak dengan caramu.
Diuntaikan pada senja temaram, 11
Agustus 2008
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com