Buntu. Itu yang aku rasakan sekarang.
Sudah kuaduk-aduk isi kepalaku, tapi tetap saja tak kutemukan sebuah ide untuk
kuuntai menjadi sebuah cerita pendek. Kalau saja aku boleh menyesal, pasti aku
akan menyesali keputusanku karena telah mengiyakan tawaran teman-temanku untuk
bergabung dalam sebuah kelompok penulisan cerpen. Namun pantang bagiku untuk
menyesali sesuatu yang telah kuputuskan.
Awalnya tiga hari yang lalu, seorang teman yang sudah biasa menulis cerpen datang padaku. Hadi, laki-laki tinggi nan kurus itu, bercerita padaku bahwa ia bersama salah seorang temannya telah memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok penulisan cerpen. Setiap orang yang bernaung di bawah bendera kelompok ini wajib untuk mengumpulkan sebuah cerpen tiap minggunya. Tepatnya pada hari Minggu, hari dimana telah ditentukan sebagai hari eksekusi - sebut saja begitu – semua anggota harus mengumpulkan karyanya. Pada hari itu pula akan diadakan sebuah diskusi kecil-kecilan mengenai karya-karya yang telah terkumpul. Diharapkan dengan adanya kelompok ini akan lahir penulis-penulis muda yang berkualitas. Mungkin ini sebuah keprihatinannya akan kondisi negeri ini yang semakin dipenuhi oleh penulis esek-esek yang menelurkan karya yang jauh dari kata bermutu dan mendidik. Meski dengan sederhana ia ungkapkan, kelompok ini hanyalah wadah bagi teman-teman yang ingin belajar menulis dan cambuk untuk memacu setiap anggotanya untuk menulis setiap hari.
Menarik. Paparan seorang Hadi yang
memang begitu pintar bersilat lidah itu memang begitu cantik dan membuatku
tertarik untuk bergabung menjadi salah satu orang yang akan mengibarkan bendera
kelompok tersebut. Kupikir ini sebuah tantangan untuk melatih otak, rasa dan
jariku yang telah lama mati. Lagi pula dunia tulis menulis juga bukan hal yang
baru bagiku, meski belum ada satu pun karyaku yang terpampang di media massa,
namun aku sudah punya beberapa karya yang selama ini memang hanya kusimpan
sebagai koleksi pribadi. Tinggal kucomot saja salah satu dari koleksiku itu,
mungkin perlu tambal sulam di sana-sini, kuberikan polesan terakhir dan hari
Minggu besok aku sudah punya sebuah cerpen untuk kukumpulkan. Itulah yang
terurai dalam pikiranku saat itu ketika Hadi tiba-tiba menceletuk. “Oya,
sebelum aku lupa, ada satu info yang tadi belum sempat aku omongkan. Cerpen
yang dikumpulkan nanti harus cerpen baru lo, bukan cerpen yang sudah lama
dibuat. ‘Kan kelompok ini dibuat untuk memacu teman-teman untuk rajin menulis,
jadi cerpen yang dikumpulkan tiap minggu itu harus benar-benar buah pikiran
kita selama satu minggu. Gimana? Deal ya?!” Aku cuma bisa melongo ketika ia
membeberkan persyaratan itu. Sekelebat risau hadir dalam pikiranku, apa bisa
aku menulis dalam jangka waktu seminggu? Belum sempat risau itu menguasai
seluruh pikiranku, tiba-tiba aku teringat pesan dari seorang penulis besar
bahwa kita tidak bisa menulis dengan menunggu mood. Kitalah yang harus bisa
menciptakan mood untuk menulis. Semangatku kembali menggebu setelah teringat
pesan itu. Kenapa tidak? Satu minggu aku kira waktu yang cukup untuk menelurkan sebuah karya sederhana. Dengan
begitu yakin aku menjawab tantangannya, “Deal!”. Hadi tersenyum lebar bagai
seorang sales yang baru saja mendapatkan pembeli dari barang-barang yang sedari tadi
ditawarkannya.
“Ok, deal ya..” begitu ujarnya sembari menjabat
tanganku dengan erat.
“Siip, santai aja! Seminggu kan?”
“Ah, satu lagi, Wan! Hampir saja aku lupa....”
“Apa lagi sih, Had? Banyak banget syaratnya?”
“Enggak...Gini lo, untuk semakin memacu kita
nulis, aku ma Sunny ‘dah sepakat buat bikin punishment.”
“Apaan punishmentnya?
