Tokoh : Suami
Istri
(setting
di ruang tamu dengan dua kursi goyang)
Suami
Hari apa ini?
Istri
Senin
Suami
Jadi kemarin Minggu?
Istri
Ya, besok Selasa. Lalu Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu,
Minggu, kemudian kembali Senin lagi. Berganti hari setiap 24 jam. Selalu
berputar seperti itu. Dari Senin ke Senin. Senin yang sama.
Suami
Tapi tetap berbeda. Seperti air sungai yang
mengalir. Yang membedakan barangkali, peristiwanya....
Istri
Suasana
Suami
Emosi. Sekarang tanggal berapa?
Istri
Untuk apa tanya? (mengaduk air kopi)
Suami
Cuma tanya....Baiklah anggap hari ini, Senin.
Istri
Memang Senin. (mengangkat
cangkir dan minum seteguk)
Suami
Dan tanggal satu. Aku selalu merasa seperti
memulai dan memulai lagi. Tet. Aku hidup pada hari Senin, tanggal satu. Tet.
Stop. Tapi kapan stop?
Istri
Waktu mandheg?! (meletakkan cangkir di meja)
Suami
Tidak, kita yang mandheg.
Apa rencanamu hari ini?
Istri
Sama seperti kemarin dan kemarinnya kemarin.
Meladeni kamu. Mengontrol jadwal dan menu masakan. Menemani makan. Malam hari,
berbaring di sampingmu sambil membaca novel sampai kantuk datang. Satu hari
kita lewati. Esoknya, aku bangun sebelum terang tanah. Memandang kamu yang
masih mendengkur. Aku mandi. Lalu, membujuk agar kamu segera mandi dan gosok
gigi.
Suami
Apanya yang digosok, gigiku palsu semua?
Istri
Biar palsu tetap harus digosok. Supaya mulut juga
bersih. Kata orang, mulut bersih adalah cerminan hati yang bersih.
Suami
Ya. Setiap pagi kita duduk di sini, seperti ini.
Hanya menunggu. Menonton kerusushan di luar sana. Jadi saksi kegaduhan politik.
Dan sebentar lagi....aku pasti akan bertanya, Masih Adakah Cinta di Antara
Kita? (Suami menatap istri tajam,
menunggu jawaban. Istri membalas tatapan Suami lebih tajam, lalu pergi
meninggalkannya, suami mencoba membujuk, namun istri tetap pergi.)
Suami
Tunggu...Jangan pergi dulu! Sayang, cintaku,
kekasihku, istriku...kemana? kalau tidak mau menjawab, tidak apa. Tapi jangan
pergi.
Suami
(Monolog)
(suami
menggerundel, seolah-olah bicara pada seorang teman)
Heran, aneh sekali. Biasanya tidak begini. Memang,
dia selalu diam kalau aku tanyakan soal itu. Tapi dia tetap duduk. Sabar
mendengarkan ocehanku. Tidak pergi. Setiap pagi, mungkin sudah puluhan tahun,
kutanyakan pertanyaan yang sama. Dan sampai sekarang aku tak memperoleh
jawaban. Dulu waktu pertama kali kutanyakan, dia kaget. Kuingat, pagi itu
mendadak aku ingin bertanya kepadanya, Masih Adakah Cinta di Antara Kita?
Dan dia langsung menanggapi dengan mata mendelik, ‘Masih Adakah Cinta....Apa?’ ujarnya balik bertanya. Betul-betul
kaget dia. Lalu kutanya lagi, sambil berharap kekagetannya agak berkurang.
Ssst...Masihkah Ada Cinta di Antara Kita? Dan dia menjawab dengan mata
masih mendelik, ‘Mengapa tanya? Maksudnya
apa?’ Lha...dia justru ikut bertanya. Aku butuh jawaban. Tidak ingin
menjelaskan, apalagi mendapat jawaban berupa pertanyaan. Akhirnya aku jawab Ya,
cuma tanya. ‘Ya tapi untuk apa?’
Lagi-lagi dia malah bertanya, masih dengan mata mendelik, meski suaranya tak
sekeras tadi. Karena dia bertanya, tentu aku harus menjawab. Sambil sekaligus
mengulang pertanyaanku tadi. Aku ingin tahu, jadi Masih Adakah Cinta di
Antara Kita? Aku memandang lurus ke matanya. Menunggu. ‘Apa harus dijawab? Mau apa mendadak tanya-tanya soal cinta? Aku
istrimu.’ Jawabannya itu membuatku kesal. Aku tahu, itu makanya aku
tanya. Aku butuh jawaban. ‘Kamu
betul-betul butuh jawaban?’ Dia bertanya lagi. Coba siapa yang tidak kesal.
Jawabannya lagi-lagi cuma pertanyaan, sungguh penasaran. Kemudian, kukeraskan
suaraku, wajahku sudah merah padam, aku benar-benar butuh jawaban, Masih Adakah
Cinta di Antara Kita? Lalu terlihat perubahan besar pada tatapan matanya.