‘Gak usah yang macem-macem lo!” Tiba-tiba aku jadi bergidik ngeri mendengar
kata punishment yang diucapkan oleh
Hadi khas dengan logat Jawanya yang kental. Bukan apa-apa, laki-laki satu ini
paling kreatif mencari ide konyol untuk ‘menghabisi’ teman-temannya. Sekelebat
hukuman aneh-aneh melintas di pikiranku ketika ia menjawab pertanyanku dengan gaya
nyengirnya yang khas.
“He..he..parno banget sih sama aku. Nggak
aneh-aneh kok. Cuma ......’
“Cuma apaan sih? Jangan bikin deg-degan gitu
dong!”
“Yee, sabar kenapa. Lagian pake acara deg-degan
segala. Kaya mo aku tembak aja...”
“Makasih ya. Ogah aku ditembak sama homo! Masih
normal aku, bung!”
“Ancrit...Gay kali bukan homo.!” sungut Hadi
dengan gaya banyolannya yang sok tante-tante itu.
“Ya udahlah terserah kamu! Cepetan punishmentnya apaan?” gertakku tak
sabar.
“Gini ya om...Kalo salah satu dari kita ada yang
nggak ngumpulin cerpen tiap hari Minggu, tuh orang bakal kita kenai pasal
berlapis...hehe....”
“Maksudnya?”
“Serius banget sih, bercanda dikit kenapa?”
“Iya-iya...trus apaan?”
“Yang nggak ngumpulin harus ntraktir kita makan!”
“Oh, Cuma gitu aja? Kecil! Nasi kucing dan satu es
teh cukup kan?”
“Ya enggaklah...harus ntraktir makan sesuai dengan
permintaan teman-teman dan sekenyang-kenyangnya!”
“What?!”
Belum sempat aku memprotes punishment
yang dia kemukakan itu, Hadi sudah berlalu dari tempatnya. “Duluan yah, bosku
dah telpon melulu neh. Sampai jumpa hari Minggu, om!” Sapa terakhirnya begitu
menjengkelkan ketika aku lihat dia memamerkan cengiran usil di sela-sela
senyumannya.
Matilah aku. Siapapun di dunia ini
pastilah tahu bagaimana kejamnya si Hadi saat meminta temannya mentraktir dia
makan. Bisa dengan seenaknya sendiri ia minta makanan yang mahal. Buat
teman-teman yang sudah bekerja mungkin bukan hal yang besar, tetapi untuk
seorang Wawan yang masih betah jadi ‘pengacara’ ini, kekejaman si Hadi itu
benar-benar harus dihindari! Aku harus menulis hari ini juga! HARUS!
Itu yang terjadi tiga hari yang lalu.
Aku masih penuh semangat mencari ide dan begitu yakin bisa menyelesaikan
tugasku sebagai anggota dari kelompok cerpen. Tetapi sampai detik ini, tak satu
pun ide singgah dan terpatri di otakku. Sudah kubuka puluhan Novel dan kumpulan
cerpen. Siapa tahu bisa memantikkan api dan membuatku terbakar untuk segera
merangkai kata demi kata. Namun tak kutemukan hal yang bisa menggerakkan hati
dan rasaku untuk menyusun sebuah cerita. Demi sebuah cerpen, aku yang biasanya
tak pernah terdiam lama di depan kotak bernama televisi, memaksakan diriku
untuk memantenginya. Satu demi satu channel kujelajahi, satu demi satu acara
kusinggahi, bahkan saat jeda iklan pun aku tetap memelototinya. Hanya demi
sebuah ide! Sekarang aku baru menyadari begitu tingginya harga sebuah ide.
Begitu sulitnya menjadi Gola Gong, Joni Ariadinata, Helvy Tiana Rosa, Danarto,
Seno Gumira, apalagi Eyang Pramoedya! Apa yang mereka konsumsi setiap hari
hingga tak pernah habis ide dalam kepala mereka? Apa yang Tuhan jejalkan dalam
kepala orang-orang itu hingga dari tangan mereka lahir puluhan karya besar?
******************
Lungkrah rasanya seluruh otak dan
tubuhku. Ini hari terakhir dan mau tak mau aku harus bisa menyelesaikan sebuah
cerita. Apapun itu! Malu rasanya jika kuingat kesombongan kecilku kala kuterima
tawaran Hadi untuk ikut bergabung dalam kelompokm penulisan cerpennya. Aku
masih ingat dengan jelas, sedikit rasa tinggi hati mengeruhkan hatiku saat itu.
Aku pikir satu minggu cukup untuk menggali ide dan menyusunnya menjadi cerita.
Pada kenyataannya, di hari terakhir ini, aku masih belum dapat apa-apa.
Bagaimana mau menyelesaikan, sementara apa yang harus kuselesaikan saja belum
ada.