Waktu aku pertama kali bertanya, dia kaget, menatap tak percaya, disusul rasa
penasaran. Sekarang perlahan cahaya matanya melembut dan ditambah senyuman.
Akhirnya dia meluncurkan kata-kata, begitu beraturan, bagai nyanyian. ‘Dulu, waktu kamu meminangku, apa aku
bersedia menikah denganmu, aku menjawab sangat yakin, YA, bersedia’ Dia
membuka bicara. ‘Kita menikah di depan
penghulu dan orang tua...lalu anak-anak lahir. Aku merawat mereka sampai
dewasa, sampai mereka pamit pergi. Lima Puluh Tahun aku hidup bersamamu.
Mengurus rumah, sabar meladeni. Aku membawa tusuk gigi ke manapun kita pergi,
mengingat kebiasaan burukmu itu, suka mencungkil makanan di gigi dengan jari
tangan. Aku menemani tidur. Mendampingi saat kamu sakit, senang, sedih, atau
kecewa. Aku temanmu sehidup semati. Tindakanku kongkret, bukan basa-basi. Lalu
semua itu apa namanya kalau bukan cinta? (Suami mendesah) Begitu lama aku menunggu dia menyelesaikan
kalimat. Kata-katanya sangat bagus, tapi aku kecewa. Penjelasan sepanjang itu
bukan jawaban, melainkan pertanyaan juga. Lagi-lagi aku mendapat jawaban yang
bertanya. Aku makin kesal. Kuingin jawaban langsung. Bukan muter-muter. Akhirnya
aku berteriak. Kurasakan ada semacam paksaan dalam nada pertanyaan yang kuulang
lagi, Aku tahu. Tahu. Tapi tolong jawab, Masih Adakah Cinta di antara Kita?
(mendesah lagi) Akhirnya harus
diakui, aku kalah. Dia tidak menjawab. Hanya diam. Sampai sekarang. Puluhan
tahun diam. Tapi meski diam, dia tetap duduk dengan sabar. Mendengar ocehanku
dan tidak pergi seperti tadi. (melamun,
tiba-tiba tersenyum) Pamflet Cinta! Ya pamflet cinta... (tersenyum lebar).
(Lampu
meredup, pamflet beterbangan ke arah penonton bertuliskan “Masih Adakah Cinta
di Antara Kita? Lalu lampu mati.)
(Lampu
hidup, ganti setting di taman rumah, 25 tahun kemudian. Back sound: suara
jengkerik dan binatang-binatang malam. Bintang berkilauan di langit. Suami
Istri duduk di kursi taman menatap ke arah langit, terdiam cukup lama.)
Istri
Ada apa di sana? (menunjuk ke arah langit)
Suami
Mungkin, jawaban itu... (lirih)
Istri
Masih adakah cinta di antara kita?
Suami
Ya
Istri
Menggantung di salah satu bintang?
Suami
Berupa rangkaian kata-kata mutiara...
Istri
Terdiri dari huruf-huruf perak?
Suami
Dan bercahaya seperti neon? Mungkin saja, bisa
jadi...
Istri
(lama
terdiam) Aku tak melihat apa-apa
kecuali langit. Dan bulan. Dan bintang-bintang. Dan awan-awan. Dan
burung-burung malam.
Suami
Kalau tidak ada jawaban malam ini, mungkin besok.
Atau besoknya lagi. Besoknya lagi. (gusar)
Istri
(Memutar
leher ke kiri dan ke kanan, bergemeletuk) Sakit leherku memandang langit.
Suami
Ganti memandang bumi, untuk variasi.
Istri
Tidak mau. Kata orang, Dia ada di langit.
Istananya berkilau karena cahaya, dilengkapi jutaan pintu dengan jendela. Dan
pintu utama istana langit akan membuka kalau kita mengetuk.
Suami
Kalau begitu, ketuklah.
Istri
Pasti kuketuk. Kalau pintunya bisa kulihat. Dan
jika Dia menyambut di ambang pintu, aku akan buru-buru bertanya “Yang Maha
Besar, Mengapa aku Kau siksa lama sekali? Umur sepanjang ini bukan impianku.
Bukan kenikmatan yang kuminta dari-Mu.” Kira-kira Dia akan menjawab apa ya?
Tapi...apa dia sudi menjawab?
Suami
Tanyakan kepadaNya kalau nanti ketemu.
Istri
Aku memang akan bertanya. Kan sudah kubilang tadi.
Suami
(meninju-ninju
ke arah langit, menangis hingga terduduk di rumputan) Percuma....Percuma!
Istri
Jangan menangis, sayang. Apanya yang percuma?
Suami
Langit hanya kosong . percuma. Tidak ada jawaban
di sana. (suaranya parau)
Istri
(menatap
suami, menyentuh bahu suami) kalau
tidak ada di sana, jangan cari di sana. Cobalah cari di sini. Dekat, di sini.
Dekat.
Suami
(menahan
tangis, ragu) Apa sekarang kamu
mau menjawab?
Istri
Masih adakah cinta di antara kita?
Suami
Ya
Istri
Apa masih butuh jawaban? Dulu kamu lebih ingin
jawaban massal. Jawaban dari orang-orang. Jawabanku kamu anggap tidak penting.
Suami
Sekarang aku hanya ingin jawaban. Dan jawabanmu
sangat penting.
Istri
(Tertawa
mengejek) mengapa? Apa karena tak
ada yang mengembalikan pamflet cinta? Dari ratusan ribu pamflet yang kamu
sebar, Cuma sembilan yang dikirim balik. Itupun empat berupa jawaban kosong,
tiga memaki-maki, satu meminta bantuan uang dan satui menjawab dengan gambar
simbolik. Pamflet cinta malah bikin perkara, kamu dituduh sebagai provokator.
Untung pengadilan hanya menjatuhkan hukuman percobaan. Kamu menunggu sampai
capek. Tapi tak ada lagi yang mengirim balik pamflet cinta.
Suami
Kumohon, jawablah pertanyaanku! Jangan bikin aku
penasaran terus! Kuulang ya? Jawabanmu sangat penting bagiku.
Istri
Kalau begitu. Meski hanay mengulang, dengar
baik-baik! Dulu waktu kamu meminangku, apa aku bersedia menikah denganmu, aku
menjawab dengan sangat yakin, Ya aku bersedia. Kemudian, kita menikah di depan
penghulu dan orang tua, lalu anak-anak lahir. Aku merawat mereka sampai dewasa,
sampai mereka pamit pergi. Tujuh Puluh Lima Tahun aku hidup bersamamu. Mengurus
rumah tangga, sabar meladeni kamu. Menemani tidur. Mendampingi saat kamu sakit,
senang, sedih, atau kecewa. Aku temanmu sehidup semati. Semua tindakanku
kongkret. Bukan basa-basi. Lalu semua itu apa namanya kalau bukan cinta?
Suami
Aku tahu. Itu sebabnya aku tanya.
Istri
Aku istrimu.
Suami
Aku tahu. Tahu tapi tolong jawab saja
pertanyaanku, masih adakah cinta di antara kita?
Istri
Kalau sudah tidak ada, mana mungkin sampai
sekarang aku MASIH di sini, bersamamu, selalu di sampingmu?
Suami
Jadi ada
Istri
Tentu saja
Suami
Masih ada?
Istri
Ya, masih. Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu.
Suami
(Meloncat
kegirangan, mengacungkan tinju ke arah langit dan berjoget,
tertawa-tawa....sampai terbatuk-batuk dan pinggangnya sakit)
Cukup. Terima kasih. Aku bahagia. Aku bisa tidur
nyenyak sekarang. Dan kalau nanti maut menjemput, mengajak pergi, aku tidak
akan penasaran lagi. Hidupku lengkap. Aku akan pergi dengan tenang dan ikhlas.
Terlalu jauh aku mencari. Tak pernah aku cari di tempat yang paling dekat.
Mengapa langit sering nampak lebih menarik dibanding hati kita sendiri? Kita
selalu ingin memandang ke atas. Jarang memandang ke dalam diri kita sendiri.
Barusan tadi kita masih memandang ke atas.
Istri
Sekali-kali tidak apa. Langit juga indah.
(lampu
mati, ganti setting di ruang tamu lagi dengan dua kursi goyang. Suami istri
masing-masing duduk di kursi goyang. Lampu hidup)
Suami
(mata
masih terpejam) Aku lelah sekali.
Istri
Aku juga. Tidur saja
Suami
Tidur? Masih pagi. Belum sarapan.
Istri
Tidur kalau mau tidur. Pagi atau malam, apa
bedanya?
Suami
Baik. Mimpikan aku. Aku selalu memimpikan kamu.
Istri
Kita selalu saling memimpikan.
Suami
(tersenyum)
aku bahagia (nyaris tertidur....lalu terbangun tiba-tiba) Hari apa ini?
Istri
Senin
Suami
Tanggal satu?
Istri
Ya, tanggal satu. Seperti maumu.
Suami
Aku seperti baru memulai. Tet. Aku hidup pada hari
Senin, tanggal satu. Tet. Stop. Tapi, sampai kapan? (berbaring lagi)
Istri
Mungkin sebentar lagi, sabar.
Suami
Setiap hari adalah Senin, tanggal satu. Rasanya
begitu.
Istri
Sudah...sudah. Lakon kita harus ditutup.
Suami
Ya, tutuplah dengan baik.
(Suami
istri tertidur pulas)
(Lampu
meredup dan perlahan-lahan mati)
-
Dari cerpen N. Riantiarno
“Masih
Adakah Cinta di antara Kita?” -
Semarang, 18 Juni 2007
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com