Kesibukanku sebagai pengangguran yang
penuh acara, dari memberi les sampai jadi assisten dosen, ternyata benar-benar
menyita waktu dan pikiranku. Pagi hingga sore kuhabiskan di luar rumah, mengais
sedikit rezeki untuk mempertahankan hidup. Sore hingga malam datang aku
disibukkan dengan segala aktivitasku sebagai seniman muda yang sedang begitu
bergairah untuk berproses. Barulah ketika malam sudah sempurna mengejan, aku
bisa menikmati suasana rumah. Itu pun yang kupunya hanya tinggal kelelahan.
Tertidurlah aku di pangkuan malam yang tenang. Saat aku terbangun di tengah
malam yang hampir habis, kuketuk pintu-pintu ide, namun tak satu pun yang
membukakan dirinya untukku. Seperti itu yang kurasakan seminggu ini. Kini,
tantangan itu semakin jelas menggodaku. Aku seakan-akan melihatnya mengejek
kelesuanku. Yang kurasakan saat ini, aku bagai terpidana yang akan dihukum mati
besok pagi!
Semakin keruh pula pikirku saat aku bertemu Sunny
dua hari yang lalu, salah seorang penggagas kelompok penulisan cerpen. Ia
menyapaku dengan bangganya, “Gimana Mas? Dah jadi belum cerpennya? Aku dah jadi
lo, Mas. Dikit sih, Cuma dua lembar!” Dengan sedikit enggan aku menjawab
sapaannya, “Belum jadi nih, masih bingung mo nulis apaan. Kamu nulis apaan,
Sun?”
“Besok Minggu lo mas deadlinenya! Aku nulis
tentang perawan...”
Begitulah sekilas pertemuanku dengan
Sunny yang semakin membuatku terseret dalam rasa gundah gulana yang tak
menentu. Meski aku sedikit berharap ada teman yang juga tidak bisa
menyelesaikan sebuah cerpen pada waktunya. Sebuah harapan yang sia-sia dan
sepertinya tak mungkin. Belum lagi ide kutemukan, belum lagi rasa lungkrahku
hilang, aku bertemu Hadi siang ini. “Cerpenku dah jadi lo! Punyamu juga sudah
kan? See you on Sunday yah!”.
Hancurlah aku bila malam ini aku tak
bisa membuat sebuah cerpen. Bukan hanya hancur karena malu tak bisa
menyelesaikan tugas ini. Yang lebih riskan, hancurlah dompetku besok pagi jika
aku tak bisa menghasilkan sebuah karya. Kupandangi komputer di hadapanku dengan
nanar. Berharap dengan ajaib kata demi kata muncul tanpa harus aku perintahkan.
Berharap dalam satu kedipan aku bisa menyelesaikan sebuah cerpen dan
terselamatkanlah aku dalam eksekusi besok pagi. Ternyata otak dan rasaku memang
sudah mulai tumpul, atau jangan-jangan sudah mati karena telah lama tak kuasah
dengan baik?
Kuhidupkan radio, mencari-cari petikan
cerita atau sebait lagu yang mungkin bisa memberiku inspirasi. Tak ada.
Kumatikan radio usangku, dan kunyalakan winamp. Creep mengalun pelan. Berharap dengan lagu kesukaanku ini akan
terbersit sebuah ide yang akan menjadi bibit dari sebuah karya besar.
*************
Akhirnya selesai juga cerita ini. Selamatlah aku hari ini dari
eksekusi yang buatku lebih mengerikan dari eksekusi Bung Amrozi. Ternyata Creep memang masih ampuh untuk
menemaniku dalam suka, duka, juga di saat-saat genting seperti tadi malam.
Tak berselang lama setelah kuputar Creep sebanyak tiga kali, aku menemukan
sebuah ide yang buatku begitu menawan! Yah, cerita tentang seorang wanita yang
lari di hari pernikahannya karena ia tak sanggup bila harus mengalami
kejadian-kejadian yang memilukan seperti ibunya. Trauma masa kecil dan
pengalaman hidupnya tentang makhluk bernama laki-laki telah membuatnya takut
jatuh dan terluka. Sang tokoh yang kukisahkan bernama Dewi ini begitu takut
bila suatu saat kelak kekasih tercinta yang akan menjadi suaminya nanti jatuh
hati pada perempuan lain dan berlalu meninggalkannya sendirian. Ia tak mau bila
suatu saat kekasihnya bermetamorfosa menjadi pria yang mudah marah dan suka
memukul seperti ayahnya. Ia tak mau dikhianati. Ia tetap ingin cinta sang
kekasih padanya tetap sempurna dan suci tak ternoda. Jalan terbaik buatnya
hanyalah membatalkan pernikahannya dengan Rama, sang kekasih. Bukan karena ia
tak lagi mencintainya. Masih. Dewi masih begitu mencintainya, sekaligus takut
kehilangan cintanya. Buat Dewi, dengan pembatalan pernikahan ini, ia tak akan
pernah merasakan dikhianati dan disakiti oleh Rama. Cinta Rama akan selalu
indah di hati Dewi.
Itulah sepenggal cerita yang kujalin
selama lima jam. Aku yakin teman-temanku pasti berdecak kagum dengan cerita
yang kubuat ini. Bukan sombong, tapi aku merasa ini cerpen terbaik yang pernah
kubuat. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan mereka dan segera
memamerkan salah satu calon masterpieceku ini. Benar-benar tak sabar!
*********
“KRIIIIIIIIING....”
Dering weker yang sedemikian kerasnya
itu memaksaku untuk membuka mata. Jam 10. Sial...aku kesiangan! Harusnya sedari
jam 9 tadi aku sudah kumpul bareng teman-teman di Tugu Muda. Belum lagi rasa
kagetku hilang karena bangun kesiangan, My
Heart mengalun syahdu dari ponselku. Kuangkat dan belum lagi aku berkata
“Halo”, Hadi sudah memberondongkan peluru pertanyaannya kepadaku, ”Jam berapa
nih? Ditelpon berkali-kali nggak diangkat? Baru bangun ya? Anak-anak dah kumpul
nih! Nggak pakai lama ya kesininya! Eitz, jangan lupa cerpennya! Anak-anak dah
bawa semua nih. Kalo kamu belum bikin, siapin uang sebanyak-banyaknya ‘coz kita nggak mau makan yang
murah-murah!”
“Iya....iya...Ini juga lagi mau berangkat. Kalo
kamu nggak nutup-nutup telponnya, ya gimana aku bisa kesana? Dasar homo!
Cerpenku dah jadi dong.....” Belum selesai aku mengembalikan rentetan
pelurunya, tiba-tiba “Klik”. Mati.
Segera kuletakkan ponselku dan bersiap
untuk mencetak lembaran cerpen yang telah kuselesaikan semalam.
Namun.....”Waduh, blaiiiik! Mati aku!” Tak kutemukan apa pun di layar
komputerku. Tak ada satu huruf pun! Kubuka semua dokumen yang ada di dalamnya,
namun cerpen “DEWI” yang kutulis semalam tak ada sama sekali. Kucoba memutar
ingatanku. Mereka ulang semua hal yang kulakukan sermalam, dan baru aku sadari
kalau cerpen itu meman sama sekali tak ada. Cerpen itu memang belum aku
tuliskan! Dengan waktu sedemikian mendesak, jelas tidak mungkin aku mengetiknya
sekarang. Sial. Kenapa ide brilian itu harus muncul lewat tidur malamku yang
panjang?
Tak ada waktu untuk menyesal. Mau tak
mau aku harus mengibarkan bendera putih pada teman-temanku. Terekam dengan
jelas bagaimana wajah mereka nantinya. Kubuka dompetku. Blaik. Kosong!
Sepertinya aku harus mampir ATM untuk meludeskan tabunganku. Sudahlah, aku
harus menghancurkan rasa malu dan bergegas menemui mereka. Ini konsekuensi yang
harus aku tanggung. Aku harus menebusnya minggu depan. Akan kubuat sebuah
cerita menakjubkan minggu depan! Pasti!
*********
Kuhentikan motor tuaku di depan ATM
BNI terdekat dari Tugu Muda. Kukeluarkan kartu ATM dari dompet dan segera
kumasukkan ke dalam mesin. Kutekan empat digit pin, dan dengan sigap segera
kutekan beberapa angka. Dua ratus ribu, kukira itu cukup. Bunyi mesin ATM
menderu ketika ponselku berbunyi. Dari Hadi. “Iya, ini dah mau sampai. Lagi di
ATM ngambil dana buat ntraktir kalian!”, sungutku penuh sebal. Kututup ponsel
begitu saja sebelum ia sempat berkata apa-apa. Sesaat setelah kututup ponsel,
masih belum kutemukan lembaran ratusan ribu di sana. Kutatap layar ATM dan
......”Blaik! Benar-benar Blaik!”.
Kosong. Aku baru ingat, dua hari yang
lalu aku sudah mengambil habis uangku untuk mereparasi motor tua kesayanganku.
Aku tak tahu harus apa saat ini. Dari jauh, bisa kulihat teman-teman
melambaikan tangan padaku. Aku melihat mereka seakan-akan serigala-serigala
lapar yang siap menerkamku!
Tak ada cerpen. Tak ada uang.
“Blaik!”
****
Catatan 1 Desember 2007
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com